Raya menutup hidungnya saat perutnya bergejolak hebat, bau kotoran sapi sangat pekat dan menusuk hidungnya, belum lagi sapi itu mengibaskan ekornya ke depan wajah Raya. Fajar menjadikan pemandagan itu sebagai hiburan, dia tidak berhenti tertawa sambil memegang perutnya.
"Hoeeekkkk." Akhirnya Raya memuntahkan isi perutnya keluar bak mobil, Fajar mendengus jijik melihat muntahan itu terbang dan berceceran di jalan. Mobil melaju kencang membelah jalan kecil yang hanya muat dilewati dua mobil yang berselisih, sekarang bahkan sudah jam dua pagi, udara pun dingin membekukan tulang.
Dua jam kemudian mereka berhenti di simpang tiga arah ke kota. Fajar sengaja berhenti di sana, jika mereka ke kota sama saja mengantarkan nyawa ke ayah Raya. Raya menggosok kedua tangannya yang terasa beku, jalan ini sangat gelap dan mereka mengandalkan cahaya minim dari lampu senter yang ada pada HP Fajar.
"Membawamu sangat menyusahkan," ketus Fajar.
"Seharusnya kau berterimakasih padaku, karena aku berhasil membantumu kabur."
"Tapi aku tidak berharap kau ikut kabur juga, kau sudah enak di istana megahmu, entah apa yang ada di pikiran bod*hmu itu sehingga berniat ikut."
"Kau tuli atau pikun? sudah kubilang, aku ingin lepas dari kekangan ayahku. "
"Dasar manja, ada yang enak malah nyari yang susah."
"Terserah padamu."
Fajar tidak menghiraukan Raya yang terus mengekor di belakangnya, apa dia pikir ini liburan atau piknik? jika Fajar membawanya bagaimana dia bisa memberi makan gadis manja itu? dia saja tidak bisa memberi makan dirinya sendiri, Sarjana pengangguran sepertinya tidak memiliki keahlian apa-apa selain lengan yang berotot dan tubuh yang kuat.
Mereka sampai di pemukiman penduduk, rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu dan memiliki penerangan seadanya. Tidak banyak, ada sekitar enam buah rumah yang berjarak kira-kira dua puluh meter satu sama lain.
Mereka duduk di alun-alun di samping lapangan sepak bola, menunggu pagi datang dan mencari pertolongan.
Raya meletakkan tasnya untuk dijadikan bantal, merebahkan kepalanya di sana sambil mengapit kedua tangannya di antara paha karena kedinginan. Tak butuh waktu lama Raya tertidur kelelahan.
Fajar menguap beberapa kali, dia tidak tahu kenapa Raya nekad mengikutinya, dia seorang Putri manja kaya raya yang memiliki apapun yang dia inginkan. Apa yang ada dipikiran Raya sehingga mau meninggalkan kenyamanan itu. Fajar tidak tau, dia tidak mengenal Raya dengan baik, mereka sudah terlahir dengan sifat saling bermusuhan.
Fajar tak kuasa menahan kantuknya, tanpa dia sadari tubuhnya tergolek di samping Raya. Dua anak manusia yang sama-sama tidak beruntung itu tertidur pulas karena kelelahan. Fajar menggulung dirinya seperti janin untuk menciptakan kehangatan sendiri.
Beberapa jam tertidur, Raya bangun lebih dulu, matanya membola melihat wajah Fajar yang persis di depan matanya. Dalam hatinya Raya mengakui Fajar adalah pemuda yang tampan dan rupawan, namun kepribadiannya yang kasar dan arogan membuat dia dicap jelek dimana pun dia berada, orang takkan percaya jika melihat wajah yang polos di depannya jika bangun akan selalu mengeluarkan kata-kata menyakitkan. Raya beranjak dari tidurnya, berjalan keluar dari lapangan, dia berjumpa dengan beberapa orang ibu-ibu yang membawa baskom penuh cucian, sepertinya mereka akan pergi kesungai yang sempat dilihat Raya sebelum sampai disini.
"Maaf, Bu. Boleh nanya?"
Si ibu memandang temannya, lalu memandang Raya dengan heran.
"Nama saya Raya, saya dengan suami tengah mencari tempat tinggal sementara di kampung ini, ada tidak ya, Bu? rumah kosong yang bisa dihuni?" Raya menunggu penuh harap, kampung ini cukup terpencil dan cocok untuk melarikan diri.
Si ibu berfikir sejenak berunding dengan kawannya.
"Ada, rumah lama saya, memang kecil dan agak reot, tapi masih layak di huni."
"Benarkah, Bu? Berapa sewanya sebulan?"
"Nggak usah disewa, dihuni saja sambil dirawat, nanti saya antar kesana setelah mencuci."
"Baik, Bu. Kami akan tunggu di sini."
Raya mendekati Fajar yang masih bergelung memeluk dirinya, dengan sekali tendangan Fajar bangun kaget bercampur marah.
"Wanita gila, kenapa kau selalu menendangku, ha?"
Raya mulai terbiasa dengan teriakan itu tertawa kecil.
"Kau tidur seperti kerbau, aku sudah mendapatkan rumah untuk tempat tinggal kita." Raya mengambil tas punggungnya.
"Tempat tinggal kita? Siapa kau seenaknya mengatur hidupku."
"Aku istrimu, setidaknya itu yang diketahui orang kampung ini." Raya tertawa menang.
"Kau ini benar-benar, ya?" Fajar mulai tak sabar dengan Raya.
"Terserah maumu, kalau kau ingin mati dibantai ayahku, kau boleh pergi, tapi aku lebih memilih untuk tinggal di rumah kosong salah seorang warga yang baru aku temui."
Fajar tak punya pilihan lain selain menurut, lagi pula dia tidak punya rumah, sejak ibu tirinya bersekongkol menjebaknya dengan menikahi Raya, dia mengharamkan kakinya menginjak rumah itu.
Satu jam menunggu, Raya berlari kecil saat ibu pemilik rumah muncul dari ujung jalan. Melambaikan tangan kepada Raya agar mengikutinya. Tidak berfikir lama dua orang itu berjalan ke mana ibu itu melangkah.
"Baru menikah ya, Dek? Kelihatan masih muda."
"Iya, baru seminggu, kami hendak bulan madu namun dirampok di tengah jalan dan terdampar di sini," bohong Raya. Fajar terbatuk-batuk dengan sandiwara gadis itu.
"Kasihan, ya, berapa umurmu, Dek?"
"Saya 24, suami saya 30 tahun." Raya mengejek Fajar. Laki-laki itu melotot marah, dia belum setua itu, akhir tahun ini umurnya baru 25. Raya sengaja membalas setiap ejekan Fajar.
Mereka tiba di sebuah rumah kayu yang tidak begitu besar namun memiliki pekarangan luas, halamannya masih bersih dan seperti belum lama ditinggal. Rumah kayu itu cukup bersih dan terawat walaupun umurnya sudah tampak tua, Bu Asni nama pemilik rumah itu membuka pintu kayu yang mulai lapuk terkena air hujan.
Fajar mengikuti malas-malasan di belakang, Raya mengamati rumah itu sejenak, masih ada beberapa perabotan yang tersisisa, meja makan sederhana, kursi santai dan sofa lusuh, lemari tua serta alat-alat memasak yang tak kalah tuanya.
"Kamarnya ada dua, tapi yang ada tempat tidurnya cuma satu, yang satu lagi saya bawa kerumah baru."
"Nggak apa-apa, Bu. Ini sudah cukup bagi saya," ucap Raya.
"Oh ya, Dek, untuk air bersih buat minum dan memasak diambil di sumber air bersih sekitar lima puluh meter dari sini, untuk mandi dan mencuci semua warga pergi ke sungai."
"Saya mengerti, terimakasih banyak ya, Bu. Saya akan merawat rumah ini semampu saya."
"Baik, saya tinggal, ya!"
"Iya, Bu." Raya mengantar Bu Asni sampai pintu. Setelah itu dia menatap tajam Fajar yang malas-malasan di sofa lusuh itu.
Raya menutup hidungnya saat perutnya bergejolak hebat, bau kotoran sapi sangat pekat dan menusuk hidungnya, belum lagi sapi itu mengibaskan ekornya ke depan wajah Raya. Fajar menjadikan pemandagan itu sebagai hiburan, dia tidak berhenti tertawa sambil memegang perutnya.
"Hoeeekkkk." Akhirnya Raya memuntahkan isi perutnya keluar bak mobil, Fajar mendengus jijik melihat muntahan itu terbang dan berceceran di jalan. Mobil melaju kencang membelah jalan kecil yang hanya muat dilewati dua mobil yang berselisih, sekarang bahkan sudah jam dua pagi, udara pun dingin membekukan tulang.
Dua jam kemudian mereka berhenti di simpang tiga arah ke kota. Fajar sengaja berhenti di sana, jika mereka ke kota sama saja mengantarkan nyawa ke ayah Raya. Raya menggosok kedua tangannya yang terasa beku, jalan ini sangat gelap dan mereka mengandalkan cahaya minim dari lampu senter yang ada pada HP Fajar.
"Membawamu sangat menyusahkan," ketus Fajar.
"Seharusnya kau berterimakasih padaku, karena aku berhasil membantumu kabur."
"Tapi aku tidak berharap kau ikut kabur juga, kau sudah enak di istana megahmu, entah apa yang ada di pikiran bod*hmu itu sehingga berniat ikut."
"Kau tuli atau pikun? sudah kubilang, aku ingin lepas dari kekangan ayahku. "
"Dasar manja, ada yang enak malah nyari yang susah."
"Terserah padamu."
Fajar tidak menghiraukan Raya yang terus mengekor di belakangnya, apa dia pikir ini liburan atau piknik? jika Fajar membawanya bagaimana dia bisa memberi makan gadis manja itu? dia saja tidak bisa memberi makan dirinya sendiri, Sarjana pengangguran sepertinya tidak memiliki keahlian apa-apa selain lengan yang berotot dan tubuh yang kuat.
Mereka sampai di pemukiman penduduk, rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu dan memiliki penerangan seadanya. Tidak banyak, ada sekitar enam buah rumah yang berjarak kira-kira dua puluh meter satu sama lain.
Mereka duduk di alun-alun di samping lapangan sepak bola, menunggu pagi datang dan mencari pertolongan.
Raya meletakkan tasnya untuk dijadikan bantal, merebahkan kepalanya di sana sambil mengapit kedua tangannya di antara paha karena kedinginan. Tak butuh waktu lama Raya tertidur kelelahan.
Fajar menguap beberapa kali, dia tidak tahu kenapa Raya nekad mengikutinya, dia seorang Putri manja kaya raya yang memiliki apapun yang dia inginkan. Apa yang ada dipikiran Raya sehingga mau meninggalkan kenyamanan itu. Fajar tidak tau, dia tidak mengenal Raya dengan baik, mereka sudah terlahir dengan sifat saling bermusuhan.
Fajar tak kuasa menahan kantuknya, tanpa dia sadari tubuhnya tergolek di samping Raya. Dua anak manusia yang sama-sama tidak beruntung itu tertidur pulas karena kelelahan. Fajar menggulung dirinya seperti janin untuk menciptakan kehangatan sendiri.
Beberapa jam tertidur, Raya bangun lebih dulu, matanya membola melihat wajah Fajar yang persis di depan matanya. Dalam hatinya Raya mengakui Fajar adalah pemuda yang tampan dan rupawan, namun kepribadiannya yang kasar dan arogan membuat dia dicap jelek dimana pun dia berada, orang takkan percaya jika melihat wajah yang polos di depannya jika bangun akan selalu mengeluarkan kata-kata menyakitkan. Raya beranjak dari tidurnya, berjalan keluar dari lapangan, dia berjumpa dengan beberapa orang ibu-ibu yang membawa baskom penuh cucian, sepertinya mereka akan pergi kesungai yang sempat dilihat Raya sebelum sampai disini.
"Maaf, Bu. Boleh nanya?"
Si ibu memandang temannya, lalu memandang Raya dengan heran.
"Nama saya Raya, saya dengan suami tengah mencari tempat tinggal sementara di kampung ini, ada tidak ya, Bu? rumah kosong yang bisa dihuni?" Raya menunggu penuh harap, kampung ini cukup terpencil dan cocok untuk melarikan diri.
Si ibu berfikir sejenak berunding dengan kawannya.
"Ada, rumah lama saya, memang kecil dan agak reot, tapi masih layak di huni."
"Benarkah, Bu? Berapa sewanya sebulan?"
"Nggak usah disewa, dihuni saja sambil dirawat, nanti saya antar kesana setelah mencuci."
"Baik, Bu. Kami akan tunggu di sini."
Raya mendekati Fajar yang masih bergelung memeluk dirinya, dengan sekali tendangan Fajar bangun kaget bercampur marah.
"Wanita gila, kenapa kau selalu menendangku, ha?"
Raya mulai terbiasa dengan teriakan itu tertawa kecil.
"Kau tidur seperti kerbau, aku sudah mendapatkan rumah untuk tempat tinggal kita." Raya mengambil tas punggungnya.
"Tempat tinggal kita? Siapa kau seenaknya mengatur hidupku."
"Aku istrimu, setidaknya itu yang diketahui orang kampung ini." Raya tertawa menang.
"Kau ini benar-benar, ya?" Fajar mulai tak sabar dengan Raya.
"Terserah maumu, kalau kau ingin mati dibantai ayahku, kau boleh pergi, tapi aku lebih memilih untuk tinggal di rumah kosong salah seorang warga yang baru aku temui."
Fajar tak punya pilihan lain selain menurut, lagi pula dia tidak punya rumah, sejak ibu tirinya bersekongkol menjebaknya dengan menikahi Raya, dia mengharamkan kakinya menginjak rumah itu.
Satu jam menunggu, Raya berlari kecil saat ibu pemilik rumah muncul dari ujung jalan. Melambaikan tangan kepada Raya agar mengikutinya. Tidak berfikir lama dua orang itu berjalan ke mana ibu itu melangkah.
"Baru menikah ya, Dek? Kelihatan masih muda."
"Iya, baru seminggu, kami hendak bulan madu namun dirampok di tengah jalan dan terdampar di sini," bohong Raya. Fajar terbatuk-batuk dengan sandiwara gadis itu.
"Kasihan, ya, berapa umurmu, Dek?"
"Saya 24, suami saya 30 tahun." Raya mengejek Fajar. Laki-laki itu melotot marah, dia belum setua itu, akhir tahun ini umurnya baru 25. Raya sengaja membalas setiap ejekan Fajar.
Mereka tiba di sebuah rumah kayu yang tidak begitu besar namun memiliki pekarangan luas, halamannya masih bersih dan seperti belum lama ditinggal. Rumah kayu itu cukup bersih dan terawat walaupun umurnya sudah tampak tua, Bu Asni nama pemilik rumah itu membuka pintu kayu yang mulai lapuk terkena air hujan.
Fajar mengikuti malas-malasan di belakang, Raya mengamati rumah itu sejenak, masih ada beberapa perabotan yang tersisisa, meja makan sederhana, kursi santai dan sofa lusuh, lemari tua serta alat-alat memasak yang tak kalah tuanya.
"Kamarnya ada dua, tapi yang ada tempat tidurnya cuma satu, yang satu lagi saya bawa kerumah baru."
"Nggak apa-apa, Bu. Ini sudah cukup bagi saya," ucap Raya.
"Oh ya, Dek, untuk air bersih buat minum dan memasak diambil di sumber air bersih sekitar lima puluh meter dari sini, untuk mandi dan mencuci semua warga pergi ke sungai."
"Saya mengerti, terimakasih banyak ya, Bu. Saya akan merawat rumah ini semampu saya."
"Baik, saya tinggal, ya!"
"Iya, Bu." Raya mengantar Bu Asni sampai pintu. Setelah itu dia menatap tajam Fajar yang malas-malasan di sofa lusuh itu.
Raya kesal dengan Fajar, tidak sedikit pun suami palsunya itu berniat membantu. Rumah ini dipenuhi debu yang cukup tebal, belum lagi daun -daun kering yang ikut menyelinap masuk ke dalam rumah dan teronggok di sudut dapur. Sapu yang digunakan Raya tidak berdaya membersihkan daun basah yang cukup berat. Tangkai sapu itu sudah patah, tampaknya bu Asni sengaja meninggalkan barang-barang yang memang tidak layak lagi untuk digunakan.Raya membuka jaketnya, menyisakan kaos tak berlengan yang mulai basah oleh keringat. Dua jam dia hilir mudik membersihkan rumah itu dan sekarang dia lelah dan merasa lapar.Raya duduk di samping Fajar, menatap dongkol laki-laki yang selalu berwajah dingin dan bermulut pedas itu. Mereka harus berfikir bagaimana cara mengisi perut, Raya tidak membawa se-sen pun uang saat kabur karena dia tidak terbiasa membawa uang cash dan tidak sempat mengambil kartu ATM-nya. Sekarang Raya menyesal dengan kecerobohannya itu.&
Fajar mendengar penjabaran pak Sultan, seorang kepala adat yang sangat dihormati dan disegani di desa ini. Orangnya sangat bijak dan arif, dialah orang yang pertama kali dijumpai oleh Fajar untuk melaporkan jika dia mulai menjadi warga di desa ini.Tujuan Fajar menemui pak Sultan, adalah sebagai tempat bertukar cerita berkaitan dengan kelanjutan hidupnya kedepan. Di sini ijazahnya tidak laku, semua warga secara umum berladang kopi dan berkebun, mereka hidup sederhana tanpa kemajuan yang berarti.Adat istiadat masih dipegang teguh di sini. Segala permasalahan akan dirembukkan oleh beberapa tokoh masayarakat dan diputuskan oleh kepala adat yaitu pak Sultan sendiri."Anak muda, kau terlalu tampan untuk menjadi warga di sini, apa kau yakin akan menjadi pekerja kasar sementara kau punya peluang menjadi lebih baik diluar sana?"Fajar mengangguk sejenak. "Saya sudah yakin pak, bekerja apapun asalkan mendapatkan uang."Dia butuh makan dan beras t
Fajar merasa lelah lahir batin, lelah terus melarikan diri dari kenyataan hidup yang belum pernah memberinya rasa bahagia. Lelah dengan takdir yang bermain seenaknya. Dia bagaikan wayang yang tak berdaya yang selalu mengikuti kemana sang tuan menggerakkannya, tak bahagia, hampa dan kosong.Dia tak berharap banyak dengan hidupnya, cukup memiliki hidup seperti orang orang yang berada diluar sana, punya orang tua yang penyayang, rumah sederhana tempatnya pulang dan seorang istri yang mampu membuatnya jatuh cinta.Satupun tak ada yang menjadi miliknya, sang ayah yang dimiliki satu- satunya lebih memilih ikut pemikiran ibu tirinya. Dia yang malang terus saja berlari bagaikan gelandangan.Sekarang dia terkurung di sebuah rumah yang terletak di perbatasan daerah. Kampung yang masih tradisional dan belum begitu tersentuh teknologi. Dia bahkan tidak punya keberanian untuk menolak semua ancaman yang berasal dari nona manja yang mengaku sebagai istrinya. Jika keluar
Satu jam berdebat tanpa ada pemenang di antara mereka. Raya tidak mau tidur di kamar, Fajar pun tidak mau mengalah dengan memberikan sofanya pada Raya. Sungguh, rumah ini tidak memiliki apa-apa yang bisa diandalkan. Kondisi rumah yang sudah tua, jangan berharap akan ada selimut hangat untuk dipakai saat tidur, atau malah kasur empuk yang membuat mata langsung terpejam karena nyaman.Jam satu malam, malam yang kian larut, tapi dua manusia itu masih belum terpejam, Fajar menjadikan jaket coklatnya sebagai selimut untuk dirinya sendiri. Dia terpaksa mengalah pada Raya saat wanita itu memaksa ingin tidur di atas sofa. Fajar akhirnya merelakan sofa itu walaupun tidak ikhlas.Fajar tidur di lantai yang berjarak sekitar dua meter dari sofa, Raya meringkuk menghangatkan dirinya sendiri, kakinya terasa gemetar menahan dingin. Tak ada kain yang layak untuk mereka gunakan sebagai selimut. Raya melirik Fajar yang bulu matanya masih bergerak menandakan laki-laki itu belum tidur, bu
Fajar membuka matanya berlahan saat dia merasakan sensasi dingin menyentuh kakinya yang terjuntai kelantai, sofa itu begitu kecil untuknya, ditambah lagi harus berbagi dengan Raya.Fajar bangkit hati-hati supaya Raya tidak terbangun, matanya terbelalak melihat air setinggi setengah meter sudah menggenang di lantai rumah. Ternyata hujan yang tidak berhenti dari magrib itu membawa dampak banjir secepat ini.Fajar melirik jam tangannya, pukul empat pagi, dia menyentuh bahu Raya yang tertidur nyenyak menghadap kesandaran sofa."Raya.""Engghh.""Raya, bangun!""Engghh," jawabnya. Fajar tak punya pilihan selain mengangkat tubuh dengan mata terpejam milik Raya."Banjir, Raya! kita harus pergi menyelamatkan diri, airnya semakin naik." Fajar bersuara agak keras. Raya masih berusaha mengumpulkan nyawanya."Bajuku kenapa basah?" Raya mengusap punggungnya."Ya elah, banjir! banjir! gimana sih? Kamu biar sadar atau gak s
Fajar mendorong bahu Raya menjauh, apa yang terjadi barusan sangat disesalinya. Mata bulat gadis itu terlihat sendu dan kecewa. Rambut basah yang berantakan milik Raya menutup sebelah matanya."Jangan menggodaku! aku ini adalah laki-laki, " ketus Fajar, mata itu kembali menatap Raya dingin seperti semula.Ucapan itu membuat Raya tersinggung dan terhina, apakah dia yang menggoda laki-laki itu? dia hanya menengadahkan wajah dan Fajar yang lebih dulu memulainya.Raya mengumpulkan rambutnya, menyampirkan di sisi kanan bahu, air mata bercampur dengan hujan menetes di pipinya. Sungguh ... sangat menyedihkan rasanya saat tertolak. Jika waktu bisa diputar, dia juga tak ingin itu terjadi."Aku akan mengantarmu kembali ke rumahmu, aku tak bisa terus-terusan menjagamu," ucap Fajar datar.Raya diam mengatupkan bibirnya, matanya lebih memilih melihat air banjir yang menggenang di bawah sana dibanding melihat wajah Fajar."Aku tidak mau," jawabnya.
Hujan semakin lebat dan yang membuat sungai semakin meluap dan membawa batu- batu besar yang menghantam apa saja yang menghalanginya. Bunyi petir melengkapi suasana pagi yang mencekam.Fajar memejamkan matanya lelah. Membenamkan kepalanya di sisi bahu Raya. Tubuh sedingin mayat itu mulai berangsur hangat setelah proses perpindahan suhu yang dilakukan Fajar.Tak sedikitpun Fajar membiarkan fikirannya berbelok terhadap kesempurnaan ragawi yang indah milik Raya. Dia takkan mengambil kesempatan apa pun dalam hal ini. Dia memang murni menolong, tak ada yang akan membantah kecantikan wanita itu. Termasuk dirinya. Tapi dia adalah laki-laki terhormat yang takkan melakukan sentuhan berlebihan terhadap wanita yang bukan benar-benar istrinya.Fajar merasa matanya memberat, tubuh lelah itu butuh ustirahat setelah berjuang mempertahankan lebih dari satu nyawa yang ada saat ini. Fajar memasrahkan dirinya, tertidur pulas sambil mengungkung Raya.Tanpa sepengetahuan Faja
Di sini mereka sekarang, di sebuah tenda pengungsian bersama para korban lainnya. Tenda dibangun cukup banyak, berdiri disebuah bukit yang memiliki dataran cukup luas dan aman dari kemungkinanan banjir susulan.Dari tadi Fajar asik bercerita dengan warga lainnya, meninggalkan Raya yang lebih memilih bergelung dengan selimut di dalam tenda. Dia merasa tidak enak badan, berjam-jam diguyur hujan dan terserang hyportermia membuat tubuhnya belum pulih.Fajar begitu antusias dengan beberapa orang laki-laki dewasa di sekelilingnya. Entah berapa lama, Raya tidak begitu peduli.Mata Raya terbuka saat indra penciumannya menangkap aroma sedap yang membuat perutnya berontak minta diisi. Fajar, masuk ke dalam tenda membawa mangkok yang berisi mie instan yang masih mengepulkan asap.Dia menyodorkan mie itu kepada Raya, kemudian asik dengan mangkoknya sendiri."Kau asik sekali dengan obrolanmu," tegur Raya, setelah berhasil di evakuasi tadi, belum sepatah k