“Kalau kamu ingin dianggap serius sebagai peneliti, berhentilah berharap belas kasihan.”
Kalimat terakhir dosen Arga terus berputar-putar di kepala Naya bak film yang terus berulang. Menjajah pikirannya hingga menciptakan kekuatan tak kasat mata dalam diri Naya. Mahasiswi cantik berlesung pipi jika sedang tersenyum. Namun itu tak bertahan lama. Dua hari setelah pertemuan yang membekas itu, Naya kembali duduk di perpustakaan kampus, dikelilingi tumpukan buku yang tak lagi menggugah semangat. Matanya yang sembap dan sayu karena kurang tidur menyapu halaman demi halaman buku, tapi pikirannya berputar di tempat yang sama: skripsinya. Lebih tepatnya, Dosen Arga. Ia menatap layar laptop yang menampilkan file bernama “Skripsi FINAL FINAL Revisi Fix Banget.docx” — yang anehnya, belum juga dianggap “final” oleh dosen pembimbingnya. "Aku tuh udah bener-bener gak ngerti lagi harus gimana,” gumamnya pelan. Bahunya melorot lalu kepala tergeletak di meja. "Lo tuh butuh liburan, bukan literatur baru," komentar Tiara dari seberang meja, memegang segelas es kopi dengan dia tangan. Naya menghela napas, menegakkan tubuhnya kembali. Tangan menekan pelipis seolah dengan begitu pusing di kepalanya hilang. Lalu ide brilian tiba-tiba muncul di kepala. Hanya saja itu semua tidak nyata. "Kalau sampai semester ini gak lulus, gue kehilangan kesempatan beasiswa pascasarjana. Gue udah ditunggu deadline pengumpulan dokumen. Semua tinggal skripsi ini aja...." Naya menghembuskan nafas kuat-kuat. Tiara menggigit bibir bawahnya. Ia tahu Naya bukan tipe yang gampang menyerah. Tapi kali ini, temannya itu benar-benar di ujung tanduk. Dosen bernama Arga sangat perfeksionis. Tidak menerima kompromi dalam bentuk apapun. Tidak hanya Naya, mahasiswa bimbingannya yang lain juga hampir bernasib sama. "Lo udah coba konsultasi lagi sama Pak Arga?" Naya tertawa kecil, hambar. "Mau bahas satu paragraf aja, harus nunggu sepekan. Itupun kalau dia gak bilang ‘ulang dari awal’. Dia gak pernah menjelaskan secara utuh. Cuma bilang ‘tidak layak’, ‘tidak ilmiah’, ‘analisismu terlalu emosional’.” Tiara ikutan gemas sendiri mendengar keluhan sahabat akrabnya. "Ya elah. Emang dia pikir kita robot akademik apa?” gerutu Tiara. "Padahal skripsi lo bagus, loh. Gue baca! Referensinya kuat." "Masalahnya bukan cuma isi, Tia. Tapi siapa yang menilai." Naya menutup laptopnya dengan suara klik. "Pak Arga gak sekadar menilai, dia menguji eksistensi hidup gue." Tiara mendecak. Dia tahu betul perjuangan sahabatnya ini. Bagaimana Naya jungkir balik mengikuti kemauan Arga walaupun kerap berakhir mengecewakan. Tiba-tiba Tiara nyeletuk. "Jangan-jangan dia sengaja, ya? Supaya lo gak lulus." Naya mengernyit. Menatap Tiara dengan tatapan aneh. "Kenapa dia harus begitu?" "Entahlah. Mungkin dia suka lihat orang menderita? Atau ... dia kesepian." Tiara sampai mencondongkan badannya ke depan saat mengatakan itu. Naya mendongak dengan alis terangkat. "Kesepian?" "Yaiyalah. Liat aja gayanya. Serius, datar, dingin. Gak ada mahasiswa yang deket sama dia. Gak pernah keliatan ngobrol sama dosen lain juga. Siapa tahu dia itu kayak karakter di drama Korea—luar dingin, dalamnya butuh cinta." Naya ingin tertawa, tapi suara Tiara terlalu serius. Ia menggeleng. “Tia, ini bukan drakor. Ini real life. Dan hidup gue sekarang nyaris tamat. Lo nggak tahu aja, setiap malam gue merasa hidup gue seperti berjalan di atas duri.” Mereka terdiam sejenak. Perpustakaan tetap sunyi seperti biasanya. Tapi dalam kepala Naya, ada badai yang terus bergemuruh. Ia telah bekerja keras. Membaca puluhan jurnal, memperbaiki teori dasar, menambahkan rujukan baru. Tapi semua itu tak cukup bagi Arga. Ia merasa seperti sedang bermain dalam permainan yang aturannya terus berubah. Tidak ada standar baku dan mirisnya dia seperti bidak catur yang dimainkan dosennya sendiri. Dan sekarang waktu makin menipis. Tiap detik yang dilalui Naya seperti menunggu vonis hukuman mati. --- Keesokan harinya, Naya memberanikan diri datang lebih pagi ke kampus, berharap bisa "menyergap" Arga sebelum dosen itu tenggelam dalam rutinitasnya. Ia berdiri di depan ruang dosen dengan gelisah, jam baru menunjukkan pukul 07.05. Bahkan kampus masih agak sepi. Beberapa menit kemudian, Arga datang dari arah parkiran, mengenakan jas abu-abu dengan map hitam di tangan. “Selamat pagi, Pak!” Naya menghampirinya. Arga berhenti, menatapnya sebentar, lalu mengangguk kecil. “Pagi. Ada apa?” Kiara mencoba mengulas senyum meski terlihat kaku. “Saya ingin membahas revisi saya langsung. Ada bagian-bagian yang saya belum yakin apakah sudah sesuai dengan harapan Bapak.” Arga membuka pintu ruangannya tanpa bicara, lalu mempersilakan masuk dengan gerakan tangan. Naya mengikutinya masuk, deg-degan setengah mati. Ia menyodorkan laptop yang sudah terbuka, menunjukkan Bab III yang menjadi sumber masalah utama. “Saya perbaiki struktur argumen berdasarkan model Toulmin. Saya juga tambahkan kutipan dari jurnal internasional terbaru soal representasi simbolik pada puisi pascareformasi. Tapi ... saya masih merasa Bapak akan tetap menolak.” Arga duduk, membaca cepat bagian yang ditunjukkan. Wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Strukturnya sudah lebih rapi,” ujarnya pelan. “Tapi kamu masih terlalu reaktif dalam menyampaikan analisis. Ini bukan editorial. Ini kajian ilmiah. Hati-hati dengan diksi.” Naya tidak bisa terima begitu saja. Seperti biasa, dia akan terus mempertahankan argumennya. “Tapi puisi juga sarat makna emosional, Pak. Kalau analisisnya steril, apa tidak kehilangan konteks sosiokulturalnya?” Mata Arga terangkat sedikit. Untuk pertama kalinya, ia terlihat mempertimbangkan. “Kamu punya poin. Tapi kamu belum membingkainya secara akademik. Coba pisahkan antara emosi pembaca dengan konstruksi wacana. Gunakan pendekatan yang lebih ... metodologis.” Naya menatapnya. Ia ingin merasa lega, tapi kalimat itu terasa seperti pujian yang ditarik kembali. “Pak...” suaranya melemah. “Saya gak yakin bisa menyelesaikan ini tepat waktu. Saya sudah coba semua. Tapi... saya capek. Rasanya, semakin saya berusaha, semakin jauh targetnya.” Arga terdiam sejenak, lalu menutup laptop Naya dengan lembut. “Kamu belum gagal, Naya. Kamu hanya belum selesai. Dan ya, kadang prosesnya menyakitkan. Tapi itu bagian dari pembentukan dirimu sebagai akademisi.” Naya memandangnya, bingung. Untuk pertama kalinya, ada sedikit ... empati? “Tapi kenapa Bapak sangat keras? Bahkan saat saya sudah berusaha sebisa mungkin.” Arga bangkit berdiri, berjalan menuju rak bukunya. Ia mengambil sebuah buku tebal, lalu menaruhnya di meja. “Saya pernah melihat mahasiswa yang lulus tanpa paham apa yang ia tulis. Mereka mendapat nilai, gelar, bahkan kerja bagus. Tapi setelah itu... kosong. Gagal berpikir. Dan yang disalahkan? Kampus. Dosen. Sistem.” Naya mengernyit. Untuk pertama kalinya ia mendengar Arga berbicara panjang. Dan itu ... amazing. “Saya tidak ingin kamu seperti itu,” lanjut Arga pelan. “Saya keras bukan karena saya membenci kamu. Tapi karena saya ingin kamu layak. Dan kamu bisa, kalau kamu berhenti takut ditolak.” Sunyi mengisi ruangan. Naya tidak tahu harus merasa apa. Marah? Tersentuh? Atau malah tambah bingung? Ia bangkit perlahan, mengambil laptopnya. “Baik, Pak. Saya akan perbaiki lagi.” Saat ia berjalan menuju pintu, Arga berkata lagi. “Dan Naya...” Ia menoleh. “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Tekanan akademik bukan akhir dari dunia.” Begitu keluar dari ruangan itu, Naya berdiri mematung. Ia memikirkan banyak hal tentang Arga yang berbeda. Baru kali ini ... Arga terdengar seperti manusia. Tapi ia juga tahu satu hal pasti: waktunya makin sedikit, dan jika revisi kali ini tak diterima... tamatlah sudah. Beban di pundaknya semakin berat setelah keluar dari ruangan sang dosen killer. Mendengar nasehatnya justru membuat otak Naya semakin ruwet. Ia berjalan cepat ke arah taman kampus, menghubungi Tiara. “Tia, kayaknya gue butuh bantuan," ucapnya tanpa menunggu Tiara menyapa. “Lo mau nyulik Pak Arga?” Ucapan Tiara terdengar aneh di telinga Naya. Namun dia tidak heran karena sahabatnya itu memang kadang berbicara random. Naya menggebu-gebu. Berbanding terbalik saat dia baru berangkat tadi. “Gak! Tapi kayaknya ada yang gak biasa sama dia. Dan gue harus cari tahu. Kalau gak, skripsi gue tamat sebelum titik terakhir.”Hari itu langit mendung, seolah ikut murung menyaksikan dua insan yang berdiri di depan penghulu, mengenakan pakaian formal dan ekspresi yang nyaris tak terbaca.Naya mengenakan kebaya krem sederhana yang disewa kilat dari butik kenalan Tiara. Sementara Arga mengenakan setelan hitam yang terlalu resmi untuk acara sekecil ini, tapi terlalu dingin untuk disebut sakral. Tidak ada bunga. Tidak ada senyum bahagia. Hanya tatapan mata yang sama-sama memendam ketegangan.Naya larut dalam pikirannya sendiri hingga tak mendengar kalimat ijab Qabul yang diucapkan penghulu dan Arga."Sah!"Satu kata sakral itu membangunkan Kiara yang tengah larut dengan pikirannya. Tidak ada perasaan haru dan bahagia layaknya pengantin pada umumnya. Semua terasa ... hambar.“Dengan ini, sah... kalian resmi menjadi suami istri.”Penghulu mengakhiri prosesi dengan suara yang terdengar seperti palu pengadilan—dan detik itu juga, hidup Naya berubah sepenuhnya.Sah. Istri dari dosen killer.---Dua hari kemudian, mere
Dua hari setelah percakapan mengejutkan di ruang dekanat, Naya masih seperti berjalan dalam kabut. Kata menikah masih terasa asing di kepalanya. Ia belum cerita ke siapa pun kecuali Tiara—dan bahkan Tiara pun masih setengah percaya, setengah panik.“Lo yakin ini bukan prank hidup? Atau ini semua bagian dari skripsi eksperimen sosial lo?” tanya Tiara saat mereka duduk di bangku taman sore itu, dengan dua cup bubble tea yang tak tersentuh.“Gue gak yakin gue masih hidup,” jawab Naya pelan.Ia memainkan ujung sepatunya hingga membentuk goresan abstrak di tanah. Tatapannya masih kosong seperti tak memiliki gairah hidup.Tiara mencak-mencak. Diantara semua orang yang mungkin merasa beruntung bisa menikah dengan dosen killer tapi tampan maksimal itu, Tiara adalah orang yang tidak pernah setuju untuk itu. “Gila. Gue tau lo stress karena skripsi, tapi nikah?! Dan sama Pak Arga pula! Itu kayak ... menikahi Google Form. Datar, kaku, dan gak pernah bisa lo edit.”Naya melempar pandangan pada ha
"Kali ini gue nggak boleh gagal." Naya melangkah memasuki gerbang kampus dengan perasaan yang sulit dijabarkan.Langit kampus sore itu tampak mendung, seolah memantulkan suasana hati Naya yang sedang rapuh. Di tangannya, skripsi revisi terbaru sudah selesai. Ia mencetaknya pagi tadi, lengkap dengan tambahan referensi dan pendekatan analisis baru seperti yang disarankan Arga. Meski ada sedikit rasa percaya diri, kegugupan tetap mengiringi langkahnya menuju ruang dosen.Tapi saat tiba di lorong lantai dua, suasana terasa berbeda. Beberapa mahasiswa berkumpul di depan ruang dosen, berbisik-bisik. Sebagian menatap ponsel mereka, sebagian lain mencuri pandang ke arah Naya. Bisikan itu pelan, tapi cukup untuk membuat dadanya menegang.“Eh, itu tuh anaknya…” bisik salah satu mahasiswa yang masih bisa didengar Naya.“Iya, yang katanya tadi pagi kepergok…” timpal mahasiswi lainnya.“Hush! Jangan keras-keras!”Naya mempercepat langkah, tapi detak jantungnya jadi semakin tak terkontrol. Ia langs
“Kalau kamu ingin dianggap serius sebagai peneliti, berhentilah berharap belas kasihan.”Kalimat terakhir dosen Arga terus berputar-putar di kepala Naya bak film yang terus berulang. Menjajah pikirannya hingga menciptakan kekuatan tak kasat mata dalam diri Naya. Mahasiswi cantik berlesung pipi jika sedang tersenyum. Namun itu tak bertahan lama.Dua hari setelah pertemuan yang membekas itu, Naya kembali duduk di perpustakaan kampus, dikelilingi tumpukan buku yang tak lagi menggugah semangat. Matanya yang sembap dan sayu karena kurang tidur menyapu halaman demi halaman buku, tapi pikirannya berputar di tempat yang sama: skripsinya. Lebih tepatnya, Dosen Arga.Ia menatap layar laptop yang menampilkan file bernama “Skripsi FINAL FINAL Revisi Fix Banget.docx” — yang anehnya, belum juga dianggap “final” oleh dosen pembimbingnya."Aku tuh udah bener-bener gak ngerti lagi harus gimana,” gumamnya pelan. Bahunya melorot lalu kepala tergeletak di meja. "Lo tuh butuh liburan, bukan literatur bar
"Maaf!" Naya terus berlari menaiki tangga setelah menabrak seseorang. Jam ditangannya menunjukkan angka delapan lebih dua. Artinya dua menit sudah lewat dari waktu janjian dengan dosen paling disiplin di kampus ini. Suasana lorong Fakultas Sastra siang itu terasa lebih tegang dari biasanya. Langkah kaki mahasiswa berlalu lalang dengan cepat, sebagian wajah tampak cemas, sebagian lagi berusaha tak terlihat. Di depan sebuah ruang dosen yang pintunya tertutup rapat, Naya berdiri mematung sambil memeluk map skripsinya erat-erat. Telapak tangannya dingin meski matahari menyengat dari luar jendela. Nafasnya memburu karena dia memilih menaiki tangga dibanding lift karena tak mau menunggu antrian."Ayo, Na, kamu bisa," bisiknya pada diri sendiri. Tapi jantungnya berdetak lebih keras saat melihat pintu itu terbuka sedikit. Ia menarik nafas panjang berulang kali berharap detakan itu kembali normal.Dari dalam, terdengar suara bariton yang tak asing: dingin, tegas, nyaris tanpa intonasi emosi.