“Lagi-lagi kau terlambat.”
Semenjak pertemuan itu, suara Arga seolah bergaung di kepala Naya. Dia melangkah ringan—tapi hatinya berat saat mencapai ruang lab IPA jam tujuh pagi. Lampu neon berkedip, tabung-tabung reagen mengintip dari rak besi. Aroma klorin dan uap alkohol mencampuri udara dingin. Naya memasang tripod dan kamera untuk dokumentasi. GPS kecil pinggir meja merekam suhu — semua harus terekam digital. Ini bukan ulang eksperimen biasa: ini pertaruhan nyawanya sebagai ilmuwan. Pertaruhan kepercayaan dan masa depan. Suara pintu diketuk, membuyarkan konsentrasi Naya. Mau tak mau ia mengangkat kepalanya. “Masuk,” jawabnya cepat. Sandra menampakkan diri, gelisah. “Kau… siap?” Naya membalas hanya dengan tatapan. Jalan telah dipilih. Tekanan semakin terasa. Sebenarnya dia sudah malas berdekatan dengan Sandra. Dia khawatir kejadian sebelumnya terulang lagi. Terlebih dosen pembimbingnya hanya memberi kesempatan sekali dan waktunya cukup singkat. Daripada membiarkan Sandra membantunya, dia berpikir untuk melakukan semua sendiri. Itu jauh lebih baik. "Mau apa ke sini?" tanya Naya dingin. "Mau mengacau lagi? Belum puas kamu membuatku seperti pencuri?" Sandra menunduk. Mulutnya sudah terbuka tapi tak ada suara yang keluar darinya. Bahkan sekadar kata maafpun tidak terucap. Lalu dia memilih keluar lagi untuk menghindari amukan Naya. --- Setelah tiga minggu tanpa hasil signifikan, tiba-tiba salah satu kultur menunjukkan perubahan — sel mikroba mulai membentuk koloni padat. Naya menyibak daun petrinya, mengetuk perlahan seperti perajin yang menunggu tinta mengering. Setetes media jatuh ke pipet, pelan tapi pasti. Bahkan ia melakukannya dengan menahan nafas. Tiba-tiba pintu lab terbanting—Arga muncul dengan tatapan murka. Suara keras sepatu di lantai: "Bagaimana ini bisa terjadi?" Kata-katanya fals—lebih dingin dari suhu ruang. Di benak Naya, jantungnya menendang. Dia berdiri, pipet menggigil di tangan. Kedatangan pria itu akhir-akhir ini menjadi teror baginya. Bahkan lebih menyeramkan dari hantu yang pernah ia lihat di serial horor. “Pak, ada perkembangan. Data ini—“ Arga mengangkat tangan memotong. “Kulen-mu penuh kekacauan. Kau pikir kuliah daring dan lab editing di rumah bisa menggantikan ketelitian?” Naya terengah. “Kalau saya boleh jelas—” “Jangan minta klarifikasi! Kau harus perbaiki sekarang, atau aku akan bilang kau membuang-buang ruang dan dana.” Matanya berdiri segaris dengan tatapannya. “Ingat, kita belum apa-apa.” Naya mengerjap — konflik eksternal yang brutal, seolah gelombang besar siap menenggelamkannya. Kalau boleh memilih, Naya ingin kembali ke beberapa Minggu lalu dan melarang Sandra untuk membantunya. Bukan membantu, itu hanya modus untuk mencuri hasil karyanya. --- Malamnya, koridor kampus sunyi. Lampu jalan meredup, menciptakan bayangan panjang. Naya mengusap pipet kosongnya, menatap langit di jendela ujung lorong. Rasa takut sudah hilang dari kamusnya. Benaknya hanya dipenuhi dengan penelitian saat ini. Antara gagal dan dia harus pulang sebagai orang yang kalah atau menang dan dia dapat membuktikan kemampuannya. Yang penting bisa mengembalikan kepercayaan dosen pembimbingnya. Dilema menguasai hatinya: "Kalau gagal, keluarga… beasiswa…" Pikirannya seperti kaleng kosong yang bergesekan — di dalamnya gema ketakutan dan harapan saling berkelindan. Ia mengulang mantra sederhana: “Fokus, Naya. Satu tahap lagi.” --- Keesokan pagi, ia tiba di lab. Sepasang matanya sudah mirip panda. Lingkar hitam tak bisa disembunyikan dengan make up. Suara alarm lemah terdengar. Turun perlahan ke ruang freezer: suhu minus 80°C naik ke minus 50°C. Tabung beku sebagian mencair — kultur kritis di ambang gagal. Naya mendesis, pipet jatuh. Ia membenamkan wajah ke lengan, dada bergetar. Pengeras lab tiba stengah berlari. “Ada apa, Nay?” tiangnya gamang. “Freezer rusak. Kultur terkunci di dalam air.” Naya suaranya tercekik. Tangan gemetar membersihkan alat. Alarm perpanjangan waktu: 60 detik. Ia harus ambil tabung—dan melawan rasa malunya di mata semua orang. Ini benar-benar ujian. Tiara hanya bisa melihat dari sudut lab tanpa berani mendekat. Ia takut membuat kesalahan kecil yang berakibat gatal. Namun gadis itu selalu setia menemani Naya meskipun tidak memiliki kontribusi apapun kecuali memberi semangat. Naya tetap berterima kasih padanya. Beberapa jam setelahnya, dengan bantuan teknisi, freezer diperbaiki. Kultur aman, tapi waktunya tertinggal. Naya berdiri mematung di depan tabung—ia mengepalkan tangan, menahan napsu tangis dan amarah. “Maafkan aku,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku tak akan berhenti.” Dalam satu hari, ia mereplikasi lagi kultur—lebih lambat, lebih hati-hati. Setiap tetes mikroba ia pantau, setiap warna medium ia sembari catat. Jam menunjukkan larut malam—lab sepi, hanya detak ponsel dan suara langkahnya. Ia menoleh ke sudut ruangan. Tiara sudah tertidur dengan kepala tergeletak di meja. Naya mendekat, mengelus lengan Tiara lembut hingga gadis itu mengerjakan dan bangun. "Apa sudah selesai?" tanya Tiara dengan suara serak khas bangun tidur. "Untuk hari ini sudah. Ayo kita pulang." Ia tahu beberapa orang menatap sinis—namun langkahnya tak surut. Berita dia menjiplak hasil penelitian Sandra sudah diketahui banyak mahasiswa sejutusan dengannya. --- Setelah lima minggu, data kristal: grafik linear, kultur tahan suhu, statistik uji p-value di bawah 0,05. Naya meregangkan punggung, melihat layar monitor—setiap angka terlihat seperti kemenangan kecil. Arga mengetuk pintu. Naya menahan debar lebih cepat daripada biasanya. “Mari,” kata Arga. Keduanya masuk. Panel kecil berkumpul. Naya menyalakan proyektor. Data muncul. Semua orang menunduk mencermati. Beberapa mengernyit—aneh tapi rapi. Panel pertama menanyakan modifikasi suhu. Naya menjelaskan, matanya fokus, suara percaya. Panel kedua menyoal time-lapse pertumbuhan mikroba. Naya memutar video pendek—koloni meluas dari titik kecil. Suara desah rendah terdengar dari panel. Arga mengernyit—tapi tidak menginterupsi. Ketegangan merambat—belum ada pujian, hanya diam. Itu lebih berat daripada kritik terang-terangan. Presentasi selesai. Semua berbisik, menatap layar mati. Arga tak banyak bicara, hanya mencatat di buku skornya. Naya melepas nafas berat. Ia menutup laptop. “Terima kasih, Pak,” katanya singkat. Arga tidak langsung menjawab. Setelah beberapa menit sunyi, ia berujar ketus:“ Kamu mau lanjut? Tuliskan ulang bab diskusi — dengan bandingkan penelitian asli dan ini. Dan kau punya waktu dua minggu.” Naya mengangguk. Dua minggu lagi, dua minggu untuk menyusutkan jarak antara klaim dan bukti. “Dua minggu,” bisiknya pada diri. Keluar dari ruang seminar, lorong kampus kosong. Cahaya lampu senja tembus jendela. Di sana, Sandra menunggu. Naya berhenti, menoleh. Tapi tak menyapa. Ia berjalan pergi bersama Tiara yang sudah menyambutnya. “Bagaimana datamu? Bagus?” suara Sandra rengang, masih ada rasa tidak nyaman. Naya menutup map kecil misterinya. “Cukup kuat. Tapi dari sini, aku kembali sendirian.” Sandra menunduk, wajahnya menebal beban. “Aku… menyesal.” Naya menatap panjang, lalu menoleh pada langit jingga. Dia menarik nafas dalam. “Semoga kamu sadar. Bahwa mencuri karya orang lain akan sangat merugikanmu di masa depan.” Naya berjalan pergi pelan diikuti Tiara. Langkahnya mantap, meski bayangan Arga dan setiap konflik tetap membayangi.Pagi itu, kabut laut menggantung rendah, membuat horizon menghilang. Suara mesin diesel tua memecah kesunyian saat perahu kayu berwarna biru meninggalkan dermaga pelabuhan utara. Di haluan, Fadil berdiri dengan ransel hitam yang tak pernah ia lepaskan, matanya menatap koordinat di peta lusuh yang ia dapatkan dari data arus laut.Kapten perahu, lelaki tua dengan kulit legam terbakar matahari, menyalakan sebatang rokok. “Titik yang kau mau tuju itu jauh, Nak. Dan tidak ada yang lewat sana kalau bukan nelayan nekat atau kapal riset.” Lelaki itu mencoba untuk memperingatkan. Faktanya dia sendiri sebenarnya enggan menuju ke sana. “Saya cuma butuh beberapa jam di sana. Cukup untuk ambil data,” jawab Fadil tanpa menoleh.Lelaki tua itu terkekeh pendek. “Kalau kau hilang di sana, data tidak akan menyelamatkanmu.”---Di desa Tanjung Luhur, Arga mengajar anak-anak menggambar peta dengan arang di pasir. Tapi pikirannya bukan di kelas itu. Peta laut di amplop dari Fadil masih tersimpan di laci
Fajar menyapu garis pantai dengan cahaya pucat. Embun masih melekat di rumput liar ketika Arga berjalan menuju sekolah kayu di tepi laut. Langkahnya terhenti sejenak. Di depan pintu sekolah, ada seseorang duduk bersandar pada tiang, kepala tertunduk, ransel hitam di sisi kaki.Arga belum bisa menebak siapa pria itu dan kenapa bisa ada di sana. Lalu ingatannya tertarik pada malam tadi saat ia melihat ada sosok pria misterius berdiri di luar pagar. Sama. Lelaki itu, kini ada di hadapannya.Arga melanjutkan langkahnya. Berdehem sekali hingga menarik perhatian pria tersebut.Pria itu mengangkat wajah ketika mendengar langkah Arga. Topi lusuhnya sudah ia lepas, memperlihatkan rambut hitam yang sedikit berantakan dan mata yang menyimpan gelisah. Sepatu putihnya sudah berubah warna karena tersapu pasir. “Pak Arga…” suaranya ragu, seperti ingin memastikan bahwa orang di depannya benar-benar yang ia cari. Penampilan Arga kini berubah total. Wajah dingin dan garang yang membuatnya dijuluki seb
Udara asin bercampur aroma tanah basah menyambut pagi di Desa Tanjung Luhur. Ombak memukul batu karang dengan ritme tetap, seolah mengingatkan bahwa waktu di tempat ini berjalan lambat. Burung-burung camar berputar di udara, sementara para nelayan bersiap menurunkan perahu.Arga menenteng papan tulis kecil melewati jalan setapak berbatu menuju bangunan kayu sederhana di tepi pantai. Dindingnya terbuat dari papan pinus, atapnya dari seng yang sudah mulai berkarat di beberapa sudut. Di depan pintu, anak-anak berlarian tanpa alas kaki, tertawa lepas.“Pak Arga! Hari ini belajar menggambar peta laut, kan?” teriak salah satu bocah, Matra, matanya berbinar.Arga tersenyum. “Betul. Tapi kalau kalian datangnya telat, kita gambar petanya cuma setengah.”Suara tawa meledak di antara mereka. Di dalam, meja-meja kecil tersusun seadanya. Kapur tulis terselip di kaleng bekas biskuit. Di papan, masih tersisa coretan pelajaran kemarin: angin darat, angin laut.Sekolah itu baru berdiri tiga bulan, tap
Hujan awal musim mengguyur kota. Air mengalir di atap seng warung kopi pinggir jalan, menciptakan irama pelan yang menenangkan. Naya duduk di kursi kayu dekat jendela, menatap jalan basah yang lengang. Di tangannya, secangkir kopi hitam mengepulkan uap.Sudah hampir setahun sejak peristiwa di atap Gedung Bioteknologi. Sejak Aurelia memutus sinkronisasi, sejak ORION padam, sejak jaringan terakhir AURORA lenyap tanpa jejak, hidup berangsur berubah. Bukan dengan ledakan, tapi dengan keheningan yang nyaris asing.Arga masuk dari pintu, mantel hujan basah menetes di lantai. Dia membawa kantong berisi sayuran segar. “Pasar sepi, hujan bikin orang malas keluar,” katanya sambil menaruh kantong itu di meja.Naya tersenyum tipis. “Bagus. Berarti kita dapat sayur terbaik tanpa rebutan.”Tak ada lagi layar-layar hologram melayang di ruang tamu mereka, tak ada lagi notifikasi yang memburu pikiran. Rumah itu sederhana: dua kamar, rak buku bekas, radio tua yang sesekali berderak mencari frekuensi. M
Hujan turun tipis di atas kampus Universitas Cendekia Raya. Lampu-lampu jalan memantul di permukaan basah, membentuk kilau aneh yang seakan bergeser setiap kali Naya memejamkan mata. Mobil mereka berhenti di gerbang belakang—akses yang jarang dipakai mahasiswa.“Berapa jarak dari sini ke gedung Bioteknologi?” tanya Raka sambil memeriksa drone mini di pangkuannya.“Lima menit kalau jalan kaki, tiga kalau kita lewat atap,” jawab Karina sambil menarik jaket hujan.Naya tidak menjawab. Matanya tertuju pada layar tablet yang masih menampilkan data biometrik Aurelia. Sinkronisasi 63%. Terlalu cepat. Terlalu berbahaya.Ia tahu, begitu angka itu melewati 70%, Aurelia bukan lagi sekadar “manusia dengan tambahan sistem ORION”. Ia akan menjadi sistem itu sendiri—jaringan berpikir yang bisa memanfaatkan seluruh perangkat, manusia, dan bahkan memori kolektif sebagai simpul kendali.Dan Naya hanya punya satu kesempatan.Gedung Bioteknologi, Lantai Bawah Tanah tampak bercahaya. Aurelia duduk di teng
Kabut belum benar-benar hilang saat matahari menyelinap pelan di balik gunung. Di atas tebing belakang stasiun riset, angin pagi mengacak-acak rambut Naya. Debu reruntuhan menempel di wajah dan bajunya. Tapi bukan itu yang membuat tubuhnya menggigil.Melainkan... suara yang masih bergaung dalam pikirannya.> “Naya... terima kasih...”Keisha.Mereka memang berhasil memutus sinkronisasi, menyisipkan fragmen memori yang membuka retakan di ORION, bahkan membuat Keisha—mesin tanpa rasa—bergetar oleh ingatan masa lalu.Tapi Naya tahu itu belum cukup.Sistem sebesar itu tidak akan hilang hanya karena satu keretakan. Dan seperti mimpi buruk yang enggan lenyap, ia merasakan... ada yang mengawasi.“Liontinnya,” ujar Raka tiba-tiba. “Masih aktif?”Naya menggenggam liontin kecil berbentuk bulat yang menggantung di lehernya. Cahaya biru samar masih berdenyut, tapi kali ini ada getaran baru. Irama halus, nyaris seperti... detak jantung.“Ini bukan milik Keisha lagi,” bisiknya.Karina berdiri, masih