Beranda / Rumah Tangga / Pernikahan Kilat Dosen Killer / Bab 5. Terjebak dalam Permainan

Share

Bab 5. Terjebak dalam Permainan

Penulis: Cahaya Asa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-11 23:58:30

Hari itu langit mendung, seolah ikut murung menyaksikan dua insan yang berdiri di depan penghulu, mengenakan pakaian formal dan ekspresi yang nyaris tak terbaca.

Naya mengenakan kebaya krem sederhana yang disewa kilat dari butik kenalan Tiara. Sementara Arga mengenakan setelan hitam yang terlalu resmi untuk acara sekecil ini, tapi terlalu dingin untuk disebut sakral. Tidak ada bunga. Tidak ada senyum bahagia. Hanya tatapan mata yang sama-sama memendam ketegangan.

Naya larut dalam pikirannya sendiri hingga tak mendengar kalimat ijab Qabul yang diucapkan penghulu dan Arga.

"Sah!"

Satu kata sakral itu membangunkan Kiara yang tengah larut dengan pikirannya. Tidak ada perasaan haru dan bahagia layaknya pengantin pada umumnya. Semua terasa ... hambar.

“Dengan ini, sah... kalian resmi menjadi suami istri.”

Penghulu mengakhiri prosesi dengan suara yang terdengar seperti palu pengadilan—dan detik itu juga, hidup Naya berubah sepenuhnya.

Sah. Istri dari dosen killer.

---

Dua hari kemudian, mereka pindah ke apartemen kecil milik Arga di dekat kampus, demi menjaga “penampilan” sebagai pasangan menikah. Sebuah unit dua kamar, bersih, rapi, tapi dingin dan steril seperti kepribadian pemiliknya.

Naya berjalan pelan ke dalam, menarik koper dan tas kain berisi pakaian serta skripsi. Arga sudah berdiri di ambang pintu, mengamati tanpa banyak bicara.

“Kamar kamu di kiri. Kamar saya di kanan,” katanya datar. “Kamar mandi di tengah. Aturan dasar: tidak masuk kamar masing-masing tanpa izin. Jadwal makan masing-masing. Dan... jangan lupa, ini hanya kontrak.”

Naya mengangguk, mencoba menelan rasa asing yang memenuhi dadanya. Walaupun bukan pernikahan seperti ini yang ia harapkan. Tapi dia harus menjalani dengan terpaksa.

“Kalau gitu, kita gak perlu pura-pura di rumah ini kan?” tanyanya hati-hati.

“Benar. Di luar, kita pasangan suami istri. Di sini, kita hanya dua orang dewasa berbagi ruang.”

Sederhana. Dingin. Seperti instruksi di laboratorium. Tapi semua berubah begitu malam datang.

---

Pukul sembilan malam, Naya masih berkutat dengan laptopnya di meja ruang tengah, mencoba mengerjakan revisi skripsi sambil menahan kantuk. Di seberangnya, Arga duduk membaca berkas—mungkin tugas mahasiswa, atau bahan pengajaran. Suasana hening, kecuali suara kipas angin dan sesekali bunyi keyboard ditekan cepat.

“Pak—eh, Mas—eh...” Naya menggigit bibir. “Kita panggilannya gimana ya? Di rumah?”

Arga tidak menoleh. “Panggil saja Arga. Lebih mudah. Saya juga akan panggil kamu Naya. Tidak usah formal.”

“Oke...” jawabnya pelan. “Gak biasa aja.”

“Hidup kita sekarang memang tidak biasa.”

Satu kalimat itu membuat Naya bungkam lagi. Ia mencoba fokus, tapi tak bisa mengabaikan tekanan yang makin hari makin terasa.

Bukan hanya karena mereka tinggal serumah, tapi karena perasaan canggung yang mulai membesar. Suami istri hanya status. Namun batasan sebagai dosen dan mahasiswa yang terlihat jelas seperti garis memanjang yang membatasi keduanya.

Dan masalahnya bukan hanya itu.

---

Keesokan harinya, saat Naya menghadiri kelas terakhirnya sebelum sidang skripsi, dia merasa semua mata menatap ke arahnya. Mendadak dirinya menjadi selebriti kampus.

Bisik-bisik. Tatapan penasaran. Bahkan beberapa teman mendadak menjauh. Seolah pernikahan itu membuatnya menjelma menjadi alien di tengah komunitas mahasiswa. Semuanya berubah. Asing.

Naya keluar kelas tanpa memedulikan setiap bisikan itu. Tiara mengikutinya keluar kelas. Hanya dia satu-satunya teman yang tidak menjauh dan tetap mensupport dirinya.

“Lo harus tahu. Grup kampus udah heboh. Ada yang nyebar info kalau pernikahan lo sama Pak Arga itu settingan. Dan katanya... lo dibayar.”

Naya membeku. Tidak menyangka gosip tentangnya terus bergulir seperti bola liar. “Apa?”

“Gue udah coba klarifikasi. Tapi mereka udah nggak percaya. Apalagi karena lo gak undang siapa-siapa ke nikahan.”

Naya menghela napas panjang. Berusaha meraup udara sebanyak-banyaknya agar dadanya tidak sesak. “Karena itu bukan nikahan. Itu ... sebuah transaksi.”

Tiara menatapnya lekat-lekat. “Lo masih yakin ini semua layak dijalani?”

Naya tidak bisa menjawab. Karena dia sendiri tidak tahu jawabannya.

Malam harinya, setelah makan malam dalam diam, Naya berdiri di balkon apartemen sambil memeluk jaket tipis. Angin malam menyusup ke tulang, membawa rasa dingin yang aneh.

Tak lama kemudian, Arga ikut berdiri di dekatnya. Ia membawa dua cangkir teh panas. Menyerahkan satu untuk Naya. Lalu menyeruput satunya.

“Saya tahu... ini berat buat kamu,” katanya pelan.

Naya menerima teh tanpa menoleh. “Kamu juga gak santai-santai banget. Hidup kamu pasti lebih rumit dari sebelumnya.”

Kini cara berbicara mereka tak lagi formal. Mereka sudah sepakat akan hal itu.

Arga menatap ke arah lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan. Hewan-hewan kecil mengerubungi lampu-lampu tersebut tanpa mengenal lelah.

“Saya pernah punya tunangan. Lima tahun lalu. Dia dosen juga. Kami rencanakan pernikahan diam-diam, tapi ketika dia tahu saya ditawari posisi tetap dengan syarat tertentu... dia memilih pergi.”

Naya menoleh. “Syarat?”

“Saya harus melepas peluang kerja di luar negeri dan menetap di sini. Karena kampus ini ingin tenaga muda yang loyal. Tapi saya sudah tahu sejak awal, bahwa dunia akademik tidak adil bagi yang punya mimpi terlalu besar.”

Hening sejenak. Hembusan angin malam menerbangkan ujung kerudung Naya.

“Dan sekarang... kamu di posisi yang sama,” tambahnya.

Naya menggigit bibir. “Saya gak akan ninggalin skripsi ini. Gak peduli berapa orang yang bilang saya tidur sama dosen demi nilai.”

Arga menatapnya. Lama. Mata mereka bertemu. Dan untuk pertama kalinya, Naya melihat keretakan kecil dalam dinginnya wajah Arga. Ada sesuatu di balik mata itu. Bukan kasih sayang. Tapi... rasa hormat. Dan mungkin, itu jauh lebih berharga saat ini.

Namun, keesokan paginya, dunia mereka kembali terguncang. Masalah seolah enggan pergi darinya. Seseorang mengirimkan email ke rektorat. Berisi rekaman audio percakapan Naya dan Arga di kafe saat menandatangani kontrak pernikahan. Rekaman itu dipotong-potong, membuat seolah mereka bersekongkol untuk memanipulasi pihak kampus demi keuntungan pribadi.

Naya gemetar saat mendengarnya dari Bu Mira.

“Ini bisa jadi pelanggaran berat,” kata sang wakil dekan dingin. “Kalau ini terbukti benar, kalian bukan hanya kehilangan reputasi. Tapi juga posisi. Dan status.”

Arga berdiri. Tenang, tapi rahangnya mengeras. Tatapan matanya semakin dingin seolah mampu membekukan apa saja yang dilihatnya.

“Seseorang memang sengaja menjebak kami.”

Naya menatapnya. “Kamu bilang... kamu tahu siapa pelakunya.”

Arga mengangguk. “Ya. Dan waktunya aku buka semuanya. Bahkan jika itu berarti membuka luka masa lalu yang ingin aku kubur dalam-dalam.”

Dan untuk pertama kalinya, Naya sadar: pernikahan ini bukan hanya tentang mereka. Tapi tentang perang lama yang belum selesai. Dan ia baru saja masuk ke dalam medan pertempuran yang sesungguhnya. Dia yang tidak tahu apa-apa, mendadak terlibat dalam permainan orang-orang yang masih memiliki dendam pribadi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 75. Di Bawah Gelombang

    Pagi itu, kabut laut menggantung rendah, membuat horizon menghilang. Suara mesin diesel tua memecah kesunyian saat perahu kayu berwarna biru meninggalkan dermaga pelabuhan utara. Di haluan, Fadil berdiri dengan ransel hitam yang tak pernah ia lepaskan, matanya menatap koordinat di peta lusuh yang ia dapatkan dari data arus laut.Kapten perahu, lelaki tua dengan kulit legam terbakar matahari, menyalakan sebatang rokok. “Titik yang kau mau tuju itu jauh, Nak. Dan tidak ada yang lewat sana kalau bukan nelayan nekat atau kapal riset.” Lelaki itu mencoba untuk memperingatkan. Faktanya dia sendiri sebenarnya enggan menuju ke sana. “Saya cuma butuh beberapa jam di sana. Cukup untuk ambil data,” jawab Fadil tanpa menoleh.Lelaki tua itu terkekeh pendek. “Kalau kau hilang di sana, data tidak akan menyelamatkanmu.”---Di desa Tanjung Luhur, Arga mengajar anak-anak menggambar peta dengan arang di pasir. Tapi pikirannya bukan di kelas itu. Peta laut di amplop dari Fadil masih tersimpan di laci

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 74. Pria dari Kota

    Fajar menyapu garis pantai dengan cahaya pucat. Embun masih melekat di rumput liar ketika Arga berjalan menuju sekolah kayu di tepi laut. Langkahnya terhenti sejenak. Di depan pintu sekolah, ada seseorang duduk bersandar pada tiang, kepala tertunduk, ransel hitam di sisi kaki.Arga belum bisa menebak siapa pria itu dan kenapa bisa ada di sana. Lalu ingatannya tertarik pada malam tadi saat ia melihat ada sosok pria misterius berdiri di luar pagar. Sama. Lelaki itu, kini ada di hadapannya.Arga melanjutkan langkahnya. Berdehem sekali hingga menarik perhatian pria tersebut.Pria itu mengangkat wajah ketika mendengar langkah Arga. Topi lusuhnya sudah ia lepas, memperlihatkan rambut hitam yang sedikit berantakan dan mata yang menyimpan gelisah. Sepatu putihnya sudah berubah warna karena tersapu pasir. “Pak Arga…” suaranya ragu, seperti ingin memastikan bahwa orang di depannya benar-benar yang ia cari. Penampilan Arga kini berubah total. Wajah dingin dan garang yang membuatnya dijuluki seb

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 73. Jejak di Pasir

    Udara asin bercampur aroma tanah basah menyambut pagi di Desa Tanjung Luhur. Ombak memukul batu karang dengan ritme tetap, seolah mengingatkan bahwa waktu di tempat ini berjalan lambat. Burung-burung camar berputar di udara, sementara para nelayan bersiap menurunkan perahu.Arga menenteng papan tulis kecil melewati jalan setapak berbatu menuju bangunan kayu sederhana di tepi pantai. Dindingnya terbuat dari papan pinus, atapnya dari seng yang sudah mulai berkarat di beberapa sudut. Di depan pintu, anak-anak berlarian tanpa alas kaki, tertawa lepas.“Pak Arga! Hari ini belajar menggambar peta laut, kan?” teriak salah satu bocah, Matra, matanya berbinar.Arga tersenyum. “Betul. Tapi kalau kalian datangnya telat, kita gambar petanya cuma setengah.”Suara tawa meledak di antara mereka. Di dalam, meja-meja kecil tersusun seadanya. Kapur tulis terselip di kaleng bekas biskuit. Di papan, masih tersisa coretan pelajaran kemarin: angin darat, angin laut.Sekolah itu baru berdiri tiga bulan, tap

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 72. Kisah yang Usai

    Hujan awal musim mengguyur kota. Air mengalir di atap seng warung kopi pinggir jalan, menciptakan irama pelan yang menenangkan. Naya duduk di kursi kayu dekat jendela, menatap jalan basah yang lengang. Di tangannya, secangkir kopi hitam mengepulkan uap.Sudah hampir setahun sejak peristiwa di atap Gedung Bioteknologi. Sejak Aurelia memutus sinkronisasi, sejak ORION padam, sejak jaringan terakhir AURORA lenyap tanpa jejak, hidup berangsur berubah. Bukan dengan ledakan, tapi dengan keheningan yang nyaris asing.Arga masuk dari pintu, mantel hujan basah menetes di lantai. Dia membawa kantong berisi sayuran segar. “Pasar sepi, hujan bikin orang malas keluar,” katanya sambil menaruh kantong itu di meja.Naya tersenyum tipis. “Bagus. Berarti kita dapat sayur terbaik tanpa rebutan.”Tak ada lagi layar-layar hologram melayang di ruang tamu mereka, tak ada lagi notifikasi yang memburu pikiran. Rumah itu sederhana: dua kamar, rak buku bekas, radio tua yang sesekali berderak mencari frekuensi. M

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 71. Jantung Ketiga

    Hujan turun tipis di atas kampus Universitas Cendekia Raya. Lampu-lampu jalan memantul di permukaan basah, membentuk kilau aneh yang seakan bergeser setiap kali Naya memejamkan mata. Mobil mereka berhenti di gerbang belakang—akses yang jarang dipakai mahasiswa.“Berapa jarak dari sini ke gedung Bioteknologi?” tanya Raka sambil memeriksa drone mini di pangkuannya.“Lima menit kalau jalan kaki, tiga kalau kita lewat atap,” jawab Karina sambil menarik jaket hujan.Naya tidak menjawab. Matanya tertuju pada layar tablet yang masih menampilkan data biometrik Aurelia. Sinkronisasi 63%. Terlalu cepat. Terlalu berbahaya.Ia tahu, begitu angka itu melewati 70%, Aurelia bukan lagi sekadar “manusia dengan tambahan sistem ORION”. Ia akan menjadi sistem itu sendiri—jaringan berpikir yang bisa memanfaatkan seluruh perangkat, manusia, dan bahkan memori kolektif sebagai simpul kendali.Dan Naya hanya punya satu kesempatan.Gedung Bioteknologi, Lantai Bawah Tanah tampak bercahaya. Aurelia duduk di teng

  • Pernikahan Kilat Dosen Killer   Bab 70. Residu Maheswari

    Kabut belum benar-benar hilang saat matahari menyelinap pelan di balik gunung. Di atas tebing belakang stasiun riset, angin pagi mengacak-acak rambut Naya. Debu reruntuhan menempel di wajah dan bajunya. Tapi bukan itu yang membuat tubuhnya menggigil.Melainkan... suara yang masih bergaung dalam pikirannya.> “Naya... terima kasih...”Keisha.Mereka memang berhasil memutus sinkronisasi, menyisipkan fragmen memori yang membuka retakan di ORION, bahkan membuat Keisha—mesin tanpa rasa—bergetar oleh ingatan masa lalu.Tapi Naya tahu itu belum cukup.Sistem sebesar itu tidak akan hilang hanya karena satu keretakan. Dan seperti mimpi buruk yang enggan lenyap, ia merasakan... ada yang mengawasi.“Liontinnya,” ujar Raka tiba-tiba. “Masih aktif?”Naya menggenggam liontin kecil berbentuk bulat yang menggantung di lehernya. Cahaya biru samar masih berdenyut, tapi kali ini ada getaran baru. Irama halus, nyaris seperti... detak jantung.“Ini bukan milik Keisha lagi,” bisiknya.Karina berdiri, masih

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status