Share

5. Pernikahan

“Mama sudah melamar wanita untukmu!”

Hampir saja ponsel di genggaman Abi terjatuh, mendengar ucapan wanita di seberang sana. Bagaimana mungkin, mamanya melamar seseorang tanpa bilang dulu padanya?

Ini yang mau menikah dia atau mamanya?

“Kenapa mama enggak tanya dulu sama, Abi?” seruan protes langsung terlontar dari mulut Abi. 

“Salah kamu sendiri, dari dulu disuruh cari istri enggak mau. Ya udah mama inisiatif mencarikan istri untukmu.”

Abi terperangah mendengar jawaban wanita yang dicintainya itu. “Tapi enggak gitu juga, Ma!” Menikah bukan sesuatu yang main-main, tidak bisa 'kan asal pilih orang untuk dijadikan pasangan seumur hidup?

Nada frustrasi terdengar jelas dari suara Abi. Pria itu merasa sangat kesal, tapi dia tidak mungkin membentak sang mama. Jadi sebisa mungkin dia mencoba menahan emosi yang sudah di ubun-ubun.

“Terus mama harus bagaimana? Mama sudah tua Abi, tidak mungkin terus-terusan bolak balik dari rumah ke rumahmu, untuk memastikan kamu dan cucu mama hidup dengan baik. Jadi mama berpikir saatnya tugas itu dilakukan oleh orang lain.”

“Ma ...” Bahkan pria berusia 36 tahun itu merengek layaknya anak kecil, agar sang mama membatalkan rencananya.

“Pokoknya lusa kamu harus sudah di sini. Mama enggak mau tau!”

“Tapi, Ma ...” ucap Abi lirih.

“Enggak ada tapi-tapian. Inget, kalau sampai kamu enggak dateng, jangan harap mama akan membukakan pintu jika kamu pulang ke sini. Mama tutup. Assalamu’alaikum.”

Pria itu tercengang sambil menatap ponsel di tangannya, saat sang mama langsung menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban darinya. Dengan kesal Abi menghempaskan tubuh ke sofa yang ada di ruang kerjanya. Pikirannya berkecamuk, dia tahu ancaman mamanya bukan hanya sekedar gertakan. 

Lalu apa yang harus dia lakukan sekarang?

Menikah? Menggeleng cepat, dia merasa belum siap untuk membina hubungan rumah tangga kembali. Apalagi dirinya belum tahu siapa calon yang dipilih mamanya. 

“Kenape muka, Lo?” tanya Riko, melihat raut kusut di muka sahabat dan rekan kerjanya setelah menerima telepon.

“Gue mau nikah.”

Kalimat sang sahabat membuat Riko menyemburkan air yang baru saja masuk ke mulutnya. “Sial!” Pria itu mengumpat merasakan air masuk dalam hidungnya, yang membuat dia terbatuk hebat.

“Lo, ngomong apa barusan?” tanyanya setelah bisa menguasai diri. Riko yakin pendengarannya masih berfungsi dengan baik, tapi kenapa dia mendengar kalimat aneh sang sahabat?

Abi hanya melirik sekilas pada sahabatnya. Tanpa ada niat untuk menjelaskan lebih lanjut. Pikirannya kalut, dia merasa belum siap untuk berumah tangga lagi.

Bahkan dia hanya melirik Riko sekilas kala sahabatnya tengah menggerutu akibat tidak mendapat tanggapan. Lagi pula bagaimana bisa dia menjelaskan, sedangkan otaknya tengah kusut.

Sial!

Apa yang harus dia lakukan sekarang?

*** 

“Anak ibu cantik sekali.”

Tari menatap pantulan wajahnya sudah dipoles make up natural dibalik kaca rias. Gamis putih berhias beberapa payet membalut tubuh wanita itu, menjadikan penampilan sederhana Tari terlihat memesona.

Memandang senyum semringah ibunya dari balik cermin meja rias, membuat Tari meyakinkan diri bahwa ini jalan yang terbaik. Dalam hati dia berdoa, semoga semuanya berjalan lancar.

“Ayo turun, mereka sudah menunggu kita.”

Dengan degup jantung yang begitu keras, Tari melangkahkan kaki keluar dari kamar. Menuju ruang tamu, tempat berlangsungnya acara. Tangannya terasa dingin, bahkan perutnya mendadak mulas. Padahal kalau di pikir-pikir ini bukan yang pertama untuknya, tapi kenapa rasanya seperti ini?

Samar-samar terdengar suara orang berbincang santai, ketika kakinya hanya berjarak beberapa meter dari lokasi. Suasana menjadi hening ketika dia sudah berada di tempat semua orang berkumpul. Menyebabkan jantungnya bekerja lebih extra.

Tidak ada dekorasi seperti acara lamaran pada umumnya. Rumah berlantai satu itu hanya mengganti kursi ruang tamu dengan karpet. Agar dapat menampung para saudara dan juga tamu yang hadir. Selain karena waktu yang mepet, Tari juga mau acara diadakan dengan sederhana.

Menarik napas panjang, Tari lantas mengedarkan pandangan untuk menyapa dua keluarga yang menatapnya penuh kekaguman. Dia membatu, saat irisnya bertemu dengan iris legam yang menatapnya tajam.

Tidak mau berlama-lama memandang mata yang seakan bisa mengancurkan sendi-sendinya sehingga rasanya dia tidak mampu berdiri, matanya pun beralih menatap saudara-saudaranya.

Berbeda dengan Tari yang terperangah ketika melihatnya, Abi justru berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan degup asing ketika melihat wanita di hadapannya.

Sebuah perasaan yang sudah lama dia buang. Kini muncul lagi ke permukaan. Membuat Abi seperti tidak bisa menguasai perasaannya sendiri. Tersenyum kecut, dia tidak menyangka rasa yang telah dibuangnya kini kembali ke permukaan.

Suara seorang pria yang akan membawakan acara, membuat pandangan Abi terputus. Tari memutuskan untuk duduk karena acara akan segera berlangsung. Sedangkan Abi mengalihkan pandangan dari Tari, yang menurut lelaki itu terlihat cantik meskipun dengan make up sederhana. “Sial, apa yang barusan aku pikirkan?!” geram Abi dalam hati.

Acara berlangsung lancar, seluruh keluarga bercengkerama dengan hangat. Namun, kedua tokoh utama hanya saling diam. Sesekali mereka akan bersuara jika ada yang bertanya.

Mau bagaimana lagi, ini terlalu canggung untuk keduanya. Setelah sekian lama tidak bertemu, mendadak mereka akan disatukan oleh sebuah ikatan yang sakral. Rasanya masih tidak bisa dipercaya.

“Baiklah, sesuai kesepakatan bersama. Pernikahan akan dilaksanakan tiga bulan lagi,” ucap Umar, perwakilan keluarga Abi sambil menatap satu per satu orang yang memenuhi ruang tamu keluarga Tari. “Meskipun menurut saya itu terlalu lama, ya, karena sebaiknya niat baik itu disegerakan. Kalau bisa, ya, sekarang saja.”

Tawa Umar terdengar setelah itu. Tidak ada yang tahu, pria yang merupakan kakak dari mama Abi itu bercanda atau serius, tapi semua orang di ruangan itu ikut tertawa. Menganggap itu hal lucu. Namun, tidak dengan dua wanita paruh baya di sana. Mereka berdua sama-sama tersenyum penuh makna.

Lalu salah dari kedua perempuan itu pun bersuara. “Sepertinya yang dikatakan Mas Umar ada benarnya, sesuatu yang baik harus disegerakan.”

Mendengar penuturan mamanya, mendadak perasaan Abi menjadi tidak enak. 

“Jadi bagaimana kalau pernikahan itu dilaksanakan sekarang?” tanya mama Abi dengan binar yang kentara.

“Saya setuju, Mbak,” ujar ibu Tari penuh semangat.

Semua orang di ruangan itu terperangah mendengar usul dua wanita paruh baya itu. 

Tidak terkecuali dua calon pengantin itu, Tari menatap ibunya tidak percaya. Sedangkan Abi memejamkan matanya mengetahui firasatnya benar terjadi, bahwa sang mama pasti punya rencana tertentu. 

Merasa tidak setuju dengan rencana dua wanita paruh baya tersebut, Abi dan Tari kompak melayangkan protes.

“Bu!”

“Ma!”

“Kenapa? Bukankah ini bagus?”

Dua calon pengantin itu hanya diam, saat anggota keluarga mereka yang lain saling bersahutan menyatakan setuju dengan usulan mama Abi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status