"Maaf!"
Naya terus berlari menaiki tangga setelah menabrak seseorang. Jam ditangannya menunjukkan angka delapan lebih dua. Artinya dua menit sudah lewat dari waktu janjian dengan dosen paling disiplin di kampus ini. Suasana lorong Fakultas MIPA siang itu terasa lebih tegang dari biasanya. Langkah kaki mahasiswa berlalu lalang dengan cepat, sebagian wajah tampak cemas, sebagian lagi berusaha tak terlihat. Di depan sebuah ruang dosen yang pintunya tertutup rapat, Naya berdiri mematung sambil memeluk map skripsinya erat-erat. Telapak tangannya dingin meski matahari menyengat dari luar jendela. Nafasnya memburu karena dia memilih menaiki tangga dibanding lift karena tak mau menunggu antrian. "Ayo, Na, kamu bisa," bisiknya pada diri sendiri. Tapi jantungnya berdetak lebih keras saat melihat pintu itu terbuka sedikit. Ia menarik nafas panjang berulang kali berharap detakan itu kembali normal. “Kamu mencuri ideku. Bagaimana bisa kau menyangkalnya, Naya?” Kalimat itu menggema di ruang dosen, menamparnya lebih keras daripada megafon protes. Naya Lestari terhenti seolah waktu membeku. Ia berdiri di ambang pintu, genggaman map skripsinya terasa menjepit sampai tulang. Cahaya matahari sore menembus kaca jendela—namun tak mampu menghangatkan suasana hati yang beku. Ia menoleh dan seketika otaknya tumpul. Sandra mengucapkan itu di depan dosennya. Ruangan bimbingan Fakultas MIPA—itulah benteng terakhirnya. Di dalamnya, Arga--si dosen killer-- berdiri seperti singa lapar. Punggungnya tegap, mata tajam menatap Naya tanpa belas. Buku tebal tergeletak di mejanya—laporan skripsi yang tak pernah dianggapnya tulus. “Naya,” suara Arga dingin. “Laporkan dengan jujur: dari mana asal data ini?” “T-Tapi data itu saya olah sendiri, Pak,” jawabnya terbata, jemarinya mengepal. Panas di pipinya mendadak membara. “Saya—saya yang melakukan uji PCR, observasi mikroskopik, analisis statistik. Semua dengan bantuan Sandra.” “Sandra?” ulang Arga sinis. “Sandra? Kau pikir aku tidak tahu? Ia melaporkan bahwa kau mencuri semua kerjanya. Screenshot chat, draft naskah, bahkan slide yang ia kirim ke presentasi seminar—semuanya sama persis dengan skripsimu!” Ia mengayunkan satu lembar laporan di udara. “Kau dianggap plagiaris!” Hening. Solid seperti granit. Detik-detik membeku saat Naya nyaris pingsan. Di luar, suara langkah kaki mahasiswa terdengar biasa saja, namun di hatinya sedang bergemuruh. Sandra. Teman yang ia percaya. Teman yang mengaku sahabat dan berniat membantunya, tapi ... apa? Dia justru menjerumuskan Naya dalam jurang kehinaan. "Plagiaris!" Satu kata yang sangat hina di kalangan ilmuwan. "Jadi ... kebaikanku selama ini. Bantuanku selama ini ... dibalas dengan pengkhianatan?" Naya terus bergumam sambil menggeleng. Hati mencoba untuk menyangkal, tapi fakta sudah jelas menamparnya. --- Naya menelan ludah susah payah, tangannya gemetar menahan map agar tidak jatuh. “Pak, saya benar-benar tidak mencuri. Saya bantu Sandra sebagai asisten—ia yang meminta. Semua data mentah dan hasilnya pun milik penelitian saya.” Arga mundur selangkah dan menatap dinding berwarna putih pucat. “Bantuan, ya? Lalu mengapa dia tidak mencantumkan namamu sebagai co-author dalam slide seminar MIPA kemarin?” “Aku…” ia menatap lantai. “Sandra bilang takut ditolak dosen lain.” “Dan kau percaya begitu saja?” Suara Arga melecut, tak menyisakan celah kebohongan. “Ini bukan soal percaya. Ini soal fakta. Fakta menunjukkan kau mencuri hasil penelitian temanmu, mendaur ulangnya, dan mengklaim sebagai milikmu sendiri. Di sini, di hadapanku!” Jantungnya terasa tercekat. Nada Arga benar-benar seperti singa yang hendak menerkam, menyiapkan kaukusnya sebagai mangsa. Naya tak sanggup lagi bicara. Ia hanya bisa menatap tanpa suara. Setelah beberapa detik yang terasa abadi, Arga duduk kembali dengan langkah berat. Suaranya bergetar, tetapi tidak hangat. “Kau punya waktu enam bulan untuk melakukan penelitian ulang, mulai dari nol. Tanpa diskon, tanpa toleransi plagiarisme. Dan jangan pikir kau akan lulus sebelum itu.” Naya merasa dunia runtuh. Enam bulan. Enam bulan untuk mengulang penelitian dari awal—padahal keluarganya sudah di ujung jembatan buntu. Ia menatap Arga, air mata tertahan di ujung kelopak. Seberapapun kuat ia menyangkal tuduhan itu, bukti-bukti sudah di depan mata. Arga lebih percaya dengan laporan Sandra dari pada ucapannya. “Pak… enam bulan itu…” “Maksudmu terlalu pendek? Itu tuntutan jurusan. Batas maksimal. Lebih dari itu, kau harus mundur.” Arga mengarahkan tatapannya langsung ke matanya, menusuk. “Dan satu lagi…” Ia mencondongkan badan, suaranya menukik pelan tapi mematikan. “Jika kau dianggap layak, lulusan. Jika tidak…” Ia berhenti, menyiram kalimatnya tanpa penutup. Hanya penilaian yang akan berbicara nanti. Naya menelan amarah yang hampir mendidih, dendam yang getir. Ia ingin berdebat dengan dosen killer di depannya—tetapi apa daya, air matanya sudah bocor. --- Keluar dari ruangan, koridor kampus terasa semakin panjang. Langit senja membara di ujung jendela besar—padahal hatinya kini remang. Sandra muncul di sudut, termangu menyadari ekspresi Naya yang linglung. “Naya… apa kerjaanku salah?” bisiknya. Tatapannya terbelalak, wajahnya pucat. Naya terhenti, segala amarah dan patah hati berlorong dalam tak berujung. Ia menatap tajam, napasnya mengeras. “Bagaimana bisa kau bisa melakukan itu padaku? Padahal kau tahu kerja kerasku! Kau juga tahu aku sampai jungkir balik melakukan penelitian ini! Tapi ... Kau! Kau jelaskan!” Ia menjerit di koridor kosong. Sandra menunduk, suaranya serak. “Maaf… aku—aku takut kau gagal, aku pikir jika ikut presentasi, kau akan tetap…” Suara Sandra tersangkut. Naya menarik napas dalam. “Jadi kau mencuri hasilku karena kau takut aku gagal?” Dia menahan agar tidak menampar. "Tidak masuk akal!" Sandra mengangkat wajah, matanya berlinang. “Aku tidak pernah bermaksud mencelakai. Aku hanya panik.” “Panik?” Ucap Naya pahit. “Ini bukan soal panik! Ini soal integritas! Kau menjiplak hasil penelitian aku—yang seharusnya jadi milik aku! Tapi apa? Justru aku yang dituduh menjiplak padahal itu hasil kerja kerasku!" Naya menjerit seperti orang kesetanan. Beruntung lorong itu sepi dan mahasiswa sudah banyak yang pulang. Sandra terisak, namun Naya sudah mundur satu langkah—hujan emosi menghantamnya. Ia menatap langit senja, berbisik: “Enam bulan. Enam bulan aku harus membuktikan bahwa… aku layak.” Naya menatap Sandra nanar. Ingin sekali ia mencakar wajah dengan tampang tak berdosa di depannya itu. Namun ia tetap berusaha untuk waras ditengah gelombang emosi yang menghantamnya tanpa ampun. Naya memilih untuk menjauh. Melihat wajah Sandra hanya membuatnya ingin melempari wajah itu dengan sepatu yang ia pakai. Berulangkali ia menarik nafas sembari mengucap istighfar agar kemarahannya mereda. Hingga tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya. "Gimana, Nay? Kali ini pasti diterima dong! Secara hasilnya sempurna banget," goda Tiara. Salah satu sahabat Naya selain Sandra. Tanpa aba-aba Naya langsung menubruk tubuh sahabatnya dan menangis dalam pelukannya. Tiara memilih untuk diam, menunggu Naya selesai menumpahkan tangisnya. Entah ini tangis haru atau sedih karena harus revisi lagi. Tiara berharap ini adalah tangis bahagia karena akhirnya pak dosen killer telah bosan mengintimidasi Naya. "Duduk dulu yuk biar enak!" Tiara membimbing Naya untuk duduk di salah satu bangku panjang yang ada di taman kampus. Kebetulan suasana juga sedang sepi sehingga Naya bebas meluapkan emosinya di sana. Setelah reda tangisan itu, Naya menceritakan apa yang sedang menimpanya sambil tersengal-sengal karena Isak tangis yang sesekali masih lolos dari bibirnya. Mendengar cerita Naya, Tiara tak bisa menahan diri. "Benar-benar teman nggak ada akhlak si Sandra! Kebangetan!"Pagi itu, Cahaya Laut berseri dengan cara yang berbeda. Bukan karena laut lebih tenang atau langit lebih biru, melainkan karena senyum di wajah setiap orang yang melangkah ke balai desa. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, mereka berkumpul bukan karena ancaman, bukan karena kabar buruk, melainkan untuk merayakan sesuatu yang lahir dari keberanian mereka sendiri.Di tengah halaman, panggung bambu sederhana berdiri. Di atasnya terbentang kain putih yang dilukis tangan anak-anak sekolah: gambar laut, ikan, dan matahari besar dengan senyum ceria. Warga duduk di tikar, ibu-ibu membawa tampah berisi kue basah, sementara bapak-bapak sibuk menyalakan tungku untuk memasak ikan bakar.“Seperti pesta laut, ya,” bisik Joni sambil mengangkat karung terakhir dari gudang.“Bedanya, kali ini bukan pesta adat, tapi pesta kita,” sahut Karjo, wajahnya cerah meski peluh membasahi dahi.Pak Wira berdiri di tepi panggung, mengenakan baju lurik rapi. Tangannya bergetar sedikit, tapi bukan karena cemas—
Kabut pagi mulai menipis, sinar matahari perlahan menembus permukaan laut. Perahu-perahu kecil Cahaya Laut terombang-ambing di hadapan kapal patroli yang menghalangi jalan. Suasana tegang menahan napas; dayung berhenti, ombak memukul lambung kayu.“Turunkan barang kalian sekarang juga!” suara dari pengeras kapal kembali menggema, kali ini lebih tegas.Arga berdiri tegak di perahu paling depan. Bajunya basah oleh cipratan ombak, tapi sorot matanya tidak bergeser sedikit pun. “Kami tidak mencuri, kami tidak melanggar hukum. Kami hanya membawa hasil laut kami sendiri. Kami punya hak untuk hidup!” teriaknya lantang, suaranya mengalahkan deru mesin.Pemuda di perahu belakang saling pandang. Joni menelan ludah, tangannya bergetar memegang dayung. “Mas… kalau mereka paksa, bagaimana?” bisiknya.Arga menoleh sekilas, lalu kembali menatap kapal besar. “Kalau kita mundur hari ini, kita akan mundur selamanya.”Naya berdiri di sampingnya. Wajahnya pucat, tapi tatapannya kuat. Ia menambahkan, suar
Pagi di Cahaya Laut tidak lagi setenang biasanya. Ombak memang tetap datang silih berganti, burung camar tetap berputar di udara, tapi udara terasa berat. Seakan angin membawa kabar yang tak enak.Sejak dini hari, desas-desus menyebar di antara warga. Ada yang mengatakan pejabat dari Jakarta membawa surat larangan, ada yang bilang kapal bantuan sengaja ditarik kembali, bahkan ada kabar burung bahwa sekolah desa bisa ditutup. Suasana riuh, penuh bisik-bisik cemas.Di halaman rumah kepala desa, warga sudah berkumpul. Ibu-ibu membawa anak kecil, para pemuda berdiri dengan wajah tegang, sementara bapak-bapak menatap lantai tanah dengan dahi berkerut.Pak Wira berdiri di beranda, memegang secarik kertas resmi berstempel kementerian. Tangannya bergetar, suaranya berusaha tegas.“Saudara-saudara, ini surat yang tadi malam disampaikan. Intinya jelas: semua kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana pusat harus dihentikan. Kalau kita melanggar, ada sanksi—baik administrasi maupun hukum.”Suara
Pagi itu, udara di balai desa masih mengandung sisa asin dari laut. Angin membawa bau garam yang menusuk, bercampur dengan debu kapur dari papan tulis yang semalam penuh coretan strategi. Arga berdiri di depan, menatap deretan pemuda yang duduk di kursi bambu. Sebagian wajah mereka masih kantuk, sebagian lain tegang, tapi ada juga yang bersinar dengan semangat.“Kalau kita menunggu program dari pusat saja, kita akan terus jalan di tempat,” suara Arga memecah hening. Ia menuliskan satu kata besar di papan tulis: Mandiri. “Cahaya Laut harus bisa berdiri sendiri. Kita bisa menerima bantuan dari luar, tapi fondasinya harus dari kita sendiri.”Pemuda-pemuda itu saling pandang. Ada yang mengangguk, ada yang masih ragu. Lalu tangan Karjo terangkat pelan. Pemuda dengan tubuh kekar itu menatap Arga dengan keraguan bercampur tekad.“Kalau kita mandiri, apa tidak berbahaya, Mas? Maksud saya… pemerintah bisa saja marah. Apalagi kemarin waktu rapat di Jakarta, kita jelas-jelas menentang usulan dar
Matahari pagi menyorot tajam ke pantai Cahaya Laut, tapi semangat warga tidak kalah panas. Gudang ikan kembali penuh, kincir angin sudah tegak meski sederhana, dan toples abon dengan label emas berjajar rapi di meja panjang balai desa. Semua tampak siap menuju pameran UMKM di Surabaya.Namun Arga tahu, perjalanan tidak akan mulus. Dua kali sabotase sudah jadi peringatan: ada yang tidak rela Cahaya Laut bersinar.“Ga,” bisik Naya saat mereka menata dokumen pengiriman, “kita harus hati-hati. Musuh kita bukan cuma iri hati. Ada uang, ada kekuasaan di baliknya.”Arga menatap wajah Naya, lalu mengangguk. “Aku sudah menduga. Karena itu, kita tidak hanya menyiapkan produk. Kita juga harus menyiapkan cerita.”“Cerita?” Naya mengerutkan kening.“Ya. Produk bisa dibajak, modal bisa diganggu, tapi kalau cerita kita sampai ke hati orang, itu tidak bisa dicuri.”Siang itu, Arga mengumpulkan para pemuda dan ibu-ibu di balai desa. Meja penuh dengan contoh produk: abon, kerupuk, sambal, dan serundeng
Sore itu, Cahaya Laut seperti hidup dua kali lipat dari biasanya. Di balai desa, meja-meja penuh dengan toples abon, kerupuk ikan, dan botol sambal hasil olahan. Suara tawa terdengar di antara pemuda yang sedang mengepak produk. Di luar, kincir angin kecil terus berputar, lampunya menyala walau matahari sudah condong ke barat.Namun, di sudut gelap dekat pohon kelapa tua, sepasang mata memandangi semua itu. Tatapannya bukan kagum, melainkan penuh iri. Lelaki itu bernama Darma—bekas nelayan yang sejak lama merasa tersisih dari lingkaran baru Arga. Dulu ia sering jadi pemimpin kelompok melaut, tapi semenjak Arga datang dengan ide sekolah, koperasi, dan olahan ikan, namanya makin tenggelam.“Apa mereka pikir Cahaya Laut jadi besar tanpa aku?” gumamnya, mengepalkan tangan.Keesokan paginya, Arga berdiri di beranda sekolah. Anak-anak duduk rapi menunggu pelajaran. Pemuda desa juga berkumpul, membawa catatan tentang produksi abon semalam. Naya menata kertas di tangannya, bersiap membahas re