Share

Bab 2 Di mana Kak Laila?

Manan berjalan menuju ruang rawat Safia setelah melihat putranya, bayi itu tidak mau meminum susu formula dan selalu menangis. Ia ingin Safia membantunya dengan memberikan putranya AsI. Tanpa sengaja ia tadi melihat pakaian Safia basah di bagian dadanya dan berharap adik iparnya itu mau membantunya.

Sesampainya di depan pintu ruangan Safia ia pun membukanya alangkah terkejutnya dia, saat pintu terbuka. Darah mengalir dari pergelangan tangan Safia cukup banyak dan wanita itu mulai terlihat pucat serta lemas, ia berlari ke arah ranjang Safia menekan berkali-kali tombol memanggil dokter atau perawat sambil menggenggam tangan wanita itu, berharap darah tidak terlalu banyak mengalir.

"Apa yang kau lakukan? Kau tahu ini tindakkan dosa, kau tahu bukan?" teriaknya menggelegar.

Dokter pun datang dan melihat apa yang terjadi ia terkejut dan segera melakukan tindakan untuk menghentikan pendarahannya.

Safia kecewa apa yang dia inginkan tidak terwujud, setelah dokter itu pergi Safia menatap tajam pada Kakak iparnya itu.

"Kenapa kau menyelamatkan aku? Aku tidak ingin hidup lagi! Aku ingin menyusul suami dan anakku, urusi saja hidupmu sendiri dengan Mbak Laila dan putramu itu!" teriaknya putus asa.

"Dengarkan Aku, Fia! Kau masih muda, suatu saat nanti kamu akan bertemu jodohmu kembali, jangan bertindak bodoh suami dan anakmu akan bersedih melihatmu seperti ini. Setidaknya hiduplah untuk anakku, keponakanmu yang masih membutuhkan Asi. Laila tidak bisa memberikannya, tolonglah dia tidak mau minum susu formula," ucap Manan mengiba setelah mengeraskan suaranya.

"Kenapa, Mbak Laila tidak bisa menyusui, apa ASInya tidak mau keluar? Kenapa justru aku yang kehilangan anak yang melimpah? Dunia sungguh tidak adil, aku ingin pergi dari dunia ini, Mas Manan. Aku tidak ingin hidup lagi. Aku sudah tidak punya cinta, sudah habis mereka tidak ada di sisiku, Huhuhu ...." Terdengar isak tangisnya.

"Kau tidak boleh mendahului takdir, Fia! kau harus bisa mengikhlaskannya, kasihan suami dan anakmu!"teriak Manan sambil pergi meninggalkan Safia sendirian di ruangannya yang masih menangis meratapi hidupnya.

Tak lama kemudian pria itu kembali keruangan Safiah dengan menggendong putra yang tak mau berhenti menangis.

"Fia, lihatlah dia dari tadi menangis aku tidak tahu harus apa? Tolonglah!" pinta Manan menghiba

"Baiklah, bawa dia ke mari dan tolong panggilkan suster," pinta Safia.

Manan berjalan menuju ranjang Safia ia memberikan putranya ke gedongan Safia. lalu menekan tombol memanggil suster atau pun dokter.

Sungguh aneh bayi kecil itu pun berhenti menangis dalam dekapan Safia. Saat suster datang Manan menjelaskan apa maksud memanggil suster ke ruangan itu dan suster pun mengerti.

Suster berjalan menghampiri Safia sedangkan Manan keluar ruangan itu. Kemudian, suster membantu Safia mengarahkan mulut si kecil kepada sumber makanannya. setelah bayi Itu menyesap dengan sangat lahapnya. seolah mengatakan ia sedang lapar.

Air matanya merembes keluar, sungguh dia merasakan sesuatu yang luar biasa. Merasa jiwanya tenang dan merasa dibutuhkan. Setelah suami dan anaknya meninggal tidak ada kehidupan di dirinya lagi. Sekarang hati dan jiwa terketuk.

Setelah kenyang bayi itu pun tertidur, Safia menaruh bayi di ranjangnya di sebelah dia berbaring.

Manan melihat dari celah pintu yang terbuka sedikit. Melihat sang putra sudah tertidur lelap ia pun legah.

Pria itu mengusap wajah dengan sangat kasar. Ia tidak tahu bagaimana cara mengatakan pada Safia tentang Laila.

Sampai sekarang Safia belum tahu kalau kakaknya itu telah meninggal. Lalu bagaimana besok jika tidak pulang bersama Laila.

Manan membaringkan tubuhnya di kursi panjang lalu memejamkan matanya, tak lama kemudian terlelap dan terbangun saat azan subuh berkumandang dan ia pergi ke masjid rumah sakit setelah itu kembali ke ruangan Safia.

Ia mengetuk pintu, khawatir saat masuk ruangan itu, Safia sedang memberikan ASI pada putranya itu.

"Masuk!" perintah Safia.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Manan pada wanita itu.

"Aku baik, trimakasih telah membawa keponakanku ke mari ia sangat tampan, Siapa namanya?" tanya Safia.

"Aku belum memberikan nama untuknya, boleh aku membawanya ke ruang bayi agar bisa di mandikan?" tanya manan pada Safia.

"Boleh," jawabnya sambil mengambil bayi lelaki itu dan di serahkan pada Manan.

Manan menggendong putranya dengan sangat hati-hati lalu keluar dari ruangan itu menuju ruangan bayi.

Hari berganti hari tidak terasa Safia sudah tiga hari berada di rumah sakit dan ia mulai berkemas untuk pulang tidak banyak pakaian yang harus dibawa pulang karena hanya tiga potong baju saja yang dibawakan oleh kakak iparnya.

Manan datang ke ruangan Safia dengan menggendong anaknya. "Apa kau sudah siap?"

"Iya, Mana mbak Laila?" tanya Safia

"Dia sudah pulang lebih duluan," jawab dengan tenang.

"Loh, dengan siapa? Kenapa tidak sama-sama saja?" tanya Safia.

"Dengan Ayah, Laila belum bisa berjalan dia harus memakai kursi roda jika sama-sama dengan kita akan sedikit merepotkan, aku kan sedang menggendong Ammar," ucap Manan berbohong.

"Baiklah, ayo kita pulang!" ajak Safia meraih Ammar dari gendongannya Manan

Mereka pun keluar dari rumah sakit lalu mereka menaiki mobil dan berjalan meninggalkan rumah sakit. Di tengah perjalanan Safia terheran karena jalan yang dilewati bukan jalan pulang.

"Kita mau kemana?" tanya Safia.

"Kita pergi di suatu tempat. Ayah dan Ibu sudah menunggu di sana," ucap Manan.

"Kenapa Tidak kau katakan saja kita pergi kemana, mas?" protesnya sambil menatap tajam pada sang kakak ipar.

"Kau akan tahu sendiri nanti," ucapnya tenang.

Mobil pun berhenti di sebuah pemakaman umum dan di sana sudah menunggu orang tua Safia. "Kita Kesini?"

Manan mengambil alih Ammar dari gendongan Safia dan turun dari mobil lalu ia berjalan menghampiri mertuanya dan menitipkan putranya setelah mencium punggung tangan mereka.

Safia masih bingung, sebenarnya untuk apa kakak iparnya membawanya ke mari tetapi ia tetap mengikuti kakak iparnya itu hingga dia pun terkejut dengan sebuah pusaran yang bernamakan Laila binti Manaf dan ada lagi bernama Wulan binti Arkan.

Safia terpaku menatap nisan itu kakinya seperti membeku Lidahnya menjadi Keluh ia menatap sang kakak ipar dengan tatapan tajam.

"Inikah yang kau sembunyikan dariku, Mas? Kenapa tidak kau katakan saja? Kau kira aku Rapuh? tanyanya pada Manan.

"Bagaimana aku bisa katakan padamu, Fia ? Lidahku sendiri saja terasa keluh, aku tak sanggup mengatakannya," ucap Manan

"Lalu dimana makam suamiku?" tanya Safia

"Dia dimakamkan di tempat khusus itu sebabnya waktu kamu kesakitan kemarin mereka bersikeras meminta tanda tanganmu dan setelah itu kau pingsan. Apa kau tidak ingat itu?" tanya Manan pada Safia.

Dia kembali termangu terduduk di depan nisan dengan kaki yang lemas, setengah jam kemudian ia menatap Manan. "Antarkan aku ke makam suamiku," pintanya dengan suara lirih.

"Aku tidak bisa, Safia," ucap Manan, sesungguhnya pria itu curiga tentang sesuatu hal yang belum bisa ia pastikan sebab menurut tetangga mereka tidak diperbolehkan mengantar sampai lokasi pemakaman dan hanya bisa sampai keluar pintu gerbang rumah mertuanya saja.

"Apa yang kau sembunyikan lagi dariku Mas Manan?" tanya Safia pada pria itu.

Manan terdiam tak mampu berkata apa-apa lagi ia hanya berjalan pergi menuju mobil tanpa menghiraukan rengekan Safia yang semakin membuatnya pusing.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status