Selamat membaca.
"Tidurlah! Bereskan pakaianmu besok saja!" perintah Abi pada istrinya.
Tanpa mengatakan apapun Tari menuruti perintah suaminya, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Suaminya tidur tanpa selimut, adalah pemandangan pertama yang dia lihat ketika keluar dari kamar mandi. Tari menghela napas lega, setidaknya mereka tidak perlu berada dalam situasi yang canggung. Meskipun semalam dia berusaha bersikap tenang, tapi sebenarnya itu adalah cara agar ia bisa menutupi kegugupannya.
Berpikir beberapa saat, Tari beranjak dari tempatnya menuju ranjang. Setelah itu dengan hati-hati dia tutupi tubuh suaminya dengan selimut. Dia pandangi sebentar wajah suaminya, sebelum berlalu ke sisi lain untuk tidur. Wanita itu menghela napas sebentar lalu berdoa semoga diberi kekuatan untuk menjalani hari esok.
***
Dari lima menit yang lalu, wanita yang masih menggunakan mukena putihnya, berusaha untuk membangunkan sang suami. Meski yang hasil yang didapatnya masih nihil, lelaki itu tetap terlelap pulas.
Ingin rasanya Tari mengabaikan suaminya, terserah dia mau sholat atau tidak. Namun, di sudut hatinya melarang hal itu. Terasa ada yang mengganjal jika suaminya sampai tidak sholat.
"Mas," ucapnya untuk yang kesekian kalinya.
"Hem ...."
"Bangun, waktu subuhnya keburu habis." Dengan ragu-ragu Tari menyentuh lengan sang suami, karena tidak ada tanggapan sama sekali dari lelaki itu.
Merasakan sentuhan dingin di lengannya, reflek Abi membuka matanya. Senyum sang istri yang lagi-lagi menjadi alasan jantungnya berdetak kencang adalah hal pertama yang ia lihat.
"Alhamdulillah, Mas, sudah bangun. Kalau begitu aku mau ke bawah bantu Lastri."
Abi menatap tidak percaya pada sang istri, bagaimana bisa wanita itu begitu tenang? Melepas mukena, menggantinya dengan hijab lalu begitu saja berlalu tanpa menoleh lagi. Padahal dia sendiri merasakan perasaan asing kembali menyusup ke hatinya.
Lelaki itu mengumpat lirih, menyadari tingkahnya yang seperti remaja yang baru saja melihat wanita cantik. Abi bisa membayangkan reaksi Riko saat tau tingkahnya yang terbengong melihat wajah sang istri. Pasti sahabatnya itu, akan menghinanya habis-habisan.
"Sial," batinnya. Lebih baik sekarang dia segera mandi.
***
Lastri celingukan seolah memastikan sesuatu, sebelum kemudian mendekatkan diri pada Tari yang membantunya memasak.
"Ibu mau aku cerita ini sama Mbak, biar Mbak bisa tahu langkah selanjutnya." Alis Tari berkerut mendengar ucapan Lastri yang terdengar serius.
"Hubungan Mas Abi sama bapak menjadi buruk, sejak Mas Abi menikah dengan mamanya Ica. Itu yang kutahu dari cerita ibu, tapi soal alasannya kenapa aku ndak tahu," lanjut Lastri dengan pelan.
Memijat pelan keningnya yang tiba-tiba merasa pusing, Tari alihkan pandangannya pada temannya.
"Soal Arkan?" tanyanya pelan.
"Dulu pas awal aku kerja di sini, Arkan itu anak yang ramah. Trus ndak tau kenapa pas remaja jadi pendiam kayak gitu. Tiap hari bertengkar terus sama Mas Abi. Ibu bilang ke saya, kalau ibu berharap Mbak Tari bisa bawa perubahan di keluarga ini."
"Insya Allah, aku akan berusaha Lastri," jawab Tari yakin. Karena dari awal dia sudah bertekad untuk menjaga pernikahan keduanya.
***
Suasana kaku terjadi di meja makan dengan enam kursi itu, hanya celoteh Ica yang membuat suasana sedikit mencair.
"Motor siapa yang kamu pakai kemarin?" Nada datar suaminya, membuat Tari menoleh ke arah Arkan.
"Dikasih Opa," jawab Arkan sama datarnya.
"Kamu baru lima belas tahun, belum waktunya pakai motor!" tegas laki-laki dewasa itu.
"Cuma buat main bentar."
"Mau bentar apa lama, tetap saja kamu belum boleh pakai itu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu di jalan?"
"Selama seminggu ini aku baik-baik saja pake motor itu. Lagian sejak kapan papa peduli padaku."
Wajah Abi memerah mendengar nada sinis dari mulut anaknya. "Kamu bisa tidak kalau dikasih tau bilang iya saja. Jangan membantah terus, yang sopan sama orang tua!" bentak Abi, membuat Tari terkesiap.
Wanita itu menoleh ke sampingnya, seketika hatinya terasa nyeri melihat gadis tujuh tahun itu menunduk ketakutan. Bahkan genggaman sendok di tangan Ica begitu kuat.
"Selama ini gak ada orang tua yang ngajari aku sopan santun. Jadi jangan meminta aku menjadi seperti itu," jawab Arkan cuek.
Mendengar jawaban dari sang anak, emosi Abi memuncak. Dia letakkan sendok dan garpunya dengan keras. "Kamu—"
"Hentikan!" perintah Tari.
Nada tegas tersebut membuat dua lelaki yang sedang bersitegang, menoleh secara bersamaan.
"Ini tempat makan, kalau kalian mau berdebat silakan cari tempat lain. Lagipula apa kalian tidak tahu, Ica ketakutan," ucap Tari sambil tersenyum, tapi tanpa menghilangkan nada tegasnya.
Ayah dan anak yang akan membantah seketika membatalkannya, melihat gadis kecil kesayangan mereka menunduk ketakutan. Dengan tangan mungilnya kini mencekram erat tangan sang ibu tiri.
Akhirnya Tari bisa bernapas lega. Setelah kondisi di ruang makan dengan delapan kursi itu menjadi tenang. Mereka sibuk menghabiskan makanan masing-masing.
Namun, baru saja beberapa menit suasana tenang terjadi. Sebuah suara membuat Abi mengumpat lirih, sedangkan Arkan memejamkan matanya.
"Hai, kapan Mas Abi dan Ica pulang? Kok aku gak tau?" tanya perempuan dengan shift drees warna putih yang baru saja memasuki tempat makan. Beberapa saat kemudian mata perempuan itu menyipit, menyadari kehadiran orang lain yang terasa asing di matanya.
Sedangkan Tari bertanya-tanya, siapa wanita yang memiliki wajah hampir sama dengan Ica tersebut. Namun, sebagai tuan rumah yang baik akhirnya Tari memberikan senyum tipis pada perempuan itu.
Mengistirahatkan diri dengan duduk di sofa, Tari menarik napas berkali-kali seraya mengelus perutnya yang terasa sakit. Sudah sejak tadi siang dia merasakan hal ini, tapi karena sakitnya muncul lalu hilang terus jadi dia tidak terlalu ambil pusing dan tetap mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Namun, kali ini rasanya lebih sakit dengan durasi yang cukup lama. Apa dia sudah mau melahirkan? "Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang." Tari meringis kala rasa sakit kembali menyerang, dia menatap jam yang ada di dinding. Sudah setengah lima, tapi suaminya belum datang. Padahal pria itu berkata akan pulang pukul tiga. Sedangkan Bintang tadi mengatakan jika anak itu menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas, Icha sendiri dari kemarin menginap di rumah Kinan. Menahan rasa sakit yang kian menjadi, pelan dia bangkit bermaksud mengambil ponsel yang tadi diletakkannya di kamar. Jarak kamar dan ruang tengah yang dekat, kali ini terasa jauh. Belum lagi dia yang harus sedikit
Rasa haus membangunkan Tari dari tidur nyenyaknya. Meraba-raba tempat di sampingnya, dia merasa bingung karena tidak menemukan sang suami. Di mana pria itu?Semakin hari dia merasa tak bisa jauh dari suaminya. Pernah ditinggal sebentar saja langsung menangis. Pasalnya Abi pergi ketika malam, waktu dimana dia ingin menghabiskan waktu bersama pria itu.Bangkit perlahan mengingat perutnya yang sudah membesar, matanya menyipit kala di bawah remang lampu kecil yang terletak di atas nakas dia mendapati sang suami tengah menengadahkan tangan. Berdoa.Pria yang menggunakan peci putih itu tampak sesenggukan. Entah apa yang diminta pria itu sehingga membuatnya tampak sedih.Tari tidak bergerak, diam dalam posisi duduk. Menunggu sampai sang suami menyadari kehadirannya. Lalu dia tersenyum kala Abi terkejut begitu menyadari keberadaannya."Kenapa bangun?" tanya Abi sambil berjalan ke arah sang istri.Tari menggeleng, diletakkannya telapak tangan di pipi sang suami. Mengusap lembut, menghilangkan
Seperti yang sudah direncanakan, pagi itu keluarga Abi sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju tempat pertandingan Arkan.Abi sendiri yang sudah berusaha membujuk sang istri agar tidak ikut, akhirnya menyerah. Karena wanita itu benar-benar berubah menjadi sosok keras kepala, yang akan cemberut sepanjang hari jika keinginannya tidak dipenuhi.Sebenarnya bukan hanya dia saja yang mencoba melarang, tapi Arkan juga melakukan hal yang sama. Berbeda dengan dirinya, Tari bersikap lebih lunak pada anak-anak. Bahkan wanita itu cenderung sensitif, seperti kemarin istrinya membuat drama kala Arkan mengatakan agar tidak perlu datang."Apa sebaiknya Bunda di rumah saja?" Dari meja makan Arkan memperhatikan sang bunda yang tengah sibuk menyiapkan bekal untuk besok. Padahal dia sudah mengatakan agar wanita itu tidak perlu repot-repot. Toh, dari panitianya sudah disediakan konsumsi."Kenapa memangnya?""Ya, 'kan Bunda lagi hamil gitu. Gimana kalau kecapekan?" tanya Arkan untuk kesekian kali. Karena
"Minggu ini 'kan final futsalnya?" tanya Tari sambil menyerahkan segelas jus pada suaminya yang tengah menonton televisi di ruang tengah bersama sang putera.Semenjak hubungan kedua laki-laki tersebut semakin membaik, semakin kompak juga mereka. Tak jarang dia merasa kesal jika suami dan anaknya sudah berada di dunianya sendiri, seperti olahraga dan bermain game. Dia sungguh merasa di abaikan.Duduk di salah satu sofa, dia ikut memperhatikan layar datar yang sama sekali tidak menaikkan minatnya."Iya, Bun.""Kalau jawab itu sambil liat, bunda! Emangnya tv lebih menarik dari bunda?" cibir Tari kesal. Benar 'kan dia selalu diabaikan jika sang anak tengah menikmati tontonan favoritnya.Dia berharap ada Icha yang selalu berada di kubunya. Sayangnya gadis cantik tersebut sudah tidur sejak tadi.Sementara itu Arkan yang baru saja kena cibir langsung berdeham dan melirik sang papa yang tampak sedang mengulum bibir, seperti menahan tawa atau mungkin mengejeknya?"Maaf, Bun. Lagi seru soalnya.
"Kenapa, Lo?" Riko menatap aneh sahabatnya yang menghela napas berulang kali. Seolah tengah menghadapi beban yang berat. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kehidupan Abi sudah enak? Punya istri baik, anak-anak tampan dan lucu yang sebentar lagi akan bertambah satu. Namun, kenapa wajah sahabatnya itu macam kemeja yang belum disetrika. Kusut."Ngga pa-pa.""Buset, kayak cewek aja, Lo! Bilang ngga pa-pa tapi ada apa-apa."Abi melemparkan bantal sofa pada temannya. "Daripada Lo bawelnya melebihi cewek."Riko menggerutu. Kesal. "Males gue ngomong sama Lo!" Pria itu berjalan menuju pintu, seraya memegang gagang pintu dia membalik setengah badannya. "Jangan suntuk lama-lama, kasihan Tari. Nanti dia dikira nikah sam om-om."Berdecak kesal, Abi hampir saja melempar bantal kursi lagi tapi sayangnya pria yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya itu sudah menghilang di balik pintu.Beberapa menit setelah kepergian sang sahabat, Abi memutuskan untuk keluar dari ruang kerjanya. Walaupun kini
"Jadi, Mas Abi sudah lama suka padaku?" tanya Tari sambil tertawa kecil. Tidak menyangka jika pertanyaan yang di lemparkan sang suami dulu, adalah bentuk keseriusan. "Bisa dibilang begitu." Mata Tari memincing. "Santai banget jawabnya. Seingatku dulu Mas Abi terlihat gugup saat mengutarakan keinginan untuk mendekatiku." Abi tertawa, tangannya mencubit pipi sang istri. "Tentu saja. Dulu aku masih remaja sekarang aku adalah laki-laki dewasa yang mau punya anak tiga. Udah gak pantes lagi malu-malu kucing kayak gitu." Entah kenapa, ucapan sang suami membuatnya kesal. Tanpa mengucapkan apapun Tari membalik tubuhnya. Memunggungi sang suami. Boleh kah dia menyalahkan hormon kehamilan? Sebab belakangan ini hanya hal kecil bisa mematik kekesalannya. Di saat sedang memikirkan perubahan emosi yang dirasakan, Tari tersentak saat sebuah tangan memeluknya. Walau kesal, tak ada niat untuk menyingkarkan dekapan Abi karena rasanya yang begitu nyaman. "Sepertinya aku harus mulai bersabar menghada