Share

4. Lamaran

“Ya Allah, Ica. Dari tadi mbak nyariin kamu.”

Tari melihat perempuan yang mungkin lebih muda dengannya, menatap Ica dengan khawatir. Kemudian wanita berhijab panjang itu menautkan alis, karena merasa pernah bertemu dengan wanita yang disebut Ica dengan Mbak Lastri. 

Namun, sebelum Tari mendapatkan ingatannya. Sosok itu menoleh, lalu memekik kaget.

“Ya Allah, Mbak Tari. Samean Mbak Tari, ‘kan?” tanyanya semringah.

Wanita yang ditanya itu hanya diam. Masih berpikir keras, siapa wanita berkulit sawo matang di hadapannya. Samar-samar dia mulai mengingatnya, tapi lagi-lagi wanita di depannya lebih dulu bersuara.

“Ini aku Lastri, tetangga samean dulu. Inget, ndak?”

Mata dengan bulu lentik itu membeliak, ketika kalimat itu berhasil membuat ingatannya kembali. Adik kelas sekaligus tetangganya ini memang sudah berubah. Tampak lebih modis dari kebanyakan gadis desa di sini. “Ya Allah, Maaf, ya, aku sempet lupa.”

Kedua wanita itu lantas berpelukan erat, saling melepas rindu.

“Mbak Lastri kenal tante ini?” tanya Ica, sembari menarik baju pengasuhnya. Mencari perhatian.

“Ini, teman sekaligus tetangga Mbak dulu.”

Gadis kecil itu memandang dua orang dewasa di hadapannya dengan takjub. Kemudian dengan semangat Ica bercerita kalau tadi dia bosan di rumah, sehingga dia memutuskan untuk berjalan-jalan. Ica juga menceritakan telah ditolong oleh Tari ketika terjatuh.

“Mbak Tari ngajar di sini?”

Tari mengangguk, lalu secara singkat dia menceritakan kenapa  sekarang berada di sini. Namun, tidak detail bagaimanapun ada aib rumah tangga yang harus dia tutupi.

Lastri menatapnya sendu ketika mendengar cerita sang sahabat. Dia tidak habis pikir, bagaimana mantan suami Tari bisa menyakiti wanita sebaik temannya. Mengenal Tari selama bertahun-tahun, dia tahu bagaimana sosok di depannya ini memiliki sikap yang lemah lembut dan rendah hati. Bahkan dulu dia sering dibantu ketika mengalami kesulitan dalam belajar.

Pertemuan singkat itu harus berakhir karena si nona kecil mengeluh lapar. Namun, Lastri berjanji akan menyempatkan diri ke rumah Tari sebelum ia kembali ke kota.

"Aku tunggu, ya."

"Iya, mbak. Icha salim dulu sama Tante Tari." Lastri tersenyum melihat nona mudanya terlihat nyaman dengan Tari. Ah, mendadak bayangan kedua orang itu menjadi ibu dan anak terlintas di pikirannya.

Menggeleng pelan, dia berusaha membuang pikiran itu. Bahaya jika majikannya tahu, bisa kena marah dirinya.

*** 

“Begitu ceritanya, Pak.”

Pandangan Tari beralih pada kebun kecil yang terletak di belakang rumah. Kebun yang ditumbuhi berbagai macam sayuran organik yang ditanam ayahnya. Setelah pensiun sebagai guru, berkebun adalah kegiatan baru yang dilakukan pria kesayangan Tari. Sedangkan sang ibu, sampai sekarang masih mengajar di sebuah sekolah dasar negeri di kampung ini. Mungkin beberapa tahun lagi ibunya juga akan pensiun.

Baru saja dia bercerita hal yang tadi disampaikan Sekar kepada sang ayah. Tentang Ajeng yang membutuhkan tanda tangannya agar bisa menjual rumah.

“Lalu apa yang akan kamu lakukan?”

Iris jernih itu memandang sang ayah. Dia mengedikkan bahu.  “Tari ndak tau, Pak. Sebenarnya Tari ndak mau lagi berurusan dengan mereka, tapi Tari tau kalau Ajeng ndak akan berhenti sebelum keinginannya tercapai. Ajeng bisa sangat keras kepala jika menyangkut sesuatu yang dia inginkan."

Ya, buktinya perempuan itu sampai rela merusak persahabatan mereka demi Dipta. 

“Bapak akan coba bertanya pada sepupumu, Raka. Dia ‘kan pengacara, siapa tau dia punya solusi.” Pria paruh baya itu mengela napas panjang, tidak menyangka masih ada yang perlu diselesaikan dalam rumah tangga sang putri. 

“Engge, Pak.”

Sang ayah tersenyum lembut pada Tari. Dengan penuh kasih sayang diusap kepala putrinya. “Jangan terlalu dipikirkan, nikmati saja hidupmu sekarang.”

Wanita cantik itu menghela napas lelah. Berurusan dengan dua manusia itu, adalah hal terakhir yang dia inginkan. Sungguh, dia tidak mau lagi melihat mereka, karena rasa sakit yang mereka torehkan masih membekas di hatinya. Namun, sekarang mau tidak mau dia harus kembali berurusan dengan sepasang suami itu. Sebenarnya, rumah yang akan dijual oleh Ajeng adalah hadiah Dipta kepada Tari. Sewaktu ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga. Dia tidak menyangka, kalau hadiah itu menimbulkan masalah baru baginya.

*** 

“Tari,” panggil ibu ketika sang putri akan membereskan meja makan. “Duduk dulu, ibu mau ngomong sebentar.”

Tumpukan piring yang sudah ada di tangan, diletakkan kembali oleh Tari. Perhatian wanita itu kini sepenuhnya kepada sang ibu. Seseorang dengan wajah menyerupai dirinya.

Jujur saja perasaannya tidak enak, wajah ibunya tampak serius. Seperti tengah mempunyai sebuah rencana untuk dirinya. Namun, semoga saja asumsinya salah.

“Soal lamaran Juragan Heru, ibu sudah menolaknya.”

Tari tersenyum mendengar hal itu. Akhirnya sang bapak berhasil membujuk ibunya. Sayangnya belum sempat dia bersuara, perempuan paruh baya itu kembali mengeluarkan kalimat.

“Tapi ada lagi lamaran yang datang kepadamu.”

Senyum Tari lenyap, matanya menatap sang ibu tidak percaya. Apalagi ini? Kenapa ibunya belum lelah untuk terus menjodohkannya?

“Bu ... “

“Tari ibu minta kali ini jangan menolaknya, ibu sudah tidak sanggup mendengar segala gunjingan tentang kamu.”

Hati Tari terasa tercubit melihat mata sang ibu yang sudah berkaca-kaca. Dia mengalihkan pandangan pada sang ayah, berharap pria itu mau membantunya sekali lagi. Namun, yang dia dapatkan adalah anggukan sang ayah. Seolah mengisyaratkan kalau kali ini ayahnya setuju dengan sang ibu.

Tari mengusap wajahnya pelan. Dia bingung harus bersikap bagaimana. Jika dia menolaknya pasti ibunya akan sakit hati, tapi ia merasa belum siap jika harus membuka hati lagi.

“Tari ... “

“Dengarkan ibu dulu!” Sinta mengangkat telapak tangannya. “Abisatya, dia yang melamarmu,” ucapnya seraya menatap tajam anaknya. Bukan! Dia bukan bermaksud jahat, hanya saja memberikan yang terbaik untuk Tari adalah keinginannya.

Sedangkan Tari tersentak ketika sang ibu mengucapkan nama yang tidak asing di telinganya. “Ma–mas Abi?” tanya Tari tergagap.

“Iya, Abisatya Agam Rahagi.”

Tari terdiam. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Bagaimana bisa takdir kembali membawanya kepada seseorang yang dikenalnya di masa lalu.

“Kamu setuju, ‘kan?” tanya sang ibu sekali lagi.

Tidak segera menjawab, Tari terpekur menatap jemarinya yang saling bertautan. Sementara otaknya kembali memikirkan nama yang baru saja disebut sang ibu.

Bukannya apa, dia dan pria itu telah lama tidak berjumpa jadi dirinya tidak tahu seperti apa sekarang sosok itu. Masih sama kah? Atau sudah berubah?

"Tari!" panggil Sinta yang sepertinya tidak sabar menunggu jawaban sang putri. Walaupun sebenarnya apapun jawaban Tari nanti, dia akan berusaha membuat perjodohan ini terjadi sebab dia yakin inilah yang terbaik untuk sang putri.

Akhirnya Tari mengangguk pelan. Tidak ada celah baginya untuk menolak. Karena sang ayah juga sudah menyetujuinya, dia berharap jika ini adalah keputusan terbaik yang dia ambil.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status