“Mama sudah melamar wanita untukmu!”
Hampir saja ponsel di genggaman Abi terjatuh, mendengar ucapan wanita di seberang sana. Bagaimana mungkin, mamanya melamar seseorang tanpa bilang dulu padanya?
Ini yang mau menikah dia atau mamanya?
“Kenapa mama enggak tanya dulu sama, Abi?” seruan protes langsung terlontar dari mulut Abi.
“Salah kamu sendiri, dari dulu disuruh cari istri enggak mau. Ya udah mama inisiatif mencarikan istri untukmu.”
Abi terperangah mendengar jawaban wanita yang dicintainya itu. “Tapi enggak gitu juga, Ma!” Menikah bukan sesuatu yang main-main, tidak bisa 'kan asal pilih orang untuk dijadikan pasangan seumur hidup?
Nada frustrasi terdengar jelas dari suara Abi. Pria itu merasa sangat kesal, tapi dia tidak mungkin membentak sang mama. Jadi sebisa mungkin dia mencoba menahan emosi yang sudah di ubun-ubun.
“Terus mama harus bagaimana? Mama sudah tua Abi, tidak mungkin terus-terusan bolak balik dari rumah ke rumahmu, untuk memastikan kamu dan cucu mama hidup dengan baik. Jadi mama berpikir saatnya tugas itu dilakukan oleh orang lain.”
“Ma ...” Bahkan pria berusia 36 tahun itu merengek layaknya anak kecil, agar sang mama membatalkan rencananya.
“Pokoknya lusa kamu harus sudah di sini. Mama enggak mau tau!”
“Tapi, Ma ...” ucap Abi lirih.
“Enggak ada tapi-tapian. Inget, kalau sampai kamu enggak dateng, jangan harap mama akan membukakan pintu jika kamu pulang ke sini. Mama tutup. Assalamu’alaikum.”
Pria itu tercengang sambil menatap ponsel di tangannya, saat sang mama langsung menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban darinya. Dengan kesal Abi menghempaskan tubuh ke sofa yang ada di ruang kerjanya. Pikirannya berkecamuk, dia tahu ancaman mamanya bukan hanya sekedar gertakan.
Lalu apa yang harus dia lakukan sekarang?Menikah? Menggeleng cepat, dia merasa belum siap untuk membina hubungan rumah tangga kembali. Apalagi dirinya belum tahu siapa calon yang dipilih mamanya.
“Kenape muka, Lo?” tanya Riko, melihat raut kusut di muka sahabat dan rekan kerjanya setelah menerima telepon.
“Gue mau nikah.”
Kalimat sang sahabat membuat Riko menyemburkan air yang baru saja masuk ke mulutnya. “Sial!” Pria itu mengumpat merasakan air masuk dalam hidungnya, yang membuat dia terbatuk hebat.
“Lo, ngomong apa barusan?” tanyanya setelah bisa menguasai diri. Riko yakin pendengarannya masih berfungsi dengan baik, tapi kenapa dia mendengar kalimat aneh sang sahabat?
Abi hanya melirik sekilas pada sahabatnya. Tanpa ada niat untuk menjelaskan lebih lanjut. Pikirannya kalut, dia merasa belum siap untuk berumah tangga lagi.
Bahkan dia hanya melirik Riko sekilas kala sahabatnya tengah menggerutu akibat tidak mendapat tanggapan. Lagi pula bagaimana bisa dia menjelaskan, sedangkan otaknya tengah kusut.
Sial!
Apa yang harus dia lakukan sekarang?
***
“Anak ibu cantik sekali.”
Tari menatap pantulan wajahnya sudah dipoles make up natural dibalik kaca rias. Gamis putih berhias beberapa payet membalut tubuh wanita itu, menjadikan penampilan sederhana Tari terlihat memesona.
Memandang senyum semringah ibunya dari balik cermin meja rias, membuat Tari meyakinkan diri bahwa ini jalan yang terbaik. Dalam hati dia berdoa, semoga semuanya berjalan lancar.
“Ayo turun, mereka sudah menunggu kita.”
Dengan degup jantung yang begitu keras, Tari melangkahkan kaki keluar dari kamar. Menuju ruang tamu, tempat berlangsungnya acara. Tangannya terasa dingin, bahkan perutnya mendadak mulas. Padahal kalau di pikir-pikir ini bukan yang pertama untuknya, tapi kenapa rasanya seperti ini?
Samar-samar terdengar suara orang berbincang santai, ketika kakinya hanya berjarak beberapa meter dari lokasi. Suasana menjadi hening ketika dia sudah berada di tempat semua orang berkumpul. Menyebabkan jantungnya bekerja lebih extra.
Tidak ada dekorasi seperti acara lamaran pada umumnya. Rumah berlantai satu itu hanya mengganti kursi ruang tamu dengan karpet. Agar dapat menampung para saudara dan juga tamu yang hadir. Selain karena waktu yang mepet, Tari juga mau acara diadakan dengan sederhana.
Menarik napas panjang, Tari lantas mengedarkan pandangan untuk menyapa dua keluarga yang menatapnya penuh kekaguman. Dia membatu, saat irisnya bertemu dengan iris legam yang menatapnya tajam.
Tidak mau berlama-lama memandang mata yang seakan bisa mengancurkan sendi-sendinya sehingga rasanya dia tidak mampu berdiri, matanya pun beralih menatap saudara-saudaranya.
Berbeda dengan Tari yang terperangah ketika melihatnya, Abi justru berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan degup asing ketika melihat wanita di hadapannya.
Sebuah perasaan yang sudah lama dia buang. Kini muncul lagi ke permukaan. Membuat Abi seperti tidak bisa menguasai perasaannya sendiri. Tersenyum kecut, dia tidak menyangka rasa yang telah dibuangnya kini kembali ke permukaan.
Suara seorang pria yang akan membawakan acara, membuat pandangan Abi terputus. Tari memutuskan untuk duduk karena acara akan segera berlangsung. Sedangkan Abi mengalihkan pandangan dari Tari, yang menurut lelaki itu terlihat cantik meskipun dengan make up sederhana. “Sial, apa yang barusan aku pikirkan?!” geram Abi dalam hati.
Acara berlangsung lancar, seluruh keluarga bercengkerama dengan hangat. Namun, kedua tokoh utama hanya saling diam. Sesekali mereka akan bersuara jika ada yang bertanya.
Mau bagaimana lagi, ini terlalu canggung untuk keduanya. Setelah sekian lama tidak bertemu, mendadak mereka akan disatukan oleh sebuah ikatan yang sakral. Rasanya masih tidak bisa dipercaya.
“Baiklah, sesuai kesepakatan bersama. Pernikahan akan dilaksanakan tiga bulan lagi,” ucap Umar, perwakilan keluarga Abi sambil menatap satu per satu orang yang memenuhi ruang tamu keluarga Tari. “Meskipun menurut saya itu terlalu lama, ya, karena sebaiknya niat baik itu disegerakan. Kalau bisa, ya, sekarang saja.”
Tawa Umar terdengar setelah itu. Tidak ada yang tahu, pria yang merupakan kakak dari mama Abi itu bercanda atau serius, tapi semua orang di ruangan itu ikut tertawa. Menganggap itu hal lucu. Namun, tidak dengan dua wanita paruh baya di sana. Mereka berdua sama-sama tersenyum penuh makna.
Lalu salah dari kedua perempuan itu pun bersuara. “Sepertinya yang dikatakan Mas Umar ada benarnya, sesuatu yang baik harus disegerakan.”
Mendengar penuturan mamanya, mendadak perasaan Abi menjadi tidak enak.
“Jadi bagaimana kalau pernikahan itu dilaksanakan sekarang?” tanya mama Abi dengan binar yang kentara.
“Saya setuju, Mbak,” ujar ibu Tari penuh semangat.
Semua orang di ruangan itu terperangah mendengar usul dua wanita paruh baya itu.
Tidak terkecuali dua calon pengantin itu, Tari menatap ibunya tidak percaya. Sedangkan Abi memejamkan matanya mengetahui firasatnya benar terjadi, bahwa sang mama pasti punya rencana tertentu.
Merasa tidak setuju dengan rencana dua wanita paruh baya tersebut, Abi dan Tari kompak melayangkan protes.
“Bu!”
“Ma!”
“Kenapa? Bukankah ini bagus?”
Dua calon pengantin itu hanya diam, saat anggota keluarga mereka yang lain saling bersahutan menyatakan setuju dengan usulan mama Abi.
Sembari mencuci peralatan makan Tari teringat kembali kejadian tadi, yang sampai saat ini masih terasa seperti mimpi baginya."Kalian nikah secara agama dulu saja sekarang. Daripada nunggu tiga bulan lagi, kelamaan itu. Iya, 'kan, Pa?" tanya Mama Abi kepada sang suami, yang dibalas anggukan setuju.Semua terjadi begitu cepat, ketika seorang kerabat mereka mengusulkan untuk memanggil seorang ustadz di kampungnya. Tari bahkan belum sempat mencerna apa yang terjadi. Saat tiba-tiba saja Abi menjabat tangan ayahnya untuk mengucapkan ijab qabul.Saat semua keluarga menyalaminya untuk mengucapkan selamat, wanita itu masih menampilkan ekspresi kebingungan. Begitu juga ketika matanya memandang seseorang yang baru saja sah menjadi suaminya. Dia juga melihat raut kebingungan yang sama.Panggilan dari sang ibu menghentikan lamunan Tari."Itu dilanjut besok saja, kamu istirahat sekarang. Nak Abi juga sudah ke kamar tadi, Ica sudah tidur soalnya."Mendengar ibunya menyebut nama Ica, membuat Tari te
"Itu apa, Tante?"Tari tersenyum mendengar pertanyaan Ica yang duduk di belakang. Sejak meninggalkan rumahnya, si gadis selalu bertanya semua hal yang menarik perhatiannya. Wanita itu bersyukur dengan adanya Ica suasana di mobil tidak terlalu canggung."Rumah eyang, masih jauh apa nggak?""Sebentar lagi, Sayang," jawab Tari dengan sabar. Sepertinya gadis cantik itu tidak sabar untuk segera bertemu kakek neneknya.Lelaki yang tengah fokus menyetir itu, melirik ke samping ketika suara lembut mampir ke telinganya. Suara yang tadi membangunkannya untuk sholat subuh. Sesuatu yang entah kapan terakhir dilakukan, akhirnya tadi pagi dilakukan kembali. Tanpa dia sadari senyum kecil terbit di bibirnya, ketika mengingat kejadian tadi pagi."Itu rumah eyang." Ica berseru penuh semangat.Setelah sang ayah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, gadis itu meminta agar pintu mobil segera dibuka. Setelah keinginannya dikabulkan, Ica langsung berlari. Meninggalkan papa dan juga ibu barunya, yang saling
Selamat membaca."Tidurlah! Bereskan pakaianmu besok saja!" perintah Abi pada istrinya.Tanpa mengatakan apapun Tari menuruti perintah suaminya, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Suaminya tidur tanpa selimut, adalah pemandangan pertama yang dia lihat ketika keluar dari kamar mandi. Tari menghela napas lega, setidaknya mereka tidak perlu berada dalam situasi yang canggung. Meskipun semalam dia berusaha bersikap tenang, tapi sebenarnya itu adalah cara agar ia bisa menutupi kegugupannya.Berpikir beberapa saat, Tari beranjak dari tempatnya menuju ranjang. Setelah itu dengan hati-hati dia tutupi tubuh suaminya dengan selimut. Dia pandangi sebentar wajah suaminya, sebelum berlalu ke sisi lain untuk tidur. Wanita itu menghela napas sebentar lalu berdoa semoga diberi kekuatan untuk menjalani hari esok.***Dari lima menit yang lalu, wanita yang masih menggunakan mukena putihnya, berusaha untuk membangunkan sang suami. Meski yang hasil yang didapatnya masih nihil, lelaki i
"Siapa kamu?" tanya wanita itu setelah duduk di sebelah Arkan. Entah mengapa dia begitu kesal, melihat senyum tulus perempuan yang duduk di samping Ica."Ini Tante Tari," jawab Ica."Tante Tari? Siapa?" tanya wanita berambut coklat itu karena jawaban Ica belum menghilangkan rasa penasarannya."Ya, Tante Tari."Wanita itu berdecak kesal. "Maksudku, Tante Tari itu siapa? Kok bisa ada disini?" "Saya Tari, istri Mas Abi," tegas Tari. Karena tidak ada tanda-tanda sang suami akan menjawab pertanyaan itu.Suara batuk Abi yang tersedak makanan, membuat Tari mengalihkan pandangan pada sang suami. Dengan cekatan dia mengambil air minum, lalu diberikan pada sang suami. Tanpa mengindahkan si wanita asing yang kaget dengan ucapannya, dan juga Arkan yang tanpa sadar tersenyum menyaksikan adegan di depannya."Kamu nggak papa, Mas? Hati-hati kalau minum, pelan-pelan saja."'Gara-gara siapa aku tersedak seperti ini,' gerutu Abi dalam hati. Dia tidak habis pikir, bagaimana wanita ini tidak terintimida
"Mbak Tari, Mas Abi. Ini tetangga baru kita, rumahnya di depan rumah kita pas," jelas Lastri yang tidak menyadari aura berbeda pada keempat orang yang berada dalam ruangan yang sama dengannya.Ajeng langsung merapatkan diri pada suaminya, perempuan dengan midi dress selutut warna tosca itu langsung mengalungkan tangannya di lengan sang suami."Saya Ajeng, dan ini suami saya Dipta.""Saya Abi dan ini istri saya Tari."Abi merasa tidak nyaman melihat pria di depannya memandang lekat sang istri. Perlahan ia lepas pegangan sang istri di tangannya, kemudian merengkuh pinggang istrinya, hingga membuat tubuh mereka menempel satu sama lain. Abi dapat merasakan tubuh Tari membeku, akibat perbuatannya.Sementara itu, setelah tadi terkejut karena melihat kembali mantan istrinya. Kini, Dipta harus menahan emosi meyaksikan interaksi di hadapannya. Lelaki itu sama sekali tidak menyangka kalau Tari menikah lagi setelah perceraian mereka."Tante."Tari mendapatkan kembali kesadarannya, ketika tubuhny
Tari langsung menjauhkan wajahnya saat hembusan napas sang suami terasa di kulitnya. "A-apa, Mas?""Sudah, lupakan!"Abi merubah posisinya menjadi berbaring membelakangi sang istri. Sesungguhnya dia tidak mengerti kenapa bisa bertanya seperti itu. Hanya saja dia tidak suka melihat raut terluka di wajah Tari, meskipun wanita itu tersenyum."Kalau, Mas memang menginginkan hal itu aku—""Aku bilang lupakan, Tari! Lagipula gimana caranya kita melakukan itu? Sedangkan ketika tadi aku mengajakmu, wajahmu sudah ketakutan seperti itu."Sang istri menunduk mendengar kalimat suaminya, dia menggigit bibir mungilnya untuk menahan rasa sesak yang ada. "Maaf, Mas.""Tidurlah!"Pergerakan di sampingnya, membuat Abi tahu kalau Tari menuruti perintahnya. Namun, sekarang pria itu menjadi gelisah. Sebagai pria dewasa jujur dia terganggu dengan percakapan yang baru saja terjadi.Dikala dia berusaha memejamkan mata, sebuah suara lembut membuat matanya kembali terbuka."Menginjak enam tahun pernikahan, aku
"Ada perlu apa Anda datang ke sini?" tanya Abi setelah duduk di hadapan wanita yang sedang tersenyum aneh kepadanya.Ajeng tersenyum sembari meletakkan kedua tangannya di atas kaki jenjangnya yang menyilang. "Saya ke sini karena ingin bertemu istri Anda, Tari."Abi berdecak mendengar nada manja yang keluar dari mulut perempuan di hadapannya. Lelaki itu tidak habis pikir, bisa-bisanya mantan suami Tari memilih melepaskan istrinya, hanya untuk bisa bersama wanita di depannya. Bahkan dari pertemuan awal kemarin, Abi sudah bisa menebak karakter wanita di hadapannya."Istri saya sedang mengantar anak kami pergi ke sekolah."Ajeng menatap kagum pada pria berahang tegas, yang menjawab pertanyaannya dengan nada datar. "Anak kami? Setahu saya Tari bercerai dengan suaminya karena dia tidak bisa memberi keturunan pada mantan suaminya."Senyum sinis tergambar di bibir Abi, dia menebak perempuan di depannya berpikir kalau ia belum tahu masa lalu sang istri. "Mungkin mantan suaminya terlalu payah,
"Dia butuh persetujuanku, untuk menjual rumah mereka." Tari memandang wajah di depannya yang terlihat sedang memikirkan sesuatu, "karena sertifikatnya atas namaku dan Mas Dipta."Mendengar istrinya mengucapkan nama sang mantan, Abi memandang netra itu dengan tajam. Namun, dia harus menyabarkan diri karena sepertinya istri cantiknya tidak mengerti arti tatapan tajam yang dia layangkan."Biar aku yang mengurusnya, kamu jangan bertemu lagi dengan mantan suamimu itu!""Terima kasih, Mas. Perlu Mas tau, aku memang tidak ada rencana bertemu mereka."Pandangan mereka saling mengunci beberapa saat. Ada perasaan hangat yang menjalar di hati mereka. Apakah ini pertanda baik? Kalau pada akhirnya perasaan mereka mulai tumbuh?Abi lah yang pertama kali memutus pandangan mereka. Karena lelaki itu mengingat sesuatu. Selanjutnya dia mengambil sesuatu dari dalam laci untuk diserahkan kepada istrinya."Ambilah! Untuk belanja."Tari mengambil ATM dari tangan Abi lalu mengucapkan terima kasih. Beberapa h