Mata sembab itu milik Raya, menengadahkan wajah cantiknya kelangit-langit kamar, dia sedikit tenang setelah menumpahkan kemarahannya kepada Fajar. Dia tidak pernah bahagia dengan hidupnya, terkurung bagaikan tawanan dan tidak boleh kemana -mana.
Dari dulu dia tidak pernah pergi tanpa pengawal ayahnya. Ke sekolah, ke Mall, dan kemanapun dia diikuti oleh dua pria berbadan kekar dan berotot kuat yang tak lain adalah anak buah ayahnya. Raya tidak memiliki kesempatan untuk bergaul dengan siapa yang diinginkannya, dia dijauhi dan tidak ada yang mau berteman dengannya. Hanya kepada Marsel dia bisa membuka diri walaupun sedikit, Raya ditaklukkan dengan bujuk rayu dan mulut manis pria itu sehingga dia menerima Marsel sebagai kekasihnya.
Malam itu puncaknya ketika perayaan ulang tahun alumni kampusnya. Dia berhasil memanipulasi ayahnya agar pengawalan tidak dilakukan lagi karena hanya orang dalam yang merupakan alumni kampusnya yang diperbolehkan masuk.
Untuk yang pertama kalinya ayahnya mengabulkan keinginannya, namun untuk pertama kalinya juga Raya menyesal dengan tak adanya pengawal disekitarnya. Malam terkutuk itu masih terbayang-bayang di matanya, dia masih ingat senyum sumringah Fajar saat menerima beberapa lembar uang dari Marsel saat laki-laki itu selesai memperkosanya.
Raya tidak tau apa yang akan dilakukannya dimasa depan, dia tidak memiliki semangat hidup sama sekali. Tak ada lagi yang tersisa darinya saat ini, Fajar suami penutup malunya adalah laki-laki dingin yang tidak punya belas kasih.
Lamunan Raya terganggu saat Fajar berusaha membongkar kunci pintu dengan sebuah logam yang dirangkainya dari tadi. Sekarang sudah jam satu malam, laki-laki itu dari tadi siang tidak berhenti berusaha melarikan diri, dimulai dengan pura-pura sakit perut dan tidak di acuhkan penjaga sampai pura -pura kesurupan dan tetap tidak diacuhkan penjaga.
Fajar menendang pintu kamar Raya dengan kesal saat usahanya sama sekali tidak berhasil. Raya bangun, wajah pucatnya terlihat lebih segar dari pertama Fajar melihatnya saat dilempar ke kamar wanita itu.
"Aku akan membantumu kabur."
Raya mencoba membuat kesepakatan. Fajar memandangnya malas.
"Kau sedang mengigau? bagaimana mungkin kau bisa membantuku kabur."
"Ini rumahku, aku yang tau seluk beluk rumah ini."
"Apa kau bisa kupercaya? membiarkan aku kabur berarti kau siap kehilangan suami." Fajar terkekeh mengatakan kata suami, jelas saja dengan nada mengejek.
"Jangan kau kira aku sudi menerimamu sebagai suamiku, aku lebih memilih menikah dengan kambing dari pada dirimu."
Fajar semakin tertawa dengan perumpamaan Raya, memang wanita yang bermulut tajam.
"Dan aku lebih memilih menikahi domba hamil dari pada menikah denganmu," balas Fajar tidak kalah pedas.
"Terserah kau, aku akan kabur sendiri tanpa mengajakmu." Raya mengikat rambutnya, Fajar sedikit tertarik, benarkah wanita itu bisa membantunya kabur?
"Kau serius dengan ucapanmu?"
"Serius dengan satu syarat." Raya menantang mata Fajar.
"Kau mulai bertingkah ya!"
"Ajak aku kemana kau pergi, karena aku tidak memiliki keberanian hidup sendiri di luar sana."
"Apa?Hua ha ha ha." Fajar memegangi perutnya. Gadis di depannya sungguh lucu, kabur bersama seakan-akan melarikan diri karena hubungan mereka tidak direstui.
"Apanya yang lucu?" Raya kelihatan tersinggung.
"Aku menyetujui untuk kabur bersama, tapi tidak setuju jika harus membawamu kemana aku pergi, hei! jangan menghayati pernikahan ini, karena pernikahan kita tidak sah, ayahmu menipu penghulu dan saksi dengan mengatakan kau masih perawan, menyeretku layaknya binatang dan memaksaku untuk mengucapkan kalimat sakral itu, yang harus kau ketahui pernikahan ini sebenarnya tidak sah, tidak sah menikah dengan wanita yang tengah hamil anak orang lain, jelas? Jadi urungkan niatmu untuk mengekoriku kemana aku pergi."
Raya terdiam dengan kebenaran yang disampaikan Fajar, begitu hinakah seorang wanita yang hamil di luar nikah? sampai-sampai pernikahannya tidak sah jika dinikahi oleh laki-laki yang bukan merupakan penyebab kehamilannya. Dia baru tau itu, artinya Fajar bukanlah suaminya, tapi kenyataan itu tak merubah apapun.
"Kau tau pasti, aku membencimu dan jangan besar kepala seolah-olah aku mengikutimu karena aku menikmati peran menjadi istrimu, aku hanya ingin lari dari kekangan ayahku." Raya menjawab ketus.
Fajar berfikir sesaat, tak ada salahnya mereka saling memanfaatkan, terkurung dengan wanita gila itu hanya akan membuat umurnya berkurang karean terus marah -marah.
"Baiklah ... sepakat," jawab Fajar, Raya langsung membuka lemarinya, mengambil sepasang pakaian dan memasukkan kedalam tasnya.
"Lewat sini!" Raya mendorong lemari pakaiannya. Ajaib, ada pintu rahasia yang berada persis di belakang lemari itu. Pintu itu ditemukan Raya tidak sengaja sewaktu dia SMA dulu.
Fajar langsung menyelinap mengikuti Raya, mereka melalui sebuah tangga kecil yang berbelit-belit, penerangannya sangat minim dan mengeluarkan bau apek yang aneh. Fajar tidak peduli, wanita di depannya berlari dengan gesit sampai akhirnya mereka sampai di ujung lorong.
"Kau laki-laki, dorong pintu besi itu!" Perintah Raya
Fajar tidak menjawab, sekali dorong pintu itu bergeser, Raya keluar lebih dulu dan kemudian diikuti oleh Fajar.
Mereka berguling di semak belukar, bahkan Fajar tidak tau dimana posisi mereka saat ini, begitu asing dan terpencil.
"Tutup mulutmu! nyamuk akan dengan senang hati bersarang di sana, kita tidak punya waktu untuk berfikir, ayahku akan menyadari bahwa kita sudah kabur, cepat!" Raya bergerak gesit.
Fajar baru tau, gadis yang terlihat lemah dan manja itu cukup berani dan kelihatan gesit. Mereka sampai di jalan setapak yang tidak berpenghuni, berjalan tegesa-gesa sambil mengamati situasi.
Mereka terus berjalan tanpa tujuan yang jelas, Raya memiliki keyakinan bahwa jalan kecil ini akan membawa mereka ke jalan raya.
Benar saja, sepuluh menit kemudian mereka sampai di jalan aspal yang tidak begitu besar. Kendaraan lewat sesekali, rata-rata kendaraan yang membawa hasil pertanian.
"Kita harus mencari cara agar menjauh dari tempat ini, bisa saja orang-orang ayahku sudah menyadari kaburnya kita dan berkeliaran di sekitar sini." Raya menutup kepalanya dengan topinya, menyamarkan sedikit wajahnya.
Fajar tidak kehilangan akal, mereka harus mencari tumpangan jika ingin selamat. Dengan percaya diri Fajar menyetop mobil bak terbuka yang berisi hewan ternak, mobil itu berhenti dan dipandangi Raya dengan mulut menganga.
"Kau bercanda?"
"Aku dengan senang hati meninggalkanmu jika kau tidak mau naik," ketus Fajar.
Bunyi klakson tak sabaran mengingatkan mereka. Raya sekali loncat naik di mobil bak itu dengan Fajar, berbaur dengan sapi-sapi yang penuh kotoran.
Mata sembab itu milik Raya, menengadahkan wajah cantiknya kelangit-langit kamar, dia sedikit tenang setelah menumpahkan kemarahannya kepada Fajar. Dia tidak pernah bahagia dengan hidupnya, terkurung bagaikan tawanan dan tidak boleh kemana -mana.
Dari dulu dia tidak pernah pergi tanpa pengawal ayahnya. Ke sekolah, ke Mall, dan kemanapun dia diikuti oleh dua pria berbadan kekar dan berotot kuat yang tak lain adalah anak buah ayahnya. Raya tidak memiliki kesempatan untuk bergaul dengan siapa yang diinginkannya, dia dijauhi dan tidak ada yang mau berteman dengannya. Hanya kepada Marsel dia bisa membuka diri walaupun sedikit, Raya ditaklukkan dengan bujuk rayu dan mulut manis pria itu sehingga dia menerima Marsel sebagai kekasihnya.
Malam itu puncaknya ketika perayaan ulang tahun alumni kampusnya. Dia berhasil memanipulasi ayahnya agar pengawalan tidak dilakukan lagi karena hanya orang dalam yang merupakan alumni kampusnya yang diperbolehkan masuk.
Untuk yang pertama kalinya ayahnya mengabulkan keinginannya, namun untuk pertama kalinya juga Raya menyesal dengan tak adanya pengawal disekitarnya. Malam terkutuk itu masih terbayang-bayang di matanya, dia masih ingat senyum sumringah Fajar saat menerima beberapa lembar uang dari Marsel saat laki-laki itu selesai memperkosanya.
Raya tidak tau apa yang akan dilakukannya dimasa depan, dia tidak memiliki semangat hidup sama sekali. Tak ada lagi yang tersisa darinya saat ini, Fajar suami penutup malunya adalah laki-laki dingin yang tidak punya belas kasih.
Lamunan Raya terganggu saat Fajar berusaha membongkar kunci pintu dengan sebuah logam yang dirangkainya dari tadi. Sekarang sudah jam satu malam, laki-laki itu dari tadi siang tidak berhenti berusaha melarikan diri, dimulai dengan pura-pura sakit perut dan tidak di acuhkan penjaga sampai pura -pura kesurupan dan tetap tidak diacuhkan penjaga.
Fajar menendang pintu kamar Raya dengan kesal saat usahanya sama sekali tidak berhasil. Raya bangun, wajah pucatnya terlihat lebih segar dari pertama Fajar melihatnya saat dilempar ke kamar wanita itu.
"Aku akan membantumu kabur."
Raya mencoba membuat kesepakatan. Fajar memandangnya malas.
"Kau sedang mengigau? bagaimana mungkin kau bisa membantuku kabur."
"Ini rumahku, aku yang tau seluk beluk rumah ini."
"Apa kau bisa kupercaya? membiarkan aku kabur berarti kau siap kehilangan suami." Fajar terkekeh mengatakan kata suami, jelas saja dengan nada mengejek.
"Jangan kau kira aku sudi menerimamu sebagai suamiku, aku lebih memilih menikah dengan kambing dari pada dirimu."
Fajar semakin tertawa dengan perumpamaan Raya, memang wanita yang bermulut tajam.
"Dan aku lebih memilih menikahi domba hamil dari pada menikah denganmu," balas Fajar tidak kalah pedas.
"Terserah kau, aku akan kabur sendiri tanpa mengajakmu." Raya mengikat rambutnya, Fajar sedikit tertarik, benarkah wanita itu bisa membantunya kabur?
"Kau serius dengan ucapanmu?"
"Serius dengan satu syarat." Raya menantang mata Fajar.
"Kau mulai bertingkah ya!"
"Ajak aku kemana kau pergi, karena aku tidak memiliki keberanian hidup sendiri di luar sana."
"Apa?Hua ha ha ha." Fajar memegangi perutnya. Gadis di depannya sungguh lucu, kabur bersama seakan-akan melarikan diri karena hubungan mereka tidak direstui.
"Apanya yang lucu?" Raya kelihatan tersinggung.
"Aku menyetujui untuk kabur bersama, tapi tidak setuju jika harus membawamu kemana aku pergi, hei! jangan menghayati pernikahan ini, karena pernikahan kita tidak sah, ayahmu menipu penghulu dan saksi dengan mengatakan kau masih perawan, menyeretku layaknya binatang dan memaksaku untuk mengucapkan kalimat sakral itu, yang harus kau ketahui pernikahan ini sebenarnya tidak sah, tidak sah menikah dengan wanita yang tengah hamil anak orang lain, jelas? Jadi urungkan niatmu untuk mengekoriku kemana aku pergi."
Raya terdiam dengan kebenaran yang disampaikan Fajar, begitu hinakah seorang wanita yang hamil diluar nikah? sampai-sampai pernikahannya tidak sah jika dinikahi oleh laki-laki yang bukan merupakan penyebab kehamilannya. Dia baru tau itu, artinya Fajar bukanlah suaminya, tapi kenyataan itu tak merubah apapun.
"Kau tau pasti, aku membencimu dan jangan besar kepala seolah-olah aku mengikutimu karena aku menikmati peran menjadi istrimu, aku hanya ingin lari dari kekangan ayahku." Raya menjawab ketus.
Fajar berfikir sesaat, tak ada salahnya mereka saling memanfaatkan, terkurung dengan wanita gila itu hanya akan membuat umurnya berkurang karean terus marah -marah.
"Baiklah ... sepakat," jawab Fajar, Raya langsung membuka lemarinya, mengambil sepasang pakaian dan memasukkan kedalam tasnya.
"Lewat sini!" Raya mendorong lemari pakaiannya. Ajaib, ada pintu rahasia yang berada persis di belakang lemari itu. Pintu itu ditemukan Raya tidak sengaja sewaktu dia SMA dulu.
Fajar langsung menyelinap mengikuti Raya, mereka melalui sebuah tangga kecil yang berbelit-belit, penerangannya sangat minim dan mengeluarkan bau apek yang aneh. Fajar tidak peduli, wanita di depannya berlari dengan gesit sampai akhirnya mereka sampai di ujung lorong.
"Kau laki-laki, dorong pintu besi itu!" Perintah Raya
Fajar tidak menjawab, sekali dorong pintu itu bergeser, Raya keluar lebih dulu dan kemudian diikuti oleh Fajar.
Mereka berguling di semak belukar, bahkan Fajar tidak tau dimana posisi mereka saat ini, begitu asing dan terpencil.
"Tutup mulutmu! nyamuk akan dengan senang hati bersarang di sana, kita tidak punya waktu untuk berfikir, ayahku akan menyadari bahwa kita sudah kabur, cepat!" Raya bergerak gesit.
Fajar baru tau, gadis yang terlihat lemah dan manja itu cukup berani dan kelihatan gesit. Mereka sampai di jalan setapak yang tidak berpenghuni, berjalan tegesa-gesa sambil mengamati situasi.
Mereka terus berjalan tanpa tujuan yang jelas, Raya memiliki keyakinan bahwa jalan kecil ini akan membawa mereka ke jalan raya.
Benar saja, sepuluh menit kemudian mereka sampai di jalan aspal yang tidak begitu besar. Kendaraan lewat sesekali, rata-rata kendaraan yang membawa hasil pertanian.
"Kita harus mencari cara agar menjauh dari tempat ini, bisa saja orang-orang ayahku sudah menyadari kaburnya kita dan berkeliaran di sekitar sini." Raya menutup kepalanya dengan topinya, menyamarkan sedikit wajahnya.
Fajar tidak kehilangan akal, mereka harus mencari tumpangan jika ingin selamat. Dengan percaya diri Fajar menyetop mobil bak terbuka yang berisi hewan ternak, mobil itu berhenti dan dipandangi Raya dengan mulut menganga.
"Kau bercanda?"
"Aku dengan senang hati meninggalkanmu jika kau tidak mau naik," ketus Fajar.
Bunyi klakson tak sabaran mengingatkan mereka. Raya sekali loncat naik di mobil bak itu dengan Fajar, berbaur dengan sapi-sapi yang penuh kotoran.
Raya menutup hidungnya saat perutnya bergejolak hebat, bau kotoran sapi sangat pekat dan menusuk hidungnya, belum lagi sapi itu mengibaskan ekornya ke depan wajah Raya. Fajar menjadikan pemandagan itu sebagai hiburan, dia tidak berhenti tertawa sambil memegang perutnya."Hoeeekkkk." Akhirnya Raya memuntahkan isi perutnya keluar bak mobil, Fajar mendengus jijik melihat muntahan itu terbang dan berceceran di jalan. Mobil melaju kencang membelah jalan kecil yang hanya muat dilewati dua mobil yang berselisih, sekarang bahkan sudah jam dua pagi, udara pun dingin membekukan tulang.Dua jam kemudian mereka berhenti di simpang tiga arah ke kota. Fajar sengaja berhenti di sana, jika mereka ke kota sama saja mengantarkan nyawa ke ayah Raya. Raya menggosok kedua tangannya yang terasa beku, jalan ini sangat gelap dan mereka mengandalkan cahaya minim dari lampu senter yang ada pada HP Fajar."Membawamu sangat menyusahkan," ketus Faja
Raya kesal dengan Fajar, tidak sedikit pun suami palsunya itu berniat membantu. Rumah ini dipenuhi debu yang cukup tebal, belum lagi daun -daun kering yang ikut menyelinap masuk ke dalam rumah dan teronggok di sudut dapur. Sapu yang digunakan Raya tidak berdaya membersihkan daun basah yang cukup berat. Tangkai sapu itu sudah patah, tampaknya bu Asni sengaja meninggalkan barang-barang yang memang tidak layak lagi untuk digunakan.Raya membuka jaketnya, menyisakan kaos tak berlengan yang mulai basah oleh keringat. Dua jam dia hilir mudik membersihkan rumah itu dan sekarang dia lelah dan merasa lapar.Raya duduk di samping Fajar, menatap dongkol laki-laki yang selalu berwajah dingin dan bermulut pedas itu. Mereka harus berfikir bagaimana cara mengisi perut, Raya tidak membawa se-sen pun uang saat kabur karena dia tidak terbiasa membawa uang cash dan tidak sempat mengambil kartu ATM-nya. Sekarang Raya menyesal dengan kecerobohannya itu.&
Fajar mendengar penjabaran pak Sultan, seorang kepala adat yang sangat dihormati dan disegani di desa ini. Orangnya sangat bijak dan arif, dialah orang yang pertama kali dijumpai oleh Fajar untuk melaporkan jika dia mulai menjadi warga di desa ini.Tujuan Fajar menemui pak Sultan, adalah sebagai tempat bertukar cerita berkaitan dengan kelanjutan hidupnya kedepan. Di sini ijazahnya tidak laku, semua warga secara umum berladang kopi dan berkebun, mereka hidup sederhana tanpa kemajuan yang berarti.Adat istiadat masih dipegang teguh di sini. Segala permasalahan akan dirembukkan oleh beberapa tokoh masayarakat dan diputuskan oleh kepala adat yaitu pak Sultan sendiri."Anak muda, kau terlalu tampan untuk menjadi warga di sini, apa kau yakin akan menjadi pekerja kasar sementara kau punya peluang menjadi lebih baik diluar sana?"Fajar mengangguk sejenak. "Saya sudah yakin pak, bekerja apapun asalkan mendapatkan uang."Dia butuh makan dan beras t
Fajar merasa lelah lahir batin, lelah terus melarikan diri dari kenyataan hidup yang belum pernah memberinya rasa bahagia. Lelah dengan takdir yang bermain seenaknya. Dia bagaikan wayang yang tak berdaya yang selalu mengikuti kemana sang tuan menggerakkannya, tak bahagia, hampa dan kosong.Dia tak berharap banyak dengan hidupnya, cukup memiliki hidup seperti orang orang yang berada diluar sana, punya orang tua yang penyayang, rumah sederhana tempatnya pulang dan seorang istri yang mampu membuatnya jatuh cinta.Satupun tak ada yang menjadi miliknya, sang ayah yang dimiliki satu- satunya lebih memilih ikut pemikiran ibu tirinya. Dia yang malang terus saja berlari bagaikan gelandangan.Sekarang dia terkurung di sebuah rumah yang terletak di perbatasan daerah. Kampung yang masih tradisional dan belum begitu tersentuh teknologi. Dia bahkan tidak punya keberanian untuk menolak semua ancaman yang berasal dari nona manja yang mengaku sebagai istrinya. Jika keluar
Satu jam berdebat tanpa ada pemenang di antara mereka. Raya tidak mau tidur di kamar, Fajar pun tidak mau mengalah dengan memberikan sofanya pada Raya. Sungguh, rumah ini tidak memiliki apa-apa yang bisa diandalkan. Kondisi rumah yang sudah tua, jangan berharap akan ada selimut hangat untuk dipakai saat tidur, atau malah kasur empuk yang membuat mata langsung terpejam karena nyaman.Jam satu malam, malam yang kian larut, tapi dua manusia itu masih belum terpejam, Fajar menjadikan jaket coklatnya sebagai selimut untuk dirinya sendiri. Dia terpaksa mengalah pada Raya saat wanita itu memaksa ingin tidur di atas sofa. Fajar akhirnya merelakan sofa itu walaupun tidak ikhlas.Fajar tidur di lantai yang berjarak sekitar dua meter dari sofa, Raya meringkuk menghangatkan dirinya sendiri, kakinya terasa gemetar menahan dingin. Tak ada kain yang layak untuk mereka gunakan sebagai selimut. Raya melirik Fajar yang bulu matanya masih bergerak menandakan laki-laki itu belum tidur, bu
Fajar membuka matanya berlahan saat dia merasakan sensasi dingin menyentuh kakinya yang terjuntai kelantai, sofa itu begitu kecil untuknya, ditambah lagi harus berbagi dengan Raya.Fajar bangkit hati-hati supaya Raya tidak terbangun, matanya terbelalak melihat air setinggi setengah meter sudah menggenang di lantai rumah. Ternyata hujan yang tidak berhenti dari magrib itu membawa dampak banjir secepat ini.Fajar melirik jam tangannya, pukul empat pagi, dia menyentuh bahu Raya yang tertidur nyenyak menghadap kesandaran sofa."Raya.""Engghh.""Raya, bangun!""Engghh," jawabnya. Fajar tak punya pilihan selain mengangkat tubuh dengan mata terpejam milik Raya."Banjir, Raya! kita harus pergi menyelamatkan diri, airnya semakin naik." Fajar bersuara agak keras. Raya masih berusaha mengumpulkan nyawanya."Bajuku kenapa basah?" Raya mengusap punggungnya."Ya elah, banjir! banjir! gimana sih? Kamu biar sadar atau gak s
Fajar mendorong bahu Raya menjauh, apa yang terjadi barusan sangat disesalinya. Mata bulat gadis itu terlihat sendu dan kecewa. Rambut basah yang berantakan milik Raya menutup sebelah matanya."Jangan menggodaku! aku ini adalah laki-laki, " ketus Fajar, mata itu kembali menatap Raya dingin seperti semula.Ucapan itu membuat Raya tersinggung dan terhina, apakah dia yang menggoda laki-laki itu? dia hanya menengadahkan wajah dan Fajar yang lebih dulu memulainya.Raya mengumpulkan rambutnya, menyampirkan di sisi kanan bahu, air mata bercampur dengan hujan menetes di pipinya. Sungguh ... sangat menyedihkan rasanya saat tertolak. Jika waktu bisa diputar, dia juga tak ingin itu terjadi."Aku akan mengantarmu kembali ke rumahmu, aku tak bisa terus-terusan menjagamu," ucap Fajar datar.Raya diam mengatupkan bibirnya, matanya lebih memilih melihat air banjir yang menggenang di bawah sana dibanding melihat wajah Fajar."Aku tidak mau," jawabnya.
Hujan semakin lebat dan yang membuat sungai semakin meluap dan membawa batu- batu besar yang menghantam apa saja yang menghalanginya. Bunyi petir melengkapi suasana pagi yang mencekam.Fajar memejamkan matanya lelah. Membenamkan kepalanya di sisi bahu Raya. Tubuh sedingin mayat itu mulai berangsur hangat setelah proses perpindahan suhu yang dilakukan Fajar.Tak sedikitpun Fajar membiarkan fikirannya berbelok terhadap kesempurnaan ragawi yang indah milik Raya. Dia takkan mengambil kesempatan apa pun dalam hal ini. Dia memang murni menolong, tak ada yang akan membantah kecantikan wanita itu. Termasuk dirinya. Tapi dia adalah laki-laki terhormat yang takkan melakukan sentuhan berlebihan terhadap wanita yang bukan benar-benar istrinya.Fajar merasa matanya memberat, tubuh lelah itu butuh ustirahat setelah berjuang mempertahankan lebih dari satu nyawa yang ada saat ini. Fajar memasrahkan dirinya, tertidur pulas sambil mengungkung Raya.Tanpa sepengetahuan Faja