Malam menjelang saat mobil hitam mengilap yang ditumpangi Alya dan Arsen perlahan memasuki kawasan mansion milik keluarga besar Arsen. Bagi Alya, ini seperti memasuki dunia lain. Pintu gerbang besi yang menjulang tinggi terbuka otomatis, memperlihatkan taman luas yang terbentang bak padang hijau yang tertata sempurna. Pepohonan di sisi jalan masuk dihiasi lampu-lampu kecil berwarna hangat, dan air mancur megah menyambut mereka di bundaran depan mansion yang ukurannya bisa menampung satu lapangan basket.Alya menelan ludah. "Ini rumah... atau kastil kerajaan?" gumam Alya seraya menatap kagum sekeliling mansion tersebut."Bisakaplah biasa saja Alya, kita bukan memasuki kawasan wisata hiburan yang patut kamu kagumi sampai segitunya" peringat Arsen dengan pelan namun menggunakan nada yang menusuk dan pandangannya tetap lurus ke depan. Tapi tangan kirinya mengepal, menunjukkan kalau tempat ini tidak membuatnya senyaman yang terlihat.Alya mengerti, ia hanya diam sembari mengalihkan panda
Arsen mengetuk pintu kamar dengan pelan, karena ada hal penting yang ingin ia sampaikan kepada Alya. Alya mengangkat kepala dari buku yang sedang dibacanya, lalu segera berlari dan membukakan pintu. Ia agak terkejut ketika yang mengetuk pintu tersebut adalah Arsen"Kita ada undangan makan malam di rumah keluarga besar," katanya singkat, ekspresinya datar seperti biasa.Alya mencoba menangkap makna di balik ucapan singkat itu. "Malam ini?"Arsen mengangguk. "Tidak, tepatnya besok. Namun kita juga perlu belanja pakaian dan keperluan lain sebelum itu, karena makan malam itu bukan sekedar makan malam saja." ucap Arsen yang mengandung maksud tersirat.Tanpa banyak komentar, Alya mengangguk pelan. Meski hatinya sempat berdebar karena akan bertemu keluarga besar Arsen dan maksud dari perkataan Arsen pasti ada suatu hal yang mungkin membuat Alya harus mempertahankan harga dirinya saat di acara makan malam tersebut, walaupun berat tapi ia tahu pria itu tidak akan memberinya ruang untuk menolak
Sejak kejadian di kampus tempo hari, Alya lebih banyak memilih diam. Ia menjadi lebih pendiam, jarang tersenyum seperti biasanya, dan lebih sering berlama-lama di dalam kamar. Bahkan ketika Yuni datang dan mencoba mengajaknya untuk jalan-jalan keluar agar bisa rileks, Alya hanya mengangguk seadanya dan sering melamun yang membuat Yuni terkadang takut dengan perubahan sifat Alya yang seperti zombie hidup tersebut.“Dia istriku,” suara Arsen menggema di ruangan waktu itu. Tatapan para mahasiswa langsung tertuju padanya, campuran terkejut, penasaran, dan tidak sedikit yang menyimpan bisikan-bisikan tidak mengenakkan.Padahal, Alya sama sekali tidak siap untuk pernyataan seperti itu. Tidak di tengah-tengah kampus. Tidak di depan banyak orang. Tidak ketika ia baru saja mulai menikmati perannya sebagai mahasiswa akhir dengan harapan hidup lebih tenang.Dan kini, ia bahkan merasa malu untuk kembali ke kampus.“Alya, kamu nggak masuk kampus lagi?” tanya Yuni pelan suatu sore ketika mereka se
Sorotan mata menusuk seperti ribuan jarum. Alya duduk membeku di kursinya, tubuhnya bergetar pelan. Hatinya sudah cukup lelah menahan rasa malu yang bertubi-tubi. Suara tawa mengejek Lutfi dan teman-temannya di sudut ruangan membuat dunia Alya seakan runtuh. Kalimat mereka berputar-putar di kepalanya: "Simpanannya om-om, ya?", "Enak banget hidup lu sekarang, tinggal naik mobil mahal, ya?", "Berapa bayarannya?"Alya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menahan amarah, malu, dan rasa tidak berdaya. Ia tahu, mencoba melawan hanya akan memperburuk keadaan. Mahasiswa lain hanya diam, sebagian menunduk, sebagian ikut tertawa kecil, seakan mengamini semua hinaan itu. Tangannya yang menggenggam pulpen tampak bergetar.Namun dalam sekejap, atmosfer ruang kelas berubah drastis. Suara langkah sepatu kulit terdengar menggema di koridor sebelum berhenti di ambang pintu. Dia adalah Arsen.Pria itu berdiri di sana, mengenakan setelan hitam elegan seperti biasa. Kehadirannya seperti badai yang me
Alya memandangi layar ponselnya yang menampilkan pesan dari Arsen. “Untuk sementara, jangan pulang dulu. Aku curiga Kakek mengirim orang untuk mengamati kita. Tetaplah di rumahku sampai situasi aman. Aku sudah bicara dengan rumah sakit juga agar perawatan Ibumu semakin intensif.” Alya menghela napas panjang. Ia duduk di balkon kamar lantai dua rumah Arsen, mengenakan hoodie abu dan celana panjang nyaman, menikmati semilir angin yang menyapu wajahnya. Langit mendung seakan mencerminkan isi hatinya. “Dia serius,” gumamnya lirih. Sudah tiga hari ia berada di rumah besar itu. Rumah yang awalnya terasa asing, kini mulai terasa seperti tempat pelarian paling aman, terutama karena kehadiran Yuni, pembantu paruh baya yang ramah dan tidak pernah memperlakukannya seperti tamu asing. Suara ketukan lembut terdengar di pintu balkon. “Alya, kamu sudah sarapan?” tanya Yuni dari dalam. Alya menoleh dan tersenyum tipis. “Belum, Bu. Nggak lapar,” jawabnya pelan. Yuni membuka pintu balkon
Suara deru mesin mobil mewah terdengar nyaring dari arah gerbang. Alya yang sedang menyapu halaman depan menoleh cepat. Tatapannya langsung membeku saat melihat deretan mobil hitam berhenti berjajar, seperti rombongan tamu penting atau pejabat tinggi negara.Seorang pria paruh baya bersetelan rapi turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk seseorang yang tampak lebih tua, berwibawa, dan dikelilingi oleh tiga orang bodyguard berjas gelap.“Alya,” suara Arsen terdengar dari belakangnya. Pria itu baru saja keluar dari rumah dengan kaos santai dan celana jeans gelap, ekspresinya mendadak berubah tegang. “Masuk ke dalam. Sekarang.”“Siapa itu?” tanya Alya pelan, walau tubuhnya belum bergerak.“Masuk dulu,” ulang Arsen, kali ini dengan nada tegas.Tapi belum sempat Alya melangkah mundur, sosok pria tua itu sudah berdiri di depan halaman rumah mereka. Ia tinggi untuk usianya, kulitnya kecokelatan, rambut putihnya tersisir rapi ke belakang, dan sorot matanya tajam seperti elang. Alya merasa