Share

Bab 6 Kau Salah, Mas!

Mata Safia menatap manan penuh dengan ketakutan, ia tidak percaya lelaki yang dikenal lembut itu kini terlihat sangat menakutkan.

Manan terus berjalan ke depan mendekati Safia yang berjalan mundur dan membentur tembok itu. Ia begitu sangat marah pada Safia, yang membuat ia terpaksa menikahi wanita itu.

"Katakan saja dengan jujur, kalau kau membutuhkan belaian sebab almarhum suamimu tidak pernah memberikannya, Hem ...." Manan mencengkram rahang Safia.

Wanita itu menangis tak sanggup menjawab apa yang dikatakan Manan, ia hanya menggeleng sambil berurai airmata.

"Inikah yang kau inginkan, Safia? Ayo jawab aku!" teriak Manan sambil melepaskan cengkraman di rahang Safia. Namun, sekarang bibirnya menyapu pipi Safia.

"Ti- tidak kau salah paham, Mas," kata Safia

"Aku salah paham, katamu? Mana yang membuatku salah paham? Jawab Safia!" teriak Manan menggelegar membuat Safia terjengkit.

"Aku tidak bisa menolak mereka lalu kenapa kau sebagai lelaki tidak menolak, kau bisa menolak, 'kan?" teriaknya.

"Kau pikir aku bisa setelah kita di tuduh berzina, Semua itu karena kamu, kau mengerti!" teriak manan lagi.

"Baik, aku akan kabulkan! Kau ingin kehangatan bukan?" sarkasnya.

"Nikmatilah!" ucapnya dengan kasar bibirnya mulai menyambar bibir Safia melum4tny4 dengan kasar lalu menggigitnya hingga berdarah. Bibir menyapu kebawah tangan meraup dengan kasar dada Safia. Manan mencumbunya dengan sangat kasar mengigit leher, bahu bahkan gaun pengantin sudah tersibak ke bawah. Tubuh bagian atas sudah tidak luput dari serangan Manan.

"Hentikan, Mas! Kau tidak mencintaiku aku tidak ingin kau jamah!" teriak Safia lemah dengan airmata yang tidak mau berhenti di saat itu tangisan Amar terdengar sangat kencang.

"Kau pikir dengan tangisan Ammar, kau bisa lari dariku? Bagus juga jika kau mau menikah, kau bisa menjadi pemuas hasratku, aku tidak perlu mencari wanita yang haram untuk kusentuh bukan? Parasmu cukup membuat aku bisa berfantasi tentang kakakmu. Ganti pakaianmu dan lekas menyusul ke kamar Amar!" perintah Manan lalu pria itu pun keluar dari kamar itu dengan membanting pintu dengan keras.

Tubuh Safia terasa lemas, kakinya seperti tidak bertulang, ia merosot dan menangis, 'Apa salahku? Kau minta aku menyusui putramu, aku lakukan, demi apa? Demi agar aku bisa melupakan kepergian putriku, bahkan aku sendiri belum pernah melihat atau pun menggendongnya,' batinnya nelangsa.

ia membuka kopernya mengambil baju terusan dan menanggalkan pakaian pengantinnya. Ia melihat tubuh atas dan terlihat lebam dan membiru. Ia menghapus airmata dan mengenakan pakaian itu. "Aku harus bahagia demi Amar, agar produksi ASI lancar,' pikirnya.

Ia menghembuskan napasnya dan tersenyum membangun hatinya sendiri agar tidak bersedih. Ia langkahkan kakinya keluar kamar berjalan menuju kamar Ammar.

"Kenapa begitu lama? Amar sudah menangis dari tadi apa kau tidak dengar? Apa kau butuh waktu lama untuk mengganti pakaianmu itu? Atau kau diam-diam mengagumi karya yang kubuat di tubuhmu itu?" tanya Manan sambil memicingkan matanya.

Safia tidak menjawab diambilnya Amar dan dibawahnya ke dalam kamarnya ia tidak memperdulikan apa yang dibicarakan Manan.

Rasa hormat yang pernah ada pada lelaki itu dulu sekarang telah pudar berganti rasa benci yang amat sangat.

Ia masuk ke dalam kamarnya lalu menguncinya kemudian ia mulai memberikan ASI pada Amar, bayi lelaki itu dengan sangat lahap menyesap asupan dari sumbernya langsung.

Tak Lama kemudian bayi mungil itu tertidur, Safia menatap legah. Ia membayangkan bayi itu di atas ranjangnya, Ia membelai pipi bayi lelaki itu dengan kelembutan. 'Terimakasih telah menyelamatkanku dari kebrutalan ayahmu, aku sangat takut, boy,' batin Safia.

Wanita itu menghembuskan napasnya dan menatap kosong ruangan kamarnya, ia meratapi nasibnya ia kehilangan anak dan suami dan menikah demi keponakan yang kata mereka membutuhkan figur seorang ibu bukan hanya ASI saja.

Ia merebahkan tubuhnya di sebelah bayi mungil. bahkan ia tidak mengerti mengapa mantan Kakak iparnya itu menyalakan semua keputusannya karena dirinya. Seolah ia mengetahui hal yang tidak ia ketahui sama sekali.

'Apa yang disembunyikan sebenarnya yang mereka sembunyikan dariku?' pikirnya

Safiah menatap bayi mungil milik almarhum Kakaknya. 'Andai saja aku tidak ceroboh andai saja aku tidak terjatuh mungkin kau punya teman sebaya, boy.

Sementara itu di ruangan kerjanya Manan menatap foto sang istri. Ia masih ingat kejadian sebelum sang istri kontraksi mereka sedang berjalan-jalan di supermarket, tetapi istrinya itu melihat sesuatu yang membuatnya shock dan saat di detik-detik terakhirnya ia memintanya untuk menjaga adiknya, andai harus menikahi ia harus bersedia.

"Semua ini karenamu Safia andai saja kami tidak bertemu dengan pria itu pasti istriku saat ini masih hidup,' batinnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status