"Kali ini gue nggak boleh gagal." Naya melangkah memasuki gerbang kampus dengan perasaan yang sulit dijabarkan.
Langit kampus sore itu tampak mendung, seolah memantulkan suasana hati Naya yang sedang rapuh. Di tangannya, skripsi revisi terbaru sudah selesai. Ia mencetaknya pagi tadi, lengkap dengan tambahan referensi dan pendekatan analisis baru seperti yang disarankan Arga. Meski ada sedikit rasa percaya diri, kegugupan tetap mengiringi langkahnya menuju ruang dosen. Tapi saat tiba di lorong lantai dua, suasana terasa berbeda. Beberapa mahasiswa berkumpul di depan ruang dosen, berbisik-bisik. Sebagian menatap ponsel mereka, sebagian lain mencuri pandang ke arah Naya. Bisikan itu pelan, tapi cukup untuk membuat dadanya menegang. “Eh, itu tuh anaknya…” bisik salah satu mahasiswa yang masih bisa didengar Naya. “Iya, yang katanya tadi pagi kepergok…” timpal mahasiswi lainnya. “Hush! Jangan keras-keras!” Naya mempercepat langkah, tapi detak jantungnya jadi semakin tak terkontrol. Ia langsung menuju ruang Arga. Namun pintu itu… tertutup rapat, dan di depannya berdiri seseorang yang tak asing — Bu Mira, wakil dekan bidang kemahasiswaan. Mendadak Kiara merasa seperti dihakimi oleh semua pasang mata yang menatap dirinya. “Naya, sebentar,” panggil Bu Mira. Naya menelan ludah. “Iya, Bu?” “Kamu bisa ikut saya ke ruang dekanat sekarang?” Tanpa penjelasan. Tanpa aba-aba. Dan tatapan Bu Mira terlalu serius untuk diabaikan. Sambil berusaha meredam gemuruh di dalam dadanya, Naya berjalan di belakang Bu Mira. Berbagai tanya berkelindan di kepalanya. Hingga kaki sampai di ambang pintu ruang dekanat, Naya masih belum tahu dengan apa yang terjadi. --- Di ruang dekanat, suasana terasa dingin. Bukan karena pendingin ruangan, tapi karena ekspresi serius tiga dosen yang duduk di depan Naya: Bu Mira, Pak Wira selaku dekan, dan satu lagi—yang membuat jantung Naya langsung terjun bebas—Pak Arga. Ia duduk tegak, seperti biasa, tapi ada ketegangan di garis rahangnya. Tangannya terlipat di atas meja. Naya bisa merasakan atmosfer berbeda dari biasanya: ini bukan pembahasan akademik. Ini serius. Pak Wira membuka percakapan. “Naya, kami mendapat laporan dari beberapa mahasiswa bahwa tadi pagi kamu terlihat masuk ke ruangan Pak Arga, dan... tetap berada di dalam selama lebih dari satu jam.” Naya mengerutkan dahi. Mencoba mencerna apa yang salah dengan kalimat Pak Wira tersebut. Dia juga tidak menyangkal. “Iya, Pak. Saya konsultasi skripsi.” Naya merasa tidak ada yang salah dengan itu karena dirinya memang sedang konsultasi skripsi seperti biasanya. “Apakah pintu ruangan tertutup saat itu?” tanya Bu Mira. Naya mengangguk. Lagi-lagi tidak menyangkal. “Iya... tapi—itu biasa, Bu. Saya konsultasi seperti biasa. Tidak ada yang aneh.” Pak Arga membuka mulutnya, suaranya tetap tenang, meski sedikit lebih berat. “Saya sudah menjelaskan bahwa diskusi itu murni akademik. Tidak ada pelanggaran etika.” Naya mencoba menganalisa percakapan mereka. Apa gerangan yang membuat suasana terasa begitu menegangkan. Karena menurutnya tidak ada yang salah sama sekali. Pak Wira bertukar pandang dengan Bu Mira. “Masalahnya, ada mahasiswa yang diam-diam merekam dan menyebarkan potongan video pendek yang... menyiratkan hubungan personal antara kalian.” Jantung Naya mencelos. “Apa?!” Bu Mira menyerahkan ponsel padanya. Di layar, sebuah video berdurasi lima belas detik memperlihatkan Naya keluar dari ruangan Arga dengan ekspresi serius, lalu Pak Arga menyusul di belakang sambil berkata: “Kamu tidak gagal. Kamu hanya belum selesai.” Hanya itu. Tapi sudut pengambilan gambar dan narasi tambahan di caption video membuat segalanya tampak... lain. > “Mahasiswi favorit dosen killer? Ada hubungan khusus? 😏 #SkripsiMulus” Naya merasa darahnya mengering. Bahkan ia juga kesulitan bernafas saat itu juga. “Ini fitnah... Ini salah paham!” suaranya bergetar. “Saya gak pernah—saya cuma... konsultasi, seperti biasa!” “Kami tidak menuduh,” ujar Pak Wira cepat. “Tapi video ini sudah tersebar. Dan pihak rektorat meminta klarifikasi. Ini menyangkut reputasi institusi.” Naya memandang Arga. Tapi pria itu tetap tenang, meski ia menangkap ketegangan di balik wajah datarnya. “Saya akan bertanggung jawab,” ujar Arga mendadak. Semua menoleh padanya. Entah tanggung jawab seperti apa yang dimaksud lelaki itu. Naya tak berani untuk sekadar memikirkannya. Arga kembali bersuara. “Saya yang membiarkan ruangan tertutup. Saya seharusnya sadar posisi saya sebagai dosen memberi ruang pada interpretasi negatif. Jika perlu, saya bersedia menerima sanksi etik.” Naya membelalak. “Pak! Ini bukan salah Bapak. Saya yang—” Arga menggeleng halus. “Bukan waktunya menyalahkan siapa-siapa.” Pak Wira memijat pelipisnya. “Kita akan pertimbangkan langkah selanjutnya. Tapi untuk saat ini, tolong jangan ada interaksi pribadi dulu. Naya, kamu akan dialihkan ke pembimbing lain. Dan Pak Arga, Anda diminta cuti bimbingan sementara.” “Tidak!” Naya berdiri spontan. “Saya tidak mau ganti dosen pembimbing!” Bu Mira menatapnya tajam. “Naya, ini bukan tentang keinginanmu. Ini soal menjaga nama baik semua pihak.” “Justru karena itu! Saya gak mau orang berpikir saya dapat nilai karena kedekatan pribadi! Kalau saya ganti pembimbing sekarang, apa bedanya dengan membenarkan semua gosip itu?” Keheningan menggantung. Tak ada suara selain helaan nafas masing-masing pihak. Arga menatap Naya lama. Ada sesuatu dalam pandangan itu—campuran antara rasa bersalah dan keputusan besar yang tampaknya sudah ia ambil dalam hati. “Saya punya satu usulan,” ujarnya. Semua menoleh padanya lagi, termasuk Naya. “Untuk menghentikan spekulasi dan melindungi reputasi Naya... saya bersedia mengumumkan bahwa saya dan Naya memiliki hubungan resmi.” Naya membalikkan tubuhnya cepat. “APA?!” Mendadak wajah Naya berubah pucat. Keringat dingin menetes di pelipisnya. Membayangkannya saja sudah membuatnya panas dingin. Apalagi jika benar terjadi. Namun Arga tetap tenang. “Pernikahan. Pernikahan resmi. Jika kami menikah secara sah, maka semua dugaan pelanggaran etika otomatis gugur. Tidak ada dasar lagi untuk menyebar fitnah.” Ruangan itu seolah kehilangan suara. Bahkan napas pun tertahan. Naya menggeleng lemah. Wajahnya yang sudah pucat semakin pucat karena darah dalam tubuhnya seolah berhenti mengalir. “Pak, ini gila... Saya gak ngerti...” Pak Wira mengangkat tangan. “Tunggu. Kalian serius mempertimbangkan pernikahan hanya demi menyelamatkan reputasi akademik?” “Jika tidak, saya akan dicopot dari pembimbing, reputasi Naya hancur, dan skripsinya mungkin tak bisa diproses semester ini. Kita semua kalah,” jawab Arga tenang. Naya merasa dunia berhenti berputar. Mendadak kepalanya menjadi riuh. Menikah? Dengan dosen killer? Pikirannya kacau. Tapi di satu sisi, ia tahu... Arga benar. Skandal ini akan memusnahkan semua kerja kerasnya. Perjuangannya akan hancur sebelum mencapai titik akhir. Ia memejamkan mata. “Kalau pun iya... ini gila. Tapi... saya butuh jaminan. Kalau kita menikah, skripsi saya tetap dinilai objektif.” Arga menatapnya serius. “Saya akan tetap jadi penguji paling keras yang kamu kenal. Pernikahan tidak akan mengubah itu.” Bu Mira menghela napas panjang. Memandang Naya kasihan. Tapi ini keputusan terbaik. “Jika ini pilihan kalian... kami tidak bisa melarang. Tapi pastikan ini resmi, sah di mata hukum dan institusi.” Pak Wira menambahkan, “Dan cepat. Sebelum gosip ini berubah jadi berita kampus.” Naya berdiri dengan kaki lemas. Ia keluar dari ruang dekanat sambil menahan gemuruh di dadanya. Tiara menunggu di luar dan langsung menghampiri. Ia sudah tak sabar ingin mendengar cerita Naya. “Gimana? Lo kenapa pucat banget?” Tiara maju dan menggenggam tangan Naya. Naya memandang sahabatnya dengan pandangan kosong. “Gue... akan menikah.” “HAH?! Sama siapa?” Naya menatap lurus ke depan. Lalu berkata pelan, “Dosen killer.”Hari itu langit mendung, seolah ikut murung menyaksikan dua insan yang berdiri di depan penghulu, mengenakan pakaian formal dan ekspresi yang nyaris tak terbaca.Naya mengenakan kebaya krem sederhana yang disewa kilat dari butik kenalan Tiara. Sementara Arga mengenakan setelan hitam yang terlalu resmi untuk acara sekecil ini, tapi terlalu dingin untuk disebut sakral. Tidak ada bunga. Tidak ada senyum bahagia. Hanya tatapan mata yang sama-sama memendam ketegangan.Naya larut dalam pikirannya sendiri hingga tak mendengar kalimat ijab Qabul yang diucapkan penghulu dan Arga."Sah!"Satu kata sakral itu membangunkan Kiara yang tengah larut dengan pikirannya. Tidak ada perasaan haru dan bahagia layaknya pengantin pada umumnya. Semua terasa ... hambar.“Dengan ini, sah... kalian resmi menjadi suami istri.”Penghulu mengakhiri prosesi dengan suara yang terdengar seperti palu pengadilan—dan detik itu juga, hidup Naya berubah sepenuhnya.Sah. Istri dari dosen killer.---Dua hari kemudian, mere
Dua hari setelah percakapan mengejutkan di ruang dekanat, Naya masih seperti berjalan dalam kabut. Kata menikah masih terasa asing di kepalanya. Ia belum cerita ke siapa pun kecuali Tiara—dan bahkan Tiara pun masih setengah percaya, setengah panik.“Lo yakin ini bukan prank hidup? Atau ini semua bagian dari skripsi eksperimen sosial lo?” tanya Tiara saat mereka duduk di bangku taman sore itu, dengan dua cup bubble tea yang tak tersentuh.“Gue gak yakin gue masih hidup,” jawab Naya pelan.Ia memainkan ujung sepatunya hingga membentuk goresan abstrak di tanah. Tatapannya masih kosong seperti tak memiliki gairah hidup.Tiara mencak-mencak. Diantara semua orang yang mungkin merasa beruntung bisa menikah dengan dosen killer tapi tampan maksimal itu, Tiara adalah orang yang tidak pernah setuju untuk itu. “Gila. Gue tau lo stress karena skripsi, tapi nikah?! Dan sama Pak Arga pula! Itu kayak ... menikahi Google Form. Datar, kaku, dan gak pernah bisa lo edit.”Naya melempar pandangan pada ha
"Kali ini gue nggak boleh gagal." Naya melangkah memasuki gerbang kampus dengan perasaan yang sulit dijabarkan.Langit kampus sore itu tampak mendung, seolah memantulkan suasana hati Naya yang sedang rapuh. Di tangannya, skripsi revisi terbaru sudah selesai. Ia mencetaknya pagi tadi, lengkap dengan tambahan referensi dan pendekatan analisis baru seperti yang disarankan Arga. Meski ada sedikit rasa percaya diri, kegugupan tetap mengiringi langkahnya menuju ruang dosen.Tapi saat tiba di lorong lantai dua, suasana terasa berbeda. Beberapa mahasiswa berkumpul di depan ruang dosen, berbisik-bisik. Sebagian menatap ponsel mereka, sebagian lain mencuri pandang ke arah Naya. Bisikan itu pelan, tapi cukup untuk membuat dadanya menegang.“Eh, itu tuh anaknya…” bisik salah satu mahasiswa yang masih bisa didengar Naya.“Iya, yang katanya tadi pagi kepergok…” timpal mahasiswi lainnya.“Hush! Jangan keras-keras!”Naya mempercepat langkah, tapi detak jantungnya jadi semakin tak terkontrol. Ia langs
“Kalau kamu ingin dianggap serius sebagai peneliti, berhentilah berharap belas kasihan.”Kalimat terakhir dosen Arga terus berputar-putar di kepala Naya bak film yang terus berulang. Menjajah pikirannya hingga menciptakan kekuatan tak kasat mata dalam diri Naya. Mahasiswi cantik berlesung pipi jika sedang tersenyum. Namun itu tak bertahan lama.Dua hari setelah pertemuan yang membekas itu, Naya kembali duduk di perpustakaan kampus, dikelilingi tumpukan buku yang tak lagi menggugah semangat. Matanya yang sembap dan sayu karena kurang tidur menyapu halaman demi halaman buku, tapi pikirannya berputar di tempat yang sama: skripsinya. Lebih tepatnya, Dosen Arga.Ia menatap layar laptop yang menampilkan file bernama “Skripsi FINAL FINAL Revisi Fix Banget.docx” — yang anehnya, belum juga dianggap “final” oleh dosen pembimbingnya."Aku tuh udah bener-bener gak ngerti lagi harus gimana,” gumamnya pelan. Bahunya melorot lalu kepala tergeletak di meja. "Lo tuh butuh liburan, bukan literatur bar
"Maaf!" Naya terus berlari menaiki tangga setelah menabrak seseorang. Jam ditangannya menunjukkan angka delapan lebih dua. Artinya dua menit sudah lewat dari waktu janjian dengan dosen paling disiplin di kampus ini. Suasana lorong Fakultas Sastra siang itu terasa lebih tegang dari biasanya. Langkah kaki mahasiswa berlalu lalang dengan cepat, sebagian wajah tampak cemas, sebagian lagi berusaha tak terlihat. Di depan sebuah ruang dosen yang pintunya tertutup rapat, Naya berdiri mematung sambil memeluk map skripsinya erat-erat. Telapak tangannya dingin meski matahari menyengat dari luar jendela. Nafasnya memburu karena dia memilih menaiki tangga dibanding lift karena tak mau menunggu antrian."Ayo, Na, kamu bisa," bisiknya pada diri sendiri. Tapi jantungnya berdetak lebih keras saat melihat pintu itu terbuka sedikit. Ia menarik nafas panjang berulang kali berharap detakan itu kembali normal.Dari dalam, terdengar suara bariton yang tak asing: dingin, tegas, nyaris tanpa intonasi emosi.