"Itu apa, Tante?"
Tari tersenyum mendengar pertanyaan Ica yang duduk di belakang. Sejak meninggalkan rumahnya, si gadis selalu bertanya semua hal yang menarik perhatiannya. Wanita itu bersyukur dengan adanya Ica suasana di mobil tidak terlalu canggung.
"Rumah eyang, masih jauh apa nggak?"
"Sebentar lagi, Sayang," jawab Tari dengan sabar. Sepertinya gadis cantik itu tidak sabar untuk segera bertemu kakek neneknya.
Lelaki yang tengah fokus menyetir itu, melirik ke samping ketika suara lembut mampir ke telinganya. Suara yang tadi membangunkannya untuk sholat subuh. Sesuatu yang entah kapan terakhir dilakukan, akhirnya tadi pagi dilakukan kembali. Tanpa dia sadari senyum kecil terbit di bibirnya, ketika mengingat kejadian tadi pagi.
"Itu rumah eyang." Ica berseru penuh semangat.
Setelah sang ayah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, gadis itu meminta agar pintu mobil segera dibuka. Setelah keinginannya dikabulkan, Ica langsung berlari. Meninggalkan papa dan juga ibu barunya, yang saling berdiri canggung.
Senyum semringah mama Abi dan Lastri yang menyambut kedatangan mereka. Lalu ruang makan menjadi tujuan mereka setelah berbasa-basi sebentar, mengingat ini sudah waktu untuk makan siang.
Lain halnya dengan Tari yang langsung mencium tangan papa mertuanya, Abi begitu saja duduk di kursi tanpa berkata apapun. Raut heran yang tergambar di wajah Tari melihat tingkah sang suami, langsung berubah menjadi senyum hangat saat mama mertuanya menyuruhnya untuk mencicipi makanan yang sudah disiapkan.
"Nanti kalau kalian sudah pulang, Mbak Kinan mau main ke rumah kalian." Cerita ibu mertuanya menyebutkan nama kakak perempuan Abi.
Memang sedari tadi sang mertua lah yang mendominasi percakapan, Tari hanya sesekali menimpali ucapan mertuanya. Karena dia masih merasa kikuk berada di antara keluarga barunya.
"Tante, tolong ambilin durinya, dong," pinta Ica sembari mengangsurkan piringnya kepada wanita di sebelahnya.
"Oke," jawab Tari sambil tersenyum. "Ini udah," ujar wanita itu, seraya menaruh kembali piring itu di depan Ica.
Wanita paruh baya di sana menatap haru interaksi sang gadis kecil dengan ibu barunya. "Ica seneng ada Tante Tari?"
"Iya dong eyang, soalnya tante selalu jawab pertanyaan Ica. Kalau Mbak Lastri suka bilang capek kalau Ica tanya terus." Semua tersenyum mendengar penuturan polos dari Ica.
"Nggak boleh bilang gitu, Ca. Mungkin Mbak Lastri lagi capek, jadi bilang gitu," kata Tari lantas mengusap lembut kepala Ica.
Sekarang tidak hanya Mama Abi yang fokus melihat dua wanita beda generasi itu. Abi dan papanya yang sedari tadi diam, ikut menatap interaksi Ica dan Tari. Perasaan berbeda dirasakan oleh ketiga orang dewasa itu.
"Seandainya Arkan juga ada di sini," ucap Mama Abi tanpa sadar.
"Arkan?"
Sang mertua menepuk pelan keningnya, ketika ingat telah melupakan sesuatu yang penting. "Anak pertamanya Abi, dia lagi ikut liburan sama opa omanya jadi ndak ke sini." jelas Mama Abi lalu menghela napas seperti memikirkan sesuatu.
"Coba kamu lebih perhatian dengan anakmu, supaya dia mau liburan di sini juga." Meski diucapkan dengan nada yang tenang, tapi entah mengapa suasana berubah tegang, ketika kalimat itu terucap dari Papa Abi.
"Mbak Lastri!" Semua menoleh mendengar suara lantang Abi.
Mbak Lastri datang dengan tergopoh, lantas perempuan itu menatap takut pada Abi. Mendengarkan perintah sang majikan dengan seksama, akhirnya Lastri membawa Ica pergi sesuai perintah Abi.
"Papa nggak tau apapun soal keluargaku, jadi tolong jangan berkomentar apapun."
Sang papa membalas tatapan Abi dengan tajam. "Inilah kenapa Arkan menjadi anak yang suka membangkang, karena dia mencontoh itu semua darimu."
Wajah laki-laki berusia tiga puluh enam tahun itu sudah memerah, menandakan pemiliknya sedang menahan emosi. "Kurasa pembicaraan ini nggak ada gunanya. Abi pamit pulang," tegas Abi.
"Nak, jangan seperti itu. Pulanglah besok, seperti rencana awal," bujuk mamanya. Perempuan paruh baya itu memandang sang suami. Berharap untuk kali ini saja suaminya mau mengalah. Namun, yang dia dapatkan adalah kekecewaan.
"Kalau dia mau pulang. Biarkan saja, Ma."
"Tapi, Pa—"
"Tari kamu tunggu di mobil, biar aku panggil Mbak Lastri agar bersiap-siap!" perintah sang suami. Tanpa mau dibantah
Tari terpaku di tempatnya, tidak tahu harus berbuat apa menghadapi situasi seperti ini. Dia alihkan pandangan dari punggung pria jangkung itu kepada kedua mertuanya. Raut pilu tercetak jelas di wajah dua orang di hadapannya.
"Maaf Tari atas keributan yang terjadi. Kamu turuti saja mau suamimu." Pria itu menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya, "dan papa minta tolong, jaga mereka. Bersabarlah dengan mereka."
Melihat tatapan penuh harap dari sang mertua, sebuah tekad muncul dibenak Tari. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga pernikahannya.
Menyalami kedua mertuanya, Tari akhirnya mengikuti langkah sang suami yang sudah keluar dari ruang makan.
***
Setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya dengan alasan sang suami ada pekerjaan mendadak. Di sinilah Tari sekarang, di dalam mobil menuju kota yang meninggalkan bekas luka pada hatinya.
Sedari tadi Tari sudah berusaha menguatkan diri, jika suatu saat bertemu kembali dengan masa lalunya. Meski dalam hatinya ia berharap kejadian itu tidak akan terjadi.
Tidak terasa perjalanan ini berakhir, ketika waktu hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Ica yang sudah kelelahan tertidur sejak beberapa jam yang lalu.
Mobil berhenti bertepatan dengan motor besar yang berhenti dari arah berlawanan. Abi turun, disusul Mbak Lastri. Melihat kedua orang itu turun, Tari meletakkan pelan kepala Ica di bangku penumpang kemudian menyusul mereka.
"Dari mana kamu?" Suara dingin itu membuat perasaan Tari menjadi tidak enak.
Pengemudi motor itu melepas helmnya, dia mengarahkan pandangan pada orang dewasa di depannya, lalu tersenyum sinis. "Main."
Tanpa menjelaskan lebih lanjut, pemuda itu sepertinya bermaksud untuk memasukkan motornya. Namun, pandangannya terpaku pada perempuan dewasa dengan gamis berwarna hitam.
Sementara itu, Tari yang melihat tatapan tajam yang dilayangkan pemuda jangkung itu. Seketika menoleh pada Lastri yang berdiri di sampingnya.
"Arkana Samudra, kakak Ica," jawab Lastri, seakan mengerti akan kebingungan temannya.
Kemudian perhatian Tari kembali pada pemuda yang kini sudah memasuki halaman rumah. Entah mengapa meski tadi Arkan menatapnya tajam, tapi Tari merasa ada sebuah luka yang berusaha disembunyikan oleh pemuda itu.
Mengistirahatkan diri dengan duduk di sofa, Tari menarik napas berkali-kali seraya mengelus perutnya yang terasa sakit. Sudah sejak tadi siang dia merasakan hal ini, tapi karena sakitnya muncul lalu hilang terus jadi dia tidak terlalu ambil pusing dan tetap mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Namun, kali ini rasanya lebih sakit dengan durasi yang cukup lama. Apa dia sudah mau melahirkan? "Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi papa pulang." Tari meringis kala rasa sakit kembali menyerang, dia menatap jam yang ada di dinding. Sudah setengah lima, tapi suaminya belum datang. Padahal pria itu berkata akan pulang pukul tiga. Sedangkan Bintang tadi mengatakan jika anak itu menginap di rumah temannya untuk mengerjakan tugas, Icha sendiri dari kemarin menginap di rumah Kinan. Menahan rasa sakit yang kian menjadi, pelan dia bangkit bermaksud mengambil ponsel yang tadi diletakkannya di kamar. Jarak kamar dan ruang tengah yang dekat, kali ini terasa jauh. Belum lagi dia yang harus sedikit
Rasa haus membangunkan Tari dari tidur nyenyaknya. Meraba-raba tempat di sampingnya, dia merasa bingung karena tidak menemukan sang suami. Di mana pria itu?Semakin hari dia merasa tak bisa jauh dari suaminya. Pernah ditinggal sebentar saja langsung menangis. Pasalnya Abi pergi ketika malam, waktu dimana dia ingin menghabiskan waktu bersama pria itu.Bangkit perlahan mengingat perutnya yang sudah membesar, matanya menyipit kala di bawah remang lampu kecil yang terletak di atas nakas dia mendapati sang suami tengah menengadahkan tangan. Berdoa.Pria yang menggunakan peci putih itu tampak sesenggukan. Entah apa yang diminta pria itu sehingga membuatnya tampak sedih.Tari tidak bergerak, diam dalam posisi duduk. Menunggu sampai sang suami menyadari kehadirannya. Lalu dia tersenyum kala Abi terkejut begitu menyadari keberadaannya."Kenapa bangun?" tanya Abi sambil berjalan ke arah sang istri.Tari menggeleng, diletakkannya telapak tangan di pipi sang suami. Mengusap lembut, menghilangkan
Seperti yang sudah direncanakan, pagi itu keluarga Abi sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju tempat pertandingan Arkan.Abi sendiri yang sudah berusaha membujuk sang istri agar tidak ikut, akhirnya menyerah. Karena wanita itu benar-benar berubah menjadi sosok keras kepala, yang akan cemberut sepanjang hari jika keinginannya tidak dipenuhi.Sebenarnya bukan hanya dia saja yang mencoba melarang, tapi Arkan juga melakukan hal yang sama. Berbeda dengan dirinya, Tari bersikap lebih lunak pada anak-anak. Bahkan wanita itu cenderung sensitif, seperti kemarin istrinya membuat drama kala Arkan mengatakan agar tidak perlu datang."Apa sebaiknya Bunda di rumah saja?" Dari meja makan Arkan memperhatikan sang bunda yang tengah sibuk menyiapkan bekal untuk besok. Padahal dia sudah mengatakan agar wanita itu tidak perlu repot-repot. Toh, dari panitianya sudah disediakan konsumsi."Kenapa memangnya?""Ya, 'kan Bunda lagi hamil gitu. Gimana kalau kecapekan?" tanya Arkan untuk kesekian kali. Karena
"Minggu ini 'kan final futsalnya?" tanya Tari sambil menyerahkan segelas jus pada suaminya yang tengah menonton televisi di ruang tengah bersama sang putera.Semenjak hubungan kedua laki-laki tersebut semakin membaik, semakin kompak juga mereka. Tak jarang dia merasa kesal jika suami dan anaknya sudah berada di dunianya sendiri, seperti olahraga dan bermain game. Dia sungguh merasa di abaikan.Duduk di salah satu sofa, dia ikut memperhatikan layar datar yang sama sekali tidak menaikkan minatnya."Iya, Bun.""Kalau jawab itu sambil liat, bunda! Emangnya tv lebih menarik dari bunda?" cibir Tari kesal. Benar 'kan dia selalu diabaikan jika sang anak tengah menikmati tontonan favoritnya.Dia berharap ada Icha yang selalu berada di kubunya. Sayangnya gadis cantik tersebut sudah tidur sejak tadi.Sementara itu Arkan yang baru saja kena cibir langsung berdeham dan melirik sang papa yang tampak sedang mengulum bibir, seperti menahan tawa atau mungkin mengejeknya?"Maaf, Bun. Lagi seru soalnya.
"Kenapa, Lo?" Riko menatap aneh sahabatnya yang menghela napas berulang kali. Seolah tengah menghadapi beban yang berat. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kehidupan Abi sudah enak? Punya istri baik, anak-anak tampan dan lucu yang sebentar lagi akan bertambah satu. Namun, kenapa wajah sahabatnya itu macam kemeja yang belum disetrika. Kusut."Ngga pa-pa.""Buset, kayak cewek aja, Lo! Bilang ngga pa-pa tapi ada apa-apa."Abi melemparkan bantal sofa pada temannya. "Daripada Lo bawelnya melebihi cewek."Riko menggerutu. Kesal. "Males gue ngomong sama Lo!" Pria itu berjalan menuju pintu, seraya memegang gagang pintu dia membalik setengah badannya. "Jangan suntuk lama-lama, kasihan Tari. Nanti dia dikira nikah sam om-om."Berdecak kesal, Abi hampir saja melempar bantal kursi lagi tapi sayangnya pria yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya itu sudah menghilang di balik pintu.Beberapa menit setelah kepergian sang sahabat, Abi memutuskan untuk keluar dari ruang kerjanya. Walaupun kini
"Jadi, Mas Abi sudah lama suka padaku?" tanya Tari sambil tertawa kecil. Tidak menyangka jika pertanyaan yang di lemparkan sang suami dulu, adalah bentuk keseriusan. "Bisa dibilang begitu." Mata Tari memincing. "Santai banget jawabnya. Seingatku dulu Mas Abi terlihat gugup saat mengutarakan keinginan untuk mendekatiku." Abi tertawa, tangannya mencubit pipi sang istri. "Tentu saja. Dulu aku masih remaja sekarang aku adalah laki-laki dewasa yang mau punya anak tiga. Udah gak pantes lagi malu-malu kucing kayak gitu." Entah kenapa, ucapan sang suami membuatnya kesal. Tanpa mengucapkan apapun Tari membalik tubuhnya. Memunggungi sang suami. Boleh kah dia menyalahkan hormon kehamilan? Sebab belakangan ini hanya hal kecil bisa mematik kekesalannya. Di saat sedang memikirkan perubahan emosi yang dirasakan, Tari tersentak saat sebuah tangan memeluknya. Walau kesal, tak ada niat untuk menyingkarkan dekapan Abi karena rasanya yang begitu nyaman. "Sepertinya aku harus mulai bersabar menghada