Di toilet eksekutif, Disya berbicara dengan suara rendah ke teleponnya. "Halo? Ini aku. Apa kamu tahu kalau Ayudhia masuk ke Atelier?”
“Apa? Ayudhia Ardhana? Masuk Atelier? Kamu pasti bercanda, Disya?” Suara di seberang sana terdengar terkejut. “Aku serius. Dia bahkan langsung ditunjuk Pak Arlo sebagai kepala tim untuk proyek kontes desain tahunan,” Disya melaporkan, nada suaranya dipenuhi amarah dan ketidakpercayaan. “Sial! Ada apa sebenarnya?” Disya menggerutu, masih tidak terima dengan keputusan yang atasannya buat. Tidak ada sahutan dari seberang. Hingga Disya kembali melanjutkan, “Aku rasa Ayudhia ada hubungan dengan Pak Arlo. Karena Pak Arlo melindunginya. Apa kamu tahu soal itu?” Disya frustasi. “Aku sudah mencoba menentangnya di rapat tadi, tapi dia langsung membungkamku.” Untuk beberapa saat, Disya hanya diam, mendengarkan lawan bicaranya berbicara, memberinya perintah. Masih tetap mendengarkan, satu sudut bibir Disya terangkat, tatapan licik terpancar di matanya. Setelah menutup telepon, Disya keluar dari toilet, tekadnya untuk menjatuhkan si anak baru mulai membara. *** “Astaga, Ayudhia! Aku tidak percaya ini!" Della berbisik, matanya membelalak. Kabar tentang Ayudhia yang langsung ditunjuk sebagai kepala tim menyebar cepat di lantai itu. “Kepala tim? Langsung di hari pertama? Tapi, serius, kamu pasti hebat sekali sampai Pak Arlo langsung menunjukmu.” Della begitu bangga pada Ayudhia yang baru saja dikenalnya hari ini. Ayudhia hanya tersenyum tipis. Pujian Della terasa seperti ironi di tengah badai tatapan yang menghantamnya. “Aku juga tidak tahu, Della,” jawab Ayudhia jujur. Dia tahu kalau ini adalah bagian dari rencana Arlo, tetapi dia juga tidak tahu kalau Arlo akan langsung mengangkatnya sebagai kepala tim di hari pertamanya bekerja. Namun, Ayudhia tahu, ini bukan sekadar pekerjaan. Ini adalah jalan dan tujuannya. Ini adalah medan perang pertamanya. Dan Arlo sudah mulai menjalankan rencananya. Ayudhia duduk di mejanya, membuka stopmap yang diberikan Arlo. Isinya adalah tumpukan dokumen proyek, jadwal, dan daftar nama anggota tim. Dia mulai membaca dengan seksama, berusaha menyerap setiap detil. Proyek ini besar, kontes desain tahunan yang sangat bergengsi. Kegagalan berarti kerugian besar bagi A.R Atelier, dan tentu saja, bagi reputasi Ayudhia. Saat Ayudhia masih tenggelam dalam dokumen-dokumennya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk. [Bagaimana hari pertamamu, Nona Ardhana? Sudah nyaman dengan posisi barumu? Hebat juga kamu.] Ayudhia mengerutkan kening. Siapa ini? Siapa karyawan di perusahaan ini yang telah memiliki nomor ponselnya? Namun, Ayudhia mengabaikan pesan itu dan kembali fokus. Tetapi, beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar lagi. [Hati-hati. Tidak semua orang di sini akan menyukaimu. Terutama mereka yang merasa terancam karena kehadiranmu.] Ayudhia menatap layar ponselnya, firasatnya tidak enak. Ayudhia menatap sekelilingnya, memerhatikan. Siapa pengirim pesan ini? Apakah ini seseorang yang ingin membantunya, atau justru seseorang yang ingin bermain-main dengannya? Ayudhia menekan nomor itu, namun hanya terhubung ke pesan suara. Pesan itu, ditambah tatapan sinis Disya dan bisikan-bisikan di sekelilingnya, membuat Ayudhia menyadari bahwa apa yang akan dia hadapi tidak mudah. Namun, tekad Ayudhia tidak akan goyah. Dia telah kehilangan segalanya dan dia telah mempertaruhkan hidupnya. Dan ini adalah satu-satunya kesempatan yang dia punya. Tiba-tiba, sebuah pesan kembali muncul di ponselnya. Membaca pesan itu tanpa sadar Ayudhia mencengkeram ponselnya kuat-kuat.Di toilet eksekutif, Disya berbicara dengan suara rendah ke teleponnya. "Halo? Ini aku. Apa kamu tahu kalau Ayudhia masuk ke Atelier?”“Apa? Ayudhia Ardhana? Masuk Atelier? Kamu pasti bercanda, Disya?” Suara di seberang sana terdengar terkejut.“Aku serius. Dia bahkan langsung ditunjuk Pak Arlo sebagai kepala tim untuk proyek kontes desain tahunan,” Disya melaporkan, nada suaranya dipenuhi amarah dan ketidakpercayaan. “Sial! Ada apa sebenarnya?”Disya menggerutu, masih tidak terima dengan keputusan yang atasannya buat.Tidak ada sahutan dari seberang.Hingga Disya kembali melanjutkan, “Aku rasa Ayudhia ada hubungan dengan Pak Arlo. Karena Pak Arlo melindunginya. Apa kamu tahu soal itu?” Disya frustasi. “Aku sudah mencoba menentangnya di rapat tadi, tapi dia langsung membungkamku.”Untuk beberapa saat, Disya hanya diam, mendengarkan lawan bicaranya berbicara, memberinya perintah. Masih tetap mendengarkan, satu sudut bibir Disya terangkat, tatapan licik terpancar di matanya.Setelah men
Pagi harinya, Ayudhia terbangun oleh seberkas cahaya yang menyelinap dari celah gorden tebal. Ia menoleh, melihat sisi ranjang di sebelahnya kosong dan dingin.Tadi malam adalah malam pertama mereka. Tentu saja Ayudhia tetap merasa canggung, dia satu kamar dengan pria asing. Meskipun pria itu adalah suaminya sendiri.Arlo tetap menyuruh Ayudhia untuk tidur di ranjangnya, tetapi karena tidak terbiasa, Ayudhia menaruh bantal di tengah-tengah mereka.Entah apa yang ada di dalam pikiran Arlo saat melihat Ayudhia memberi batasan di antara mereka. Ekspresi Arlo saat itu hanya datar tanpa berbicara apa pun.Setelah itu, Ayudhia tetap tidur.Jadi, ketika tadi Ayudhia terbangun dan melihat ranjang di sebelahnya kosong, Ayudhia berpikir mungkin Arlo tidak tidur di sampingnya tadi malam.Ayudhia baru menghembuskan napasnya lega ketika pintu kamar mandi terbuka. Dari sana Arlo melangkah keluar, hanya mengenakan jubah mandi hitam yang sedikit terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang kokoh. Buti
Pagi harinya, sebuah panggilan kembali membawa Ayudhia ke ruangan Arlo. Pemandangan yang sama seperti semalam menyambutnya, Arlo duduk di kursi kebesarannya, punggungnya tegap, auranya dingin dan tak tersentuh, didukung dengan balutan jas hitam mahal yang pas di tubuhnya."Duduklah," kata Arlo singkat. Lalu dia bangkit, melangkah keluar dari balik meja kerjanya yang masif, kemudian duduk di sofa, menunjuk sofa di hadapannya pada Ayudhia. Persis seperti semalam.Ayudhia melangkah dengan kaku. Rasa canggung masih menyelimuti perasaannya, ditambah dengan kesadaran bahwa hari ini ... mereka akan menikah.Baru saja Ayudhia duduk, sebuah tangan terulur ke arahnya. Di antara dua jari yang panjang dan ramping, terselip selembar plester kecil.Ayudhia mengangkat wajahnya. Napasnya tercekat sepersekian detik saat matanya bertemu dengan netra hitam pekat milik Arlo. Sedalam obsidian, setajam elang."Gunakan ini untuk menutup luka di ujung bibirmu."Sebuah kehangatan yang tak terduga menyelinap k
Mata tajam Arlo menatap Ayudhia serius, membuat jantung Ayudhia berdetak cepat.Arlo mendengus kecil. “Melakukan sesuatu untukmu?” Satu sudut bibir Arlo terangkat tipis, tetapi sorot matanya berkilat. “Kamu pikir kamu bisa memerintahku?”“Tidak, saya tidak bisa memerintah Anda,” balas Ayudhia dengan cepat, “saya hanya ingin menawarkan kerjasama. Saya bisa membuatkan desain-desain yang Anda butuhkan, tetapi saya ingin Anda mengabulkan permintaan saya.”Kening Arlo berkerut halus. Dia menyandarkan punggung di sandaran sofa, satu kakinya disilangkan, lalu satu tangannya diletakkan di atas lengan sofa.“Permintaanmu itu setimpal dengan desain milikmu?”Ayudhia kembali meneguk ludah kasar. Aura pria di depannya begitu kuat, membuat tubuh Ayudhia menegang setiap kali mendengar suara dalam pria itu.Ayudhia tak langsung menjawab. Dia mengambil salah satu sketsanya dari dalam stopmap, lalu mengulurkannya pada Arlo.“Anda bisa mempertimbangkannya dulu,” kata Ayudhia.Arlo mengambil kertas yang
Malam itu, hujan turun deras.Setelah Dimas mengeluarkan kalimat itu, Ayudhia tidak membalas apa pun. Dia hanya tersenyum pada ketiga orang di sana. Orang-orang yang selama 26 tahun ini Ayudhia hormati dan sayangi.Samuel mengusirnya, tetapi tidak ada tanda-tanda Dimas dan Sonia akan membela Ayudhia dan memintanya untuk tetap tinggal di sini. Mereka hanya diam, seolah ucapan Samuel memang benar adanya.Namun, perlakuan mereka jauh lebih dingin daripada pengusiran Samuel.Sejak Fiona datang, mereka membiarkanya tetap tinggal, tetapi tidak lagi memperlakukannya seperti anak.Awalnya Ayudhia tetap bertahan, dia menggambar, bekerja keras untuk perusahaan Dimas hanya semata mencari alasan agar tetap bisa dianggap. Karena di dunia ini hanya mereka yang Ayudhia punya. Tetapi, pada akhirnya itu semua tidak cukup.Ayudhia bukan darah daging keluarga Ardhana. Bukan siapa-siapa.Jika mereka menginginkan Ayudhia pergi, maka Ayudhia akan pergi meninggalkan mereka, mengambil barang-barangnya yang
“Jangan bakar itu! Itu milikku, Fiona!”Teriakan Ayudhia pecah di halaman belakang rumah keluarga Ardhana. Dia berlari, lututnya tergores tanah saat terjatuh untuk menyelamatkan kertas-kertas sketsanya yang terbakar. Tetapi, api sudah lebih dulu menelannya. Ujung-ujung lembaran itu berubah abu dalam hitungan detik.Di hadapannya, Fiona berdiri anggun dengan wajah datar dan senyum kecil di sudut bibir. “Maaf, aku pikir itu cuma kertas bekas. Tapi, kamu bisa gambar ulang, ‘kan? Kalau kamu memang benar yang buat.”Suara Fiona terdengar ringan, seolah dia sedang bercanda. Tetapi, Ayudhia tahu betul bahwa gadis di hadapannya ini tahu persis apa yang dia lakukan.Lima tahun lalu, Fiona tiba-tiba datang ke rumah ini. Gadis itu berdiri di depan gerbang besar dengan wajah yang mirip Sonia, dan membawa bukti serta hasil tes DNA yang menunjukkan bahwa dia adalah putri kandung keluarga Ardhana yang selama ini hilang sejak masih bayi.Awalnya semua terkejut. Bahkan tidak percaya. Namun, setelah s