Sinar mentari pagi menyinari wajah Lea dengan hangat, membangunkannya dari tidur yang terganggu. Matanya perlahan terbuka, tubuhnya kembali tegak, berusaha mengusir lelah yang tertinggal semalaman. Dengan refleks, tangannya mengusap air mata yang masih membasahi pipi, jejak tangis semalam.
“Cahaya terang apa ini?” Lea bergumam, masih setengah sadar. Dia bangkit, dan pandangannya tertuju pada jam tangannya yang menunjukkan pukul 08.00 WIB. Wajahnya berubah merah karena malu. “Arrgghh, Lea! Dimana pikiranmu semalam? Sekarang aku tidak punya baju ganti!” Lea menepuk dahinya, seolah baru tersadar akan sesuatu. Dengan langkah cepat, ia membuka lemari, matanya menyapu deretan pakaian milik Abi. Pandangannya langsung tertuju pada kemeja hitam dan celana jeans favorit pria itu. Tanpa pikir panjang, Lea mengambil keduanya dan segera mengenakannya. “Untungnya barang berharga ini masih tersimpan disini. Coba kita lihat barang apa saja yang masih kubawa. Lipstik, facial wash, sunscreen, dan bedak.” Gumamnya, mengabsen setiap make up yang ada di dalam tas kecilnya. Selesai bergumam, ia berjalan keluar sambil mengikat rambutnya. Tampilannya saat ini tampak sedikit tomboy namun terlihat elegan. Setelah berdandan ia langsung keluar mengunci pintu, lalu menyalakan mesin mobil sport merah kesayangannya. “Brrr Uuummm!!!” Lea memasuki kantor Morning Group dengan langkah elegan, tapi terhenti di depan lift karena bertatapan dengan Jerry. Mereka saling menatap selama beberapa detik, tanpa saling menyapa, sebelum Jerry bergegas keluar dari lobby. “Apa yang dia lakukan disini?” Lea bergumam, penasaran dengan kehadiran Jerry di kantor. Tanpa berpikir panjang, Lea langsung menghadap Johan dengan langkah yang berani. “Mau apa kamu di tempat ini? Tidak puas kamu membuat kekacauan selama ini?” Johan membentak, suaranya meninggi. “Apa maksud Ayah, kekacauan?” Lea membalas, wajahnya polos tapi matanya menantang. “Aku masih bagian dari Morning Group, Yah!” Lea menegaskan, suaranya tetap tenang. “Jerry sudah membatalkan kontrak bisnis dengan Morning Group karena ulah kamu!” Johan membentak, matanya menyala dengan marah. “Lihat baik-baik!” Johan menunjukkan berita di ponselnya, layar ponsel memperlihatkan headline yang membuat Lea terkejut. “Karena skandal kamu, perusahaan harus mengganti kerugian miliaran rupiah sebagai denda pembatalan kontrak dengan beberapa client besar, termasuk Jerry!” Johan teriak, wajahnya merah karena marah. “Saya tidak mau melihat wajah kamu lagi di sini! Lea tak mampu berkata sepatah katapun, kemudian bergegas menuju ke arah pintu, meninggalkan Johan yang masih terbakar amarah. Di depan pintu, seorang security berseragam hitam menghadangnya dengan postur yang gagah. “Tolong lepaskan tangan saya, saya akan pergi sendiri,” ucap Lea dengan suara dingin dan tetap tenang. Semua mata tertuju padanya, tapi Lea tak menggubris. Tatapannya hanya terfokus pada security yang masih mencengkram tangannya. “Maaf, Ibu, ini prosedur,” ucap security itu ragu. “Saya tidak punya waktu untuk ini,” sahut Lea dingin. Akhirnya, genggaman itu dilepaskan. Tanpa berkata lagi, Lea berbalik dan melangkah cepat menuju pintu keluar ruang direktur. Suara langkah kaki Lea berdecak tegas di atas lantai marmer, menggema di ruangan kantor yang sunyi namun dipenuhi karyawan. Tatapan skeptis menyertai setiap langkahnya, tapi Lea menatap lurus ke depan, enggan menunjukkan sedikit pun rasa gentar. Seorang pria berbisik ke rekannya, “Itu dia yang barusan berdebat dengan direktur…” “Pasti nekat banget,” sahut yang lain, matanya masih mengikuti gerak Lea. Tanpa menoleh, Lea terus melangkah hingga melewati pintu utama gedung Morning Group. Begitu udara luar menyapa wajahnya, ia menarik nafas panjang. “Akhirnya,” gumamnya pelan, senyum tipis muncul di wajahnya. Untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa benar-benar lega. Sesampainya di mobil, Lea menjatuhkan tubuhnya ke jok dengan nafas berat. Sebelum menyalakan mesin, ia merogoh tas dan mengeluarkan ponsel, jari-jarinya langsung menekan nama Abi di layar. Dia menunggu beberapa detik tapi panggilan hanya masuk voicemail. "Selamat datang di voicemail Abi. Silahkan tinggalkan pesan Anda" Lea merasa kecewa dan kesal. Abi biasanya selalu menjawab panggilannya. Dia mencoba menghubungi lagi, tapi hasilnya sama. Voicemail. Lea memutuskan untuk mengirimkan pesan teks : "Abi. Kenapa ponselmu tidak aktif? Kamu dimana sekarang? Tolong balas cepat!" Lea menunggu beberapa menit, tapi tidak ada balasan dari Abi. “Tinggg!” Suara pesan masuk. “Pameran Electric, Power dan Renewable Energy indonesia?” Lea langsung menelpon asistennya. “Bu Lea, saya baru saja menerima undangan VIP untuk pameran energi terbarukan di JIEXPO Kemayoran. Sepertinya ini penting,” ujar asistennya. Lea menerima poster digital itu dan membaca cepat. “Pameran Electric, Power dan Renewable Energy Indonesia… diselenggarakan oleh Eco Power Inc.?” alisnya terangkat tajam. “Iya, Bu. Mereka akan menampilkan lebih dari 900 perusahaan dari 39 negara. Ada nama-nama besar juga, seperti ABB, Siemens, dan Schneider.” Lea terdiam sejenak, matanya menyapu informasi yang tertera di layar. “Ini bisa jadi ancaman serius untuk bisnis Ayah…” gumamnya. “Mereka juga akan meluncurkan teknologi energi surya terbaru, dengan efisiensi 55% lebih tinggi dari teknologi kita saat ini,” ujar asistennya. Lea menegakkan tubuhnya. “Eco Power Inc. berbasis di Singapura, reputasinya bagus di Asia Tenggara. Mereka bukan pemain baru.” Ia menggigit bibir bawahnya, lalu berdiri dari kursinya. “Kita harus tahu apa yang sedang mereka siapkan. Aku akan pergi kesana sendiri, diam-diam.” Asistennya tampak ragu. “Tapi, Bu… bukankah ini bisa menimbulkan kecurigaan dari internal Morning Group?” “Justru karena itu aku harus menyamar. Dan satu hal lagi,” Lea menoleh, matanya tajam. “Cari tahu tentang Olympus Group. Kalau saja aliansi itu tak dibatalkan, mungkin kita bisa mengimbangi Eco Power Inc.”. Lea langsung mematikan telponnya. “Aku harus bergegas ke pameran itu!” seru Lea sambil meraih tas dan kunci mobil. “Brrrr... Uuummmm!” Suara mesin mobil meraung saat Lea melaju keluar dari parkiran. Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit, Lea akhirnya tiba di JIExpo Kemayoran. Ia segera memarkir mobilnya dan berjalan cepat menuju pintu masuk pameran yang tampak sudah dipadati pengunjung. Begitu melewati pintu utama, pandangannya disambut oleh lautan stand perusahaan energi terbarukan dari seluruh dunia. Lampu-lampu terang, layar digital, dan poster berwarna-warni menciptakan suasana yang futuristik dan penuh semangat. Dia langsung menuju stand Eco Power Inc. yang terletak di pusat arena. Saat mendekati stand tersebut, Lea melihat sebuah banner besar dengan tulisan: "Teknologi Energi Surya Terbaru: Efisiensi 55% lebih tinggi!" Lea merasa seperti terpukul oleh angka tersebut. Dia tidak percaya bahwa Eco Power Inc. bisa mengembangkan teknologi seefisien itu. "Bagaimana mungkin secanggih ini," Lea bergumam, merasa khawatir bahwa Morning Group, perusahaan keluarganya akan kalah saing dengan Eco Power Inc. Dia memikirkan tentang semua investasi yang telah dilakukan oleh Morning Group, semua riset dan pengembangan yang telah dilakukan, tapi sepertinya semua itu tidak cukup untuk mengalahkan teknologi Eco Power Inc. Lea merasa semakin khawatir tentang masa depan Morning Group. Dia memandang sekeliling stand, melihat para pengunjung yang datang untuk melihat teknologi terbaru Eco Power Inc. Semua orang tampak sangat terkesan dengan apa yang mereka lihat, dan Lea bisa memahami mengapa. Teknologi ini benar-benar revolusioner. Tiba-tiba, seseorang menyentuh bahu Lea dari belakang, membuatnya terkejut dan berbalik untuk melihat siapa yang menyentuhnya.Abi tertidur pulas di sofa berukuran dua kali setengah meter, cukup empuk untuk meredakan kantuk dan mabuknya. Lea mendekat, mencoba memastikan apakah teriakannya tadi sempat terdengar. Namun alih-alih melampiaskan amarah, ia justru berdiri di samping Abi dan menatap wajah suaminya dengan dalam. “Why, kenapa kamu berubah, Abi? Atau aku yang selama ini tak benar-benar mengenalmu?” Ia mendekat, lalu mengusap wajah Abi dengan tangan lembutnya. Senyum tipis terukir di bibirnya saat menatap wajah tenang suaminya. Tangannya membelai perlahan, berulang kali, namun Abi tetap belum juga terbangun. "Aku bingung, harus kasihan pada diriku karena menikah denganmu, atau bersyukur karena memiliki suami tampan dan terkenal sepertimu." Lea tersenyum. Tiba-tiba, mata Abi terbuka setengah. Raut wajahnya tampak linglung, seolah masih setengah sadar, dengan dahi yang sedikit berkerut. Perlahan, tangannya terangkat, mengusap kepala Lea, lalu menariknya ke dalam pelukan. Seketika, mata Lea terbe
Lea merasa terkejut dan berbalik untuk melihat siapa yang menyentuh bahunya. Dia terkejut lagi karena orang tersebut adalah Jeriko Nicholas, CEO Olympus Group yang baru saja batal kontrak aliansi dengan Morning Group, perusahaan keluarganya.“Jerry!" Lea mengucapkan nama tersebut dengan terkejut."Danilea Johari rupanya." Jerry menjawab dengan senyum lembut. "Apa yang membawa kamu ke pameran ini?"Lea merasa tidak nyaman dengan pertanyaan Jerry, tapi dia mencoba untuk tetap tenang. "Hanya ingin melihat teknologi energi terbarukan," Lea menjawab singkat.Jerry mengangguk dan mengajak Lea untuk mendekati stand Eco Power Inc."Teknologi ini sangat mengagumkan," Jerry berkata. "Saya pikir tuan Johan seharusnya tidak membuat kami membatalkan kontrak aliansi dengannya jika sudah melihat ini." Lea merasa seperti ditantang oleh Jerry.“Apa yang membuat Anda percaya diri Morning Group bisa bersaing dengan Eco Power Inc?” Lea berharap Jerry tidak bisa menjawab pertanyaannya.“Menurut kamu apa
Sinar mentari pagi menyinari wajah Lea dengan hangat, membangunkannya dari tidur yang terganggu. Matanya perlahan terbuka, tubuhnya kembali tegak, berusaha mengusir lelah yang tertinggal semalaman. Dengan refleks, tangannya mengusap air mata yang masih membasahi pipi, jejak tangis semalam. “Cahaya terang apa ini?” Lea bergumam, masih setengah sadar. Dia bangkit, dan pandangannya tertuju pada jam tangannya yang menunjukkan pukul 08.00 WIB. Wajahnya berubah merah karena malu. “Arrgghh, Lea! Dimana pikiranmu semalam? Sekarang aku tidak punya baju ganti!” Lea menepuk dahinya, seolah baru tersadar akan sesuatu. Dengan langkah cepat, ia membuka lemari, matanya menyapu deretan pakaian milik Abi. Pandangannya langsung tertuju pada kemeja hitam dan celana jeans favorit pria itu. Tanpa pikir panjang, Lea mengambil keduanya dan segera mengenakannya. “Untungnya barang berharga ini masih tersimpan disini. Coba kita lihat barang apa saja yang masih kubawa. Lipstik, facial wash, sunscr
Malam semakin larut, tetapi ketegangan di ruang perjamuan belum juga mereda. “Oh, hai. Siapa ini?” Kini perhatian pria itu beralih menatap Jerry. Dari sorot matanya, jelas ia tahu Jerry bukan bagian dari keluarga Johari. “Perkenalkan, Abimanyu Lesmana. Anggota baru dari keluarga Johari yang terhormat.” Dengan percaya diri Abi mengklaim dirinya sebagai bagian dari keluarga Johari. Ia berdiri tegak, menatap langsung ke arah pria yang tadi bertanya, menantang siapapun yang berani meragukannya. “Brakkk!!” Suara gebrakan meja mendadak memecah suasana, mengejutkan semua orang yang hadir. Gelas-gelas berguncang, dan beberapa sendok jatuh dari piring, menambah riuh suasana yang mulai panas. “Berani-beraninya kamu! Apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini?!” bentak Johan dengan wajah memerah menahan amarah. “Lea, jelaskan. Sekarang juga!” suaranya meninggi, penuh tekanan, menuntut penjelasan tanpa celah. "Sorry to say this, but this morning, I officially married Abi." Lea menja
Di malam hari yang dingin, lampu gantung bergaya barok menerangi ruang perjamuan malam keluarga Johari. Meja panjang berbahan kayu walnut dan terbalut marmer kini mulai terisi dengan menu-menu mewah, seperti Oysters Rockefeller, Caviar, Rack Of Lamb, dan Sampanye sebagai penutupnya. Namun, sebelum hidangan itu disantap, seorang pria berwibawa memusatkan perhatian semua orang kepadanya. “Perhatian semuanya! Malam ini kita kedatangan tamu spesial, kenalkan ini Jeriko Nicholas biasa dipanggil Jerry,” ucap Johan, pria berwibawa itu. Dengan gelagat yang sangat tenang dan cool, pria asing itu berdiri lalu membungkuk memberikan rasa hormat, seolah-olah bangsawan kerajaan yang tengah memperkenalkan diri dengan sangat elegan namun tetap sopan. “Jadi Jerry ini anak dari Om Leon, rekan bisnis ayah. Dan tujuan Jerry ada disini ingin ayah perkenalkan dengan putri tunggal Johari, yaitu Danilea Johari,” sambung Johan. Mendengar pengumuman itu, raut wajah anggota lain menjadi terkejut, seolah