Raya memandang nanar punggung Fajar yang begitu betah membelakanginya. Ada rasa nyeri di dadanya saat laki-laki itu tak sedikit pun memberinya ruang untuk mendekatinya. Raya tidak bisa menampik lagi, hatinya tanpa sadar sudah tertawan dengan pria dingin itu. Entah sejak kapan, yang pasti ada letupan kecil di dadanya setiap mereka bertemu pandang.
Raya duduk beringsut mendekati Fajar. Menyandarkan kepalanya kebahu pria itu. Gerimis tengah malam yang menyapu atap tenda menjadi irama tersendiri bagi hatinya yang sendu.
Raya yakin, Fajar belum tidur. Namun laki-laki itu lebih memilih diam dari pada berbicara dengan Raya. Dia begitu tak terjamah, terlalu sulit untuk ditaklukkan.
Raya berdehem membersihkan sumbatan di kerongkongannya. Mencoba meresapi kedekatan ini tanpa ada penolakan dari Fajar. Dengan penuh tekad Raya menelusupkan tangannya melingkar ke perut laki-laki itu. Aroma pinus menguar begitu kuat, membuat jantungnya semakin meletup kuat.
"Ini tidak b
Fajar menata nafasnya, jalur pertama sudah dilewatinya, namun dia tidak menemukan Raya. Akhirnya Fajar mendaki kembali menuju jalur kedua, krasak krusuknya menganggu salah seorang laki-laki yang tengah menghangatkan tubuh di api unggun. Laki-laki berusia pertengahan tiga puluh itu mendekati Fajar."Ada apa, Dik?""Istri saya kabur, bang. Jalan yang ini sudah saya telusuri, tapi saya belum menemukannya," seru Fajar panik."Tunggu di sini! Saya akan kerahkan orang untuk membantu," kata laki -laki itu. Dia mematikan api rokoknya dan membuang ketanah, memanggil beberapa laki-laki dewasa lainnya yang sedang main kartu di dalam tenda.Tidak menunggu lama, beberapa laki -laki dewasa lainnya datang dengan lampu senter. Berembuk sebentar lalu Mereka langsung bergerak ke jalan yang belum ditempuh Fajar.Fajar cukup senang dengan pertolongan itu. Jika bergerak bersama, maka menemukan Raya akan semakin mudah. Dia pun tak perlu kawatir akan tersesat.Jal
Raya membuka matanya perlahan, memandang langit-langit tenda yang berwarna biru tua. Dia mencerna semua yang terjadi padanya. Seharusnya dia sudah mati, tapi kenapa dia malah bisa berada di bawah selimut yang hangat dengan keadaan baik-baik saja.Dia menoleh saat Fajar tidur di sebelahnya. Fajar melipat tangan di atas dada tanpa memakai selimut. Wajahnya terlihat lelah, Raya belum menemukan jawaban apa pun dengan kondisinya sekarang ini.Tiba-tiba rasa sakit seperti melilit mendera perut bagian bawahnya, disertai dengan keluarnya cairan hangat yang dia sendiri tidak tau itu apa.Raya bangkit, mengintip sedikit di bawah selimut. Dia datang bulan, bukan, darah datang bulan tidak sebanyak ini, dan rasanya pun tidak sesakit ini. Semakin Raya bergerak semakin banyak darah itu keluar.Raya mengguncang bahu Fajar. Membuat laki-laki itu membuka mata. Cahaya matahari mulai masuk mengintip ke celah tenda."Kau sudah sadar?" Suara Fajar serak, dia bangkit men
Dua orang itu, saling membelakangi dalam diam. Raya sibuk dengan pikirannya, Fajar pun sibuk dengan dirinya. Hujan terdengar berisik saat berjatuhan di atas tenda. Pada sore tadi, air sungai sempat naik lagi menyapu jalan besar, walaupun ketinggiannya tidak setinggi yang kemaren.Raya mengeratkan selimut pada tubuhnya. Keadaannya mulai membaik, darah yang keluar sudah tidak sebanyak hari pertama. Tampaknya, obat yang diberikan dokter bekerja dengan maksimal.Ketika Fajar bertanya apakah dia merasa kehilangan? Tentu saja tidak, dari awal dia tidak menginginkan bayi itu, yang prosesnya membuat dia hancur dalam waktu semalam. Katakanlah dia kejam, namun itulah kenyataanya, mungkin...dengan gugurnya bayi itu, semua masalah akhirnya selesai.Raya membalikkan badannya menghadap bidang bahu yang lebar milik Fajar. Beberapa hari bersama pria itu, membuatnya mulai ketergantungan. Tidak dapat dipungkiri lagi, dia menyukai Fajar. Tapi perasaanya akan berakhir sia sia
Menghitung menit, menit-menit yang menyakitkan. Fajar betah dengan diamnya dan Raya betah dengan pikirannya yang berkelana kesana kemari. Dua orang itu saling merenung dengan apa yang akan terjadi beberapa menit lagi. Bus para relawan sudah bersiap-siap, terdengat bunyi mesin mobil.yang sudah dinyalakan, menunggu para penumpang membereskan barang milik mereka.Raya hari ini sudah jauh lebih baik. Tidak tidur semalam suntuk memikirkan perpisahan mereka. Namun semua yang dikatakan Fajar benar, mereka harus kembali kepada keadaan seharusnya. Jika saja Fajar memiliki rasa yang sama dengannya, tentu semua berjalan sesuai keinginan hatinya, tapi laki-laki itu berulangkali menegaskan bahwa mereka tidak mungkin untuk bersama.Raya mendekati Fajar yang menatap datar dua bus yang terparkir di lapangan bukit. Matanya dingin, pikirannya tidak terbaca.Raya duduk berdekatan dengan laki laki itu, sehingga bahu mereka bersenggolan."Terimakasih atas semua yang kau
Raya menundukkan wajahnya. Meremas jari-jarinya pelan. Mata tua itu menatapnya tajam. Di sekelilingnya pengawal siap sedia menjaganya.Iya, memutuskan untuk kabur lalu kembali ke kota, tapi dia malah tertangkap. Hanya hitungan menit, pengawal ayahnya berhasil menyeretnya pulang. Fajar benar, dia takkan berdaya hidup sendiri. Buktinya, sekarang saja dia sudah terkurung kembali di rumah itu.Mahendra mengetatkan rahangnya. Kemudian mulai bersuara."Mana suamimu?""Kami sudah berpisah, janin itu sudah tidak ada lagi," jawab Raya datar. Sejenak tampak raut kaget di wajah tua itu, kemudian dia berhasil mengubah ekspresinya menjadi datar kembali."Baguslah." Mahendra menghisap kembali cerutunya. Lalu melanjutkan. " Berhentilah bermain-main, Raya! Kau sudah cukup umur untuk memimpin perusahaan, tak ada gunanya kau melarikan diri dari rumah," kata laki -laki itu pelan."Aku ingin menjadi orang biasa, ayah. Terkurung di sini membuatku menderita," suara Raya mulai meninggi."Dunia luar tidak b
Empat tahun kemudianRaya memijit keningnya, jam sepuluh malam, namun dia belum menyelesaikan pekerjaannya. Komputer masih menyala, dan mata Raya mulai perih dan kelelahan.Empat tahun dijalaninya dengan bekerja dan bekerja. Banyak hal yang dilaluinya selama ini, perusahaan yang memiliki banyak saingan dan musuh, namun berhasil di selesaikan dengan baik olehnya.Raya mengalihkan pandangan ke pintu ruangannya. Disana, Mario, laki -laki tampan yang rangkap jabatan sebagai bawahan dan teman dekatnya. Dia duduk di sofa, memandang Raya yang tampak lelah."Ayo kita pulang," kata Mario. Dia mendekati Raya, membantu gadis itu mematikan komputernya. Raya meregangkan ototnya, tersenyum sekilas pada Mario."Oke, kau yang bawa mobil! Aku lelah." Raya menyerahkan kunci mobilnya pada Mario. Mario mengangguk dengan senang hati. Dia tinggal di apartemen yang sama tapi berbeda lantai, sering berangkat bersama dan pulang bersama. Mario adalah laki-laki yang baik. Dia sangat tulus dan perhatian, memper
Fajar menyelesaikan latihan khusus lebih cepat dari seharusnya. Dia adalah seorang anggota yang paling berhasil dalam menyelesaikan beberapa pekerjaan. Semua yang memakai jasanya merasa puas. Namun, dia menolak di kontrak lebih dari setahun. Tidak ada alasan khusus, hanya ingin berganti suasana.Hari ini kontraknya dengan pengusaha asal Swedia berakhir. Setahun laki-laki kaya itu memakai jasanya sebagai bodyguard. Dia mengajak Fajar berkeliling dunia, singgah keberbagai negara. Fajar bekerja dengan sangat profesional, dia memegang teguh kedisiplinan dan tanggung jawab. Keselamatan tuannya adalah prioritas utama.Hari ini Fajar sampai di kantor setelah setahun tidak pulang ke Indonesia. Kepala plontos dan tubuh tinggi berototnya, serta raut wajah yang semakin datar. Pesonanya tak bisa lagi ditampik oleh lawan jenis, usia hampir tiga puluh dan menjadi laki laki dewasa yang matang. Handoko memeluk Fajar, dia sangat merindukan anak buahnya itu. Fajar adalah sebuah kebanggaan, beberapa bu
Fajar merebahkan tubuhnya setelah menata perabot baru di apartemennya. Apartemen ini cukup luas, dengan tiga kamar tidur dan dua kamar mandi. Fajar menatap langit langit, matanya menerawang jauh. Dia sudah memiliki semuanya sekarang. Pekerjaan tetap dan juga uang, tapi belum juga dia bahagia.Fajar bangkit, memasang kemejanya tanpa dikancing. Lalu keluar dari apartemennya. Dia kaget, Raya ... di sana sedang memegang cangkir tehnya, meniupnya sekilas, matanya memandang jalan ibu kota.Fajar berdehem, menyadarkan Raya. Gadis itu langsung menerbitkan senyum, bukan Raya yang dulu. Raya yang ini kelewatan ramah. Dan, semakin asing."Belum tidur, Mas?" sapanya. Fajar menggeleng. Panggilan ' Mas ' itu sangat mengganggu."Kita belum sempat berkenalan, saya Raya, Mas?"Fajar terhenyak, wanita ini sudah dipastikan Raya, tak ada lagi alasan untuk meragukannya. Lalu buat apa perkenalan tak berguna ini. Ini terlalu berlebihan. Dia ingin berhenti pura -pura. Tangan Raya masih terulur, karena tak a