Dua orang yang saling membenci, saling diam karena merasa sama -sama lelah lalu saling membuang muka. Dari tadi Fajar mengamati kamar Raya, mencari celah untuk kabur, namun kamar itu lebih kokoh dari sebuah penjara. Setiap jendela di lapisi besi padat berupa terali yang sangat kuat. Fajar harus mencari akal untuk melarikan diri.
Tiba-tiba pintu terbuka kasar, seonggok baju dilempar dari luar oleh penjaga pintu.
Suara besar berseru dari luar. "Bung, kau harus mandi, itu pakaian gantimu."
Pintu kembali ditutup kasar, Fajar memungut baju dan celana itu.
"Heh, dimana kamar mandimu?"
Raya tidak menanggapi, dia diam saja memandang keluar jendela.
Fajar mendecih. "Bahkan dengan keadaanmu yang sekarang kau masih bersikap sombong, kesialan apa yang menimpaku sehingga harus terlibat dengan keluargamu," celoteh Fajar.
Raya memandangnya tajam, kemudian kembali tidak peduli, dia memalingkan wajahnya kembali. Dia tidak peduli dengan Fajar, tidak peduli dengan apapun yang akan dilakukan pria itu. Fajar yang dicuekin mendecih malas, kemudian meraup baju baru yang dilempar kasar oleh penjaga pintu.
Dia mengamati kamar besar Raya sekilas dan menemukan pintu bewarna putih yang diyakini sebagai kamar mandi pribadi wanita itu. Fajar tidak mau tau dan tidak akan meminta izin terlebih dahulu pada pemiliknya, dia sekarang memang harus mandi. Debu jalanan dan baju lusuh itu sudah tidak layak untuk dilihat.
Fajar mendorong pintu itu sedikit, dia bersiul takjub dengan kemewahan kamar mandi milik Raya, sebuah Jacuzzi bewarna putih persis seperti yang dilihaymtnya di film-film, dengan santai Fajar meloloskan seluruh pakaiannya, melompat kedalam jacuzzi itu yang sebelumnya diisi dengan air hangat.
Ini benar-benar nyaman, batin Fajar. Menjadi orang kaya memang enak, tempat mandinya saja lebih mahal dari harta warisan turun temurun nenek moyangnya, bahkan sabun yang mereka miliki tidak dijual di pasar tradisional. Fajar tertawa pahit, ini kemewahan yang dikejar ibunya dulu sehingga tega meninggalkan kekuarganya sendiri.
Satu yang tidak bisa dicerna oleh Fajar, rumah besar ini hanya dihuni laki-laki yang merupakan pengawal yang dimiliki ayah Raya. Ketika ijab kabul pun Fajar tidak melihat ibu wanita itu, keluarga Raya penuh misteri dan tidak terduga.
Fajar tidak tau persis apa pekerjaan ayah Raya, yang jelas dia orang kaya yang cukup berpengaruh di negri ini, rasanya terlalu berlebihan memelihara puluhan pengawal hanya untuk menjaga rumah itu.
Raya sendiri dari dulu tidak memiliki teman, dia kaku dan tidak mudah bergaul dengan orang lain, dia selalu memisahkan diri dan lebih memilih bersama pengawalnya dari pada teman sebayanya. Itu makanya dia di cap sombong dan angkuh di kampus dulu.
Fajar yang sedang menikmati sensasi rileks berendam dalam jacuzzi menyumpah kesal, saat pintu kamar mandi digedor tidak sabaran dari luar. Suara serak milik Raya terdengar sayup-sayup.
"Aku butuh kamar mandiku sekarang."
Fajar rasanya ingin menenggelamkan wanita itu ke laut Antartika, tak bisakah Raya memberi kesempatan padanya untuk bahagia sejenak? dia benar-benar kesal sekarang, bahkan tubuh berbusa miliknya belum dibilas dengan air bersih.
Fajar mengambil handuknya dan melilitkan kesekitar pinggulnya, membuka pintu dengan terpaksa, Raya langsung nyelonong masuk sambil menutup mulutnya dan mencari westafel di samping Fajar.
"Hoeekkk." Wanita itu memuntahkan semua isi perutnya, tidak hanya satu kali, berulang-ulang sampai perutnya benar-benar kosong.
Fajar hanya tertawa masam, tentu saja wanita itu akan muntah-muntah. Alangkah tak berharganya hidupnya, menikah dengan wanita yang dibenci yang parahnya tengah hamil anak laki -laki lain.
Raya mencuci mulutnya lali membasuh wajah kacaunya. Dia melirik Fajar dari kaca kamar mandi, busa sabun mulai menghilang dari tubuhnya, namun tidak ada tanda -tanda laki-laki itu akan keluar.
"Keluar dari kamar mandiku!"
"Apa? Kau wanita gila, sombong dan angkuh, bahkan kau tidak bisa berkorban sedikit air untukku, dasar," umpat Fajar.
"Aku membencimu, semua ini karenamu bajingan," teriak Raya menerjang Fajar dengan membabi buta.
"Ada apa denganmu? Kau yang melakukan zina dan menikmati enaknya sampai kau hamil, tapi aku yang bertanggung jawab, orang kaya memang bertindak seenaknya."
"Kau hina, mulut kotormu selalu bicara sembarangan, kau yang membuatku mabuk sehingga aku diperkosa oleh Marsel "
"Ho ho ho... kau kira aku percaya? Walaupun aku belum pernah melakukannya, mana mungkin kalian yang statusnya berpacaran merasa terpaksa melakukannya, kau dapat enaknya, aku dapat bala nya," ejek Fajar.
Plak.! Tamparan kuat mendarat di pipi Fajar, wanita itu seperti orang kesetanan, memukul Fajar sekuat tenaga dengan tangannya. Fajar menangkap tangan Raya namun berhasil di sentakkan Raya dengan kuat sehingga tangannya telepas.
Fajar tidak habis fikir dengan tenaga wanita itu, dia terdorong paksa masuk jacuzzi, refleks Fajar mencari pegangan merengkuh pinggang Raya, mereka tercebur bersama dengan air yang tumpah ruah ke luar.
Raya mencekik leher Fajar sekuat tenaga sampai laki-laki itu terbatuk- batuk. Raya memang berniat menghabisinya kali ini, tak ada pancaran mata bercanda sedikitpun. Berkali kali Raya menceburkan kepala Fajar kedalam air sampai Fajar tersedak air mandinya sendiri.
Ini sudah tidak bisa dibiarkan, jika dia tidak membela diri dia akan mati di tangan istri gilanya itu. Sekali angkat Fajar berhasil membalikkan posisi, Raya yang berada di bawah kuasanya kali ini, kedalaman air sudah menyusut, anehnya Raya malah tertawa.
"Bunuh aku sekarang! Kalau tidak aku yang akan membunuhmu."
Raya memaksa tangan Fajar menyentuh lehernya, Fajar memang membencinya namun tidak sedikitpun dia berniat menghabisi nyawa Raya.
"Kau sudah gila, hentikan!" Fajar menarik tangannya secara paksa kemudian mengusap sisa air di wajahnya, dia berusaha menjauhi Raya.
Mata Fajar melongo saat Raya berdiri di depannya meloloskan pakaiannya, duduk di sisi jacuzzi putih miliknya lalu menantang Fajar dengan berani.
"Kau ingin menghancurkanku bukan?Kau ingin memperkosaku juga, hah? Lakukan, lakukan sekarang! "
Raya membuka lututnya lebar-lebar dan membuat Fajar panik.
"Kau wanita gila, sangat gila."
Fajar bangkit dari Jacuzzi, memalingkan wajahnya ke sembarang tempat. Bagaimana Raya menilainya serendah itu. Dia tidak tertarik dengan wanita sisa dari laki -laki lain, bagaimanapun seksinya Raya saat ini. Bagaimana bisa Raya melakukan itu di depan kepala Fajar, dia lebih gila dari arti gila itu sendiri.
"Aku membencimu, sekarang aku sudah tidak berharga lagi."
Raya menangis sesenggukan. Fajar memilih keluar sambil memungut baju gantinya sendiri, dia tidak peduli dengan handuk basahnya yang mengotori lantai.
Dua orang yang saling membenci, saling diam karena merasa sama -sama lelah lalu saling membuang muka. Dari tadi Fajar mengamati kamar Raya, mencari celah untuk kabur, namun kamar itu lebih kokoh dari sebuah penjara. Setiap jendela di lapisi besi padat berupa terali yang sangat kuat. Fajar harus mencari akal untuk melarikan diri.
Tiba-tiba pintu terbuka kasar, seonggok baju dilempar dari luar oleh penjaga pintu.
Suara besar berseru dari luar. "Bung, kau harus mandi, itu pakaian gantimu."
Pintu kembali ditutup kasar, Fajar memungut baju dan celana itu.
"Heh, di mana kamar mandimu?"
Raya tidak menanggapi, dia diam saja memandang keluar jendela.
Fajar mendecih. "Bahkan dengan keadaanmu yang sekarang kau masih bersikap sombong, kesialan apa yang menimpaku sehingga harus terlibat dengan keluargamu," celoteh Fajar.
Raya memandangnya tajam, kemudian kembali tidak peduli, dia memalingkan wajahnya kembali. Dia tidak peduli dengan Fajar, tidak peduli dengan apapun yang akan dilakukan pria itu. Fajar yang dicuekin mendecih malas, kemudian meraup baju baru yang dilempar kasar oleh penjaga pintu.
Dia mengamati kamar besar Raya sekilas dan menemukan pintu bewarna putih yang diyakini sebagai kamar mandi pribadi wanita itu. Fajar tidak mau tau dan tidak akan meminta izin terlebih dahulu pada pemiliknya, dia sekarang memang harus mandi. Debu jalanan dan baju lusuh itu sudah tidak layak untuk dilihat.
Fajar mendorong pintu itu sedikit, dia bersiul takjub dengan kemewahan kamar mandi milik Raya, sebuah Jacuzzi bewarna putih persis seperti yang dilihaymtnya di film film, dengan santai Fajar meloloskan seluruh pakaiannya, melompat kedalam jacuzzi itu yang sebelumnya diisi dengan air hangat.
Ini benar-benar nyaman, batin Fajar. Menjadi orang kaya memang enak, tempat mandinya saja lebih mahal dari harta warisan turun temurun nenek moyangnya, bahkan sabun yang mereka miliki tidak dijual di pasar tradisional. Fajar tertawa pahit, ini kemewahan yang dikejar ibunya dulu sehingga tega meninggalkan kekuarganya sendiri.
Satu yang tidak bisa dicerna oleh Fajar, rumah besar ini hanya dihuni laki-laki yang merupakan pengawal yang dimiliki ayah Raya. Ketika ijab kabul pun Fajar tidak melihat ibu wanita itu, keluarga Raya penuh misteri dan tidak terduga.
Fajar tidak tau persis apa pekerjaan ayah Raya, yang jelas dia orang kaya yang cukup berpengaruh di negri ini, rasanya terlalu berlebihan memelihara puluhan pengawal hanya untuk menjaga rumah itu.
Raya sendiri dari dulu tidak memiliki teman, dia kaku dan tidak mudah bergaul dengan orang lain, dia selalu memisahkan diri dan lebih memilih bersama pengawalnya dari pada teman sebayanya. Itu makanya dia di cap sombong dan angkuh di kampus dulu.
Fajar yang sedang menikmati sensasi rileks berendam dalam jacuzzi menyumpah kesal, saat pintu kamar mandi digedor tidak sabaran dari luar. Suara serak milik Raya terdengar sayup-sayup.
"Aku butuh kamar mandiku sekarang."
Fajar rasanya ingin menenggelamkan wanita itu ke laut Antartika, tak bisakah Raya memberi kesempatan padanya untuk bahagia sejenak? dia benar-benar kesal sekarang, bahkan tubuh berbusa miliknya belum dibilas dengan air bersih.
Fajar mengambil handuknya dan melilitkan kesekitar pinggulnya, membuka pintu dengan terpaksa, Raya langsung nyelonong masuk sambil menutup mulutnya dan mencari westafel di samping Fajar.
"Hoeekkk." Wanita itu memuntahkan semua isi perutnya, tidak hanya satu kali, berulang-ulang sampai perutnya benar-benar kosong.
Fajar hanya tertawa masam, tentu saja wanita itu akan muntah-muntah. Alangkah tak berharganya hidupnya, menikah dengan wanita yang dibenci yang parahnya tengah hamil anak laki -laki lain.
Raya mencuci mulutnya lali membasuh wajah kacaunya. Dia melirik Fajar dari kaca kamar mandi, busa sabun mulai menghilang dari tubuhnya, namun tidak ada tanda -tanda laki-laki itu akan keluar.
"Keluar dari kamar mandiku!"
"Apa? Kau wanita gila, sombong dan angkuh, bahkan kau tidak bisa berkorban sedikit air untukku, dasar," umpat Fajar.
"Aku membencimu, semua ini karenamu bajingan," teriak Raya menerjang Fajar dengan membabi buta.
"Ada apa denganmu? Kau yang melakukan zina dan menikmati enaknya sampai kau hamil, tapi aku yang bertanggung jawab, orang kaya memang bertindak seenaknya."
"Kau hina, mulut kotormu selalu bicara sembarangan, kau yang membuatku mabuk sehingga aku diperkosa oleh Marsel "
"Ho ho ho... kau kira aku percaya? Walaupun aku belum pernah melakukannya, mana mungkin kalian yang statusnya berpacaran merasa terpaksa melakukannya, kau dapat enaknya, aku dapat bala nya," ejek Fajar.
Plak.! Tamparan kuat mendarat di pipi Fajar, wanita itu seperti orang kesetanan, memukul Fajar sekuat tenaga dengan tangannya. Fajar menangkap tangan Raya namun berhasil di sentakkan Raya dengan kuat sehingga tangannya telepas.
Fajar tidak habis fikir dengan tenaga wanita itu, dia terdorong paksa masuk jacuzzi, refleks Fajar mencari pegangan merengkuh pinggang Raya, mereka tercebur bersama dengan air yang tumpah ruah ke luar.
Raya mencekik leher Fajar sekuat tenaga sampai laki-laki itu terbatuk- batuk. Raya memang berniat menghabisinya kali ini, tak ada pancaran mata bercanda sedikitpun. Berkali kali Raya menceburkan kepala Fajar kedalam air sampai Fajar tersedak air mandinya sendiri.
Ini sudah tidak bisa dibiarkan, jika dia tidak membela diri dia akan mati di tangan istri gilanya itu. Sekali angkat Fajar berhasil membalikkan posisi, Raya yang berada di bawah kuasanya kali ini, kedalaman air sudah menyusut, anehnya Raya malah tertawa.
"Bunuh aku sekarang! Kalau tidak aku yang akan membunuhmu."
Raya memaksa tangan Fajar menyentuh lehernya, Fajar memang membencinya namun tidak sedikitpun dia berniat menghabisi nyawa Raya.
"Kau sudah gila, hentikan!" Fajar menarik tangannya secara paksa kemudian mengusap sisa air di wajahnya, dia berusaha menjauhi Raya.
Mata Fajar melongo saat Raya berdiri di depannya meloloskan pakaiannya, duduk di sisi jacuzzi putih miliknya lalu menantang Fajar dengan berani.
"Kau ingin menghancurkanku bukan?Kau ingin memperkosaku juga, hah? Lakukan, lakukan sekarang! "
Raya membuka lututnya lebar-lebar dan membuat Fajar panik.
"Kau wanita gila, sangat gila."
Fajar bangkit dari Jacuzzi, memalingkan wajahnya ke sembarang tempat. Bagaimana Raya menilainya serendah itu. Dia tidak tertarik dengan wanita sisa dari laki -laki lain, bagaimanapun seksinya Raya saat ini. Bagaimana bisa Raya melakukan itu di depan kepala Fajar, dia lebih gila dari arti gila itu sendiri.
"Aku membencimu, sekarang aku sudah tidak berharga lagi."
Raya menangis sesenggukan. Fajar memilih keluar sambil memungut baju gantinya sendiri, dia tidak peduli dengan handuk basahnya yang mengotori lantai.
Beberapa jam yang lalu, mereka berkumpul di sebuah restoran sederhana. Fajar, ibunya dan ayahnya. Dua manusia yang pernah menjadi suami istri itu sempat berbincang sekilas. Mereka memutuskan untuk berdamai dan meluruskan kesalah pahaman kepada Fajar setelah berdebat dengan sengit Beberapa menit.Ayahnya sempat menangis memeluk putra semata wayangnya saat Fajar sampai di restoran beberapa jam yang lalu. Meminta maaf telah menelantarkan Fajar kecil yang menderita di tinggal sang ibu. Dia tak menyangka, Fajar tumbuh menjadi pria yang gagah dan tampan. Fajar hanya diam walaupun dalam hatinya dia juga merindukan ayahnya itu.Semuanya terungkap, walaupun sempat ada pertengkaran kecil, pada akhirnya dua orang itu mengalah dan berdamai.Ayahnya terlihat lebih tua dari seharusnya, rambutnya memutih dengan kerut yang tak bisa di hitung jumlahnya. Dia terlihat miskin dan sakit-sakitan, tubuhnya kurus dan kering, belum lagi baju kemeja lusuh yang sudah memudar warnanya.Ternyata pernikahan kedua
Raya termangu di depan kolam renangnya. Mata cantiknya mengamati kilauan air yang tertempa sinar matahari sore. Ini sudah pukul enam sore, warna matahari sudah berubah hingga keperakan, namun setelah berjam-jam menunggu, suaminya belum pulang dan belum memberinya kabar.Raya mencelupkan kakinya ke dalam kolam. Tanpa Fajar, semuanya menjadi membosankan. Dia tidak tertarik melakukan apa pun jika Fajar tak ada di sisinya Baru saja Raya mengangkat sebelah kakinya ke permukaan, bahunya di sentuh lembut. Gadis itu berbalik dan mata kosongnya langsung berbinar bahagia. Namun, buka Raya namanya kalau tidak menuhankan gengsi."Kapan kau pulang? Aku tak mendengar suara mobilmu."Fajar duduk di samping Raya. Mengamati rambut panjang yang terurai berantakan itu."Baru saja. Kenapa? Merindukanku?"Raya mencibir, menyembunyikan rona pipinya. Dia tak mau mengakuinya, tapi otak dan tubuh tak bekerja sama. Dia malah menghambur ke pelukan suaminya itu. Fajar terkekeh senang sambil mengecup puncak kepa
Fajar memandang tak percaya. Wanita itu masih cantik seperti dulu, walaupun banyak kerutan yang menandakan ia sudah menua. Ibunya, masih tipe wanita yang memperhatikan penampilan. Dia cantik dengan blouse putih yang dipadukan dengan rok kembang bermotif bunga. Jika boleh Fajar berkata jujur. Dia sangat merindukan wanita didepannya. Rasanya dekapan hangat itu masih terasa di kulitnya saat ini. Bagaimana saat sang ibu mendendangkan lagu Jawa saat menidurkannya dulu. Elusan kasih sayang dan suara merdunya masih diingat Fajar dengan jelas.Pada dasarnya ibunya adalah wanita yang baik dan penyayang. Dia wanita yang sempurna. Kecantikan masa muda itu di wariskan ya ke wajah tampan Fajar. Dalam hatinya, dia ingin mengadu dan bertanya sebanyak mungkin, kemana ibunya selama ini? Apa yang dilakukannya di rumah usang dan tinggal sendirian tanpa pasangan hidup? Banyak sekali. Tapi Fajar memilih mengunci mulutnya sambil menunggu wanita itu berbicara lebih dulu."Minumlah! Teh mu sudah mulai ding
Jika ada manusia yang paling jahat di bumi ini, maka Raya lah orangnya. Bagaimana bisa wanita itu menghentikan permainan sebelah pihak saat nasib Fajar sudah di ujung tanduk. Raya dengan santai merapikan dirinya, saat Fajar masih kesusahan menata nafasnya yang terputus putus. Dia masih bersandar tak berdaya, memejamkan matanya menikmati sisa-sisa kenekatan seorang Raya. Tapi apa yang dilakukan wanita itu sekarang? Dia menjulurkan lidah nakalnya dan tersenyum mengejek."Aku tidak mau dipergoki lagi. Bagaimana pun kita masih dalam kawasan yang tak boleh berbuat mesum.""Bunuh saja aku, Raya! Kau jahat." Fajar merasa kepalanya pening. Bayangkan saja, saat hasratmu di atas awang-awang, kau malah di hempaskan ke bumi secara kasar. Rasanya lebih sakit dari pada mati."Ck ck ck ... kau selalu tak pernah puas.""Ya tuhan Raya, laki-laki mana yang akan bertahan dengan wanita seseksi dirimu, terlebih lagi dia sudah menjadi milikmu secara utuh. Oh Tuhan, aku butuh air dingin." Fajar mengusap wa
Bukan restoran mewah yang terbiasa dikunjungi Raya. Hanya warung kecil yang diberi dinding dengan spanduk bekas untuk menghalangi cahaya matahari pagi yang mulai menerobos masuk ke warung sarapan pagi itu. Raya memilih duduk di bangku paling pojok, yang agak jauh dari sesaknya para pelanggan yang menyantap sarapan dengan lahap. Bangku di pojok ini sepertinya di sengaja untuk mereka yang ingin memilih ketenangan. Langsung menghadap ke kolam ikan yang berisi ikan nila dan ikan gurami."Kamu mau makan apa?""Apa saja, yang penting enak." Raya melirik sekilas jejeran menu sarapan pagi yang di tata sedemikian rupa di atas etalase kaca. Banyak sekali pilihan sehingga Raya menjadi bingung sendiri. Dia tidak menyadari Fajar bangkit memesan kepada pemilik warung. Tak butuh waktu lama, dua piring nasi yang dilengkapi dengan telor dadar dan toping tempe yang di goreng garing bersama ikan asin.Raya mengamati sambil menikmati aroma khas yang membuat perutnya meronta minta di isi."Ini namanya na
Pagi yang cerah, matahari mulai merangkak perlahan mengintip dari celah dedaunan pepohonan yang tumbuh persis di samping jendela kamar rumah itu. Raya membuka jendela kecil tersebut menyambut udara segar yang menerpa wajahnya.Mereka sebenarnya sudah bangun setelah shalat subuh tadi. Raya berberes sejenak sedangkan Fajar kembali ke tempat tidur dengan alasan mengantuk. Hari ini, tepat satu minggu Fajar menjalani hukuman mengumpulkan batu yang akan digunakan masyarakat sebagai pagar pembatas dari luapan sungai. Kebetulan pula, kemaren adalah masa hukuman Fajar berakhir. Hari ini adalah hari minggu, hari santai bagi Fajar. Sudah lama dia tidak merasakan nikmatnya tidur setelah subuh. Walaupun dia tahu, kebiasaaan ini tidak baik.Raya mengikat rambutnya yang masih basah, lalu berjalan perlahan mendekati ranjang sambil tersenyum. Dia, sang suami yang biasanya memiliki kulit cukup cerah sudah berubah menjadi gelap karena terbakar sinar matahari saat bekerja. Namun, Raya malah menyukai wa