Share

Bab 5: Pertempuran Emosional di Kediaman Wiratmadja

Renata mendengkus seraya menyunggingkan senyum mencemooh.

“Satu sisi Anda memandang saya cukup berkualitas untuk putra Anda, tapi di sisi lain Anda juga meragukan saya. Apakah itu wajar? Apakah itu adil? Padahal reputasi putra Andalah yang terkenal dengan kebobrokannya. Ups! Maaf, saya terlalu jujur. Tidakkah sebaiknya Anda juga memeriksa kesehatan putra Anda, Nyonya Wiratmadja? Saya tidak mau menjadi kambing hitam sendirian jika nanti kualitas keturunan Wiratmadja menjadi produk gagal.”

“Bersikap kurang ajar juga ada batasnya! Sebagai salah satu cucu ningrat berdarah jawa, tidakkah kau merasa bahwa ucapanmu kali ini kelewat kurang ajar, Nak?”

Wajah Ratih yang sebelumnya memancarkan kesantunan dan keanggunan, kini mendadak tersapu oleh warna merah padam. Sorot matanya menusuk tajam, mencerminkan amarah yang sulit ditepiskan. Bibir yang tadinya tersenyum lembut kini menyusut menjadi garis yang ketat.

“Kenapa? Apa Anda merasa tersinggung, Nyonya? Dalam bisnis, saya harus membangun pondasi yang kuat, serta harus bisa mengambil langkah untuk mengantisipasi kejadian tak diinginkan di masa depan, bukan?”

“Kau ...?!”

Tangan Ratih yang sebelumnya tenang di atas meja, kini mengepal gemetar di bawahnya. Namun, ia berusaha menyembunyikannya agar tidak terlalu mencolok. Meski menggertak, Ratih memilih untuk menahan diri pada saat itu dan memutuskan untuk tidak menanggapi lebih lanjut. Dengan bijaksana, ia memilih untuk mengalah di permukaan, tetapi ketidakpuasan dan niat balas dendam mulai berkobar di dalam dirinya.

Alih-Alih memberikan respons lebih lanjut terhadap ucapan tajam Renata, Ratih langsung memanggil pelayannya dan memberikan perintah , "Hubungi Elang! Katakan padanya untuk segera pulang. Katakan juga padanya bahwa urusan ini sangat mendesak!”

Sesaat setelah sang pelayan pergi untuk melaksanakan perintahnya, Ratih pun beranjak dari tempat duduknya dan melangkah mendekati Renata yang masih terdiam setelah pertarungan kata-kata tadi. Tatapannya menusuk tajam, mencoba meruntuhkan segala kepercayaan diri yang dimiliki Renata.

Dengan senyum dan nada merendahkan Ratih berkata, "Renata, kamu mungkin berpikir bahwa kamu bisa berkeliaran di dunia ini tanpa batas, tapi ingatlah, ada harga yang harus dibayar setiap kali mulutmu terlalu lancang. Bisnis ini bukanlah tempat untuk anak kecil yang merasa bisa mengatur segalanya dengan kata-kata kasar. Aku mungkin memilih untuk tidak menyemprotkan racunmu kembali hari ini, tapi bukan berarti aku tak memiliki bisa mematikan untuk masa depanmu."

Meskipun tampak tegar, tapi Renata merasakan jantungnya berdegup tak beraturan. Rasa cemas dan sesal mulai merayap di benaknya, membuat wajahnya memucat. Renata hanya diam mematung, mencoba merapikan pikirannya yang kacau akibat uacpan tajam Ratih yang mengintimidasinya.

Sementara itu, Ratih yang sadar akan reaksi yang ditunjukkan Renata pun memutuskan untuk mengubah sikapnya. Dia mendekati Renata dengan perubahan sikap yang cukup drastis. Wajahnya yang keras nan mengancam, dalam sekejap berbalik menjadi wajah ramah dan tersenyum.

“Sambil menunggu Elang pulang, bagaimana kalau kau ikut makan siang bersama kami? Ya ... anggap saja ini salah satu tahap agar kau lebih akrab dengan keluarga Wiratmadja.”

Ratih melangkah seraya meninggalkan isyarat ajakan dengan menggerakkan kepalanya. Tatapannya pada Renata seakan sedang menantang Renata apakah ia akan mampu beradaptasi atau tidak. ‘Gayung bersambut, kata terjawab’. Peribahasa yang cocok untuk Renata yang melangkah mantap seakan mengerti arti tatapan Ratih yang ditujukan padanya tadi.

Sayangnya, saat Renata sudah dekat dengan ruangan yang dituju, tiba-tiba kakinya terasa berat. Hati Renata kembali dipenuhi oleh campuran cemas dan rasa sesal. Sementara itu, di balik punggungnya Ratih menyunggingkan senyum penuh kemenangan dari Renata. Bahkan saat Ratih sudah mengambil posisi untuk duduk pun masih sempat melemparkan tatapan tajam memberikan pesan tersirat pada Renata.

“Ah ... sial. Ancaman wanita itu terus mengusik dan mempengaruhiku, sampai aku masih merasa terintimidasi meskipun para tuan Wiratmadja ini sudah begitu ramah menyambutku,” batin Renata yang menyembunyikan kerisauannya di balik senyuman manis dan sikap kalemnya itu.

Seolah tak mau kalah, Renata terus berusaha menahan tekanan batinnya. Dia menatap lurus ke depan, bahkan tetap menjaga postur tubuhnya agar tetap tegap demi menunjukkan kepercayaan dirinya. Lalu selanjutnya, Renata juga berbicara dengan bahasa yang sopan dan penuh hormat, menyampaikan ucapan terima kasih pada keluarga Wiratmadja atas undangan mereka.

Namun, saat Renata mencoba menjaga percakapan agar tetap netral, menghindari topik-topik yang dapat memicu ketegangan atau kontroversi, Ratih justru memulainya dengan sengaja bertanya, “Nak Renata, boleh aku bertanya tentang sosok Elang di matamu? Aku khawatir jika kedepannya kau akan menyesal karena telah memutuskan untuk setuju menikahi putra kami.”

Renata memandang Ratih dengan tatapan yang tetap tenang, meskipun di dalam hatinya ada kekesalan yang sulit dihindari.

Dengan senyum yang bersahaja, Renata kemudian menjawab pertanyaan Ratih, "Nyonya, saya menghargai kekhawatiran dan pertanyaan Nyonya. Saya yakin setiap orang punya sisi yang belum kita ketahui sepenuhnya. Elang dan saya masih dalam proses saling mengenal, dan saya berusaha membuka diri untuk memahami lebih dalam tentang kepribadiannya."

Renata sengaja menggunakan kata-kata yang diplomatis dan tidak menyinggung. Ia ingin menjaga kesan bahwa ia adalah orang yang terbuka untuk memberikan kesempatan pada Elang untuk memperlihatkan dirinya seutuhnya. Meskipun pada saat yang sama, kekesalan dan kebingungan Renata terlihat samar di balik senyuman yang ia pertahankan.

Ratih, yang memperhatikan ekspresi Renata dengan tajam, merespon, "Baik, Nak. Saya hanya ingin memastikan bahwa keputusanmu ini adalah sesuatu yang tidak akan mengecewakanmu kelak.

Terlebih lagi rumor buruk tentang Elang yang santer beredar di kalangan bisnis. Aku yakin kau pun pasti sudah sering mendengarnya. Menurutmu bagaimana? Apakah itu hanya rumor atau ... kebenaran?"

Renata menunduk sambil menyembunyikan senyum kesalnya di balik kegiatan kecil mengelap bibir mungilnya.

“Wanita ini sepertinya benar-benar tidak akan melepaskanku. Baiklah. Tidak ada gunanya lagi terus menghindar dengan permainan kata,” batin Renata sebelum akhirnya menjawab jujur. Ia meletakkan lapnya. Kemudian menunjukkan kepercayaan dirinya yang kian meningkat, tergambar jelas dari tatapan matanya, dan ekspresi wajahnya yang tenang.

“Sebagai wanita normal, dan manusia seperti pada umumnya, saya tentu berusaha untuk tidak termakan rumor itu. Hanya saja ... sulit untuk tidak percaya pada dengan mata kepala saya sendiri. Yah ... setiap orang bisa berubah. Bukankah mantan pendosa masih lebih baik ketimbang mantan orang baik?”

Seketika seseorang yang sejak tadi menyimak percakapan menegangkan antara Ratih dan Renata tiba-tiba masuk sembari tepuk tangan dan berkata, “Bravo ... bravo ...! Sungguh jawaban yang cerdas. Harus aku akui bahwa ucapan Anda tadi menjadi cerminan bahwa Anda memiliki jiwa yang besar, Nona. Tapi ... sayang sekali, meskipun kau memiliki otak cerdas, dan jiwa yang besar, kau bukanlah tipeku jadi ....”

Tiba-Tiba Andi Surya Wiratmadja, ayah elang memukul kepala Elang sambil berseru, “Jaga mulutmu! Kau tidak punya hak untuk bersikap sombong, apa lagi di hadapan kakekmu!” Andi, ayah Elang tersebut langsung minta maaf pada ayahnya atas sikap putranya yang kelewat lancang, lalu menegaskan kembali pada Elang, “Semua keputusan ada di tangan kakekmu. Sebaiknya kau menurut saja jika masih ingin menjadi anggota keluarga Wiratmadja.”

Namun, alih-alih menanggapi keributan kecil antara putra dan cucunya tersebut, Darmokusumo justru meminta Renata untuk mengabaikan keributan kecil itu. Tidak hanya itu, beliau juga meminta maaf pada Renata atas sikap menantunya yang membuat Renata terpojok dengan pertanyaannya tadi.

Jelas Renata merasa heran atas sikap tetua keluarga Wiaratmadja tersebut. Namun hal yang paling mengejutkan adalah ketika Darmokusumo berkata, “Melihatmu secara langsung di hadapanku. Membuatku merasa seperti sedang berbincang dengan Marwati muda.”

“Maaf. Maksud Anda?”

Renata merasa seperti diterjang gelombang kejutan dan duka saat mendengar Darmokusumo menyebut nama tengah neneknya. Tangan yang memegang garpu bergetar, dan matanya seketika terasa terisi oleh kesedihan yang tiba-tiba muncul. Nama neneknya membawa kisah masa lalu yang penuh makna, dan mendengar Darmokusumo menyatakan keterkaitannya dengannya membuat Renata tersentak.

Dalam kedalaman matanya, Renata mencoba membaca ekspresi Darmokusumo yang tampak sangat akrab dengan neneknya. Terdapat pancaran emosi yang mendalam dari tatapan pria tua itu, dan Renata merasa ada kisah-kisah terpendam antara nenekanya dengan tetua wiratmadja tersebut.

" ... Lalu, bagaimana kabar ibumu, Nak? Apa dia sehat?" tanya Darmokusumo, menciptakan keheningan sejenak. Renata merenung sebentar sebelum menjawab, mencoba menenangkan diri agar tidak terbawa arus emosi masa lalu yang terasa begitu menghantam hatinya.

"Iya, Ibu baik-baik saja." Nyatanya kali ini Renata tidak mampu menguasai dirinya. Meskipun kerapatan emosi terasa di kata-katanya, dan getaran lembut dalam suaranya menggambarkan betapa ia terguncang, Renata berusaha menyembunyikan kelemahan di balik senyum tipisnya.

Namun, saat ia menyampaikan permintaan maafnya terkait tes kesehatan, Renata kembali menunjukkan kepribadiannya yang tegas. "Maaf, sepertinya saya tidak bisa melakukan tes kesehatan untuk hari ini. Saya izin pamit karena ada hal penting yang harus saya selesaikan," ucapnya dengan sikap yang tegar, mencerminkan bahwa meski terguncang, Renata tidak akan membiarkan dirinya sepenuhnya terhempas oleh situasi ini. Dengan anggun, ia meninggalkan ruangan.

Darmokusumo menyadari dampak ucapannya pada Renata. Dengan kelembutan, ia memutuskan untuk melongok ke dalam hati cucunya, Elang, "Elang, tolong antar Renata pulang. Kau tahu, kondisinya mungkin tidak baik-baik saja setelah pembicaraan tadi. Aku tidak ingin dia mengemudi sendiri dalam keadaan seperti ini."

Elang merasa terjebak di antara permintaan kakeknya dan kenyataan bahwa ia harus menghadapi Renata dalam kondisi yang mungkin tidak nyaman. Meski terpaksa, Elang mengangguk dan menjawab, "Baik, Kakek. Saya akan mengantar Renata."

Elang melangkah cepat, mengejar langkah Renata yang hendak membuka pintu mobil. Dengan tegas, ia menahan langkah Renata dan berkata, "Hei, tunggu sebentar. Aku akan mengantarmu pulang."

Renata menatap Elang dengan kebingungan. "Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri," tolaknya dengan tegas.

Elang tersenyum, mencoba membujuk. "Tapi kita bisa sekaligus membahas rencana pernikahan kita, bukan? Kita butuh membicarakannya."

Renata menggeleng pelan. "Aku benar-benar tidak dalam kondisi untuk membicarakan itu sekarang."

Namun, Elang tidak menyerah. Dengan sigap ia menerobos masuk ke dalam mobil dan langsung duduk di kursi kemudi sambil berkata, “Mau pulang atau terus berdiri di sana, itu terserah kamu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status