Sinar matahari semakin lama terasa menyilaukan. Keadaan itu memaksa Lea bangun lebih awal dari biasanya. Lea ingat dirinya tidak harus bekerja setelah resign dari toko roti tempatnya bekerja.
Gadis berambut panjang itu masih terpejam. Tangannya bergerak menutupi wajah dengan helaian rambutnya sendiri. Niatnya adalah bangun hingga waktu makan siang. Akan tetapi, keinginannya itu harus gagal sebelum sempat terealisasikan. Bukankah harusnya ia beres-beres dan bersiap untuk pulang ke Indonesia?
Kelopak matanya yang sayup, kini terbuka lebar. Keningnya berkerut saat Lea merasakan tangannya memeluk sesuatu yang terasa berbeda. Bukan guling empuk yang biasanya ia peluk setiap malam.
Yang dipeluknya ini terasa hangat. Tidak empuk, melainkan keras tapi juga halus. Samar ia mencium aroma kopi dan kayu. Apa mungkin ular besar?!
Lea terbelalak kaget. Gadis itu sontak menarik tangan dari sosok yang baru saja dilihatnya. Sekali lihat, otaknya menafsirkan jika sosok itu adalah seorang pria dengan rambut diikat bun dan sedikit berantakan.
Lea mengintip di balik selimut yang menutupi tubuhnya maupun pria itu. Oh, tidak! Rasanya kepala Lea baru saja dihantam palu besar.
Ia tidak mengenakan apapun! Begitu juga dengan pria yang masih pulas di sampingnya!
Sebisa mungkin Lea mencoba mengingat kejadian semalam. Bagaimana bisa ia berakhir di ranjang pria asing? Sialnya, Lea benar-benar tidak ingat apapun. Ia hanya ingat dirinya diserang lalu ditolong seorang pria di tangga darurat hotel.
Pria yang tidur telungkup di sampingnya itu melenguh. Lea kembali membelalak dan sontak terduduk. Perlahan selimut yang menutupi punggung pria itu tersingkap. Ada tato kepala harimau yang menganga seakan hendak menerkam Lea.
Lea memperhatikan penampakan pria itu sekali lagi. Dari belakang saja, pria itu sudah tampak menyeramkan. Rambutnya cukup panjang dan diikat karet gelang hitam. Otot tubuh dan lengannya kekar. Punggungnya memiliki bekas luka dan tato hewan buas.
“Apa dia mafia?” batin Lea menelan salivanya.
Ketimbang memikirkan banyak hal, Lea merasa lebih baik segera pergi. Secepatnya, sebelum ia ketahuan tidur dengan pria misterius itu. Jangan sampai pria itu terbangun dan menodongnya dengan senjata.
Bisa jadi ia kehilangan nyawa. Kemudian dibuang di suatu tempat. Bisa gagal pulang ke tanah air jika dirinya jadi korban.
“Ya ampun, bagaimana ini? Di mana sih celana dalam gue?” batin Lea sibuk mengedarkan pandangan mencari benda kecil berwarna merah muda yang dipakainya semalam.
Sepelan mungkin Lea beringsut. “Aduh ...,” lirih Lea meringis.
Ia merasakan sakit yang sulit dijelaskan pada bagian inti tubuhnya. Akan tetapi, rasa takutnya lebih mendominasi. Walau matanya berkaca-kaca, Lea menahan suara karena takut pria itu terbangun.
Sampai akhirnya ia menemukan sepasang benda merah muda itu. Setelah memakai kembali pakaian dalamnya, Lea kembali mencari dress hitam yang dipakainya semalam. Kain itu teronggok di lantai dekat sofa.
“Seganas apa dia sampai bajuku sobek begini?” keluh Lea.
Dress cantiknya sudah compang-camping, mirip seperti kain lap. Lea tak punya pilihan lain. Ia tetap memakai dress sobeknya. Kemudian, ia mengambil kemeja putih milik pria itu.
Sengaja Lea hanya memasang tiga kancing di bawah kerah. Sisanya ia kumpulkan lalu ia ikat. Setidaknya, penampilannya tidak terlalu aneh. Untung saja isi tasnya masih utuh.
Sembari berjinjit menenteng tas dan sepatunya, Lea keluar dari kamar itu. Lea berjanji tidak akan kembali lagi ke hotel ini. Ia juga tidak akan pernah memilih kamar dengan nomor 1002. Dengan langkah terseok, Lea beranjak menuju lift.
Tepat disaat pintu kamar hotel itu kembali tertutup rapat, terdengar suara khas pintu terkunci otomatis. Pria di dalam kamar hotel itu mengerjap. “Seno ... jam berapa pesawatnya?”
Hening.
Pria dengan pahatan otot tubuh yang nyaris sempurna itu akhirnya bangun dan bersandar di ranjang. Ia mengedarkan pandangan dan menyadari tak ada seorang pun selain dirinya. Sementara ia yakin jika, baru saja ada seseorang yang melewati pintu kamarnya.
Kala hendak beranjak dari ranjang, ia menyadari jika ia tidak mengenakan apapun. Celana, jas dan dasinya juga berserakan di lantai. Dengan tangan gemetar, ia mencoba mengintip tubuhnya di balik selimut.
Deg!
Pria itu tersentak dan refleks menarik selimut. Ia turun dari ranjang meraih boxer miliknya. Saat itulah ia melihat noda merah di seprei putih itu.
“Darah?” gumamnya sembari menghalau pantulan cahaya yang menyilaukan matanya.
Pria itu mendekat lalu meraih sebuah anting emas kecil. Ada inisial hurf ‘L’ yang terukir di belakangnya. Matanya kembali membelalak menatap bergantian benda itu dan noda di seprei.
“Siapa gadis yang semalam sudah kurenggut perawannya?” gumamnya sembari mengusap wajahnya resah.
Masih dengan pikiran yang kacau luar biasa. Angga lekas mencari ponselnya. Benda berharganya itu bahkan nyaris ia injak. Segera ia menekan #5 lalu menunggu seseorang di seberang sana menjawab panggilan telponnya.
“Halo, selamat pagi, Bos,” sahut Seno.
“Di mana kau?!” geram Angga.
“Di kantor staf keamanan hotel. Lagi nyari bukti kelakuan model yang makan malam sama lo semalam,” jawab Seno setenang mungkin.
Angga mengernyit lalu bertanya, “Bukti? Apa maksudmu?”
“Semalam aku pesan dua kamar berbeda. Kamar VIP untukmu dan kamar reguler untukku. Aku ingin bersenang-senang dengan staf cantik yang bersedia menghabiskan malam denganku. Setidaknya aku bersenang-senang setelah tiga hari kerja rodi denganmu. Tapi, kau tidak sabaran dan malah mengambil kartu kamarku. Sementara kartu kamar VIP yang kupesan untukmu, diambil Melani, model yang dikenalkan bundamu. Dia sudah masuk lebih dulu di kamar itu dan menunggumu untuk menghabiskan malam bersama,” jelas Seno.
“Jadi semalam, aku tidur dengan wanita kencanmu?!” bentak Angga.
“Apa maksudmu? Tidak, aku dan wanitaku memesan kamar lain.”
“Lalu siapa gadis perawan ini?”
“Perawan? Mana aku tahu. Tunggu! Jangan-jangan ....”
“Jangan-jangan apa? Jangan bilang dia model yang dikenalkan bundaku?!”
“Bukan. Aku sudah mengirim pria lain ke kamar VIP itu untuk memberikan Melani pelajaran. Tunggu, gadis di kamar itu tidak pergi? Kau tidur dengan gadis yang pingsan itu?!” tanya Seno balik. Dari suaranya, Angga tahu jika Seno juga panik sama sepertinya.
“Cek cctv di depan pintu kamar 1002. SEKARANG JUGA!!!” teriak Angga.
Seno berdeham dan dengan kalem ia menyahut, “Iya, Bosku.”
“Cari tahu siapa gadis yang tidur denganku semalam! Kalau tidak, aku akan membuangmu ke laut!” ancam Angga.
Seno lekas mengiyakan. Tanpa menunggu balasan dari sahabat sekaligus atasannya, Seno kabur. Jangan sampai Angga mematahkan seluruh tulangnya.
Angga masuk ke dalam kamar mandi. Guyuran air mulai menerpa tubuhnya. Perlahan ia mulai merasa rileks dan tenang.
Disaat yang sama, bayangan kejadian semalam mulai berdatangan. Suara lenguhan dan desahan itu berbisik manja. Yang mengejutkan adalah, bisa-bisanya ia terangsang hanya karena membayangkan kejadian semalam.
“Sial!” umpatnya saat menyadari jika harus menidurkan sesuatu yang terlanjur bangun. Cukup lama ia harus berjuang sampai mencapai puncak dengan usahanya sendiri.
“Setelah pergi begitu saja, dia masih saja menyusahkan!” geram Angga sembari memukul dinding kamar mandi.
Angga merasakan telapak tangannya yang dingin. Sangat berbeda dengan semalam di mana ia menyentuh sesuatu yang hangat, lembut dan kenyal. Kembali ia menatap kedua telapak tangannya lalu membaliknya. Refleks, 10 ujung jarinya bergerak seakan meremas sesuatu.
“Kalau begini terus aku bisa gila!” geram Angga sembari mengusak rambutnya.
Pikiran kotornya kembali berkelana. Ingatannya terasa jelas kala bibirnya mengecap sesuatu yang terasa lembut dan manis. Bukan permen tapi terasa seperti campuran buah. Aromanya pun samar masih teringat olehnya.
“Apa semalam aku benar-benar mencium bibirnya?” batin Angga sembari mengigit bibirnya sendiri.
Ia masih tak percaya menghabiskan malam panas dengan seorang gadis perawan. Ironisnya, ia merasa dicampakkan.
Angga bertekad akan mencari gadis itu sampai kapanpun. Satu hal yang ditakutkannya. Semalam, ia melakukannya tanpa pengaman.
Masalah tak berhenti disitu saja. Sang bunda terus membuat ponselnya berdering. Angga diminta kembali ke Indonesia hari ini juga.
***
"Tidak, Lea. Tari disenggol orang di kafe. Dia pendarahan dan dibawa karyawan kafe itu ke rumah sakit ini. Saya cuma antisipasi, jangan sampai dia mendekat ke sini karena tahu kamu juga rawat di sini," jelas Juna.Angga mengangguk setuju dan berterimakasih pada Juna. Ucapan terima kasihnya terdengar begitu tulus sampai Juna dan Gani heran. Apakah benar dia Angga yang selama ini mereka kenal?"Acii ...."Ucapan Keysa terdengar jelas dalam keheningan di ruangan itu. Angga sampai terkejut mendengarnya. Keponakannya baru saja menirunya mengucapkan terima kasih."Keysa bilang terima kasih?" tanya Angga.Keysa menganggukkan sampai tertawa. Gani dan Juna kembali mengulang kata terima kasih. Benar saja, Keysa pun ikut mengulang ungkapan yang sama dengan bahasanya sambil bertepuk tangan."Sana kamu suapi Lea makan. Sekalian kamu juga makan. Biar Keysa sama ayah dulu," saran Gani mendekat meminta cucunya.Awalnya Keysa menolak. Namun, Gani buka
Sore hari, keluarga berkumpul bersama di ruang rawat inap Lea. Keysa tak mau lepas dari mamanya. Hanya saat dokter ingin memeriksa kondisi Lea saja, Keysa mau digendong oleh Angga. Mungkin karena takut melihat dokter paruh baya itu mendekati mamanya.Juna yang melihat Keysa mulai ketakutan, turut mengeluarkan stetoskopnya. Dengan usilnya, dokter yang satu itu memeriksa denyut jantung Angga sambil melaporkan hasilnya pada bayi cantik itu. Kemudian, turut memeriksa Keysa seperti Lea dan Angga."Keysa mau jadi dokter juga?" tanya sang kakek saat melihat cucunya memainkan tali stetoskop milik Juna.Keysa menoleh lalu menatap semua orang satu persatu. "Mau jadi dokter juga kayak Om Ganteng ini?" tanya Juna melucu sambil mengarahkan alat stetoskopnya ke perut Keysa lalu beralih ke kakinya."Keysa mau jadi dokter?" tanya Angga. Entah paham atau tidak, tapi kali ini Keysa mengangguk."Dia cuma nurut sama papanya," komentar Gani. Ia akui jika cucunya belum
Sepasang mata yang terasa berat itu perlahan mengerjap. Mencoba sebisa mungkin untuk melihat sekelilingnya. Samar ia melihat seseorang yang berada di sisinya.Siapa dia?Lea memejamkan matanya sejenak. Menunggu sesaat hingga indra pendengarannya bisa bekerja dengan baik. Terdengar suara tangisan lirih seorang pria yang menyebut namanya.Sesaat Lea bergeming dengan sudut mata yang basah. Menitikkan bulir bening kala mendengar pengakuan Angga. Pria itu takut ditinggalkan.Seterpuruk inikah suaminya? Apa kondisinya sulit untuk disembuhkan? Apakah dirinya tidak akan sembuh?Lea pernah merasakan kejamnya dunia. Ia menjadi yatim piatu, hidup terlantar dan dihianati orang-orang yang ia percayai. Pernah sekali ia berpikir untuk menabrakkan dirinya di jalanan. Akan tetapi, ia teringat Melati.Kalau bukan karena melihat Melati yang bernasib mirip seperti dirinya, mungkin sudah lama Lea menyerah dalam hidupnya. Lea ingat jika ia masih memiliki Melati yang peduli padanya.Saat ini, Lea bahkan sud
Senyum yang pudar dan kantung mata yang menebal. Sorot mata kosong dan keheningan yang tak kunjung pergi. Diamnya Angga membuat pria itu seperti mayat hidup. Suaranya hanya terdengar saat menenangkan Keysa.“Ga, lo cukuran dulu gih! Udah tiga hari loh ini. Keysa nanti malah takut lihat papanya sendiri. Jangan salahin gue kalau nanti dia lebih milih ikut gue ketimbang sama lo,” ungkap Juna.Angga hanya mengangguk seolah tak benar-benar menyimak ucapan sepupunya. Setelah membaringkan Keysa, Angga hendak ke ICU. Namun, kedatangan Melati menunda niatnya.Gadis bar-bar sahabat istrinya itu memaksanya makan siang lebih dulu. Melati mengancam akan melaporkan kelakuan Angga yang mulai tidak waras itu saat Lea sadar nanti.“Ya terserah Anda saja. Sekali saya bilang bakalan buka mulut sama Lea, tak ada yang bisa mencegah. Biar saja, Lea tahu. Anda pikir, saya mengatakan ini karena Lea akan memarahi Anda nantinya? Tidak, Tuan Anggara Yang Ter
Gani menoleh lalu menjitak kepala Seno. Ya ampun, Seno baru tahu kalau kebiasaan Angga itu adalah warisan sifat dari Presdir Tanufood ini. “Ampun, Om.”“Jangan berpikir yang tidak-tidak!”“Iya, maaf, Om. Terus, yang tadi om bilang itu maksudnya apa? Kehilangan lagi? Kehilangan apa, Mo?” desak Seno.Gani menghela napas panjang. “Lea keguguran. Angga sama sekali tidak tahu kalau Lea hamil. Dokter menduga Lea sendiri belum menyadari kalau ada janin yang tumbuh dalam rahimnya.”“Dia mungkin berpikir kalau perubahan kecil di tubuhnya karena efek program induksi laktasi yang Lea laku- humpp.” Seno membelalak menutup mulutnya sendiri.“Om sudah tahu kalau Lea melakukan prosedur itu. Om juga tahu kalau demi Keysa dia melakukannya. Padahal, ada resiko untuk tubuhnya sendiri dari keputusannya itu,” ucap Gani mengusap sudut matanya.Hari ini, kebahagiaan yang dirasakannya han
“Jadi Lea hamil? Hamil anak kami?” batin Angga yang matanya berkaca-kaca. Baru saja ia kehilangan calon anaknya.“Innalillahi ...,” lirih Angga yang merasakan dinding lorong itu perlahan menyempit. Menghimpit tubuhnya yang kini terasa remuk.Tatapan mereka kini beralih pada Angga. Pria itu tampak lebih syok sampai nyaris tidak bisa berdiri dengan tegak. “Kamu kenapa tidak bilang kalau Lea hamil?” tanya Ivanka.Angga menggeleng pelan sembari berkata, “Aku tidak tahu.”Sang dokter mengangguk lalu berkata, “Kemungkinan besar, Ibu Lea juga belum menyadari kehamilannya. Usia kandungannya memang masih muda, baru memasuki minggu keempat atau usia satu bulan. Umumnya wanita hamil belum merasakan gejalanya. Pendarahan yang dialaminya tadi, membuat janinnya kekurangan oksigen. Ditambah dengan efek racun yang menyebar di area lukanya.”Sejam kemudian, Lea sudah dipindahkan ke ICU. Di sampingnya, Angga duduk meggenggam tangan istrinya.Hal yang tengah dirasakan pria itu sekarang adalah terguncang