Share

5 Hancurnya Aku Saat Itu

Dia melihat sebuah mobil berhenti di depan gudang dan keluarlah beberapa orang laki-laki yang bergegas turun.

Pasha sengaja berdehem keras-keras, membuat Siska kembali fokus kepada tujuan awal mereka.

Siska cepat-cepat menjelaskan tentang stok sepatu yang tersedia berdasarkan catatan.

“Di sini sudah ada petugas, jadi kamu tinggal tanya-tanya saja tentang stok sepatu yang kamu butuhkan ... Kamu juga bisa melihat-lihat atau memilih barangnya langsung.”

“Oh, sama kamu juga?” tanya Pasha.

“Tidak perlu, aku kerja di bagian lain.” Siska menjelaskan. “Pak Pasha, memangnya kamu tahu ...”

“Jangan panggil aku bapak, aku belum tua.”

Siska tidak menanggapi Pasha dan memilih untuk meninggalkan gudang sepatu.

“Sha, aku kembali ke kantor dulu ya?” ucap Siska sambil tersenyum singkat, sementara Pasha berjalan di sampingnya sambil bermain ponsel.

“Sis, minggu depan ikut seminar yuk?” ajak Pasha. “seminar bisnis, di gedung hotel sana itu ....”

“Aku tidak ikut,” geleng Siska. “Aku mau ambil kerjaan, target aku masih banyak.”

Target untuk membuat Roni dan istri keduanya menyesali perbuatan mereka, sambung Siska dalam hati.

“Sebentar saja Sis, paling cuma sampai dua jam.” Pasha membujuk. “Ikut ya? Kita bisa kumpul sama para pengusaha sukses.”

“Aku bukan pengusaha, aku ini pegawai biasa,” tolak Siska lagi. “Aku malas bertemu Mas Roni.”

“Apa karena dia saja?” tanya Pasha ingin tahu. “Kamu bukannya bertemu sama dia setiap hari di rumah?”

Siska terdiam, pura-pura tidak mendengar pertanyaan yang dilontarkan Pasha. Lagipula itu masalah pribadi, dia tidak ingin membaginya dengan orang yang tidak tepat.

***

Siska mengamati saldo rekeningnya dengan senyum tipis terbit di sudut bibirnya saat mengetahui jika bosnya sudah mentransfer gaji dan bonusnya. Jumlahnya terbilang cukup lumayan hingga memungkinkan dirinya untuk mengajukan KPR impiannya.

“Dapat bonus besar lagi?” komentar Kavita, rekan kerja sekaligus sahabat Siska. Dia adalah salah satu orang yang selama ini menjadi tempat berkeluh kesah, termasuk tentang kecurigaannya bahwa Roni telah mendua.

“Begitulah,” sahut Siska sambil mentransfer sejumlah uang untuk ketiga buah hatinya.

“Aku heran,” ucap Kavita yang sedang duduk di samping meja Siska. “Kamu sering lembur, anak-anak kamu siapa yang urus?”

“Aku ada asisten,” sahut Siska. “Selalu ada yang dikorbankan di balik mimpi yang besar. Aku harus kerja lebih keras untuk menghadapi risiko jadi janda.”

Kavita menarik napas panjang.

“Aku tidak berharap kamu mengalami nasib yang sama seperti aku,” komentarnya. “Aku salut sekali sama kamu karena kamu bukan orang yang pasrah sama keadaan.”

Siska mengecek rekeningnya yang satu lagi sebelum menjawab.

“Sikap pasrah tidak akan bikin anak-anak kamu kenyang, Vit.” Dia menatap layar ponselnya yang menunjukkan sisa uang di rekening lainnya. Siska tahu karena setiap bulan di tanggal tertentu saldo di tabungannya selalu bertambah, Roni memang tidak pernah lalai dengan kewajibannya memberi nafkah.

“Oh ya Vit, kamu pernah ikut seminar bisnis?” tanya Siska ketika Kavita membungkukkan tubuhnya dengan lelah di atas meja.

“Tidak,” jawab Kavita sambil memejamkan matanya.

“Keren lho itu,” komentar Siska. “Kita bisa berbaur sama para pengusaha, sayangnya aku cuma pegawai biasa ...”

“Coba saja ikut,” sela Kavita. “Aku kurang tertarik sama seminar bisnis.”

Siska meregangkan kedua lengannya.

“Minggu depan aku ada undangan seminar,” kata Siska. “Tapi aku tidak mau datang.”

“Kenapa?” Kavita terkejut. “Ah, aku tahu! Kamu pasti merasa minder, ya?”

Siska menggeleng.

“Aku ragu-ragu saja,” dustanya. “Temanku yang ajak, mungkin saja aku berubah pikiran.”

Siska duduk membelakangi Kavita, berusaha untuk tidur memikirkan masalah rumah tangganya.

Keesokan paginya, Siska tiba di kantor dengan wajah segar karena mendapat tidur yang cukup berkualitas.

Pasha memutuskan belajar lebih cepat di kantor sepupunya. Dia seperti Siska, mampu menempatkan diri di berbagai situasi dan menyerap informasi yang diberikan dengan baik.

“Sis, aku mau ngomong sesuatu.” Pasha mendekati meja Siska ketika jam makan siang. “Soal seminar bisnis itu ...”

“Aku ikut,” potong Siska seraya membereskan mejanya.

“Yang benar?” ucap Pasha terkejut. “Kamu serius, Sis?”

Siska mengangguk.

“Aku tidak mau siapapun berpikir kalau aku tidak ikut reuni karena malas bertemu Mas Roni,” ujarnya. “Memang kenapa kalau nantinya kita bertemu?”

Pasha tersenyum senang.

”Memang seharusnya hal itu tidak mempengaruhi kamu,” katanya. “Kamu harus buktikan sama dia kalau kamu tetap baik-baik saja.”

Siska mengangguk setuju.

“Aku tahu Sha, cepat atau lambat aku harus bangkit. Dan aku tidak mungkin minta panitia untuk melarang Mas Roni datang ke seminar itu.” Dia menarik napas. “Sekarang ini aku memang sudah baik-baik saja, tapi kamu tahu betul hancurnya aku saat itu.”

Pasha memandang Siska dengan penuh simpati. Dia memaklumi jika sakit hati yang dirasakan Siska terhadap Roni amatlah besar. Mengetahui pernikahan kedua suaminya tepat di hari ulang tahun sang suami sanggup membuat siapapun tenggelam dalam kebencian.

“Kita datang bersama,” kata Pasha. “Boleh aku minta alamat rumah kamu? Sekalian nomor kontak yang bisa aku hubungi.”

Siska mengangguk dan memberikan nomor ponselnya.

Sesampainya di rumah, Siska merebahkan tubuhnya dengan lelah di sofa. Dia tidak bisa bohong bahwa acara seminar bisnis itu mengganggu pikirannya. Dia tidak ingin datang, tapi dia terpaksa harus datang karena sudah telanjur janji dengan Pasha.

“Aku harus bangkit ...” gumam Siska kepada dirinya sendiri. “Roni tidak lagi berarti.”

Siska bangkit berdiri, merenggangkan kedua lengannya ke atas dan bergegas mandi untuk membersihkan kulitnya yang lengket. Untuk sementara masalah seminar bisnis menguap hilang dari pikirannya.

Roni pulang larut malam hampir setiap harinya, tetapi Siska tidak peduli. Sejak pernikahan kedua suaminya itu terbongkar, dia selalu tidur lebih dulu sebelum Roni masuk kamar. Alhasil sudah hampir dua bulan mereka berdua tidak pernah berhubungan suami istri lagi.

Sabtu sorenya, Siska harus tertahan sebentar karena membantu Kavita yang sibuk mengebut laporan barang sementara dia yang mendata penjualan bulanan. Pasha mendahului pulang dan berjanji akan menunggunya di rumah kapanpun dia tiba.

“Telat sedikit tidak masalah!” seru Pasha seraya melambaikan tangan.

Akhirnya setelah berjibaku cukup lama, Siska berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik. Begitu pulang ke rumah, mobil Pasha sudah menunggu dan Siska bergegas mandi.

Begitu seluruh tubuhnya telah bersih, Siska mengenakan gaun yang sudah dia siapkan dan memoles wajahnya. Kali ini dia tidak lagi memakai krim standar, melainkan krim khusus yang diformulasikan sesuai untuk kulit wajahnya.

“Ibu pergi dulu ya, Ga? Jaga adik-adik kamu,” pamit Siska sebelum pergi.

“Hati-hati, Bu.”

Pasha terpaku ketika melihat Siska muncul di depannya dengan dress abu selutut dan high heels silver dan tas selempang dengan warna senada. Tanpa membuang waktu lagi mereka berdua segera meluncur ke tempat seminar.

“Santai saja,” komentar Pasha saat melirik sekilas wajah Siska yang tegang.

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status