Teriakan Sandra membelah malam saat gadis kecil berambut kepang itu menerobos masuk dengan pisau terhunus. Matanya kosong, tapi tatapannya mematikan. Arga langsung menubruk tubuh kecil itu, merebut senjata dari tangannya. Pisau itu terlempar ke lantai kayu, menggelinding di antara kaki mereka.
“Dia bukan sadar sepenuhnya!” seru Karina sambil menahan dua anak laki-laki yang muncul dari jendela lain. “Jangan bunuh mereka! Mereka hanya pion!”Naya membeku. Matanya tak lepas dari gadis kecil itu yang kini meronta dalam pelukan Arga, tubuhnya kurus kering, dan di balik kerah bajunya... terlihat jelas bekas luka berbentuk bunga melati—lambang yang sama seperti yang tertulis di belakang liontin Naya.“Arga… lepaskan dia!” seru Naya.Arga menoleh, bingung. “Apa?!”“Dia… aku yakin… dia bagian dari ini semua. Aku harus bicara dengannya!” Naya merasa ada sesuatu yang terhubung antara dirinya dan gadis kecil itu tapi entah apa.Arga ragu, tapi melihat ekspresi NayaUdara pagi masih dibalut dingin ketika Arga berdiri di tepi jendela markas baru mereka. Matanya menatap jauh ke arah kota yang perlahan mulai pulih, seolah tak terjadi perang informasi dan jaringan hanya beberapa hari lalu. Tapi benaknya tak tenang. Ia tahu badai baru akan datang—dan sumbernya masih satu: Handoko. Ayah kandungnya.Dari belakang, langkah kaki Naya terdengar pelan. Ia menghampiri suaminya, memeluknya dari belakang. "Kamu belum tidur semalaman."Arga menggenggam tangan Naya di dadanya. "Ayahku... dia tidak akan diam.""Aku tahu," gumam Naya. "Tapi sekarang kita tidak sendiri."Arga membalikkan badan. Menatap Naya sendu. "Maaf, karena ayahku kamu harus menderita begini."Naya menggeleng. "Tidak. Ini sudah takdirku. Jangan menyalahkan diri sendiri. Asal kamu tetap di sampingku. Mendukungku. Aku... pasti kuat."Langkah cepat terdengar dari lorong markas. Karina muncul, wajahnya serius. "Kita dapat sinyal dari sisa jaringan Handoko. Dia tidak hanya
Langit kota tampak tak biasa malam itu—gelap tanpa bintang, seolah alam pun tahu bahwa sesuatu sedang bergolak di balik permukaan bumi. Di pusat kontrol sistem bawah tanah tempat Naya dan Keisha berada, sirene berdenyut lembut namun konstan, seperti detak jantung yang semakin cepat. Dua jalur energi—biru dan merah—terus berputar di sekitar mereka, bersilangan, bertabrakan, lalu menyatu… lalu bertabrakan lagi. Dan begitu sampai beberapa kali.Di dalam sistem VARUNA yang kini tak stabil, Naya dan Keisha berdiri berhadapan. Cahaya dari tubuh mereka menyebar seperti denyut nadi—satu lembut, satu liar. Saling bertarung. Mengalahkan satu sama lain. "Ini gila," bisik Keisha, dengan suara gemetar. "Kita nggak bisa berada di sini berdua. Sistemnya menolak keberadaan kita secara bersamaan."Naya menggenggam tangannya. Dengan tatapan penuh keyakinan, Naya memberi kekuatan pada Keisha. "Bukan sistemnya yang menolak, tapi mereka yang menciptakan sistem ini dengan ketamakan. AULIA ta
Keisha duduk di pojok ruangan medis, mengenakan jaket besar milik Naya yang menjuntai hingga lutut. Tangannya menggenggam cangkir teh hangat, tapi isinya nyaris tak disentuh. Matanya menatap kosong ke jendela kecil yang tertutup embun, seolah masih tersesat antara dua dunia: realita dan sisa-sisa sistem digital VARUNA yang hampir menyerap jiwanya.Naya memperhatikannya dari seberang ruangan. Ia bisa merasakan detak jantung Keisha dari jarak sejauh itu—bukan karena sensor, tapi karena naluri. Sejak mereka kembali dari sistem, ada resonansi aneh di antara mereka. Getaran halus di dada, seperti dua frekuensi yang baru saja berhasil diselaraskan setelah lama dipaksa menjauh.“Aku nggak merasa seperti manusia biasa lagi,” gumam Keisha akhirnya.Naya mendekat, duduk di sebelahnya. “Kamu tetap manusia. Tapi memang bukan manusia biasa.”Keisha menoleh perlahan. “Apa kamu juga merasa... seolah kita terhubung? Bahkan saat aku belum pernah mengenalmu sebelumnya?”Naya menga
Langkah Naya bergema di lorong bawah tanah yang sunyi. Di sekelilingnya, dinding beton tua berlapis besi menghembuskan udara dingin yang menusuk tulang. Ia mengenakan kembali helm sinkronisasi lama—bukan model terbaru, tapi yang pernah menyambungkannya ke inti sistem AULIA. Perangkat itu kini sudah dimodifikasi oleh Karina.“Sistem lama ini satu-satunya yang masih bisa membawamu masuk tanpa ditolak,” jelas Karina sebelumnya. “Tapi hanya kamu yang bisa menyentuh jantungnya.”Naya duduk perlahan di kursi sinkronisasi. Arga berdiri di belakangnya, menggenggam tangannya sebentar sebelum melepasnya. Lalu keduanya saling tatap. Seperti biasa. Mereka akan berbicara melalui tatapan mata.“Aku akan ada di sini. Sampai kamu kembali.” Arga mengangguk mantab. Meyakinkan Naya bahwa dirinya selalu ada, berdiri di belakangnya untuk mendukung dan... melindungi.Naya mengangguk, lalu menarik napas dalam. Saat helm mulai aktif, cahaya biru tua menyelimuti wajahnya. Sensor-sensor menem
Udara pagi di apartemen Naya dan Arga masih terasa dingin meski matahari sudah tinggi. Di atas meja, layar holo menampilkan peta panas sinyal biologis, berpendar pelan seperti denyut jantung digital.Naya berdiri di depan panel itu, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. Wajahnya pucat, tapi matanya tak gentar. Ada tekad sekuat baja.“Kalau Keisha benar-benar bagian dari AULIA… kita nggak bisa tunggu lebih lama,” ucapnya, setengah kepada diri sendiri.Arga mendekat, menyampirkan jaket di bahunya. “Panti itu sudah terbakar dua tahun lalu. Data di sana pasti minim. Tapi jika sinyal itu benar—”Karina memotong, masuk sambil membawa tablet data. “Kalian harus lihat ini.”Ia menyambungkan tablet ke layar utama. Tampil serangkaian gambar termal dari malam sebelumnya: seorang pria berbadan tegap mengantar gadis remaja ke mobil hitam tanpa pelat.“Wajah pria itu?” tanya Arga cepat.Karina memperbesar. “Bukan Raka. Tapi sinyal identifikasinya membawa satu kode la
Suara alarm masih meraung samar saat sistem pusat VARUNA perlahan meredup, seperti tubuh raksasa yang kelelahan dan mulai mati. Naya dan Arga tersentak keluar dari dunia digital, nafas mereka tersengal, tubuh gemetar. Helm penyambung terlepas sendiri dari kepala mereka—terlempar karena lonjakan sinyal terakhir. Nafas Naya dan Arga terengah. Keringat bercucuran membasahi tubuh karena energi mereka hampir tersedot habis.Karina langsung menyambut keduanya dengan tatapan lega, sekaligus ngeri.“Kalian… berhasil,” katanya sambil memeriksa panel yang penuh pesan kesalahan. “Sinkronisasi utama hancur. VARUNA Prime rusak total.”Namun Arga belum bisa merasa lega. “Raka?”Karina menoleh ke layar kamera pengawas. Ruang pusat sistem kini kosong. Hanya lampu yang berkedip. Raka... menghilang. “Dia pergi sebelum sistem jatuh. Dan aku yakin dia tidak pergi dengan tangan kosong.”Mengingat ambisi Raka yang begitu besar, jelas pria itu tidak mungkin membiarkan sistem hancur begitu saja. Dia tahu sa