Share

6. Setelah akad

Sembari mencuci peralatan makan Tari teringat kembali kejadian tadi, yang sampai saat ini masih terasa seperti mimpi baginya.

"Kalian nikah secara agama dulu saja sekarang. Daripada nunggu tiga bulan lagi, kelamaan itu. Iya, 'kan, Pa?" tanya Mama Abi kepada sang suami, yang dibalas anggukan setuju.

Semua terjadi begitu cepat, ketika seorang kerabat mereka mengusulkan untuk memanggil seorang ustadz di kampungnya. Tari bahkan belum sempat mencerna apa yang terjadi. Saat tiba-tiba saja Abi menjabat tangan ayahnya untuk mengucapkan ijab qabul.

Saat semua keluarga menyalaminya untuk mengucapkan selamat, wanita itu masih menampilkan ekspresi kebingungan. Begitu juga ketika matanya memandang seseorang yang baru saja sah menjadi suaminya. Dia juga melihat raut kebingungan yang sama.

Panggilan dari sang ibu menghentikan lamunan Tari.

"Itu dilanjut besok saja, kamu istirahat sekarang. Nak Abi juga sudah ke kamar tadi, Ica sudah tidur soalnya."

Mendengar ibunya menyebut nama Ica, membuat Tari tersenyum, mengingat tingkah gadis lucu itu yang tadi merasa senang bisa bertemu lagi dengannya.

Meski gadis itu belum paham apa yang terjadi. Namun, rasa antusias memiliki keluarga baru tidak dapat disembunyikannya.

"Biar Tari selesaikan dulu, tinggal sedikit soalnya."

"Yawes, tapi kalau sudah selesai segera ke kamar."

"Enggeh, Bu." jawab Tari.

*** 

Abi memandang langit-langit kamar Tari dengan tatapan kosong. Karena saat ini pikirannya sibuk memutar kembali kejadian tadi. Bagaimana ceritanya dari acara lamaran menjadi pernikahan.

Lelaki itu menghela napas dalam, mengingat kini statusnya sudah berubah menjadi suami orang. Memiringkan tubuh untuk menghadap gadis kecilnya, ia teringat pembicaraan dengan sang mertua.

"Setelah pulang, saya akan segera mengurus itsbat nikah kami, Pak. Karena menurut Rama pengajuan ke pengadilannya sesuai domisili yang tertera di KTP. Rama juga sudah memberitahu berkas apa saja yang dibutuhkan." 

Abi menerangkan kembali apa yang dia bicarakan dengan Rama-sepupu sang istri- kepada mertuanya.

"Bapak percaya sama kamu. Bapak juga berterima kasih karena kamu sudah menerima Tari."

Kegiatan Abi melihat temaram lampu di halaman belakang, teralihkan mendengar ucapan guru SMA-nya dulu.

"Sejujurnya sulit bagi Bapak untuk melepas dia lagi. Rasa sakit akibat perceraian Tari dulu, tidak hanya dirasakan olehnya, tapi juga kami.  Orang tuanya." 

Kepala mertuanya mendongak untuk melihat langit yang gelap. Ekspresi kesedihan begitu jelas terlihat di wajah yang sudah penuh keriput itu. Tiba-tiba mertuanya menghela napas, lalu beralih menatap hangat pada Abi.

"Bapak minta maaf soal penolakan yang dulu."

Tidak menyangka kalau mertuanya akan membahas mengenai masa lalu, Abi hanya terdiam bingung harus menjawab apa.

"Nak, Abi. Boleh bapak minta tolong padamu?"

"Apa, Pak?"

"Tolong jaga Tari, ya. Dia memang anak yang kuat. Tak pernah sekalipun dia menceritakan aib rumah tangganya. Kami bahkan baru mengetahui kelakuan jahat suaminya ketika dia sudah ditalak. Meskipun begitu Bapak yakin sebagi perempuan dia tetap butuh sandaran. Kamu bisa, 'kan?"

Gerakan tangganya mengelus rambut panjang sang putri, yang sedang tertidur di pangkuannya langsung terhenti. Mendengar permintaan mertuanya.

Ragu merambat di hati laki-laki itu. Bisakah dia melaksanakan perintah sang mertua? Mengingat betapa berantakan pernikahan pertamanya.

"Enggeh, Pak," jawab Abi, meskipun hatinya masih diliputi rasa bimbang.

*** 

Dengan gugup Tari mengetuk pintu di depannya. Menunggu beberapa detik, hingga pintu itu terbuka. Menampilkan seorang pria jangkung dengan wajah mengantuk.

Lelaki itu menatap heran pada wanita di depannya. Bukankah ini kamarnya? Kenapa dia harus mengetuk dulu, pikirnya.

"Boleh aku masuk?" tanya Tari sebisa mungkin bersikap tenang.

Alis tebal itu menungkik. Kemudian membuka pintu lebih lebar, sebagai jawaban atas pertanyaan Tari tadi.

"Terima kasih." Lesung pipi terlihat begitu jelas ketika Tari berucap seraya tersenyum.

Abi terpaku. Debar jantungnya kembali bekerja dengan ekstra melihat lesung pipi itu.

"Mas? Aku mau masuk."

Sadar kalau dia menghalangi jalan perempuan itu, Abi mengumpat dalam hati. Lalu ia beranjak ke tempat tidur tanpa mengatakan apapun, meninggalkan sang istri yang menghela napas dalam, berusaha menghilangkan rasa gugup.

Sembari melihat berita di ponsel, yang sama sekali tak ia pahami. Ekor mata Abi menatap gerak gerik Tari, dari mulai berjalan ke arah lemari di pojok kamar, mengambil salah satu bajunya hingga wanita itu tidak terlihat lagi. Karena sudah masuk dalam kamar mandi.

Pandangan Abi terus beralih dari layar ponsel ke kamar mandi, terus seperti itu entah berapa lama. Hingga tiba-tiba kamar mandi itu terbuka ketika fokus Abi masih di sana, membuat lelaki itu terkesiap. Karena merasa seperti tertangkap basah menunggu sang istri.

Sekali lagi Abi dibuat membatu melihat penampilan istrinya. Tidak, istrinya tidak memakai pakaian kurang bahan yang sering di bahas teman-teman kerjanya. Namun, wanita itu hanya memakai piyama panjang, dengan rambut legam panjangnya terurai indah. Dengan seperti itu saja sang istri terlihat mempesona di matanya.

"Mas? Ada apa?" tanya Tari yang kebingungan melihat sikap aneh suaminya.

Tersadar akan pikirannya yang mulai tidak karuan, Abi segera memposisikan diri untuk tidur dengan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

"Jangan lupa matikan lampunya," ucap Abi dari balik selimut.

Lelaki itu kembali meruntuki sikapnya. Bisa-bisanya ia terlihat konyol seperti tadi di depan istrinya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status