Share

Bab 4:  Kesepakatan Baru

Renata melangkah masuk ke ruang tamu dengan tatapan yang dingin, mencerminkan kekesalannya yang sulit ditutupi. Tanpa menyapa lebih dulu, ia langsung duduk di sofa dan memandang ibunya, Kartika, dengan ekspresi tanpa kompromi.

 "Ibu, aku perlu bertemu dengan Nyonya Ratih Wiratmadja. Tolong, buatkan aku janji untuk bertemu dengan beliau," ucap Renata dengan suara yang dingin, seolah membekukan udara di sekitarnya.

“Kau yakin? Kau ingin bertemu dengannya? Tapi ... untuk apa?” pekik Kartika yang kini justru dibuat bertanya-tanya oleh permintaan putrinya.

"Aku rasa itu bukan lagi urusan Ibu. Bukankah Ibu sudah menjualku pada wanita itu? Dan ‘ku rasa ... Ibu sudah tidak punya hak lagi untuk memiliki rasa penasaran tentang langkah apa yang akan kuambil.”

Plak!!!

Seketika tangan Kartika ringan melayangkan tamparannya pada wajah ayu putri sulungnya.

“Jaga ucapanmu, Re! Inikah yang kau ucapkan pada Ibu yang sudah mengajarimu bicara dulu? Ibu memang sudah salah karena membuatmu terjebak dalam pusaran masalah yang Ibu buat, tapi kau tetap tidak pantas mengucapkan kata-kata seperti itu!”

Renata menatap ibunya dengan tatapan dingin dan tegas, wajahnya tak mengalami perubahan yang signifikan. Meski tampak tegar di luar, tapi dalam benaknya, gelombang emosi menyusup tanpa bisa ditahan. Meski mendapatkan tamparan fisik dan teguran keras, ekspresi wajah Renata tetap terjaga, mencerminkan sifat dingin yang melekat pada dirinya.

Tidak ada kerlip mata yang mengindikasikan kesedihan atau kejutan, hanya kebisuan membisu yang menggantikan kata-kata yang terlontar. Renata memegang teguh prinsipnya untuk tidak memperlihatkan kelemahan di hadapan ibunya, terlebih saat dirinya dihujat. Meski tampaknya tak tergoyahkan, tapi dalam relung hati, rasa sakit dan ketidakadilan tumbuh tanpa kendali.

Renata dengan dingin dan mantap menjawab ibunya, "Lalu sekarang apa? Apa Ibu akan membatalkan kesepakatan Ibu dengan orang itu? Dengan apa Ibu akan menggantinya? Apa Ibu akan menukarnya dengan Anin? Bahkan aku yakin, sekalipun Ibu memberikan perusahaan warisan Nenek, orang itu tidak akan sudi menerimanya.”

Seperti pukulan telak. Kartika tidak dapat menyangkal perkataan Renata kali ini. Ia bahkan merasa heran dengan ucapan Renata yang seakan tahu persis apa yang diinginkan oleh Ratih.

“Sebaiknya Ibu segera membuat janji temu, sebelum aku berubah pikiran.”

Seolah tak berdaya, Kartika pun menuruti permintaan putrinya. Meski rasa penasaran memenuhi benaknya, tapi Kartika juga tidak mampu mendesak Renata untuk memberikan sebuah penjelasan.

Persis seperti yang diinginkan, di penghujung minggu, Renata mengunjungi rumah keluarga besar Wiratmadja, memilih pergi seorang diri tanpa kehadiran ibunya. Keputusan itu diambil untuk menghindari campur tangan yang bisa memperkeruh keadaan.

Tepat pukul 09:00 pagi, Renata tiba di depan pintu gerbang yang tinggi dan megah, terbuat dari besi tempa berkualitas tinggi yang dihiasi dengan ukiran artistik. Begitu pintu gerbang terbuka, terlihat jalan setapak bata merah yang melintasi taman hijau yang luas dan dihiasi dengan beragam bunga yang berwarna-warni. Rumah keluarga Wiratmadja menjulang kokoh di tengah-tengah taman, dengan arsitektur bergaya klasik yang memancarkan kemewahan. Kolam air mancur yang besar dan beberapa patung marmer indah turut menyempurnakan tata letak yang elegan. Bagian fasad rumah yang terlihat adalah balairung besar dengan jendela-jendela kaca besar yang memperlihatkan interior yang begitu mewah. Semuanya menciptakan suasana istana yang memukau di tengah kawasan perumahan elit.

Renata melangkah dengan langkah pasti, mengenakan gaun formal berwarna navy yang memancarkan kesan elegan. Gaun tersebut dipadu dengan sepatu hak tinggi berwarna senada yang memberikan sentuhan kesempurnaan pada penampilannya. Rambutnya dipotong bob dan ditata dengan rapi, memberikan kesan modis dan profesional. Dengan langkahnya yang anggun, Renata menuju rumah utama keluarga Wiratmadja. Pintu besar rumah terbuka serentak begitu ia tiba, mengungkapkan interior yang megah di dalamnya.

Saat masuk, Renata disambut oleh Ratih yang berdiri anggun di samping ayah mertuanya yang duduk di kursi roda. Keduanya menyambut kedatangan Renata dengan senyuman hangat, seolah telah lama menanti kehadirannya. Sorot mata Ratih memperlihatkan rasa antusias dan harapan, sementara ayah mertuanya menatap Renata dengan penuh kehangatan. Suasana menyambut ini menciptakan aura keakraban yang terasa di udara, seakan mereka telah menjalin hubungan jauh sebelum pertemuan ini.

Setelah cukup berbasa-basi, kini tiba saatnya bagi Ratih untuk mengajak Renata pergi ke halaman belakang. Di mana terhampar keindahan sebuah gazebo bergaya Eropa kuno. Suasana mewah dan klasik begitu mencolok dari desainnya yang anggun. Di bawah gazebo, terdapat satu set meja-kursi yang tampak elegan, memberikan kesan romantis dan eksklusif. Pemandangan yang menakjubkan dari danau buatan melengkapi keindahan tempat ini, memberikan kesejukan dan ketenangan bagi siapa pun yang duduk di bawahnya. Di tempat ini pula percakapan empat mata yang serius dimulai.

"Aku yakin, kau pasti sudah tahu bahwa aku dan ibumu membuat kesepakatan. Apa kau ke sini untuk memberi jawaban?"

"Sebelumnya, saya ingin mengucapkan terima kasih atas kemurahan hati Anda, yang sudah bersedia membantu Ibu saya keluar dari masalahnya tanpa terendus oleh media. Tapi ada satu hal yang membuat saya merasa tidak seimbang dari kesepakatan yang Anda dan ibu saya buat," ucap Renata dengan suara yang mantap, mencoba menuturkan keraguan yang mengganjal di hatinya.

"Oh, ya? Apa itu?" tanya Ratih dengan senyum ramah, sambil menyesap tehnya dengan penuh ketertarikan.

Renata menatap tajam ke arah Ratih, tatapan matanya penuh ketegasan.

"Saya yakin Anda tahu persis rumor yang beredar di kalangan kelas atas mengenai kehidupan asmara putra Anda, dan saya tahu persis akan kualitas diri saya. Itu terbukti dari betapa Anda menginginkan saya menjadi menantu Anda. Nyonya, bisnis adalah bisnis. Saya akan mengesampingkan perasaan saya, tapi menikahi putra Anda dengan reputasinya yang cukup hancur, bukankah sama saja saya menceburkan diri dalam kubangan api? Potensi yang saya miliki terlalu berharga untuk membusuk dengan kemungkinan-kemungkinan buruk seperti kematian karena penyakit HIV. Jadi ... saya ingin mengubah kesepakatan Anda dengan Ibu saya," ucap Renata dengan mantap, suaranya gemuruh di bawah gazebo yang teduh.

Ratih mendengus, tersenyum sinis mendengar ucapan sombong Renata. "Tidakkah kau menilai dirimu terlalu tinggi, Nak?" ucap Ratih dengan nada merendahkan. "Kalau begitu, maka silakan penjarakan ibu saya, dan ambil seluruh harta yang keluarga saya punya sebagai ganti rugi atas ketidakberdayaan ibu saya menepati janjinya."

Keberanian Renata tersebut justru membuat Ratih semakin tertarik. Dia tahu persis bahwa dia membutuhkan sosok seperti Renata untuk putranya yang terkenal tak bermoral. Renata bukan hanya sekadar menantu yang bisa memberi citra positif pada keluarga Wiratmadja, tetapi juga seorang wanita yang tidak gentar berbicara dengan tegas dan membela prinsipnya. Kemauannya untuk menantang kesepakatan yang sudah ada menunjukkan bahwa dia bukanlah orang yang mudah ditaklukkan.

Ratih yang tadi terlihat seperti akan marah justru tiba-tiba tertawa dengan nada sinis, membuat Renata semakin bingung. "Ya... Ya... baiklah, mari kita buat kesepakatannya," ucap Ratih tiba-tiba, membuat Renata terkejut karena tak menduga bahwa Ratih akan semudah itu mengalah.

Ragu-Ragu, Renata memulai tanpa basa-basi, “Saya bersedia menikahi putra Anda dengan syarat tambahan, yakni ... Anda harus membantu saya untuk menduduki kursi presiden direktur di perusahaan JSN GROUP.”

“Hanya itu?”

Pertanyaan Ratih yang dibarengi dengan seringai meremehkan itu membuat Renata mengerutkan alisnya.

“I ... ya. Hanya itu,” jawab Renata ragu.

Tanpa diduga, Ratih langsung menyetujui permintaan Renata. Namun. Di akhir percakapan itu Ratih mengajukan pertanyaan yang jelas tak dapat ditolak oleh Renata.

“Apa kau bersedia untuk pergi ke rumah sakit denganku? Aku perlu memastikan bahwa wanita yang akan menjadi menantu keluarga Wiratmadja memiliki rahim yang sehat. Bukankah begitu cara berbisnis, Nak?” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status