Home / Rumah Tangga / Pernikahan Kilat Dosen Killer / Bab 4. Kesepakatan Tak Biasa

Share

Bab 4. Kesepakatan Tak Biasa

Author: Cahaya Asa
last update Last Updated: 2025-06-11 23:26:02

Dua hari setelah percakapan mengejutkan di ruang dekanat, Naya masih seperti berjalan dalam kabut. Kata menikah masih terasa asing di kepalanya. Ia belum cerita ke siapa pun kecuali Tiara—dan bahkan Tiara pun masih setengah percaya, setengah panik.

“Lo yakin ini bukan prank hidup? Atau ini semua bagian dari skripsi eksperimen sosial lo?” tanya Tiara saat mereka duduk di bangku taman sore itu, dengan dua cup bubble tea yang tak tersentuh.

“Gue gak yakin gue masih hidup,” jawab Naya pelan.

Ia memainkan ujung sepatunya hingga membentuk goresan abstrak di tanah. Tatapannya masih kosong seperti tak memiliki gairah hidup.

Tiara mencak-mencak. Diantara semua orang yang mungkin merasa beruntung bisa menikah dengan dosen killer tapi tampan maksimal itu, Tiara adalah orang yang tidak pernah setuju untuk itu.

“Gila. Gue tau lo stress karena skripsi, tapi nikah?! Dan sama Pak Arga pula! Itu kayak ... menikahi G****e Form. Datar, kaku, dan gak pernah bisa lo edit.”

Naya melempar pandangan pada hamparan rumput hijau di depannya. “Ini bukan soal cinta, Tia. Ini... penyelamatan. Reputasi, masa depan, semua... bisa habis kalau gak ada langkah besar.”

Tiara mendengus. “Langkah besar sih iya. Tapi ini udah lompat ke jurang namanya. Berhadapan membahas skripsi aj Lo udah kayak mayat hidup. Apalagi berhadapan setiap hari. Satu atap. Lo nggak berpikir untuk bunuh diri 'kan?”

Naya tidak menjawab. Dalam hatinya, ia tahu ini bukan keputusan ringan. Tapi semua orang sudah bicara. Video itu sudah terlanjur tersebar. Dan Pak Arga....

Ia sendiri tak habis pikir. Bagaimana mungkin dosen yang nyaris tak pernah senyum itu mengusulkan ide gila semacam menikah?

Dan sore itu, jawabannya mulai terkuak.

---

Naya duduk sendiri di kafe kecil dekat kampus. Ia mendapat pesan dari Arga untuk bertemu. Tidak di kampus. Tidak di ruangan formal. Tapi di tempat netral.

Kafe itu hampir kosong, hanya ada suara musik instrumental jazz pelan yang mengisi udara. Ia mengenakan blus sederhana dan celana jeans, berusaha terlihat netral. Tidak seperti akan kencan. Tapi juga tidak seperti akan rapat dosen-mahasiswa.

Sepuluh menit menunggu, akhirnya Arga datang. Tanpa jas abu-abu khasnya, hanya kemeja putih dan celana hitam, rambut masih basah sedikit seperti habis mandi buru-buru.

Ia duduk dengan tenang, membuka map tipis berisi beberapa lembar kertas. Lalu menyodorkan ke hadapan Naya.

“Saya sudah siapkan surat kesepakatan,” katanya tanpa basa-basi.

Naya terdiam. Bahkan pertemuan ini terasa seperti ujian skripsi—dengan hidupnya sebagai taruhannya.

“Isi surat ini jelas. Pernikahan ini bersifat legal, tetapi berdasarkan kesepakatan temporer. Tidak ada keterlibatan perasaan. Tidak ada kewajiban suami-istri dalam bentuk yang bersifat privat. Tujuan utama: melindungi reputasi akademik dan integritas lembaga.”

Naya menatapnya lama. “Kita menikah. Tapi... hanya di atas kertas?”

Arga mengangguk. “Dan juga di mata publik. Kita akan menjalani pernikahan ini seolah nyata. Setidaknya sampai masalah ini reda, dan kamu bisa lulus tanpa gangguan.”

Naya menggigit bibir. “Dan setelah itu?”

“Kita bisa mengajukan perceraian. Tanpa drama," jawab Arga ringan, seringan ia mengucapkan kata nikah.

“Dan... Bapak gak takut reputasi Bapak rusak?”

Arga menatap lurus. “Reputasi saya sudah terancam sejak video itu muncul. Saya bisa bertahan. Tapi kamu? Kalau tidak lulus tahun ini, kamu kehilangan beasiswa. Karier kamu bisa hancur sebelum dimulai.”

Kalimat itu mengenai tepat di ulu hati. Cita-citanya dipertaruhkan. Namun hidupnya juga menjadi taruhan dalam pernikahan dadakan ini. Naya bingung. Maju kena mundur juga kena.

“Kenapa Bapak peduli?” tanya Naya pelan.

Arga terdiam sejenak. “Karena saya tahu rasanya bekerja keras... dan semua hampir hancur hanya karena persepsi orang.”

Hening. Mendadak semua suara seolah lenyap.

Naya tahu, ini bukan sekadar soal dia. Arga menyimpan sesuatu. Mungkin masa lalu. Mungkin luka. Tapi saat ini, keduanya terikat oleh keadaan.

Ia menarik napas dalam. Memejamkan mata sejenak untuk memantapkan keputusannya.

“Oke. Saya tanda tangani.”

---

Sore itu, mereka resmi menandatangani surat kesepakatan yang kemudian akan dibawa ke pengacara untuk legalitas pernikahan. Rencana disusun cepat. Pernikahan sipil, sederhana, hanya saksi dari pihak kampus yang ditunjuk.

Mereka sepakat untuk tidak memberitahu keluarga dulu—terutama karena kedua pihak memiliki sejarah yang rumit. Naya hidup bersama ibunya yang konservatif dan akan hancur kalau tahu anaknya menikah diam-diam. Sedangkan keluarga Arga... masih menjadi misteri bagi Naya.

Malamnya, ia termenung di kamar. Di sampingnya, map berisi dokumen kesepakatan seolah mengejek nasib hidupnya yang berubah dalam hitungan detik.

Ponsel di atas nakas berpendar. Tiara mengiriminya pesan.

> “Lo serius? Jadi istri sah Pak Arga? 😭”

Naya membalas.

> “Iya. Dan rasanya kayak mimpi buruk, tapi disutradarai dosen hukum tata negara.”

Ia mencoba tidur malam itu. Tapi matanya tak bisa terpejam. Ia akan menikah. Bukan karena cinta. Bukan karena mimpi masa kecil tentang pernikahan indah. Tapi karena realitas yang tak memberi pilihan.

Namun, satu hal yang belum ia tahu adalah...

Keesokan harinya, ketika ia datang ke ruang kampus untuk mengurus dokumen pengesahan, Arga sudah menunggunya di luar gedung dengan ekspresi lebih tegang dari biasanya.

“Naya...” suaranya berat. “Ada masalah.”

Naya menegang. Seolah takdir belum cukup mempermainkannya. Ia menjawab, “masalah apa?”

Arga menyerahkan secarik kertas dari tangannya.

“Seseorang mengirim surat anonim ke dekanat. Isinya... mengklaim bahwa pernikahan kita hanya rekayasa. Dan jika itu benar, kamu tetap tidak akan diizinkan lulus. Dan saya bisa dipecat.”

Dunia Naya runtuh dalam sekejap. Tapi itu belum semua. Masih ada kejutan lain yang membuatnya semakin hancur.

Arga menambahkan dengan suara rendah. “Dan yang lebih parah... aku tahu siapa yang mengirimnya. Dan dia tidak akan berhenti. Karena dia adalah seseorang dari masa laluku yang ingin menghancurkan aku sepenuhnya.”

Naya terdiam. Lututnya lemas. Ia baru saja masuk ke dalam permainan besar yang lebih berbahaya dari sekadar gosip kampus atau skripsi gagal. Dan dirinya menjadi tumbal.

Dan dalam permainan ini, cinta palsu mungkin satu-satunya senjata yang tersisa—jika mereka ingin menang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 75. Di Bawah Gelombang

    Pagi itu, kabut laut menggantung rendah, membuat horizon menghilang. Suara mesin diesel tua memecah kesunyian saat perahu kayu berwarna biru meninggalkan dermaga pelabuhan utara. Di haluan, Fadil berdiri dengan ransel hitam yang tak pernah ia lepaskan, matanya menatap koordinat di peta lusuh yang ia dapatkan dari data arus laut.Kapten perahu, lelaki tua dengan kulit legam terbakar matahari, menyalakan sebatang rokok. “Titik yang kau mau tuju itu jauh, Nak. Dan tidak ada yang lewat sana kalau bukan nelayan nekat atau kapal riset.” Lelaki itu mencoba untuk memperingatkan. Faktanya dia sendiri sebenarnya enggan menuju ke sana. “Saya cuma butuh beberapa jam di sana. Cukup untuk ambil data,” jawab Fadil tanpa menoleh.Lelaki tua itu terkekeh pendek. “Kalau kau hilang di sana, data tidak akan menyelamatkanmu.”---Di desa Tanjung Luhur, Arga mengajar anak-anak menggambar peta dengan arang di pasir. Tapi pikirannya bukan di kelas itu. Peta laut di amplop dari Fadil masih tersimpan di laci

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 74. Pria dari Kota

    Fajar menyapu garis pantai dengan cahaya pucat. Embun masih melekat di rumput liar ketika Arga berjalan menuju sekolah kayu di tepi laut. Langkahnya terhenti sejenak. Di depan pintu sekolah, ada seseorang duduk bersandar pada tiang, kepala tertunduk, ransel hitam di sisi kaki.Arga belum bisa menebak siapa pria itu dan kenapa bisa ada di sana. Lalu ingatannya tertarik pada malam tadi saat ia melihat ada sosok pria misterius berdiri di luar pagar. Sama. Lelaki itu, kini ada di hadapannya.Arga melanjutkan langkahnya. Berdehem sekali hingga menarik perhatian pria tersebut.Pria itu mengangkat wajah ketika mendengar langkah Arga. Topi lusuhnya sudah ia lepas, memperlihatkan rambut hitam yang sedikit berantakan dan mata yang menyimpan gelisah. Sepatu putihnya sudah berubah warna karena tersapu pasir. “Pak Arga…” suaranya ragu, seperti ingin memastikan bahwa orang di depannya benar-benar yang ia cari. Penampilan Arga kini berubah total. Wajah dingin dan garang yang membuatnya dijuluki seb

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 73. Jejak di Pasir

    Udara asin bercampur aroma tanah basah menyambut pagi di Desa Tanjung Luhur. Ombak memukul batu karang dengan ritme tetap, seolah mengingatkan bahwa waktu di tempat ini berjalan lambat. Burung-burung camar berputar di udara, sementara para nelayan bersiap menurunkan perahu.Arga menenteng papan tulis kecil melewati jalan setapak berbatu menuju bangunan kayu sederhana di tepi pantai. Dindingnya terbuat dari papan pinus, atapnya dari seng yang sudah mulai berkarat di beberapa sudut. Di depan pintu, anak-anak berlarian tanpa alas kaki, tertawa lepas.“Pak Arga! Hari ini belajar menggambar peta laut, kan?” teriak salah satu bocah, Matra, matanya berbinar.Arga tersenyum. “Betul. Tapi kalau kalian datangnya telat, kita gambar petanya cuma setengah.”Suara tawa meledak di antara mereka. Di dalam, meja-meja kecil tersusun seadanya. Kapur tulis terselip di kaleng bekas biskuit. Di papan, masih tersisa coretan pelajaran kemarin: angin darat, angin laut.Sekolah itu baru berdiri tiga bulan, tap

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 72. Kisah yang Usai

    Hujan awal musim mengguyur kota. Air mengalir di atap seng warung kopi pinggir jalan, menciptakan irama pelan yang menenangkan. Naya duduk di kursi kayu dekat jendela, menatap jalan basah yang lengang. Di tangannya, secangkir kopi hitam mengepulkan uap.Sudah hampir setahun sejak peristiwa di atap Gedung Bioteknologi. Sejak Aurelia memutus sinkronisasi, sejak ORION padam, sejak jaringan terakhir AURORA lenyap tanpa jejak, hidup berangsur berubah. Bukan dengan ledakan, tapi dengan keheningan yang nyaris asing.Arga masuk dari pintu, mantel hujan basah menetes di lantai. Dia membawa kantong berisi sayuran segar. “Pasar sepi, hujan bikin orang malas keluar,” katanya sambil menaruh kantong itu di meja.Naya tersenyum tipis. “Bagus. Berarti kita dapat sayur terbaik tanpa rebutan.”Tak ada lagi layar-layar hologram melayang di ruang tamu mereka, tak ada lagi notifikasi yang memburu pikiran. Rumah itu sederhana: dua kamar, rak buku bekas, radio tua yang sesekali berderak mencari frekuensi. M

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 71. Jantung Ketiga

    Hujan turun tipis di atas kampus Universitas Cendekia Raya. Lampu-lampu jalan memantul di permukaan basah, membentuk kilau aneh yang seakan bergeser setiap kali Naya memejamkan mata. Mobil mereka berhenti di gerbang belakang—akses yang jarang dipakai mahasiswa.“Berapa jarak dari sini ke gedung Bioteknologi?” tanya Raka sambil memeriksa drone mini di pangkuannya.“Lima menit kalau jalan kaki, tiga kalau kita lewat atap,” jawab Karina sambil menarik jaket hujan.Naya tidak menjawab. Matanya tertuju pada layar tablet yang masih menampilkan data biometrik Aurelia. Sinkronisasi 63%. Terlalu cepat. Terlalu berbahaya.Ia tahu, begitu angka itu melewati 70%, Aurelia bukan lagi sekadar “manusia dengan tambahan sistem ORION”. Ia akan menjadi sistem itu sendiri—jaringan berpikir yang bisa memanfaatkan seluruh perangkat, manusia, dan bahkan memori kolektif sebagai simpul kendali.Dan Naya hanya punya satu kesempatan.Gedung Bioteknologi, Lantai Bawah Tanah tampak bercahaya. Aurelia duduk di teng

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 70. Residu Maheswari

    Kabut belum benar-benar hilang saat matahari menyelinap pelan di balik gunung. Di atas tebing belakang stasiun riset, angin pagi mengacak-acak rambut Naya. Debu reruntuhan menempel di wajah dan bajunya. Tapi bukan itu yang membuat tubuhnya menggigil.Melainkan... suara yang masih bergaung dalam pikirannya.> “Naya... terima kasih...”Keisha.Mereka memang berhasil memutus sinkronisasi, menyisipkan fragmen memori yang membuka retakan di ORION, bahkan membuat Keisha—mesin tanpa rasa—bergetar oleh ingatan masa lalu.Tapi Naya tahu itu belum cukup.Sistem sebesar itu tidak akan hilang hanya karena satu keretakan. Dan seperti mimpi buruk yang enggan lenyap, ia merasakan... ada yang mengawasi.“Liontinnya,” ujar Raka tiba-tiba. “Masih aktif?”Naya menggenggam liontin kecil berbentuk bulat yang menggantung di lehernya. Cahaya biru samar masih berdenyut, tapi kali ini ada getaran baru. Irama halus, nyaris seperti... detak jantung.“Ini bukan milik Keisha lagi,” bisiknya.Karina berdiri, masih

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status