Share

7. Bintang Arkana Samudra

"Itu apa, Tante?"

Tari tersenyum mendengar pertanyaan Ica yang duduk di belakang. Sejak meninggalkan rumahnya, si gadis selalu bertanya semua hal yang menarik perhatiannya. Wanita itu bersyukur dengan adanya Ica suasana di mobil tidak terlalu canggung.

"Rumah eyang, masih jauh apa nggak?"

"Sebentar lagi, Sayang," jawab Tari dengan sabar. Sepertinya gadis cantik itu tidak sabar untuk segera bertemu kakek neneknya.

Lelaki yang tengah fokus menyetir itu, melirik ke samping ketika suara lembut mampir ke telinganya. Suara yang tadi membangunkannya untuk sholat subuh. Sesuatu yang entah kapan terakhir dilakukan, akhirnya tadi pagi dilakukan kembali. Tanpa dia sadari senyum kecil terbit di bibirnya, ketika mengingat kejadian tadi pagi.

"Itu rumah eyang." Ica berseru penuh semangat.

Setelah sang ayah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, gadis itu meminta agar pintu mobil segera dibuka. Setelah keinginannya dikabulkan, Ica langsung berlari. Meninggalkan papa dan juga ibu barunya, yang saling berdiri canggung.

Senyum semringah mama Abi dan Lastri yang menyambut kedatangan mereka. Lalu ruang makan menjadi tujuan mereka setelah berbasa-basi sebentar, mengingat ini sudah waktu untuk makan siang.

Lain halnya dengan Tari yang langsung mencium tangan papa mertuanya, Abi begitu saja duduk di kursi tanpa berkata apapun. Raut heran yang tergambar di wajah Tari melihat tingkah sang suami, langsung berubah menjadi senyum hangat saat mama mertuanya menyuruhnya untuk mencicipi makanan yang sudah disiapkan.

"Nanti kalau kalian sudah pulang, Mbak Kinan mau main ke rumah kalian." Cerita ibu mertuanya menyebutkan nama kakak perempuan Abi.

Memang sedari tadi sang mertua lah yang mendominasi percakapan, Tari hanya sesekali menimpali ucapan mertuanya. Karena dia masih merasa kikuk berada di antara keluarga barunya.

"Tante, tolong ambilin durinya, dong," pinta Ica sembari mengangsurkan piringnya kepada wanita di sebelahnya.

"Oke," jawab Tari sambil tersenyum. "Ini udah," ujar wanita itu, seraya menaruh kembali piring itu di depan Ica.

Wanita paruh baya di sana menatap haru interaksi sang gadis kecil dengan ibu barunya. "Ica seneng ada Tante Tari?"

"Iya dong eyang, soalnya tante selalu jawab pertanyaan Ica. Kalau Mbak Lastri suka bilang capek kalau Ica tanya terus." Semua tersenyum mendengar penuturan polos dari Ica.

"Nggak boleh bilang gitu, Ca. Mungkin Mbak Lastri lagi capek, jadi bilang gitu," kata Tari lantas mengusap lembut kepala Ica.

Sekarang tidak hanya Mama Abi yang fokus melihat dua wanita beda generasi itu. Abi dan papanya yang sedari tadi diam, ikut menatap interaksi Ica dan Tari. Perasaan berbeda dirasakan oleh ketiga orang dewasa itu.

"Seandainya Arkan juga ada di sini," ucap Mama Abi tanpa sadar.

"Arkan?"

Sang mertua menepuk pelan keningnya, ketika ingat telah melupakan sesuatu yang penting. "Anak pertamanya Abi, dia lagi ikut liburan sama opa omanya jadi ndak ke sini." jelas Mama Abi lalu menghela napas seperti memikirkan sesuatu.

"Coba kamu lebih perhatian dengan anakmu, supaya dia mau liburan di sini juga." Meski diucapkan dengan nada yang tenang, tapi entah mengapa suasana berubah tegang, ketika kalimat itu terucap dari Papa Abi.

"Mbak Lastri!" Semua menoleh mendengar suara lantang Abi. 

Mbak Lastri datang dengan tergopoh, lantas perempuan itu menatap takut pada Abi. Mendengarkan perintah sang majikan dengan seksama, akhirnya Lastri membawa Ica pergi sesuai perintah Abi.

"Papa nggak tau apapun soal keluargaku, jadi tolong jangan berkomentar apapun."

Sang papa membalas tatapan Abi dengan tajam. "Inilah kenapa Arkan menjadi anak yang suka membangkang, karena dia mencontoh itu semua darimu."

Wajah laki-laki berusia tiga puluh enam tahun itu sudah memerah, menandakan pemiliknya sedang menahan emosi. "Kurasa pembicaraan ini nggak ada gunanya. Abi pamit pulang," tegas Abi.

"Nak, jangan seperti itu. Pulanglah besok, seperti rencana awal," bujuk mamanya. Perempuan paruh baya itu memandang sang suami. Berharap untuk kali ini saja suaminya mau mengalah. Namun, yang dia dapatkan adalah kekecewaan.

"Kalau dia mau pulang. Biarkan saja, Ma."

"Tapi, Pa—"

"Tari kamu tunggu di mobil, biar aku panggil Mbak Lastri agar bersiap-siap!" perintah sang suami. Tanpa mau dibantah

Tari terpaku di tempatnya, tidak tahu harus berbuat apa menghadapi situasi seperti ini. Dia alihkan pandangan dari punggung pria jangkung itu kepada kedua mertuanya. Raut pilu tercetak jelas di wajah dua orang di hadapannya.

"Maaf Tari atas keributan yang terjadi. Kamu turuti saja mau suamimu." Pria itu menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya, "dan papa minta tolong, jaga mereka. Bersabarlah dengan mereka."

Melihat tatapan penuh harap dari sang mertua, sebuah tekad muncul dibenak Tari. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga pernikahannya.

Menyalami kedua mertuanya, Tari akhirnya mengikuti langkah sang suami yang sudah keluar dari ruang makan.

*** 

Setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya dengan alasan sang suami ada pekerjaan mendadak. Di sinilah Tari sekarang, di dalam mobil menuju kota yang meninggalkan bekas luka pada hatinya. 

Sedari tadi Tari sudah berusaha menguatkan diri, jika suatu saat bertemu kembali dengan masa lalunya. Meski dalam hatinya ia berharap kejadian itu tidak akan terjadi.

Tidak terasa perjalanan ini berakhir, ketika waktu hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Ica yang sudah kelelahan tertidur sejak beberapa jam yang lalu.

Mobil berhenti bertepatan dengan motor besar yang berhenti dari arah berlawanan. Abi turun, disusul Mbak Lastri. Melihat kedua orang itu turun, Tari meletakkan pelan kepala Ica di bangku penumpang kemudian menyusul mereka.

"Dari mana kamu?" Suara dingin itu membuat perasaan Tari menjadi tidak enak.

Pengemudi motor itu melepas helmnya, dia mengarahkan pandangan pada orang dewasa di depannya, lalu tersenyum sinis. "Main."

Tanpa menjelaskan lebih lanjut, pemuda itu sepertinya bermaksud untuk memasukkan motornya. Namun, pandangannya terpaku pada perempuan dewasa dengan gamis berwarna hitam.

Sementara itu, Tari yang melihat tatapan tajam yang dilayangkan pemuda jangkung itu. Seketika menoleh pada Lastri yang berdiri di sampingnya.

"Arkana Samudra, kakak Ica," jawab Lastri, seakan mengerti akan kebingungan temannya.

Kemudian perhatian Tari kembali pada pemuda yang kini sudah memasuki halaman rumah. Entah mengapa meski tadi Arkan menatapnya tajam, tapi Tari merasa ada sebuah luka yang berusaha disembunyikan oleh pemuda itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status