Di sebuah ruangan yang minim cahaya, seorang pemuda tampan menatap jasad sang adik dengan kondisi tubuh yang mengenaskan. Di depannya sudah terdapat dua orang yang masih tak percaya dengan apa yang dialami gadis malang itu. “Apa kau puas?” tanya Alfarizki yang merupakan kakak dari gadis yang sudah pergi untuk selamanya.
“Maksudnya?” tampak seorang laki-laki seumuran dengannya mengerutkan dahinya, dia adalah Abidzar, kakak dari Nesya.
“Kak Fariz..!!” Nesya berteriak histeris, ketika Alfarizki yang kerap dipanggil Fariz itu menyerang kakaknya tiba-tiba.
“Hentikan!” dengan sekuat tenaga Abidzar menghentikan aksi sahabatnya yang sudah seperti orang kesurupan.
Menatap sahabatnya yang masih memukulnya, Abi mencoba menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi, “ini nggak seperti yang kamu kira!”
“Lantas apa? Kalau nggak bisa dapetin Amel, bukan berarti kamu harus melakukan ini Abi!” teriak Fariz seraya mengacak rambutnya, laki-laki itu menangis, kehilangan keluarga satu-satunya, apalagi orang tersayangnya.
Abi dan Nesya tertegun, tidak percaya jika orang yang sudah bersama selama bertahun-tahun kini tidak mempercayainya, Nesya tahu jika kakaknya telah lama menaruh hati pada gadis yang masih berstatus mahasiswi itu, namun cintanya bertepuk sebelah tangan karena Amel sudah memiliki kekasih. Merasa cintanya yang tak terbalaskan serta derajat status sosial yang tak sebanding, Abi memilih mundur, mengubur perasaannya dalam-dalam. Baik Nesya maupun Fariz tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi, mereka datang dan mendapati Amel sudah meregang nyawa dengan Abi yang menemaninya. Kesalahpahaman pun terjadi, dimana tidak ada barang bukti yang ditemukan membuat Fariz semakin geram.
Fariz merasa bahwa dunianya hancur, masih syok dengan apa yang dialaminya, dia sudah gagal menjalankan amanah mendiang orang tuanya yang memintanya untuk menjaga Amel. Tangannya merengkuh tubuh yang sudah tak bernyawa itu, mendekapnya dan membawa dalam kehangatan, berharap jika ini adalah sebuah mimpi buruk. Terus berteriak dan menepuk pipi sang adik, merasa tak mendapat respon, air mata Fariz pun luruh, pertama kalinya laki-laki humoris itu menangis. Diangkatnya tubuh Amel, mengusap air matanya kasar, Fariz berbalik kemudian berucap pada pasangan kakak beradik itu. “Kalian tenang saja, aku tidak akan membawa kasus ini ke ranah hukum. Tapi aku pastikan kalian mendapat ganjaran yang setimpal!”
“Fariz!” panggil Abi namun tidak ditanggapi oleh Fariz, laki-laki itu telah memasuki mobil dan pergi meninggalkan tempat itu.
“Kak..” cicit Nesya, tubuhnya gemetar seiring dengan cairan bening merembes ke pipinya.
“Jangan takut, ada kakak,” Abi mendekap tubuh mungil itu, sebagai orang yang sudah seperti orang tua pengganti bagi Nesya, Abi tahu betul jika gadis itu tengah ketakutan.
“Tapi kak Amel..” tangis Nesya pecah, tak kuasa lagi membendung kesedihannya, melihat kepergian Amel yang begitu cepat dalam kondisi mengenaskan.
“Ssst sudah jangan menangis, Amel sudah tenang di sana,” mencoba menghibur adiknya meski dadanya terasa sesak saat mengatakan itu.
Selang beberapa menit kemudian, mereka pun pulang meninggalkan rumah kosong yang menjadi saksi bisu semua kejadian tersebut.
“Yaah putus,” menjinjing sandal jepit yang sudah lusuh, Nesya memperlihatkan pada kakaknya.
“Pakai sandal kakak aja ya?” merasa tak tega melihat adiknya yang berjalan tanpa alas kaki, Abi melepas sandalnya dan memberikannya pada Nesya.
“Kebesaran,” Nesya melihat kaki kecilnya mengenakan sandal kebesaran milik kakaknya.
Abi menepuk jidatnya, diambilnya kembali sandal itu kemudian dia berjongkok, “ayo naik!”
“Gitu dong, peka!” Nesya tertawa cekikikan kemudian melompat ke punggung sang kakak, sementara Abi hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Hidup jauh dari kemewahan, bisa makan saja rasanya sudah syukur. Fariz dan Abi sama-sama yatim piatu, namun nasib mereka berbeda, jika Fariz mendapat warisan harta yang berlimpah, tapi tidak dengan Abi, ditinggalkan oleh orang tuanya dengan setumpuk hutang. Keduanya menjalin persahabatan sejak lama, Fariz sangat mengetahui seluk beluk keluarga Abi, namun tidak bagi Abi. Dan sayangnya lelaki tampan itu malah jatuh hati pada adik Fariz yang memiliki kecantikan paripurna.“Nesya..” panggil Abi saat mulut cerewet itu berhenti berceloteh, lelaki itu menghela nafas saat tahu jika adiknya tertidur.Melanjutkan perjalanan yang masih lumayan jauh, namun tak jadi masalah bagi dirinya yang hampir setiap hari berjalan kaki. Kembali memikirkan kejadian barusan, di mana dia terlambat menyelamatkan nyawa gadis yang kini sudah dianggap seperti adiknya sendiri. Jauh di lubuk hati yang paling dalam, Abi merasa kaget sekaligus membenci dirinya sendiri. Pikirannya mulai melang
Tak terasa bahwa malam telah berganti menjadi pagi yang cerah, terdengar suara ketukan berulang kali di pintu kamar Nesya. Hari sudah menjelang siang, tidak seperti biasanya Nesya belum keluar dari kamarnya. Merasa tidak ada tanda-tanda keberadaan adiknya, Abi pun mendobrak pintu kamar Nesya. Matanya menatap seluruh ruangan, tubuhnya menegang saat tak mendapati Nesya di kamar itu, menyusuri setiap ruangan di rumahnya. Akan tetapi nihil, Nesya memang tidak ada disana, hanya secarik kertas yang berisi tulisan menjawab kecemasannya.“Bedebah!” tangannya merobek surat itu, tubuhnya ambruk, dia tahu jika pelakunya tak lain adalah Fariz, dugaannya benar jika Nesya yang akan menjadi sasaran Fariz untuk melampiaskan dendamnya. Abi merasa bingung, entah kemana dia harus mencari Nesya.“Bagaimana keadaan kamu Nesya?” laki-laki itu bangkit kemudian bergegas menuju rumah Fariz.“Cari siapa mas?” tanya seorang wanita setengah baya, Abi tah
Tersenyum puas melihat Nesya sudah lemas tak berdaya, apalagi Nesya sampai saat ini belum menyentuh makanan ataupun minuman. Tangan kekarnya merobek pakaian Nesya yang sudah basah, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang menggoda, gadis itu hanya bisa menangis tanpa suara, apalagi saat tubuhnya benar-benar sudah polos tanpa sehelai benang pun.“Tubuhmu lumayan bagus, bagaimana kalau aku mencobanya?” suara Fariz mendayu-dayu di telinga Nesya, tangisnya semakin menjadi saat Fariz mencium bibirnya, tangannya pun tak tinggal diam, harga diri Nesya terasa diinjak-injak. Awalnya menjadi seperti ratu, kini dia diperlakukan layaknya lebih rendah dari kupu-kupu malam.Fariz menyudahi aktivitasnya, ia mendorong Nesya hingga terantuk di dinding. Ia melempar sebuah handuk kemudian meninggalkan Nesya yang masih menangis.“Kak Abi..” Nesya menangis tersedu-sedu seraya meremas handuknya, tubuhnya merosot hingga ke lantai, bagaimana bisa dia akan menjalani ha
“Kamu di mana Nesya?” mengusap wajahnya kasar, sudah seminggu berlalu, tiada hari tanpa mencari adiknya yang hilang entah ke mana. Belum lagi harus terlibat perkara rumah yang akan digusur karena itu bukan tanah miliknya.Abi benar-benar frustasi, bahkan akhir-akhir ini kondisinya melemah, makan tidak teratur serta keseringan begadang. Kepergian Nesya dan Fariz benar-benar tidak berjejak, sepertinya Fariz telah menyiapkan rencana dengan sangat baik. Laki-laki itu menghela nafas, melihat sekelompok orang yang menghampirinya, Abi tahu jika itu adalah anak buah dari pemilik tanah yang ia tempati saat ini, rencananya sang pemilik akan membangun penginapan karena letaknya sangat strategis.Pasrah saat mereka meminta Abi untuk mengemasi barang-barangnya, sekuat apapun dia menolak, tetap saja dia tidak bisa menang, apalagi ini adalah bukan miliknya. Rasanya berat meninggalkan rumah yang tersimpan banyak kenangan itu, Abi harap-harap cemas. Bagaimana seandain
Duduk seraya menikmati pertunjukan renang gaya batu, Fariz tahu jika Nesya tidak bisa berenang, padahal dulu beberapa kali Fariz pernah mengajarinya. Selang beberapa menit kemudian, ia melepas kausnya kemudian menceburkan diri ke kolam. Mengangkat Nesya yang sudah pingsan, lelaki itu menggerutu.“Menyusahkan saja!” membaringkan Nesya di tepi kolam, Fariz menekan dada Nesya, merasa tak ada pergerakan dari gadis itu, Fariz memberikan nafas buatan kepadanya.Nesya terbatuk, bersamaan dengan air yang keluar dari mulutnya. Sontak dia memeluk tubuh kekar itu, menangis sejadi-jadinya dengan tubuh yang menggigil. Nesya benar-benar takut, jiwanya terasa tertekan. Fariz mendorong tubuh yang basah kuyup itu, ditariknya tangan Nesya agar dia berdiri, kini Fariz benar-benar tak punya hati.“Hentikan kak..” pinta Nesya saat Fariz kembali mengguyurnya dengan air dingin di kamar mandi.“Berapa kali aku bilang hah? Apa telingamu sudah tidak b
Nesya membuka matanya yang terasa sembab, semalaman dia menangis karena menahan perih bercampur gatal yang menjalar di kulitnya. Mengepalkan tangannya, dadanya bergemuruh, kini Nesya sangat membenci Fariz, laki-laki yang telah merenggut kebahagiaannya serta memisahkan dirinya dari sang kakak. Ia malas untuk beranjak dari tempat tidur, tak peduli jika nanti Fariz akan marah karena dia tidak melakukan tugas dan kewajibannya. Hingga akhirnya pintu kamarnya didobrak, terpampanglah manusia berhati iblis yang menatapnya tajam, “beraninya kamu bermalas-malasan! Aku membawamu kemari bukan untuk bersantai, apa kamu berpikir bisa tinggal di rumah mewah ini dengan cuma-cuma?” ujarnya seraya menarik pergelangan tangan Nesya. “Lepas!” Nesya menggigit tangan Fariz membuat dia semakin murka. “Wah.. wah, rupanya adik kesayangan pembunuh telah mengeluarkan taringnya, hebat!” Fariz tersenyum miring seraya menatap tangannya yang terdapat bekas gigitan Nesya. “Kakak buka
Dengan telaten, Fariz memandikan Nesya yang masih belum sadar, sesekali dia memberi pijatan lembut di tubuh Nesya. Setelah terasa cukup, Fariz kembali membopong gadis itu kemudian memakaikan pakaian pada Nesya juga dirinya sendiri. Menidurkan Nesya di tempat tidur kemudian menyelimutinya, meskipun telah dibutakan oleh dendam, tetapi jauh di lubuk hati yang paling dalam, ada perasaan tidak tega pada gadis itu. Laki-laki itu meninggalkan Nesya, Ia menuju ke dapur untuk membuatkan sesuatu untuk Nesya, lagi-lagi sisi iblisnya keluar, tersenyum sambil mengolah bahan-bahan hingga matang. Fariz kembali ke kamar Nesya, dilihatnya mata gadis itu masih terpejam. Ia duduk di sebelah Nesya, menyandarkan tubuhnya di senderan ranjang. Ia membuka aplikasi berlogo hijau kemudian mencari kontak sang kakak dari gadis yang telah dia renggut kesuciannya, Fariz melakukan panggilan video menggunakan nomor ponsel yang sudah diganti sebelumnya. “Fariz..!!” terdengar lelaki di sebera
Bak sehabis menang undian, Nesya sangat terharu bahkan sampai meneteskan air mata, dilihatnya sosok yang selama ini dia rindukan, wajahnya yang tampan menyiratkan betapa letihnya Abi. Masih dengan posisi yang sama, dimana Fariz juga ikut menyaksikan pertemuan adik dan kakak itu meski hanya via telepon. “Nesya baik-baik aja kak,” jawab Nesya meski hatinya terasa disayat-sayat, apalagi saat tangan Fariz mencubit pahanya agar Nesya tidak membocorkan semuanya. “Tidak, kamu nggak baik-baik saja! Katakan kamu dimana Nesya, kakak akan membantumu agar terlepas dari manusia itu!” tangan Abi menunjuk Fariz. Fariz berdecih, dengan tak tahu malunya dia menghisap leher Nesya, tangannya pun meraba-raba dada Nesya dan meremasnya. Abi melebarkan manik matanya, ia menatap Nesya yang memberontak sambil menangis. “Bangs*t! Hentikan tindakan konyolmu itu Fariz!!” melihat Nesya yang menghadap Fariz karena kaus bagian depannya terangkat, sementara kedua tangannya digenggam