Share

Bab 3 Akan Kubawa Amar

Mobil berjalan dengan kecepatan sedang, Manan hanya terdiam saat Safia merengek untuk minta diantar ke makam Suaminya. Hingga tiba di rumah yang sangat besar dan di sebelahnya ada makam Keluarga yang di jaga ketat.

"Mas Manan ini di mana?" tanya Safia.

"Di sanalah suamimu di makamkan Itu menurut info yang aku tahu," ucap Manan.

"Mana mungkin? Mas Akran itu tinggal di rumah yatim piatu," jawab Safia sambil mengeryitkan dahinya.

"Cobalah dulu jika tidak bisa langsung kembali kesini," Saran Manan.

"Baiklah!" ucap sambil turun dari mobil ia pun berjalan mendekati sekuriti yang menjaga pemakaman itu dan mulai berdebat dengan mereka tetapi akhirnya Safia kembali dengan wajah kesalnya.

Wanita itu membuka pintu mobil dan menutupnya sangat kasar serta menghentakkan pantatnya dengan sangat keras.

"Aku sangat kesal mereka tidak membolehkanku masuk. Kenapa aku tidak tahu apa-apa tentang Mas Akran, ya?," gerutunya

.Manan hanya diam dan menyalahkan kembali mobilnya berjalan berbalik arah. Sedangkan Safia masih tetap memikirkan tentang almarhum suaminya itu.

Setengah jam kemudian mereka sampai di rumah Safia. "Turunlah aku titip Amar, tolong jaga dia sepulang dari kantor aku akan ke sini mengunjungi Amar."

Safia menoleh pada pria itu dan mengangguk lalu membuka pintu dan turun. Setelah itu, mobil berjalan kembali meninggalkan rumah Safia

Safia menghela napas menatap mobil yang menjauh. Kakak iparnya itu tidak punya alasan untuk tinggal di rumah lagi sepeninggal Laila kakaknya.

Safia masuk kedalam rumahnya dengan menyapu pandangannya di sudut-sudut tempat dan ruangan. Sekelebat lintasan peristiwa teringat kembali.

'Kenapa begitu misterius kematian suaminya dan kenapa aku harus menandatangani surat itu di saat aku kesakitan? anaknya butuh pertolongan cepat. Surat apa sebenarnya yang aku tandatangani itu,' pikirnya.

Ia melangkahkan Kakinya menaiki tangga menuju kamarnya. Ia membuka pintu dan terlihat box bayi di samping tempat tidur hatinya menghangat.

Ia menghampiri dan menatap bayi yang berumur empat hari itu. "Hai, boy aku Tantemu, akan kuberikan kasih sayangku layaknya seorang ibu, jadi jangan khawatir kau tidak akan kehilangan kasih sayang sebab akan ada banyak kasih sayang yang datang untukmu." Safia membelai pipi bayi mungil itu dengan lembut.

-0-

Hari berganti hari Safia selalu sibuk dengan ponakannya, setiap malam selalu terbangun untuk memberikan Asi pada Amar uniknya bocah itu hanya mau minum dari sumbernya sehingga Safia tidak pernah memompa ASI untuk ditaruh di dalam freezer.

Tak terasa sudah 40 hari lebih dan masa Iddah Safia sudah selesai. Melihat ketergantungan Amar terhadap Safia itu membuat orang kedua belah pihak mempunyai keinginan untuk menikah Manan dan Safia, agar Safia bisa melupakan Akran dan putri yang sudah meninggal juga ada pelindungnya

Di acara makan malam bersama orang tua Safia menyampaikan keinginan mereka dan keinginan orang tua Manan.

"Aku tidak bisa, Bu, yah. Mas Manan itu sudah ku anggap sebagai mas aku sendiri, bagaimana mungkin aku bisa menikah dengannya? tolonglah jangan memaksa," ucapnya memohon

"Mereka tidak ingin menjalin ikatan dengan orang lain, kau tidak bisa menolaknya, mau tidak mau kau harus menikah dengan Manan," ucap Ibu Safiah dengan tatapan kesal.

Safia kesal ia meninggalkan ruang makan dengan perut kosong ia sudah tidak berselera makan lagi. Ia berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.

'Apa-apaan mereka, bisa-bisanya menentukan hidupku, aku bisa menjadi ibunya Amar tanpa harus menikah dengan Mas Manan,' pikirnya

Ia membuka pintu dengan kasar dan menutupnya sangat kencang lupa di kamarnya ada Amar keponakan itu dan bayi itu langsung menangis keras.

Ia tergopoh -gopoh menghampiri box lalu mengangkat Amar dan menggendongnya sambil mengayun-ayun agar dia diam.

"Oh, sayang maafkan Tante, kau pasti kaget bukan?" ucapnya menenangkan bayi itu.

Terdengar ketukan pintu dari luar membuatnya harus berteriak lebih keras. "Masuklah!"

Masuklah bik Mina dengan senampan makanan dan minuman kemudian di letakan di atas meja lalu berpesan agar memakannya sebab dia sedang menyusui Amar.

"Ia hanya mengangguk saja dan bik mina pun pamit meninggalkan kamar majikan mudahnya itu.

Setelah sekian lama bayi itu kembali tenang. Safia meletakan kembali amar ke tempat tidurnya lalu ia melangkah ke sofa dan duduk di sana mulai memakan makanan.

'Apa yang kukatakan pada Mas Manan, jika mereka ingin mewujudkan keinginannya, aku sudah menganggapnya sebagai kakakku sendiri. Andai mbak Laila masih hidup mungkin tidak akan terjadi perjodohan ini. Mas Akran aku harus apa?' tanya dalam batinnya air matanya menetes membasahi pipinya.

Sementara itu Manan di ruangan di rumahnya juga sangat gelisah. Ia tidak mungkin menuruti kehendak orang tuanya untuk menikahi Safia. Ia masih sangat mencintai Laila.

"Ahh ... sialan kenapa kalian memaksa dan membawa Amar dalam masalah ini, tanpa pernikahan Safia masih bisa menjadi ibu Amar karena dialah yang memberikan ASI untuk Amar," gerutunya kesal.

Manan berfikir sangat keras, ia keluar dari rumahnya dan masuk kedalam mobilnya lalu menjalankannya dengan sangat kencang serta berhenti di rumah orang tua Safia.

Ia mengucapkan salam lalu masuk kedalam mencium punggung tangan orang tua Safia dan bertanya tentang keberadaan Safia lalu ia pun berjalan menaiki tangga menuju kamar Safia.

Mengetuk pintu berkali-kali hingga terdengar suara dari dalam. "Sebentar aku sedang menyusui."

Manan menghelah napasnya, ia berdiri menunggu hingga setengah jam lamanya lalu terdengar kembali suara dari dalam. "Masuklah aku sudah selesai!"

Pintu terbuka dan pria itu menerobos masuk kedalam lalu mencengkram tangan wanita itu sambil menatapnya tajam.

"Apa kau menerima permintaan mereka, Safia? Jawab aku!" tuntut Manan.

"Apa maksudmu, Mas? Aku tidak mengerti!" tanyanya bingung

"Jangan pura-pura tidak tahu apa yang sedang ku bicarakan!" teriaknya keras.

"Pelankan suaramu Mas! Nanti Amar terbangun," ucapnya lirih.

Manan menghembuskan nafasnya ia mencoba untuk meredakan amarahnya. "Kau tahu bukan orang tua kita menginginkan kita menikah demi Amar?" tanya Manan pada Safia.

"Iya tetapi aku belum menerimanya," jawab Safia

"Itu artinya kamu akan menerimanya?" tanya Manan dengan memicingkan matanya

"Tidak juga, aku tidak ingin mengkhianati almarhum suamiku dan almarhumah mbak Laila tetapi aku bisa apa? Kau yang harusnya menolak, bukan aku!" teriak Safia lirih dengan mata yang mulai basah.

"Akan kubawa pulang Amar! Kau kirimkan saja ASImu biar nanti diambil pegawaiku! Mulai sekarang Amar harus belajar meminum ASI dari botol agar tidak ketergantungan padamu," ucapnya dengan tegas sambil mengambil Amar dari box tempat tidurnya.

"Mas, akan kamu bawa Amar kemana? Tolong jangan lakukan itu aku akan berusaha menolak mereka!" teriak Safia mencegah Manan membawa Amar pergi.

"Tidak, Safia! kau tidak akan bisa menolak mereka jika Amar berada di sini, aku bisa mengurusnya sendiri tanpa bantuanmu. Akan kubeli ASImu itu!" putus Manan dengan tegas.

"Mas Manan, Jangan begitu! Aku tidak pernah menjual ASIku." tangis Safia pecah tetapi Manan tidak memperdulikan lagi. Ia sudah memutuskan untuk tidak akan dekat secara emosional dengan Safiah Mantan adik iparnya itu.

Ia berjalan keluar dengan langkah lebarnya. "Kemasi pakaian Amar nanti pegawaiku yang akan mengambilnya."

"Mas Manan, tolong jangan lakukan ini! Amar adalah nyawaku, aku tidak bisa berpisah dengannya," pinta Safia memohon.

Namun, Manan menulikan telinganya ia terus berjalan menuruni tangga dan di susul oleh Safiah ketika anak tangga hanya beberapa undakan saja untuk mencapai lantai bawah kaki Safia terkilir hingga pijakannya tidak seimbang ia pun jatuh terguling dan meringis kesakitan. Manan menghentikan langkahnya dan memejamkan matanya dia sangat dilema.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status