Hari itu langit mendung, seolah ikut murung menyaksikan dua insan yang berdiri di depan penghulu, mengenakan pakaian formal dan ekspresi yang nyaris tak terbaca.
Naya mengenakan kebaya krem sederhana yang disewa kilat dari butik kenalan Tiara. Sementara Arga mengenakan setelan hitam yang terlalu resmi untuk acara sekecil ini, tapi terlalu dingin untuk disebut sakral. Tidak ada bunga. Tidak ada senyum bahagia. Hanya tatapan mata yang sama-sama memendam ketegangan. Naya larut dalam pikirannya sendiri hingga tak mendengar kalimat ijab Qabul yang diucapkan penghulu dan Arga. "Sah!" Satu kata sakral itu membangunkan Kiara yang tengah larut dengan pikirannya. Tidak ada perasaan haru dan bahagia layaknya pengantin pada umumnya. Semua terasa ... hambar. “Dengan ini, sah... kalian resmi menjadi suami istri.” Penghulu mengakhiri prosesi dengan suara yang terdengar seperti palu pengadilan—dan detik itu juga, hidup Naya berubah sepenuhnya. Sah. Istri dari dosen killer. --- Dua hari kemudian, mereka pindah ke apartemen kecil milik Arga di dekat kampus, demi menjaga “penampilan” sebagai pasangan menikah. Sebuah unit dua kamar, bersih, rapi, tapi dingin dan steril seperti kepribadian pemiliknya. Naya berjalan pelan ke dalam, menarik koper dan tas kain berisi pakaian serta skripsi. Arga sudah berdiri di ambang pintu, mengamati tanpa banyak bicara. “Kamar kamu di kiri. Kamar saya di kanan,” katanya datar. “Kamar mandi di tengah. Aturan dasar: tidak masuk kamar masing-masing tanpa izin. Jadwal makan masing-masing. Dan... jangan lupa, ini hanya kontrak.” Naya mengangguk, mencoba menelan rasa asing yang memenuhi dadanya. Walaupun bukan pernikahan seperti ini yang ia harapkan. Tapi dia harus menjalani dengan terpaksa. “Kalau gitu, kita gak perlu pura-pura di rumah ini kan?” tanyanya hati-hati. “Benar. Di luar, kita pasangan suami istri. Di sini, kita hanya dua orang dewasa berbagi ruang.” Sederhana. Dingin. Seperti instruksi di laboratorium. Tapi semua berubah begitu malam datang. --- Pukul sembilan malam, Naya masih berkutat dengan laptopnya di meja ruang tengah, mencoba mengerjakan revisi skripsi sambil menahan kantuk. Di seberangnya, Arga duduk membaca berkas—mungkin tugas mahasiswa, atau bahan pengajaran. Suasana hening, kecuali suara kipas angin dan sesekali bunyi keyboard ditekan cepat. “Pak—eh, Mas—eh...” Naya menggigit bibir. “Kita panggilannya gimana ya? Di rumah?” Arga tidak menoleh. “Panggil saja Arga. Lebih mudah. Saya juga akan panggil kamu Naya. Tidak usah formal.” “Oke...” jawabnya pelan. “Gak biasa aja.” “Hidup kita sekarang memang tidak biasa.” Satu kalimat itu membuat Naya bungkam lagi. Ia mencoba fokus, tapi tak bisa mengabaikan tekanan yang makin hari makin terasa. Bukan hanya karena mereka tinggal serumah, tapi karena perasaan canggung yang mulai membesar. Suami istri hanya status. Namun batasan sebagai dosen dan mahasiswa yang terlihat jelas seperti garis memanjang yang membatasi keduanya. Dan masalahnya bukan hanya itu. --- Keesokan harinya, saat Naya menghadiri kelas terakhirnya sebelum sidang skripsi, dia merasa semua mata menatap ke arahnya. Mendadak dirinya menjadi selebriti kampus. Bisik-bisik. Tatapan penasaran. Bahkan beberapa teman mendadak menjauh. Seolah pernikahan itu membuatnya menjelma menjadi alien di tengah komunitas mahasiswa. Semuanya berubah. Asing. Naya keluar kelas tanpa memedulikan setiap bisikan itu. Tiara mengikutinya keluar kelas. Hanya dia satu-satunya teman yang tidak menjauh dan tetap mensupport dirinya. “Lo harus tahu. Grup kampus udah heboh. Ada yang nyebar info kalau pernikahan lo sama Pak Arga itu settingan. Dan katanya... lo dibayar.” Naya membeku. Tidak menyangka gosip tentangnya terus bergulir seperti bola liar. “Apa?” “Gue udah coba klarifikasi. Tapi mereka udah nggak percaya. Apalagi karena lo gak undang siapa-siapa ke nikahan.” Naya menghela napas panjang. Berusaha meraup udara sebanyak-banyaknya agar dadanya tidak sesak. “Karena itu bukan nikahan. Itu ... sebuah transaksi.” Tiara menatapnya lekat-lekat. “Lo masih yakin ini semua layak dijalani?” Naya tidak bisa menjawab. Karena dia sendiri tidak tahu jawabannya. Malam harinya, setelah makan malam dalam diam, Naya berdiri di balkon apartemen sambil memeluk jaket tipis. Angin malam menyusup ke tulang, membawa rasa dingin yang aneh. Tak lama kemudian, Arga ikut berdiri di dekatnya. Ia membawa dua cangkir teh panas. Menyerahkan satu untuk Naya. Lalu menyeruput satunya. “Saya tahu... ini berat buat kamu,” katanya pelan. Naya menerima teh tanpa menoleh. “Kamu juga gak santai-santai banget. Hidup kamu pasti lebih rumit dari sebelumnya.” Kini cara berbicara mereka tak lagi formal. Mereka sudah sepakat akan hal itu. Arga menatap ke arah lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan. Hewan-hewan kecil mengerubungi lampu-lampu tersebut tanpa mengenal lelah. “Saya pernah punya tunangan. Lima tahun lalu. Dia dosen juga. Kami rencanakan pernikahan diam-diam, tapi ketika dia tahu saya ditawari posisi tetap dengan syarat tertentu... dia memilih pergi.” Naya menoleh. “Syarat?” “Saya harus melepas peluang kerja di luar negeri dan menetap di sini. Karena kampus ini ingin tenaga muda yang loyal. Tapi saya sudah tahu sejak awal, bahwa dunia akademik tidak adil bagi yang punya mimpi terlalu besar.” Hening sejenak. Hembusan angin malam menerbangkan ujung kerudung Naya. “Dan sekarang... kamu di posisi yang sama,” tambahnya. Naya menggigit bibir. “Saya gak akan ninggalin skripsi ini. Gak peduli berapa orang yang bilang saya tidur sama dosen demi nilai.” Arga menatapnya. Lama. Mata mereka bertemu. Dan untuk pertama kalinya, Naya melihat keretakan kecil dalam dinginnya wajah Arga. Ada sesuatu di balik mata itu. Bukan kasih sayang. Tapi... rasa hormat. Dan mungkin, itu jauh lebih berharga saat ini. Namun, keesokan paginya, dunia mereka kembali terguncang. Masalah seolah enggan pergi darinya. Seseorang mengirimkan email ke rektorat. Berisi rekaman audio percakapan Naya dan Arga di kafe saat menandatangani kontrak pernikahan. Rekaman itu dipotong-potong, membuat seolah mereka bersekongkol untuk memanipulasi pihak kampus demi keuntungan pribadi. Naya gemetar saat mendengarnya dari Bu Mira. “Ini bisa jadi pelanggaran berat,” kata sang wakil dekan dingin. “Kalau ini terbukti benar, kalian bukan hanya kehilangan reputasi. Tapi juga posisi. Dan status.” Arga berdiri. Tenang, tapi rahangnya mengeras. Tatapan matanya semakin dingin seolah mampu membekukan apa saja yang dilihatnya. “Seseorang memang sengaja menjebak kami.” Naya menatapnya. “Kamu bilang... kamu tahu siapa pelakunya.” Arga mengangguk. “Ya. Dan waktunya aku buka semuanya. Bahkan jika itu berarti membuka luka masa lalu yang ingin aku kubur dalam-dalam.” Dan untuk pertama kalinya, Naya sadar: pernikahan ini bukan hanya tentang mereka. Tapi tentang perang lama yang belum selesai. Dan ia baru saja masuk ke dalam medan pertempuran yang sesungguhnya. Dia yang tidak tahu apa-apa, mendadak terlibat dalam permainan orang-orang yang masih memiliki dendam pribadi.Pagi itu, Cahaya Laut berseri dengan cara yang berbeda. Bukan karena laut lebih tenang atau langit lebih biru, melainkan karena senyum di wajah setiap orang yang melangkah ke balai desa. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, mereka berkumpul bukan karena ancaman, bukan karena kabar buruk, melainkan untuk merayakan sesuatu yang lahir dari keberanian mereka sendiri.Di tengah halaman, panggung bambu sederhana berdiri. Di atasnya terbentang kain putih yang dilukis tangan anak-anak sekolah: gambar laut, ikan, dan matahari besar dengan senyum ceria. Warga duduk di tikar, ibu-ibu membawa tampah berisi kue basah, sementara bapak-bapak sibuk menyalakan tungku untuk memasak ikan bakar.“Seperti pesta laut, ya,” bisik Joni sambil mengangkat karung terakhir dari gudang.“Bedanya, kali ini bukan pesta adat, tapi pesta kita,” sahut Karjo, wajahnya cerah meski peluh membasahi dahi.Pak Wira berdiri di tepi panggung, mengenakan baju lurik rapi. Tangannya bergetar sedikit, tapi bukan karena cemas—
Kabut pagi mulai menipis, sinar matahari perlahan menembus permukaan laut. Perahu-perahu kecil Cahaya Laut terombang-ambing di hadapan kapal patroli yang menghalangi jalan. Suasana tegang menahan napas; dayung berhenti, ombak memukul lambung kayu.“Turunkan barang kalian sekarang juga!” suara dari pengeras kapal kembali menggema, kali ini lebih tegas.Arga berdiri tegak di perahu paling depan. Bajunya basah oleh cipratan ombak, tapi sorot matanya tidak bergeser sedikit pun. “Kami tidak mencuri, kami tidak melanggar hukum. Kami hanya membawa hasil laut kami sendiri. Kami punya hak untuk hidup!” teriaknya lantang, suaranya mengalahkan deru mesin.Pemuda di perahu belakang saling pandang. Joni menelan ludah, tangannya bergetar memegang dayung. “Mas… kalau mereka paksa, bagaimana?” bisiknya.Arga menoleh sekilas, lalu kembali menatap kapal besar. “Kalau kita mundur hari ini, kita akan mundur selamanya.”Naya berdiri di sampingnya. Wajahnya pucat, tapi tatapannya kuat. Ia menambahkan, suar
Pagi di Cahaya Laut tidak lagi setenang biasanya. Ombak memang tetap datang silih berganti, burung camar tetap berputar di udara, tapi udara terasa berat. Seakan angin membawa kabar yang tak enak.Sejak dini hari, desas-desus menyebar di antara warga. Ada yang mengatakan pejabat dari Jakarta membawa surat larangan, ada yang bilang kapal bantuan sengaja ditarik kembali, bahkan ada kabar burung bahwa sekolah desa bisa ditutup. Suasana riuh, penuh bisik-bisik cemas.Di halaman rumah kepala desa, warga sudah berkumpul. Ibu-ibu membawa anak kecil, para pemuda berdiri dengan wajah tegang, sementara bapak-bapak menatap lantai tanah dengan dahi berkerut.Pak Wira berdiri di beranda, memegang secarik kertas resmi berstempel kementerian. Tangannya bergetar, suaranya berusaha tegas.“Saudara-saudara, ini surat yang tadi malam disampaikan. Intinya jelas: semua kegiatan yang tidak sesuai dengan rencana pusat harus dihentikan. Kalau kita melanggar, ada sanksi—baik administrasi maupun hukum.”Suara
Pagi itu, udara di balai desa masih mengandung sisa asin dari laut. Angin membawa bau garam yang menusuk, bercampur dengan debu kapur dari papan tulis yang semalam penuh coretan strategi. Arga berdiri di depan, menatap deretan pemuda yang duduk di kursi bambu. Sebagian wajah mereka masih kantuk, sebagian lain tegang, tapi ada juga yang bersinar dengan semangat.“Kalau kita menunggu program dari pusat saja, kita akan terus jalan di tempat,” suara Arga memecah hening. Ia menuliskan satu kata besar di papan tulis: Mandiri. “Cahaya Laut harus bisa berdiri sendiri. Kita bisa menerima bantuan dari luar, tapi fondasinya harus dari kita sendiri.”Pemuda-pemuda itu saling pandang. Ada yang mengangguk, ada yang masih ragu. Lalu tangan Karjo terangkat pelan. Pemuda dengan tubuh kekar itu menatap Arga dengan keraguan bercampur tekad.“Kalau kita mandiri, apa tidak berbahaya, Mas? Maksud saya… pemerintah bisa saja marah. Apalagi kemarin waktu rapat di Jakarta, kita jelas-jelas menentang usulan dar
Matahari pagi menyorot tajam ke pantai Cahaya Laut, tapi semangat warga tidak kalah panas. Gudang ikan kembali penuh, kincir angin sudah tegak meski sederhana, dan toples abon dengan label emas berjajar rapi di meja panjang balai desa. Semua tampak siap menuju pameran UMKM di Surabaya.Namun Arga tahu, perjalanan tidak akan mulus. Dua kali sabotase sudah jadi peringatan: ada yang tidak rela Cahaya Laut bersinar.“Ga,” bisik Naya saat mereka menata dokumen pengiriman, “kita harus hati-hati. Musuh kita bukan cuma iri hati. Ada uang, ada kekuasaan di baliknya.”Arga menatap wajah Naya, lalu mengangguk. “Aku sudah menduga. Karena itu, kita tidak hanya menyiapkan produk. Kita juga harus menyiapkan cerita.”“Cerita?” Naya mengerutkan kening.“Ya. Produk bisa dibajak, modal bisa diganggu, tapi kalau cerita kita sampai ke hati orang, itu tidak bisa dicuri.”Siang itu, Arga mengumpulkan para pemuda dan ibu-ibu di balai desa. Meja penuh dengan contoh produk: abon, kerupuk, sambal, dan serundeng
Sore itu, Cahaya Laut seperti hidup dua kali lipat dari biasanya. Di balai desa, meja-meja penuh dengan toples abon, kerupuk ikan, dan botol sambal hasil olahan. Suara tawa terdengar di antara pemuda yang sedang mengepak produk. Di luar, kincir angin kecil terus berputar, lampunya menyala walau matahari sudah condong ke barat.Namun, di sudut gelap dekat pohon kelapa tua, sepasang mata memandangi semua itu. Tatapannya bukan kagum, melainkan penuh iri. Lelaki itu bernama Darma—bekas nelayan yang sejak lama merasa tersisih dari lingkaran baru Arga. Dulu ia sering jadi pemimpin kelompok melaut, tapi semenjak Arga datang dengan ide sekolah, koperasi, dan olahan ikan, namanya makin tenggelam.“Apa mereka pikir Cahaya Laut jadi besar tanpa aku?” gumamnya, mengepalkan tangan.Keesokan paginya, Arga berdiri di beranda sekolah. Anak-anak duduk rapi menunggu pelajaran. Pemuda desa juga berkumpul, membawa catatan tentang produksi abon semalam. Naya menata kertas di tangannya, bersiap membahas re