공유

Bab 3: Rencana Perjodohan

Pukul 22:00, Renata yang baru selesai memeriksa semua dokumen bergegas meninggalkan ruang kerjanya menuju kantor KPK. Dalam hati, dia tahu persis bahwa bukti-bukti yang pamannya berikan tadi akan menjadi senjata ampuh untuk memastikan Kartika tidak akan mudah lepas dari bayang-bayang vonis hukuman bersalah. Namun, saat dia hendak menaiki mobilnya di halaman kantor, tiba-tiba ponselnya berdering, memotong langkahnya.

"Ibu? Kuharap ini bukan kabar buruk," gumam Renata penuh harap sebelum menjawab panggilan tersebut.

"Ini sudah larut malam, kenapa kau masih belum pulang? Apa kau masih di kantor?" suara lembut Kartika terdengar di seberang sambungan telepon. Pertanyaan ibunya membuat kening Renata mengkerut. Pertanyaan yang seharusnya menunjukkan rasa panik, tapi terdengar seperti rutinitas harian yang biasa, seolah tak pernah ada masalah besar. Kekhawatiran yang dipertontonkan dengan begitu wajar jelas membuat Renata merasa heran.

"Apa Ibu sudah ada di rumah?" tanya Renata, mencoba mencari kejanggalan dalam percakapan tersebut.

"Iya! Cepat pulang, sebelum makan malam yang sudah Ibu siapkan menjadi dingin begitu saja." Jawaban Kartika terdengar cepat, tanpa memberi kesempatan pada Renata untuk bertanya lebih lanjut. Dengan nada yang tidak menunjukkan kecemasan, Kartika langsung memutus sambungan teleponnya.

Renata memandang layar ponselnya penuh keraguan. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres yang sedang disembunyikan oleh ibunya. Bayang-Bayang tentang hal terburuk yang mungkin saja terjadi mulai menghantuinya.

Sesampainya di rumah, kecurigaan Renata semakin menguat saat sang ibu menyambut kedatangannya dengan tingkat keramahan yang luar biasa. Hangatnya sambutan ini jauh melampaui apa yang pernah dia lihat dari ibunya selama ini. Bahkan saat kembalinya Renata dari Philadelphia beberapa waktu lalu, ibunya tidak menyambutnya sehangat ini.

"Apa Adit dan Anin sudah tidur?" tanya Renata dengan penuh waspada sebelum menanyakan yang sebenarnya ada di pikirannya.

Kartika mengangguk, tersenyum hangat, bahkan berinisiatif mengambil alih tas yang Renata bawa. "Apa Ibu baik-baik saja? Kenapa sikap Ibu tidak seperti biasanya? Apa terjadi sesuatu saat Ibu diperiksa oleh KPK tadi? Apa akhirnya kasus Ibu akan diajukan ke pengadilan, dan ....”

"Apa yang kau bicarakan!" potong Kartika dengan keras, menepis dugaan buruk Renata yang tercermin dari rentetan pertanyaannya itu. "Ibu tidak punya alasan apa pun untuk pergi ke pengadilan atau penjara! Jadi berhenti bicara omong kosong, dan segera bersihkan dirimu, lalu isi energimu."

Renata pun menuruti ibunya dan pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri.

Namun, sesaat kemudian, setelah Renata selesai membersihkan diri dan datang ke ruang makan, ia kembali dibuat heran dan bertanya-tanya dengan keberadaan Kartika di sana, yang seakan menunggu Renata.

"Apa yang membuat Ibu masih di sini? Kenapa masih belum tidur?" tanya Renata dengan nada bingung.

Alih-alih menjawab, Kartika justru mengambil piring dan sendok Renata. Piring itu sudah penuh dengan makanan yang akan Renata santap.

"Tentu saja, mencurahkan kasih sayang Ibu pada putri kebanggaan Ibu," ungkapnya sambil tersenyum dan mencoba menyuapi Renata.

Sayangnya, Renata menepis tangan sang ibu dengan lembut dan menghela napas. "Semua ini aneh, Bu. Jika ternyata masalahnya seberat itu, katakan saja. Berhenti membuat Renata bingung dengan sikap Ibu."

Kartika menunduk pasrah. "Seperti biasa, kau selalu bisa membaca situasi.” Renata menatap ibunya yang kembali diam. Sampai akhirnya dengan ragu-ragu sang ibu kembali bertanya, “Mmm ... Renata, apa kau sudah punya pacar?"

Renata yang sejak awal mengira bahwa perubahan sikap ibunya tersebut karena masalah kantor, dan KPK, masih merasa dibasahi oleh basa-basi pertanyaan ibunya yang terdengar random tersebut.

"Berhentilah berputar-putar, Bu. Kenapa Ibu justru menanyakan pertanyaan bodoh yang Ibu sudah tahu sendiri jawabannya? Renata tidak punya waktu untuk hubungan tidak penting seperti itu. Bagaimana bisa Ibu membahas hal seperti itu, padahal Ibu baru diinterogasi oleh KPK?"

“Ah, kau benar. Lalu ... jika pacaran itu tidak penting, itu berarti ... kau mau langsung menikah? Seperti dalam cerita romantis dalam film religi?"

Renata mulai merasa kesal. Sampai-Sampai ia meletakkan secara kasar sendok dan garpu di tangannya. Membuat suara nyaring dari benturan antara piring dan sendok-garpunya.

"Ada apa dengan Ibu? Apa Ibu berencana menjual Renata pada seorang konglomerat dengan dalih pernikahan?!" pekik Renata. Meskipun ucapannya terdengar asal, ia berhasil membuat Kartika terperangkap, merasa tertangkap basah dengan niat yang dia sembunyikan.

 Menyaksikan bagaimana Kartika terdiam dan tidak menyangkal, membuat Renata merasa heran, hingga pikiran Renata menjadi liar, dipenuhi oleh prasangka buruk.

"Kenapa Ibu tiba-tiba diam? Apa ucapan asal Renata tadi itu ...?" Renata menggertakkan kata-kata, mencoba memahami situasi. Kartika mengangguk dengan tanda ketidakberdayaan. Kali ini, cucuran air mata Kartika jebol tak terbendung. Sementara kekecewaan Renata tak bisa lagi ditahan.

"Bagaimana Ibu bisa setega itu? Ibu menyembunyikan semua masalah, seakan-akan semuanya beres. Tapi ... tapi sekarang apa? Ibu menjual aku? Putri kandung Ibu sendiri? Konglomerat mana, Bu?" desis Renata dengan suara penuh amarah.

"Wiratmadja. Ibu terpaksa menjodohkanmu dengan putra ke-dua keluarga Wiratmadja," akhirnya Kartika bicara, suaranya rapuh.

Renata semakin murka mendapati kenyataan bahwa dia telah akan dijodohkan dengan pria yang terkenal memiliki gaya hidup yang buruk di kalangan atas.

"Apa Ibu tahu pria seperti apa dia? Reputasinya sangat buruk di kalangan bisnis. Apa Ibu tidak masalah jika nanti aku mati karena tertular penyakit mengerikan karena pria itu suka bermain dengan wanita? Apa itu tidak masalah bagi Ibu!" teriak Renata, membuat kedua adiknya terbangun dari tidurnya. Wajah mereka pucat, mencerminkan ketakutan akan situasi yang sedang terjadi.

"Semua orang bisa berubah, Re. Ibu tidak punya pilihan lain. Tolong mengertilah ... perusahaan itu adalah nyawa bagi keluarga kita, dan Ibu tidak mau reputasi perusahaan kita hancur begitu saja."

Kartika memelas, tangisnya mengiringi kata-katanya. "Tapi itu ...." Ucapan Renata terhenti ketika melihat adik-adiknya berdiri di tangga, menyaksikan pertengkaran itu. Aditya, putra kedua Kartika yang masih duduk di bangku SMA, tampak geram menyaksikan pertengkaran tersebut. Sementara itu, Anindya yang masih SMP justru gemetaran, mencoba menahan tangis dan rasa takutnya.

"Kalau Mbak Nata tidak mau menolong Ibu, setidaknya jangan membuat Ibu berlutut di kaki Mbak Nata! Dia adalah ibu kita, Mbak!" seru Aditya, hanya mendengar sebagian kejadian tersebut.

Renata mendengkus kesal. Dia tersenyum, tetapi senyumannya penuh getir. Tanpa sepatah kata pun, dia meninggalkan ruang makan. Berjalan melewati ke-dua adiknya dengan ekspresi dingin dan sorot mata tajam yang menyiratkan amarah.

Seakan badai cobaan enggan berhenti mengguncang hidup Renata. Paginya, saat ia baru saja sampai di kantor, tiba-tiba mendapat sebuah panggilan untuk pertemuan darurat dengan para dewan direksi. Meskipun masalah dengan Kartika kemarin telah diselesaikan dengan ketat di belakang pintu, nyatanya peristiwa itu tidak akan luput dari perhatian tajam para anggota dewan direksi. Dalam rapat darurat yang dipimpin oleh Bapak Surya, seorang ketua dewan direksi yang berwibawa, suasananya tegang dan penuh dengan ketidakpastian.

"Dalam situasi seperti ini, kepercayaan publik dan kestabilan perusahaan harus diutamakan," ujar Bapak Surya dengan suara yang tegas. "Pemecatan Kartika adalah satu-satunya jalan yang benar. Namun, pertanyaannya sekarang adalah siapa yang akan menggantikannya?"

Suasana mulai gaduh. Para anggota dewan direksi saling bertanya satu sama lain mengenai siapa yang layak menjadi Presdir.

“Sebagai cucu pendiri sekaligus pemilik perusahaan ini, saya rasa ... Nona Renata lebih layak menempati kursi kosong Presdir. Terlebih lagi, Nona Renata adalah pewaris utama yang ditunjuk langsung oleh mendiang Nyonya Siti Marwati Kusuma.”

Usulan salah satu anggota dewan direksi tersebut langsung mendapat anggukan dari anggota dewan direksi lainnya, yang artinya mereka sependapat dengan usulan tersebut. Namun, tiba-tiba salah seorang anggota dewan direksi yang lain berdiri dan menyanggah usulan tersebut.

“Saya tidak sependapat dengan Anda. Memang benar, Nona Renata adalah pewaris utama perusahaan ini. Tapi, saya meragukan pengalaman Nona Renata. Mengingat bahwa Nona Renata baru saja menyelesaikan studinya yang meskipun menjadi lulusan terbaik, tapi pengalaman Nona Renata dalam dunia bisnis masih sangat baru, bahkan jauh dari kata mumpuni.”

Di tengah suasana rapat yang tiba-tiba menjadi tegang, Renata dengan tenang berdiri. Dia merasa perlu untuk menyampaikan pandangan pribadinya.

"Dewan direksi yang terhormat, terima kasih atas waktunya. Saya memahami bahwa penolakan terhadap diri saya adalah hal yang wajar, mengingat pengalaman dan masa kerja saya yang terbatas di perusahaan ini. Ini adalah tugas berat yang harus dijalankan oleh seseorang yang benar-benar memahami perusahaan ini, serta memiliki pengalaman yang memadai."

Renata melanjutkan, "Namun, saya juga ingin menekankan bahwa kami semua di sini memiliki tujuan yang sama, yaitu keberhasilan perusahaan ini. Tidak hanya tentang siapa yang menjabat sebagai Presdir, tetapi tentang bagaimana kita bersama-sama mendorong perusahaan ini menuju masa depan yang lebih baik."

Kemudian, Renata dengan tegas menunjuk pamannya, Dharma. "Saya yakin Bapak Dharma adalah salah satu individu yang memiliki pengalaman yang luar biasa dalam bisnis ini. Sebagai anggota keluarga dan sosok yang telah lama berkontribusi pada perusahaan ini, saya yakin Bapak Dharma dapat membawa perusahaan ini ke arah yang benar."

Saat kata-kata Renata selesai, terdengar tepuk tangan pelan dari beberapa anggota dewan direksi yang setuju dengan saran Renata. Renata melanjutkan, "Oleh karena itu, saya ingin mengusulkan agar Bapak Dharma mengambil alih jabatan Presdir sementara. Saya akan terus belajar dan berkontribusi sebaik mungkin di posisi saya saat ini, dan saya yakin masa depan perusahaan ini akan cerah di bawah kepemimpinan Bapak Dharma."

Pengusulan Renata tersebut disambut dengan hangat oleh sebagian besar anggota dewan direksi, yang melihatnya sebagai langkah yang bijak dan penuh kebijaksanaan. Dharma, sementara itu, terkejut oleh tindakan Renata yang tak terduga ini. Dia merasa sedang bersaing dengan anak kecil, tapi kejadian tak terduga ini justru membuatnya berpikir bahwa Renata memang terlalu lugu dalam bisnis.

Tentu saja, Renata tahu persis niat pamannya. Dia mengambil langkah ini dengan penuh kesadaran, ingin membuktikan bahwa dia adalah seorang pemimpin yang dapat menempatkan kepentingan perusahaan di atas segalanya. Dengan demikian, dia tidak hanya menghindari pertentangan di dalam keluarga, tetapi juga memastikan bahwa perusahaan tetap berada di jalur yang benar, dan tentunya membuat pandangan orang-orang yang meyakini istilah ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya’ salah besar. Sebab Renata sama sekali tidak mirip ibunya.

Rapat telah berakhir dengan kemenangan Dharma yang akhirnya menduduki kursi Presiden Direktur. Namun, saat ini Renata mulai bingung dengan langkah yang harus dia ambil selanjutnya.

“Hah ... sekarang aku harus bagaimana? Terlalu lama jika aku harus merangkak dari bawah untuk mengambil alih perusahaan ini. Dan selama itu ... pasti Paman akan membuat perusahaan ini bangkrut. Aku butuh koneksi yang lebih kuat.”

Di tengah kebingungannya tersebut, Renata kembali teringat dengan keributan semalam. Pertengkarannya dengan sang ibu mengenai perjodohannya dengan putra ke-dua keluarga Wiratmdja. “Apa sebaiknya aku menerima perjodohan itu?” pikir Renata yang mulai mempertimbangkan permintaan ibunya.

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status