Share

Lima

Author: Gleoriud
last update Last Updated: 2021-10-19 07:31:57

Raya menutup hidungnya saat perutnya bergejolak hebat, bau kotoran sapi sangat pekat dan menusuk hidungnya, belum lagi sapi itu mengibaskan ekornya ke depan wajah Raya. Fajar menjadikan pemandagan itu sebagai hiburan, dia tidak berhenti tertawa sambil memegang perutnya.

"Hoeeekkkk." Akhirnya Raya memuntahkan isi perutnya keluar bak mobil, Fajar mendengus jijik melihat muntahan itu terbang dan berceceran di jalan. Mobil melaju kencang membelah jalan kecil yang hanya muat dilewati dua mobil yang berselisih, sekarang bahkan sudah jam dua pagi, udara pun dingin membekukan tulang.

Dua jam kemudian mereka berhenti di simpang tiga arah ke kota. Fajar sengaja berhenti di sana, jika mereka ke kota sama saja mengantarkan nyawa ke ayah Raya. Raya menggosok kedua tangannya yang terasa beku, jalan ini sangat gelap dan mereka mengandalkan cahaya minim dari lampu senter yang ada pada HP Fajar.

"Membawamu sangat menyusahkan," ketus Fajar.

"Seharusnya kau berterimakasih padaku, karena aku berhasil membantumu kabur."

"Tapi aku tidak berharap kau ikut kabur juga, kau sudah enak di istana megahmu, entah apa yang ada di pikiran bod*hmu itu sehingga berniat ikut." 

"Kau tuli atau pikun? sudah kubilang, aku ingin lepas dari kekangan ayahku. "

"Dasar manja, ada yang enak malah nyari yang susah."

"Terserah padamu."

Fajar tidak menghiraukan Raya yang terus mengekor di belakangnya, apa dia pikir ini liburan atau piknik? jika Fajar membawanya bagaimana dia bisa memberi makan gadis manja itu? dia saja tidak bisa memberi makan dirinya sendiri, Sarjana pengangguran sepertinya tidak memiliki keahlian apa-apa selain lengan yang berotot dan tubuh yang kuat.

Mereka sampai di pemukiman penduduk, rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu dan memiliki penerangan seadanya. Tidak banyak, ada sekitar enam buah rumah yang berjarak kira-kira dua puluh meter satu sama lain.

Mereka duduk di alun-alun di samping lapangan sepak bola, menunggu pagi datang dan mencari pertolongan.

Raya meletakkan tasnya untuk dijadikan bantal, merebahkan kepalanya di sana sambil mengapit kedua tangannya di antara paha karena kedinginan. Tak butuh waktu lama Raya tertidur kelelahan. 

Fajar menguap beberapa kali, dia tidak tahu kenapa Raya nekad mengikutinya, dia seorang Putri manja kaya raya yang memiliki apapun yang dia inginkan. Apa yang ada dipikiran Raya sehingga mau meninggalkan kenyamanan itu. Fajar tidak tau, dia tidak mengenal Raya dengan baik, mereka sudah terlahir dengan sifat saling bermusuhan.

Fajar tak kuasa menahan kantuknya, tanpa dia sadari tubuhnya tergolek di samping Raya. Dua anak manusia yang sama-sama tidak beruntung itu tertidur pulas karena kelelahan. Fajar menggulung dirinya seperti janin untuk menciptakan kehangatan sendiri.

Beberapa jam tertidur, Raya bangun lebih dulu, matanya membola melihat wajah Fajar yang persis di depan matanya. Dalam hatinya Raya mengakui Fajar adalah pemuda yang tampan dan rupawan, namun kepribadiannya yang kasar dan arogan membuat dia dicap jelek dimana pun dia berada, orang takkan percaya jika melihat wajah yang polos di depannya jika bangun akan selalu mengeluarkan kata-kata menyakitkan. Raya beranjak dari tidurnya, berjalan keluar dari lapangan, dia berjumpa dengan beberapa orang ibu-ibu yang membawa baskom penuh cucian, sepertinya mereka akan pergi kesungai yang sempat dilihat Raya sebelum sampai disini.

"Maaf, Bu. Boleh nanya?"

Si ibu memandang temannya, lalu memandang Raya dengan heran.

"Nama saya Raya, saya dengan suami tengah mencari tempat tinggal sementara di kampung ini, ada tidak ya, Bu? rumah kosong yang bisa dihuni?" Raya menunggu penuh harap, kampung ini cukup terpencil dan cocok untuk melarikan diri.

Si ibu berfikir sejenak berunding dengan kawannya.

"Ada, rumah lama saya, memang kecil dan agak reot, tapi masih layak di huni."

"Benarkah, Bu? Berapa sewanya sebulan?"

"Nggak usah disewa, dihuni saja sambil dirawat, nanti saya antar kesana setelah mencuci."

"Baik, Bu. Kami akan tunggu di sini."

Raya mendekati Fajar yang masih bergelung memeluk dirinya, dengan sekali tendangan Fajar bangun kaget bercampur marah.

"Wanita gila, kenapa kau selalu menendangku, ha?" 

Raya mulai terbiasa dengan teriakan itu tertawa kecil.

"Kau tidur seperti kerbau, aku sudah mendapatkan rumah untuk tempat tinggal kita." Raya mengambil tas punggungnya.

"Tempat tinggal kita? Siapa kau seenaknya mengatur hidupku." 

"Aku istrimu, setidaknya itu yang diketahui orang kampung ini." Raya tertawa menang. 

"Kau ini benar-benar, ya?" Fajar mulai tak sabar dengan Raya.

"Terserah maumu, kalau kau ingin mati dibantai ayahku, kau boleh pergi, tapi aku lebih memilih untuk tinggal di rumah kosong salah seorang warga yang baru aku temui."

Fajar tak punya pilihan lain selain menurut, lagi pula dia tidak punya rumah, sejak ibu tirinya bersekongkol menjebaknya dengan menikahi Raya, dia mengharamkan kakinya menginjak rumah itu.

Satu jam menunggu, Raya berlari kecil saat ibu pemilik rumah muncul dari ujung jalan. Melambaikan tangan kepada Raya agar mengikutinya. Tidak berfikir lama dua orang itu berjalan ke mana ibu itu melangkah.

"Baru menikah ya, Dek? Kelihatan masih muda."

"Iya, baru seminggu, kami hendak bulan madu namun dirampok di tengah jalan dan terdampar di sini," bohong Raya. Fajar terbatuk-batuk dengan sandiwara gadis itu.

"Kasihan, ya, berapa umurmu, Dek?"

"Saya 24, suami saya 30 tahun." Raya mengejek Fajar. Laki-laki itu melotot marah, dia belum setua itu, akhir tahun ini umurnya baru 25. Raya sengaja membalas setiap ejekan Fajar.

Mereka tiba di sebuah rumah kayu yang tidak begitu besar namun memiliki pekarangan luas, halamannya masih bersih dan seperti belum lama ditinggal. Rumah kayu itu cukup bersih dan terawat walaupun umurnya sudah tampak tua, Bu Asni nama pemilik rumah itu membuka pintu kayu yang mulai lapuk terkena air hujan.

Fajar mengikuti malas-malasan di belakang, Raya mengamati rumah itu sejenak, masih ada beberapa perabotan yang tersisisa, meja makan sederhana, kursi santai dan sofa lusuh, lemari tua serta alat-alat memasak yang tak kalah tuanya.

"Kamarnya ada dua, tapi yang ada tempat tidurnya cuma satu, yang satu lagi saya bawa kerumah baru."

"Nggak apa-apa, Bu. Ini sudah cukup bagi saya," ucap Raya.

"Oh ya, Dek, untuk air bersih buat minum dan memasak diambil di sumber air bersih sekitar lima puluh meter dari sini, untuk mandi dan mencuci semua warga pergi ke sungai."

"Saya mengerti, terimakasih banyak ya, Bu. Saya akan merawat rumah ini semampu saya." 

"Baik, saya tinggal, ya!"

"Iya, Bu." Raya mengantar Bu Asni sampai pintu. Setelah itu dia menatap tajam Fajar yang malas-malasan di sofa lusuh itu. 

Raya menutup hidungnya saat perutnya bergejolak hebat, bau kotoran sapi sangat pekat dan menusuk hidungnya, belum lagi sapi itu mengibaskan ekornya ke depan wajah Raya. Fajar menjadikan pemandagan itu sebagai hiburan, dia tidak berhenti tertawa sambil memegang perutnya.

"Hoeeekkkk." Akhirnya Raya memuntahkan isi perutnya keluar bak mobil, Fajar mendengus jijik melihat muntahan itu terbang dan berceceran di jalan. Mobil melaju kencang membelah jalan kecil yang hanya muat dilewati dua mobil yang berselisih, sekarang bahkan sudah jam dua pagi, udara pun dingin membekukan tulang.

Dua jam kemudian mereka berhenti di simpang tiga arah ke kota. Fajar sengaja berhenti di sana, jika mereka ke kota sama saja mengantarkan nyawa ke ayah Raya. Raya menggosok kedua tangannya yang terasa beku, jalan ini sangat gelap dan mereka mengandalkan cahaya minim dari lampu senter yang ada pada HP Fajar.

"Membawamu sangat menyusahkan," ketus Fajar.

"Seharusnya kau berterimakasih padaku, karena aku berhasil membantumu kabur."

"Tapi aku tidak berharap kau ikut kabur juga, kau sudah enak di istana megahmu, entah apa yang ada di pikiran bod*hmu itu sehingga berniat ikut." 

"Kau tuli atau pikun? sudah kubilang, aku ingin lepas dari kekangan ayahku. "

"Dasar manja, ada yang enak malah nyari yang susah."

"Terserah padamu."

Fajar tidak menghiraukan Raya yang terus mengekor di belakangnya, apa dia pikir ini liburan atau piknik? jika Fajar membawanya bagaimana dia bisa memberi makan gadis manja itu? dia saja tidak bisa memberi makan dirinya sendiri, Sarjana pengangguran sepertinya tidak memiliki keahlian apa-apa selain lengan yang berotot dan tubuh yang kuat.

Mereka sampai di pemukiman penduduk, rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu dan memiliki penerangan seadanya. Tidak banyak, ada sekitar enam buah rumah yang berjarak kira-kira dua puluh meter satu sama lain.

Mereka duduk di alun-alun di samping lapangan sepak bola, menunggu pagi datang dan mencari pertolongan.

Raya meletakkan tasnya untuk dijadikan bantal, merebahkan kepalanya di sana sambil mengapit kedua tangannya di antara paha karena kedinginan. Tak butuh waktu lama Raya tertidur kelelahan. 

Fajar menguap beberapa kali, dia tidak tahu kenapa Raya nekad mengikutinya, dia seorang Putri manja kaya raya yang memiliki apapun yang dia inginkan. Apa yang ada dipikiran Raya sehingga mau meninggalkan kenyamanan itu. Fajar tidak tau, dia tidak mengenal Raya dengan baik, mereka sudah terlahir dengan sifat saling bermusuhan.

Fajar tak kuasa menahan kantuknya, tanpa dia sadari tubuhnya tergolek di samping Raya. Dua anak manusia yang sama-sama tidak beruntung itu tertidur pulas karena kelelahan. Fajar menggulung dirinya seperti janin untuk menciptakan kehangatan sendiri.

Beberapa jam tertidur, Raya bangun lebih dulu, matanya membola melihat wajah Fajar yang persis di depan matanya. Dalam hatinya Raya mengakui Fajar adalah pemuda yang tampan dan rupawan, namun kepribadiannya yang kasar dan arogan membuat dia dicap jelek dimana pun dia berada, orang takkan percaya jika melihat wajah yang polos di depannya jika bangun akan selalu mengeluarkan kata-kata menyakitkan. Raya beranjak dari tidurnya, berjalan keluar dari lapangan, dia berjumpa dengan beberapa orang ibu-ibu yang membawa baskom penuh cucian, sepertinya mereka akan pergi kesungai yang sempat dilihat Raya sebelum sampai disini.

"Maaf, Bu. Boleh nanya?"

Si ibu memandang temannya, lalu memandang Raya dengan heran.

"Nama saya Raya, saya dengan suami tengah mencari tempat tinggal sementara di kampung ini, ada tidak ya, Bu? rumah kosong yang bisa dihuni?" Raya menunggu penuh harap, kampung ini cukup terpencil dan cocok untuk melarikan diri.

Si ibu berfikir sejenak berunding dengan kawannya.

"Ada, rumah lama saya, memang kecil dan agak reot, tapi masih layak di huni."

"Benarkah, Bu? Berapa sewanya sebulan?"

"Nggak usah disewa, dihuni saja sambil dirawat, nanti saya antar kesana setelah mencuci."

"Baik, Bu. Kami akan tunggu di sini."

Raya mendekati Fajar yang masih bergelung memeluk dirinya, dengan sekali tendangan Fajar bangun kaget bercampur marah.

"Wanita gila, kenapa kau selalu menendangku, ha?" 

Raya mulai terbiasa dengan teriakan itu tertawa kecil.

"Kau tidur seperti kerbau, aku sudah mendapatkan rumah untuk tempat tinggal kita." Raya mengambil tas punggungnya.

"Tempat tinggal kita? Siapa kau seenaknya mengatur hidupku." 

"Aku istrimu, setidaknya itu yang diketahui orang kampung ini." Raya tertawa menang. 

"Kau ini benar-benar, ya?" Fajar mulai tak sabar dengan Raya.

"Terserah maumu, kalau kau ingin mati dibantai ayahku, kau boleh pergi, tapi aku lebih memilih untuk tinggal di rumah kosong salah seorang warga yang baru aku temui."

Fajar tak punya pilihan lain selain menurut, lagi pula dia tidak punya rumah, sejak ibu tirinya bersekongkol menjebaknya dengan menikahi Raya, dia mengharamkan kakinya menginjak rumah itu.

Satu jam menunggu, Raya berlari kecil saat ibu pemilik rumah muncul dari ujung jalan. Melambaikan tangan kepada Raya agar mengikutinya. Tidak berfikir lama dua orang itu berjalan ke mana ibu itu melangkah.

"Baru menikah ya, Dek? Kelihatan masih muda."

"Iya, baru seminggu, kami hendak bulan madu namun dirampok di tengah jalan dan terdampar di sini," bohong Raya. Fajar terbatuk-batuk dengan sandiwara gadis itu.

"Kasihan, ya, berapa umurmu, Dek?"

"Saya 24, suami saya 30 tahun." Raya mengejek Fajar. Laki-laki itu melotot marah, dia belum setua itu, akhir tahun ini umurnya baru 25. Raya sengaja membalas setiap ejekan Fajar.

Mereka tiba di sebuah rumah kayu yang tidak begitu besar namun memiliki pekarangan luas, halamannya masih bersih dan seperti belum lama ditinggal. Rumah kayu itu cukup bersih dan terawat walaupun umurnya sudah tampak tua, Bu Asni nama pemilik rumah itu membuka pintu kayu yang mulai lapuk terkena air hujan.

Fajar mengikuti malas-malasan di belakang, Raya mengamati rumah itu sejenak, masih ada beberapa perabotan yang tersisisa, meja makan sederhana, kursi santai dan sofa lusuh, lemari tua serta alat-alat memasak yang tak kalah tuanya.

"Kamarnya ada dua, tapi yang ada tempat tidurnya cuma satu, yang satu lagi saya bawa kerumah baru."

"Nggak apa-apa, Bu. Ini sudah cukup bagi saya," ucap Raya.

"Oh ya, Dek, untuk air bersih buat minum dan memasak diambil di sumber air bersih sekitar lima puluh meter dari sini, untuk mandi dan mencuci semua warga pergi ke sungai."

"Saya mengerti, terimakasih banyak ya, Bu. Saya akan merawat rumah ini semampu saya." 

"Baik, saya tinggal, ya!"

"Iya, Bu." Raya mengantar Bu Asni sampai pintu. Setelah itu dia menatap tajam Fajar yang malas-malasan di sofa lusuh itu. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fi Da
kenapa mesti d ulang²
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pernikahan Gila    Lima Puluh Sembilan ( End )

    Beberapa jam yang lalu, mereka berkumpul di sebuah restoran sederhana. Fajar, ibunya dan ayahnya. Dua manusia yang pernah menjadi suami istri itu sempat berbincang sekilas. Mereka memutuskan untuk berdamai dan meluruskan kesalah pahaman kepada Fajar setelah berdebat dengan sengit Beberapa menit.Ayahnya sempat menangis memeluk putra semata wayangnya saat Fajar sampai di restoran beberapa jam yang lalu. Meminta maaf telah menelantarkan Fajar kecil yang menderita di tinggal sang ibu. Dia tak menyangka, Fajar tumbuh menjadi pria yang gagah dan tampan. Fajar hanya diam walaupun dalam hatinya dia juga merindukan ayahnya itu.Semuanya terungkap, walaupun sempat ada pertengkaran kecil, pada akhirnya dua orang itu mengalah dan berdamai.Ayahnya terlihat lebih tua dari seharusnya, rambutnya memutih dengan kerut yang tak bisa di hitung jumlahnya. Dia terlihat miskin dan sakit-sakitan, tubuhnya kurus dan kering, belum lagi baju kemeja lusuh yang sudah memudar warnanya.Ternyata pernikahan kedua

  • Pernikahan Gila    Lima Puluh Delapan

    Raya termangu di depan kolam renangnya. Mata cantiknya mengamati kilauan air yang tertempa sinar matahari sore. Ini sudah pukul enam sore, warna matahari sudah berubah hingga keperakan, namun setelah berjam-jam menunggu, suaminya belum pulang dan belum memberinya kabar.Raya mencelupkan kakinya ke dalam kolam. Tanpa Fajar, semuanya menjadi membosankan. Dia tidak tertarik melakukan apa pun jika Fajar tak ada di sisinya Baru saja Raya mengangkat sebelah kakinya ke permukaan, bahunya di sentuh lembut. Gadis itu berbalik dan mata kosongnya langsung berbinar bahagia. Namun, buka Raya namanya kalau tidak menuhankan gengsi."Kapan kau pulang? Aku tak mendengar suara mobilmu."Fajar duduk di samping Raya. Mengamati rambut panjang yang terurai berantakan itu."Baru saja. Kenapa? Merindukanku?"Raya mencibir, menyembunyikan rona pipinya. Dia tak mau mengakuinya, tapi otak dan tubuh tak bekerja sama. Dia malah menghambur ke pelukan suaminya itu. Fajar terkekeh senang sambil mengecup puncak kepa

  • Pernikahan Gila    Lima Puluh Tujuh

    Fajar memandang tak percaya. Wanita itu masih cantik seperti dulu, walaupun banyak kerutan yang menandakan ia sudah menua. Ibunya, masih tipe wanita yang memperhatikan penampilan. Dia cantik dengan blouse putih yang dipadukan dengan rok kembang bermotif bunga. Jika boleh Fajar berkata jujur. Dia sangat merindukan wanita didepannya. Rasanya dekapan hangat itu masih terasa di kulitnya saat ini. Bagaimana saat sang ibu mendendangkan lagu Jawa saat menidurkannya dulu. Elusan kasih sayang dan suara merdunya masih diingat Fajar dengan jelas.Pada dasarnya ibunya adalah wanita yang baik dan penyayang. Dia wanita yang sempurna. Kecantikan masa muda itu di wariskan ya ke wajah tampan Fajar. Dalam hatinya, dia ingin mengadu dan bertanya sebanyak mungkin, kemana ibunya selama ini? Apa yang dilakukannya di rumah usang dan tinggal sendirian tanpa pasangan hidup? Banyak sekali. Tapi Fajar memilih mengunci mulutnya sambil menunggu wanita itu berbicara lebih dulu."Minumlah! Teh mu sudah mulai ding

  • Pernikahan Gila    Lima Puluh Enam

    Jika ada manusia yang paling jahat di bumi ini, maka Raya lah orangnya. Bagaimana bisa wanita itu menghentikan permainan sebelah pihak saat nasib Fajar sudah di ujung tanduk. Raya dengan santai merapikan dirinya, saat Fajar masih kesusahan menata nafasnya yang terputus putus. Dia masih bersandar tak berdaya, memejamkan matanya menikmati sisa-sisa kenekatan seorang Raya. Tapi apa yang dilakukan wanita itu sekarang? Dia menjulurkan lidah nakalnya dan tersenyum mengejek."Aku tidak mau dipergoki lagi. Bagaimana pun kita masih dalam kawasan yang tak boleh berbuat mesum.""Bunuh saja aku, Raya! Kau jahat." Fajar merasa kepalanya pening. Bayangkan saja, saat hasratmu di atas awang-awang, kau malah di hempaskan ke bumi secara kasar. Rasanya lebih sakit dari pada mati."Ck ck ck ... kau selalu tak pernah puas.""Ya tuhan Raya, laki-laki mana yang akan bertahan dengan wanita seseksi dirimu, terlebih lagi dia sudah menjadi milikmu secara utuh. Oh Tuhan, aku butuh air dingin." Fajar mengusap wa

  • Pernikahan Gila    Lima Puluh Lima

    Bukan restoran mewah yang terbiasa dikunjungi Raya. Hanya warung kecil yang diberi dinding dengan spanduk bekas untuk menghalangi cahaya matahari pagi yang mulai menerobos masuk ke warung sarapan pagi itu. Raya memilih duduk di bangku paling pojok, yang agak jauh dari sesaknya para pelanggan yang menyantap sarapan dengan lahap. Bangku di pojok ini sepertinya di sengaja untuk mereka yang ingin memilih ketenangan. Langsung menghadap ke kolam ikan yang berisi ikan nila dan ikan gurami."Kamu mau makan apa?""Apa saja, yang penting enak." Raya melirik sekilas jejeran menu sarapan pagi yang di tata sedemikian rupa di atas etalase kaca. Banyak sekali pilihan sehingga Raya menjadi bingung sendiri. Dia tidak menyadari Fajar bangkit memesan kepada pemilik warung. Tak butuh waktu lama, dua piring nasi yang dilengkapi dengan telor dadar dan toping tempe yang di goreng garing bersama ikan asin.Raya mengamati sambil menikmati aroma khas yang membuat perutnya meronta minta di isi."Ini namanya na

  • Pernikahan Gila    Lima Puluh Empat

    Pagi yang cerah, matahari mulai merangkak perlahan mengintip dari celah dedaunan pepohonan yang tumbuh persis di samping jendela kamar rumah itu. Raya membuka jendela kecil tersebut menyambut udara segar yang menerpa wajahnya.Mereka sebenarnya sudah bangun setelah shalat subuh tadi. Raya berberes sejenak sedangkan Fajar kembali ke tempat tidur dengan alasan mengantuk. Hari ini, tepat satu minggu Fajar menjalani hukuman mengumpulkan batu yang akan digunakan masyarakat sebagai pagar pembatas dari luapan sungai. Kebetulan pula, kemaren adalah masa hukuman Fajar berakhir. Hari ini adalah hari minggu, hari santai bagi Fajar. Sudah lama dia tidak merasakan nikmatnya tidur setelah subuh. Walaupun dia tahu, kebiasaaan ini tidak baik.Raya mengikat rambutnya yang masih basah, lalu berjalan perlahan mendekati ranjang sambil tersenyum. Dia, sang suami yang biasanya memiliki kulit cukup cerah sudah berubah menjadi gelap karena terbakar sinar matahari saat bekerja. Namun, Raya malah menyukai wa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status