Sembari mencuci peralatan makan Tari teringat kembali kejadian tadi, yang sampai saat ini masih terasa seperti mimpi baginya.
"Kalian nikah secara agama dulu saja sekarang. Daripada nunggu tiga bulan lagi, kelamaan itu. Iya, 'kan, Pa?" tanya Mama Abi kepada sang suami, yang dibalas anggukan setuju.
Semua terjadi begitu cepat, ketika seorang kerabat mereka mengusulkan untuk memanggil seorang ustadz di kampungnya. Tari bahkan belum sempat mencerna apa yang terjadi. Saat tiba-tiba saja Abi menjabat tangan ayahnya untuk mengucapkan ijab qabul.
Saat semua keluarga menyalaminya untuk mengucapkan selamat, wanita itu masih menampilkan ekspresi kebingungan. Begitu juga ketika matanya memandang seseorang yang baru saja sah menjadi suaminya. Dia juga melihat raut kebingungan yang sama.
Panggilan dari sang ibu menghentikan lamunan Tari.
"Itu dilanjut besok saja, kamu istirahat sekarang. Nak Abi juga sudah ke kamar tadi, Ica sudah tidur soalnya."
Mendengar ibunya menyebut nama Ica, membuat Tari tersenyum, mengingat tingkah gadis lucu itu yang tadi merasa senang bisa bertemu lagi dengannya.
Meski gadis itu belum paham apa yang terjadi. Namun, rasa antusias memiliki keluarga baru tidak dapat disembunyikannya.
"Biar Tari selesaikan dulu, tinggal sedikit soalnya."
"Yawes, tapi kalau sudah selesai segera ke kamar."
"Enggeh, Bu." jawab Tari.
***
Abi memandang langit-langit kamar Tari dengan tatapan kosong. Karena saat ini pikirannya sibuk memutar kembali kejadian tadi. Bagaimana ceritanya dari acara lamaran menjadi pernikahan.
Lelaki itu menghela napas dalam, mengingat kini statusnya sudah berubah menjadi suami orang. Memiringkan tubuh untuk menghadap gadis kecilnya, ia teringat pembicaraan dengan sang mertua.
"Setelah pulang, saya akan segera mengurus itsbat nikah kami, Pak. Karena menurut Rama pengajuan ke pengadilannya sesuai domisili yang tertera di KTP. Rama juga sudah memberitahu berkas apa saja yang dibutuhkan."
Abi menerangkan kembali apa yang dia bicarakan dengan Rama-sepupu sang istri- kepada mertuanya.
"Bapak percaya sama kamu. Bapak juga berterima kasih karena kamu sudah menerima Tari."
Kegiatan Abi melihat temaram lampu di halaman belakang, teralihkan mendengar ucapan guru SMA-nya dulu.
"Sejujurnya sulit bagi Bapak untuk melepas dia lagi. Rasa sakit akibat perceraian Tari dulu, tidak hanya dirasakan olehnya, tapi juga kami. Orang tuanya."
Kepala mertuanya mendongak untuk melihat langit yang gelap. Ekspresi kesedihan begitu jelas terlihat di wajah yang sudah penuh keriput itu. Tiba-tiba mertuanya menghela napas, lalu beralih menatap hangat pada Abi.
"Bapak minta maaf soal penolakan yang dulu."
Tidak menyangka kalau mertuanya akan membahas mengenai masa lalu, Abi hanya terdiam bingung harus menjawab apa.
"Nak, Abi. Boleh bapak minta tolong padamu?"
"Apa, Pak?"
"Tolong jaga Tari, ya. Dia memang anak yang kuat. Tak pernah sekalipun dia menceritakan aib rumah tangganya. Kami bahkan baru mengetahui kelakuan jahat suaminya ketika dia sudah ditalak. Meskipun begitu Bapak yakin sebagi perempuan dia tetap butuh sandaran. Kamu bisa, 'kan?"
Gerakan tangganya mengelus rambut panjang sang putri, yang sedang tertidur di pangkuannya langsung terhenti. Mendengar permintaan mertuanya.
Ragu merambat di hati laki-laki itu. Bisakah dia melaksanakan perintah sang mertua? Mengingat betapa berantakan pernikahan pertamanya.
"Enggeh, Pak," jawab Abi, meskipun hatinya masih diliputi rasa bimbang.
***
Dengan gugup Tari mengetuk pintu di depannya. Menunggu beberapa detik, hingga pintu itu terbuka. Menampilkan seorang pria jangkung dengan wajah mengantuk.
Lelaki itu menatap heran pada wanita di depannya. Bukankah ini kamarnya? Kenapa dia harus mengetuk dulu, pikirnya.
"Boleh aku masuk?" tanya Tari sebisa mungkin bersikap tenang.
Alis tebal itu menungkik. Kemudian membuka pintu lebih lebar, sebagai jawaban atas pertanyaan Tari tadi.
"Terima kasih." Lesung pipi terlihat begitu jelas ketika Tari berucap seraya tersenyum.
Abi terpaku. Debar jantungnya kembali bekerja dengan ekstra melihat lesung pipi itu.
"Mas? Aku mau masuk."
Sadar kalau dia menghalangi jalan perempuan itu, Abi mengumpat dalam hati. Lalu ia beranjak ke tempat tidur tanpa mengatakan apapun, meninggalkan sang istri yang menghela napas dalam, berusaha menghilangkan rasa gugup.
Sembari melihat berita di ponsel, yang sama sekali tak ia pahami. Ekor mata Abi menatap gerak gerik Tari, dari mulai berjalan ke arah lemari di pojok kamar, mengambil salah satu bajunya hingga wanita itu tidak terlihat lagi. Karena sudah masuk dalam kamar mandi.
Pandangan Abi terus beralih dari layar ponsel ke kamar mandi, terus seperti itu entah berapa lama. Hingga tiba-tiba kamar mandi itu terbuka ketika fokus Abi masih di sana, membuat lelaki itu terkesiap. Karena merasa seperti tertangkap basah menunggu sang istri.
Sekali lagi Abi dibuat membatu melihat penampilan istrinya. Tidak, istrinya tidak memakai pakaian kurang bahan yang sering di bahas teman-teman kerjanya. Namun, wanita itu hanya memakai piyama panjang, dengan rambut legam panjangnya terurai indah. Dengan seperti itu saja sang istri terlihat mempesona di matanya.
"Mas? Ada apa?" tanya Tari yang kebingungan melihat sikap aneh suaminya.
Tersadar akan pikirannya yang mulai tidak karuan, Abi segera memposisikan diri untuk tidur dengan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Jangan lupa matikan lampunya," ucap Abi dari balik selimut.
Lelaki itu kembali meruntuki sikapnya. Bisa-bisanya ia terlihat konyol seperti tadi di depan istrinya.
"Itu apa, Tante?"Tari tersenyum mendengar pertanyaan Ica yang duduk di belakang. Sejak meninggalkan rumahnya, si gadis selalu bertanya semua hal yang menarik perhatiannya. Wanita itu bersyukur dengan adanya Ica suasana di mobil tidak terlalu canggung."Rumah eyang, masih jauh apa nggak?""Sebentar lagi, Sayang," jawab Tari dengan sabar. Sepertinya gadis cantik itu tidak sabar untuk segera bertemu kakek neneknya.Lelaki yang tengah fokus menyetir itu, melirik ke samping ketika suara lembut mampir ke telinganya. Suara yang tadi membangunkannya untuk sholat subuh. Sesuatu yang entah kapan terakhir dilakukan, akhirnya tadi pagi dilakukan kembali. Tanpa dia sadari senyum kecil terbit di bibirnya, ketika mengingat kejadian tadi pagi."Itu rumah eyang." Ica berseru penuh semangat.Setelah sang ayah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, gadis itu meminta agar pintu mobil segera dibuka. Setelah keinginannya dikabulkan, Ica langsung berlari. Meninggalkan papa dan juga ibu barunya, yang saling
Selamat membaca."Tidurlah! Bereskan pakaianmu besok saja!" perintah Abi pada istrinya.Tanpa mengatakan apapun Tari menuruti perintah suaminya, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Suaminya tidur tanpa selimut, adalah pemandangan pertama yang dia lihat ketika keluar dari kamar mandi. Tari menghela napas lega, setidaknya mereka tidak perlu berada dalam situasi yang canggung. Meskipun semalam dia berusaha bersikap tenang, tapi sebenarnya itu adalah cara agar ia bisa menutupi kegugupannya.Berpikir beberapa saat, Tari beranjak dari tempatnya menuju ranjang. Setelah itu dengan hati-hati dia tutupi tubuh suaminya dengan selimut. Dia pandangi sebentar wajah suaminya, sebelum berlalu ke sisi lain untuk tidur. Wanita itu menghela napas sebentar lalu berdoa semoga diberi kekuatan untuk menjalani hari esok.***Dari lima menit yang lalu, wanita yang masih menggunakan mukena putihnya, berusaha untuk membangunkan sang suami. Meski yang hasil yang didapatnya masih nihil, lelaki i
"Siapa kamu?" tanya wanita itu setelah duduk di sebelah Arkan. Entah mengapa dia begitu kesal, melihat senyum tulus perempuan yang duduk di samping Ica."Ini Tante Tari," jawab Ica."Tante Tari? Siapa?" tanya wanita berambut coklat itu karena jawaban Ica belum menghilangkan rasa penasarannya."Ya, Tante Tari."Wanita itu berdecak kesal. "Maksudku, Tante Tari itu siapa? Kok bisa ada disini?" "Saya Tari, istri Mas Abi," tegas Tari. Karena tidak ada tanda-tanda sang suami akan menjawab pertanyaan itu.Suara batuk Abi yang tersedak makanan, membuat Tari mengalihkan pandangan pada sang suami. Dengan cekatan dia mengambil air minum, lalu diberikan pada sang suami. Tanpa mengindahkan si wanita asing yang kaget dengan ucapannya, dan juga Arkan yang tanpa sadar tersenyum menyaksikan adegan di depannya."Kamu nggak papa, Mas? Hati-hati kalau minum, pelan-pelan saja."'Gara-gara siapa aku tersedak seperti ini,' gerutu Abi dalam hati. Dia tidak habis pikir, bagaimana wanita ini tidak terintimida
"Mbak Tari, Mas Abi. Ini tetangga baru kita, rumahnya di depan rumah kita pas," jelas Lastri yang tidak menyadari aura berbeda pada keempat orang yang berada dalam ruangan yang sama dengannya.Ajeng langsung merapatkan diri pada suaminya, perempuan dengan midi dress selutut warna tosca itu langsung mengalungkan tangannya di lengan sang suami."Saya Ajeng, dan ini suami saya Dipta.""Saya Abi dan ini istri saya Tari."Abi merasa tidak nyaman melihat pria di depannya memandang lekat sang istri. Perlahan ia lepas pegangan sang istri di tangannya, kemudian merengkuh pinggang istrinya, hingga membuat tubuh mereka menempel satu sama lain. Abi dapat merasakan tubuh Tari membeku, akibat perbuatannya.Sementara itu, setelah tadi terkejut karena melihat kembali mantan istrinya. Kini, Dipta harus menahan emosi meyaksikan interaksi di hadapannya. Lelaki itu sama sekali tidak menyangka kalau Tari menikah lagi setelah perceraian mereka."Tante."Tari mendapatkan kembali kesadarannya, ketika tubuhny
Tari langsung menjauhkan wajahnya saat hembusan napas sang suami terasa di kulitnya. "A-apa, Mas?""Sudah, lupakan!"Abi merubah posisinya menjadi berbaring membelakangi sang istri. Sesungguhnya dia tidak mengerti kenapa bisa bertanya seperti itu. Hanya saja dia tidak suka melihat raut terluka di wajah Tari, meskipun wanita itu tersenyum."Kalau, Mas memang menginginkan hal itu aku—""Aku bilang lupakan, Tari! Lagipula gimana caranya kita melakukan itu? Sedangkan ketika tadi aku mengajakmu, wajahmu sudah ketakutan seperti itu."Sang istri menunduk mendengar kalimat suaminya, dia menggigit bibir mungilnya untuk menahan rasa sesak yang ada. "Maaf, Mas.""Tidurlah!"Pergerakan di sampingnya, membuat Abi tahu kalau Tari menuruti perintahnya. Namun, sekarang pria itu menjadi gelisah. Sebagai pria dewasa jujur dia terganggu dengan percakapan yang baru saja terjadi.Dikala dia berusaha memejamkan mata, sebuah suara lembut membuat matanya kembali terbuka."Menginjak enam tahun pernikahan, aku
"Ada perlu apa Anda datang ke sini?" tanya Abi setelah duduk di hadapan wanita yang sedang tersenyum aneh kepadanya.Ajeng tersenyum sembari meletakkan kedua tangannya di atas kaki jenjangnya yang menyilang. "Saya ke sini karena ingin bertemu istri Anda, Tari."Abi berdecak mendengar nada manja yang keluar dari mulut perempuan di hadapannya. Lelaki itu tidak habis pikir, bisa-bisanya mantan suami Tari memilih melepaskan istrinya, hanya untuk bisa bersama wanita di depannya. Bahkan dari pertemuan awal kemarin, Abi sudah bisa menebak karakter wanita di hadapannya."Istri saya sedang mengantar anak kami pergi ke sekolah."Ajeng menatap kagum pada pria berahang tegas, yang menjawab pertanyaannya dengan nada datar. "Anak kami? Setahu saya Tari bercerai dengan suaminya karena dia tidak bisa memberi keturunan pada mantan suaminya."Senyum sinis tergambar di bibir Abi, dia menebak perempuan di depannya berpikir kalau ia belum tahu masa lalu sang istri. "Mungkin mantan suaminya terlalu payah,
"Dia butuh persetujuanku, untuk menjual rumah mereka." Tari memandang wajah di depannya yang terlihat sedang memikirkan sesuatu, "karena sertifikatnya atas namaku dan Mas Dipta."Mendengar istrinya mengucapkan nama sang mantan, Abi memandang netra itu dengan tajam. Namun, dia harus menyabarkan diri karena sepertinya istri cantiknya tidak mengerti arti tatapan tajam yang dia layangkan."Biar aku yang mengurusnya, kamu jangan bertemu lagi dengan mantan suamimu itu!""Terima kasih, Mas. Perlu Mas tau, aku memang tidak ada rencana bertemu mereka."Pandangan mereka saling mengunci beberapa saat. Ada perasaan hangat yang menjalar di hati mereka. Apakah ini pertanda baik? Kalau pada akhirnya perasaan mereka mulai tumbuh?Abi lah yang pertama kali memutus pandangan mereka. Karena lelaki itu mengingat sesuatu. Selanjutnya dia mengambil sesuatu dari dalam laci untuk diserahkan kepada istrinya."Ambilah! Untuk belanja."Tari mengambil ATM dari tangan Abi lalu mengucapkan terima kasih. Beberapa h
"Kamu dengar apa yang kubicarakan dengan Alia?""Iya.""Kamu gak marah?""Sedikit, tapi setidaknya aku bersyukur kamu menikahiku karena alasan itu, bukan alasan yang lain."Abi mengernyit. "Contohnya?""Menikahi karena ingin memuaskan nafsu, mungkin.""Hey, aku tidak seperti itu!"Tari tertawa melihat kekesalan sang suami. Diusianya yang ke tiga puluh enam, terkadang Tari merasa suaminya masih kekanakan."Kamu ngerjain aku?""Mas Abi tadi juga melakukan hal yang sama."Pria beralis tebal itu menatap sang istri lekat. "Sejauh apa kamu berubah?""Ha?""Dalam ingatanku kamu adalah gadis remaja yang ceria tapi juga pemalu, tapi sekarang banyak sekali perubahan dalam dirimu. Kenapa?""Mungkin karena pengalaman hidupku." ucap Tari sambil menerawang. "Mas? Boleh aku minta sesuatu?""Apa?""Bisakah kita berusaha membuat pernikahan ini berhasil?"Abi tertegun, tiba-tiba dia merasakan nyeri di sudut hatinya, melihat iris jernih di hadapannya memancarkan luka dan harapan. "Bisa, kita pasti bisa.