“Ya Allah, Ica. Dari tadi mbak nyariin kamu.”
Tari melihat perempuan yang mungkin lebih muda dengannya, menatap Ica dengan khawatir. Kemudian wanita berhijab panjang itu menautkan alis, karena merasa pernah bertemu dengan wanita yang disebut Ica dengan Mbak Lastri.
Namun, sebelum Tari mendapatkan ingatannya. Sosok itu menoleh, lalu memekik kaget.
“Ya Allah, Mbak Tari. Samean Mbak Tari, ‘kan?” tanyanya semringah.
Wanita yang ditanya itu hanya diam. Masih berpikir keras, siapa wanita berkulit sawo matang di hadapannya. Samar-samar dia mulai mengingatnya, tapi lagi-lagi wanita di depannya lebih dulu bersuara.
“Ini aku Lastri, tetangga samean dulu. Inget, ndak?”
Mata dengan bulu lentik itu membeliak, ketika kalimat itu berhasil membuat ingatannya kembali. Adik kelas sekaligus tetangganya ini memang sudah berubah. Tampak lebih modis dari kebanyakan gadis desa di sini. “Ya Allah, Maaf, ya, aku sempet lupa.”
Kedua wanita itu lantas berpelukan erat, saling melepas rindu.
“Mbak Lastri kenal tante ini?” tanya Ica, sembari menarik baju pengasuhnya. Mencari perhatian.
“Ini, teman sekaligus tetangga Mbak dulu.”
Gadis kecil itu memandang dua orang dewasa di hadapannya dengan takjub. Kemudian dengan semangat Ica bercerita kalau tadi dia bosan di rumah, sehingga dia memutuskan untuk berjalan-jalan. Ica juga menceritakan telah ditolong oleh Tari ketika terjatuh.
“Mbak Tari ngajar di sini?”
Tari mengangguk, lalu secara singkat dia menceritakan kenapa sekarang berada di sini. Namun, tidak detail bagaimanapun ada aib rumah tangga yang harus dia tutupi.
Lastri menatapnya sendu ketika mendengar cerita sang sahabat. Dia tidak habis pikir, bagaimana mantan suami Tari bisa menyakiti wanita sebaik temannya. Mengenal Tari selama bertahun-tahun, dia tahu bagaimana sosok di depannya ini memiliki sikap yang lemah lembut dan rendah hati. Bahkan dulu dia sering dibantu ketika mengalami kesulitan dalam belajar.
Pertemuan singkat itu harus berakhir karena si nona kecil mengeluh lapar. Namun, Lastri berjanji akan menyempatkan diri ke rumah Tari sebelum ia kembali ke kota.
"Aku tunggu, ya."
"Iya, mbak. Icha salim dulu sama Tante Tari." Lastri tersenyum melihat nona mudanya terlihat nyaman dengan Tari. Ah, mendadak bayangan kedua orang itu menjadi ibu dan anak terlintas di pikirannya.
Menggeleng pelan, dia berusaha membuang pikiran itu. Bahaya jika majikannya tahu, bisa kena marah dirinya.
***
“Begitu ceritanya, Pak.”
Pandangan Tari beralih pada kebun kecil yang terletak di belakang rumah. Kebun yang ditumbuhi berbagai macam sayuran organik yang ditanam ayahnya. Setelah pensiun sebagai guru, berkebun adalah kegiatan baru yang dilakukan pria kesayangan Tari. Sedangkan sang ibu, sampai sekarang masih mengajar di sebuah sekolah dasar negeri di kampung ini. Mungkin beberapa tahun lagi ibunya juga akan pensiun.
Baru saja dia bercerita hal yang tadi disampaikan Sekar kepada sang ayah. Tentang Ajeng yang membutuhkan tanda tangannya agar bisa menjual rumah.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan?”
Iris jernih itu memandang sang ayah. Dia mengedikkan bahu. “Tari ndak tau, Pak. Sebenarnya Tari ndak mau lagi berurusan dengan mereka, tapi Tari tau kalau Ajeng ndak akan berhenti sebelum keinginannya tercapai. Ajeng bisa sangat keras kepala jika menyangkut sesuatu yang dia inginkan."
Ya, buktinya perempuan itu sampai rela merusak persahabatan mereka demi Dipta.
“Bapak akan coba bertanya pada sepupumu, Raka. Dia ‘kan pengacara, siapa tau dia punya solusi.” Pria paruh baya itu mengela napas panjang, tidak menyangka masih ada yang perlu diselesaikan dalam rumah tangga sang putri.
“Engge, Pak.”
Sang ayah tersenyum lembut pada Tari. Dengan penuh kasih sayang diusap kepala putrinya. “Jangan terlalu dipikirkan, nikmati saja hidupmu sekarang.”
Wanita cantik itu menghela napas lelah. Berurusan dengan dua manusia itu, adalah hal terakhir yang dia inginkan. Sungguh, dia tidak mau lagi melihat mereka, karena rasa sakit yang mereka torehkan masih membekas di hatinya. Namun, sekarang mau tidak mau dia harus kembali berurusan dengan sepasang suami itu. Sebenarnya, rumah yang akan dijual oleh Ajeng adalah hadiah Dipta kepada Tari. Sewaktu ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga. Dia tidak menyangka, kalau hadiah itu menimbulkan masalah baru baginya.
***
“Tari,” panggil ibu ketika sang putri akan membereskan meja makan. “Duduk dulu, ibu mau ngomong sebentar.”
Tumpukan piring yang sudah ada di tangan, diletakkan kembali oleh Tari. Perhatian wanita itu kini sepenuhnya kepada sang ibu. Seseorang dengan wajah menyerupai dirinya.
Jujur saja perasaannya tidak enak, wajah ibunya tampak serius. Seperti tengah mempunyai sebuah rencana untuk dirinya. Namun, semoga saja asumsinya salah.
“Soal lamaran Juragan Heru, ibu sudah menolaknya.”
Tari tersenyum mendengar hal itu. Akhirnya sang bapak berhasil membujuk ibunya. Sayangnya belum sempat dia bersuara, perempuan paruh baya itu kembali mengeluarkan kalimat.
“Tapi ada lagi lamaran yang datang kepadamu.”
Senyum Tari lenyap, matanya menatap sang ibu tidak percaya. Apalagi ini? Kenapa ibunya belum lelah untuk terus menjodohkannya?
“Bu ... “
“Tari ibu minta kali ini jangan menolaknya, ibu sudah tidak sanggup mendengar segala gunjingan tentang kamu.”
Hati Tari terasa tercubit melihat mata sang ibu yang sudah berkaca-kaca. Dia mengalihkan pandangan pada sang ayah, berharap pria itu mau membantunya sekali lagi. Namun, yang dia dapatkan adalah anggukan sang ayah. Seolah mengisyaratkan kalau kali ini ayahnya setuju dengan sang ibu.
Tari mengusap wajahnya pelan. Dia bingung harus bersikap bagaimana. Jika dia menolaknya pasti ibunya akan sakit hati, tapi ia merasa belum siap jika harus membuka hati lagi.
“Tari ... “
“Dengarkan ibu dulu!” Sinta mengangkat telapak tangannya. “Abisatya, dia yang melamarmu,” ucapnya seraya menatap tajam anaknya. Bukan! Dia bukan bermaksud jahat, hanya saja memberikan yang terbaik untuk Tari adalah keinginannya.
Sedangkan Tari tersentak ketika sang ibu mengucapkan nama yang tidak asing di telinganya. “Ma–mas Abi?” tanya Tari tergagap.
“Iya, Abisatya Agam Rahagi.”
Tari terdiam. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Bagaimana bisa takdir kembali membawanya kepada seseorang yang dikenalnya di masa lalu.
“Kamu setuju, ‘kan?” tanya sang ibu sekali lagi.
Tidak segera menjawab, Tari terpekur menatap jemarinya yang saling bertautan. Sementara otaknya kembali memikirkan nama yang baru saja disebut sang ibu.
Bukannya apa, dia dan pria itu telah lama tidak berjumpa jadi dirinya tidak tahu seperti apa sekarang sosok itu. Masih sama kah? Atau sudah berubah?
"Tari!" panggil Sinta yang sepertinya tidak sabar menunggu jawaban sang putri. Walaupun sebenarnya apapun jawaban Tari nanti, dia akan berusaha membuat perjodohan ini terjadi sebab dia yakin inilah yang terbaik untuk sang putri.
Akhirnya Tari mengangguk pelan. Tidak ada celah baginya untuk menolak. Karena sang ayah juga sudah menyetujuinya, dia berharap jika ini adalah keputusan terbaik yang dia ambil.
Mengistirahatkan diri dengan duduk di sofa, Tari menarik napas berkali-kali seraya mengelus perutnya yang terasa sakit. Sudah sejak tadi siang dia merasakan hal ini, tapi karena sakitnya muncul lalu hilang terus jadi dia tidak terlalu ambil pusing dan tetap mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Namun, kali ini rasanya lebih sakit dengan durasi yang cukup lama. Apa dia sudah mau melahirkan? "Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang." Tari meringis kala rasa sakit kembali menyerang, dia menatap jam yang ada di dinding. Sudah setengah lima, tapi suaminya belum datang. Padahal pria itu berkata akan pulang pukul tiga. Sedangkan Bintang tadi mengatakan jika anak itu menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas, Icha sendiri dari kemarin menginap di rumah Kinan. Menahan rasa sakit yang kian menjadi, pelan dia bangkit bermaksud mengambil ponsel yang tadi diletakkannya di kamar. Jarak kamar dan ruang tengah yang dekat, kali ini terasa jauh. Belum lagi dia yang harus sedikit
Rasa haus membangunkan Tari dari tidur nyenyaknya. Meraba-raba tempat di sampingnya, dia merasa bingung karena tidak menemukan sang suami. Di mana pria itu?Semakin hari dia merasa tak bisa jauh dari suaminya. Pernah ditinggal sebentar saja langsung menangis. Pasalnya Abi pergi ketika malam, waktu dimana dia ingin menghabiskan waktu bersama pria itu.Bangkit perlahan mengingat perutnya yang sudah membesar, matanya menyipit kala di bawah remang lampu kecil yang terletak di atas nakas dia mendapati sang suami tengah menengadahkan tangan. Berdoa.Pria yang menggunakan peci putih itu tampak sesenggukan. Entah apa yang diminta pria itu sehingga membuatnya tampak sedih.Tari tidak bergerak, diam dalam posisi duduk. Menunggu sampai sang suami menyadari kehadirannya. Lalu dia tersenyum kala Abi terkejut begitu menyadari keberadaannya."Kenapa bangun?" tanya Abi sambil berjalan ke arah sang istri.Tari menggeleng, diletakkannya telapak tangan di pipi sang suami. Mengusap lembut, menghilangkan
Seperti yang sudah direncanakan, pagi itu keluarga Abi sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju tempat pertandingan Arkan.Abi sendiri yang sudah berusaha membujuk sang istri agar tidak ikut, akhirnya menyerah. Karena wanita itu benar-benar berubah menjadi sosok keras kepala, yang akan cemberut sepanjang hari jika keinginannya tidak dipenuhi.Sebenarnya bukan hanya dia saja yang mencoba melarang, tapi Arkan juga melakukan hal yang sama. Berbeda dengan dirinya, Tari bersikap lebih lunak pada anak-anak. Bahkan wanita itu cenderung sensitif, seperti kemarin istrinya membuat drama kala Arkan mengatakan agar tidak perlu datang."Apa sebaiknya Bunda di rumah saja?" Dari meja makan Arkan memperhatikan sang bunda yang tengah sibuk menyiapkan bekal untuk besok. Padahal dia sudah mengatakan agar wanita itu tidak perlu repot-repot. Toh, dari panitianya sudah disediakan konsumsi."Kenapa memangnya?""Ya, 'kan Bunda lagi hamil gitu. Gimana kalau kecapekan?" tanya Arkan untuk kesekian kali. Karena
"Minggu ini 'kan final futsalnya?" tanya Tari sambil menyerahkan segelas jus pada suaminya yang tengah menonton televisi di ruang tengah bersama sang putera.Semenjak hubungan kedua laki-laki tersebut semakin membaik, semakin kompak juga mereka. Tak jarang dia merasa kesal jika suami dan anaknya sudah berada di dunianya sendiri, seperti olahraga dan bermain game. Dia sungguh merasa di abaikan.Duduk di salah satu sofa, dia ikut memperhatikan layar datar yang sama sekali tidak menaikkan minatnya."Iya, Bun.""Kalau jawab itu sambil liat, bunda! Emangnya tv lebih menarik dari bunda?" cibir Tari kesal. Benar 'kan dia selalu diabaikan jika sang anak tengah menikmati tontonan favoritnya.Dia berharap ada Icha yang selalu berada di kubunya. Sayangnya gadis cantik tersebut sudah tidur sejak tadi.Sementara itu Arkan yang baru saja kena cibir langsung berdeham dan melirik sang papa yang tampak sedang mengulum bibir, seperti menahan tawa atau mungkin mengejeknya?"Maaf, Bun. Lagi seru soalnya.
"Kenapa, Lo?" Riko menatap aneh sahabatnya yang menghela napas berulang kali. Seolah tengah menghadapi beban yang berat. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kehidupan Abi sudah enak? Punya istri baik, anak-anak tampan dan lucu yang sebentar lagi akan bertambah satu. Namun, kenapa wajah sahabatnya itu macam kemeja yang belum disetrika. Kusut."Ngga pa-pa.""Buset, kayak cewek aja, Lo! Bilang ngga pa-pa tapi ada apa-apa."Abi melemparkan bantal sofa pada temannya. "Daripada Lo bawelnya melebihi cewek."Riko menggerutu. Kesal. "Males gue ngomong sama Lo!" Pria itu berjalan menuju pintu, seraya memegang gagang pintu dia membalik setengah badannya. "Jangan suntuk lama-lama, kasihan Tari. Nanti dia dikira nikah sam om-om."Berdecak kesal, Abi hampir saja melempar bantal kursi lagi tapi sayangnya pria yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya itu sudah menghilang di balik pintu.Beberapa menit setelah kepergian sang sahabat, Abi memutuskan untuk keluar dari ruang kerjanya. Walaupun kini
"Jadi, Mas Abi sudah lama suka padaku?" tanya Tari sambil tertawa kecil. Tidak menyangka jika pertanyaan yang di lemparkan sang suami dulu, adalah bentuk keseriusan. "Bisa dibilang begitu." Mata Tari memincing. "Santai banget jawabnya. Seingatku dulu Mas Abi terlihat gugup saat mengutarakan keinginan untuk mendekatiku." Abi tertawa, tangannya mencubit pipi sang istri. "Tentu saja. Dulu aku masih remaja sekarang aku adalah laki-laki dewasa yang mau punya anak tiga. Udah gak pantes lagi malu-malu kucing kayak gitu." Entah kenapa, ucapan sang suami membuatnya kesal. Tanpa mengucapkan apapun Tari membalik tubuhnya. Memunggungi sang suami. Boleh kah dia menyalahkan hormon kehamilan? Sebab belakangan ini hanya hal kecil bisa mematik kekesalannya. Di saat sedang memikirkan perubahan emosi yang dirasakan, Tari tersentak saat sebuah tangan memeluknya. Walau kesal, tak ada niat untuk menyingkarkan dekapan Abi karena rasanya yang begitu nyaman. "Sepertinya aku harus mulai bersabar menghada