Lea merasa terkejut dan berbalik untuk melihat siapa yang menyentuh bahunya. Dia terkejut lagi karena orang tersebut adalah Jeriko Nicholas, CEO Olympus Group yang baru saja batal kontrak aliansi dengan Morning Group, perusahaan keluarganya.
“Jerry!" Lea mengucapkan nama tersebut dengan terkejut. "Danilea Johari rupanya." Jerry menjawab dengan senyum lembut. "Apa yang membawa kamu ke pameran ini?" Lea merasa tidak nyaman dengan pertanyaan Jerry, tapi dia mencoba untuk tetap tenang. "Hanya ingin melihat teknologi energi terbarukan," Lea menjawab singkat. Jerry mengangguk dan mengajak Lea untuk mendekati stand Eco Power Inc. "Teknologi ini sangat mengagumkan," Jerry berkata. "Saya pikir tuan Johan seharusnya tidak membuat kami membatalkan kontrak aliansi dengannya jika sudah melihat ini." Lea merasa seperti ditantang oleh Jerry. “Apa yang membuat Anda percaya diri Morning Group bisa bersaing dengan Eco Power Inc?” Lea berharap Jerry tidak bisa menjawab pertanyaannya. “Menurut kamu apa alasan yang paling masuk akal saya ada di tempat ini?” “Coba pikirkan baik-baik,” jelas Jerry. Seorang berbadan tinggi, tegap dan berdasi dari stand Eco Power Inc datang menemui Jerry. “Halo Mr. Jeriko Nicholas. Akhirnya Anda datang juga ke pameran kami. Ayo silahkan ikut dengan saya,” ucap seorang anggota Eco Power Inc. “Permisi Nona Danilea.” Jerry tersenyum dengan penuh kemenangan. “Sulit dipercaya, siapa dia sebenarnya?” Lea bergumam sendiri. “Maaf panggilan Anda sedang dialihkan.” Suara panggilan telepon untuk ke 5 kalinya. “Maaf nomor ini sedang tidak aktif.” “What! Hahaha..!!” “Bodohnya aku masih peduli dengan orang yang sudah mengabaikanku. Hahaha..!! “Bagaimanapun juga aku berhak tau kondisi Morning Group sekarang. Apa mereka sudah gila?” “Ok. Baiklah. Ini bukan waktu yang tepat, so aku harus mencari jalan lain,” gumam Lea. Setelah sang ayah tidak mau menerima teleponnya, Lea memutuskan untuk meninggalkan pameran itu. Ia kembali memasuki mobil sport kesayangannya. Sebelum mengemudikan mobilnya, ia berpikir sejenak untuk menentukan kemana arah tujuannya setelah ini. “Aku tidak mungkin kembali ke Morning Group, mereka pasti mengusirku. Ahhh sial!” Lea bergumam kemudian memukul stir mobilnya karena merasa kesal. “Sebaiknya sekarang aku pikirkan dulu kebutuhanku dan aku akan memulai langkah setelah ini untuk mengembalikan posisi Morning Group. Ya, aku akan membereskan ini.” Lea kembali bergumam lalu mengemudikan mobilnya. “Silahkan ke sebelah sini Nona, ini beberapa koleksi terbaru dari butik kami. Kebetulan baru rilis tiga hari ini.” Seorang penjaga butik menunjukkan koleksi terbarunya. Lea memilih beberapa pakaian favoritnya di Mario Fashion House, butik mewah yang cukup terkenal di kalangan pengusaha ternama di Jakarta dan sekitarnya. “Ok thanks kak saya mau beberapa baju ini, tolong di packing ya.” Lea mengulurkan beberapa pakaian kepada penjaga butik. Selesai memilih beberapa pakaian yang sesuai dengan fashionnya, Lea menuju kasir untuk membayarnya. Dia mengambil dompetnya dari tas, lalu mengeluarkan credit card miliknya. "Berapa totalnya, kak?" Lea bertanya kepada penjaga kasir sambil mengulurkan credit card miliknya. "Maaf kak, kartunya tidak bisa dipakai," penjaga kasir mengembalikan kartu kreditnya dengan ekspresi politis. "Ada kartu lain?" matanya bertanya dengan penasaran, membuat Lea merasa semakin malu. Lea menghela napas dalam-dalam, memeriksa dompetnya yang ternyata hanya berisi kartu kredit Morning Group yang pasti juga diblokir oleh ayahnya. "Duh, sepertinya saya lupa membawa kartu lain," Lea mencoba bersikap santai, tapi suaranya bergetar sedikit. Penjaga kasir menatapnya dengan simpati, "Baiklah kak, bisa bayar tunai atau transfer melalui aplikasi pembayaran online?" Penjaga kasir bertanya dengan sopan. Lea merasa malu karena tidak membawa uang tunai yang cukup, dan rekening pribadinya juga pasti belum aktif karena masih menggunakan rekening Morning Group. "Sepertinya saya... lupa membawa uang juga," Lea mengakui dengan muka merah karena malu. Lea merasa semakin malu karena situasi yang tidak terduga ini. Tiba-tiba, suara lembut di belakangnya membuatnya terkejut. "Biarkan saya yang membayarnya," kata suara itu. Lea menoleh ke belakang dan hatinya terhenti sejenak karena bertemu dengan mata Jerry. Dia berdiri di sana dengan senyum lembut dan tangan yang sudah siap dengan dompetnya. "Sorry, tidak perlu." Lea menolak bantuan Jerry, tapi Jerry sudah mengambil alih tagihan dari penjaga kasir. "Membayar utang tidak masalah, kan?" Jerry berkata dengan mata yang bertemu dengan Lea. Jerry membayar tagihan dengan cepat, lalu mengembalikan kertas tagihan yang sudah dibayarkan kepada penjaga kasir dengan senyum. "Terima kasih, sudah membantu." Penjaga kasir mengucapkan terima kasih sebelum memandang Lea dengan penasaran. Lea mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan suara yang sedikit keras. "Tidak perlu berterima kasih, Jerry. Saya akan mengembalikan uangnya." "Yah, itu benar. Semua tidak geratis. Datang ke tempat ini besok pukul 08.00 WIB." Jerry mengulurkan kartu nama mewah lengkap dengan alamatnya. “Ingat. Jangan sampai terlambat. Nona Danilea.” Jerry tersenyum kecil lalu meninggalkan Lea. Lea tak punya pilihan lain selain menerima bantuan Jerry. Sejak pagi tadi, ponsel Abi tidak aktif, dan ayahnya sudah membekukan semua akun keuangannya. Dia mencoba menghubungi Abi, tapi panggilan hanya masuk voicemail. “Aku benar-benar sial hari ini! Keterlaluan kamu Abi, apa-apaan ini pria lain membantuku sementara suamiku sendiri entah menghilang kemana?” Lagi-lagi Lea menggerutu. Lea berjalan keluar meninggalkan butik itu, lalu meletakkan paper bag yang mengisi penuh kedua tangannya ke dalam jok belakang mobil. “Brr Uuummm!!!” Mobilnya melesat secepat kilat menggambarkan kekesalannya hari itu. Sayang sekali setelah beberapa kilometer perjalanan pulang kali ini harus terhenti karena macetnya ibukota. “Oh Why? Kenapa harus sepanjang ini!” Wajahnya memelas sambil melihat sekelilingnya dipenuhi mobil yang terhenti. “Gruuuuk!!!” Suara perut Lea berbunyi. “Astaga aku lapar sekali, sejak pagi aku kan belum sempat makan.” Muka Lea memelas. Ia melihat seorang anak perempuan menawarkan dagangan kepada pengemudi mobil di sebelah kanan mobil sportnya. “Hey! Kemarilah!” Ia membuka kaca mobil dan berteriak kepada anak perempuan itu. Mendengar teriakan Lea, anak perempuan itu menoleh ke arahnya. “Kak, mau beli yang mana?” “Kalo yang ini berapa?” “Dua puluh ribu kak.” “Mau yang ini dan ini jadi berapa semua?” “Semuanya jadi tiga puluh lima ribu kak.” “Oke tunggu ya.” Lea menggeledah tas dan isi dompetnya. Tapi isi dompetnya tidak ada sepeserpun uang. Ia terus mencari di sudut-sudut mobil dengan cepat. “Ooiya!” Lalu membuka dasbornya dan menemukan selembar uang Rp 50.000. “Ini kembaliannya ambil saja.” “Terima kasih kak!” Anak perempuan itu kegirangan mendapatkan selembar uang Rp 50.000 di tangannya. Lea tersenyum lebar mengamati anak perempuan yang kegirangan itu. Sambil memakan sepotong roti di tangannya, ia menghela nafas lega dan terus mengamati anak perempuan itu hingga pergi menghilang dari jangkauan matanya. Kini matahari telah tenggelam bersama kemacetan itu. Semua kendaraan yang melintas kembali merayap pelan-pelan. Usai melewati perjalanan yang panjang itu, akhirnya Lea tiba di apartemennya. Saat itu waktu telah menunjukkan pukul 20.30 WIB. Sampai di apartemen, Lea turun mengambil semua paper bag di bagasi kemudian masuk ke apartemennya. Ia terkejut melihat apartemen yang semula terkunci kini telah terbuka. Saat masuk ke dalam apartemen dia terkejut lagi, menemukan Abi yang terlentang di sofa. Tak hanya itu, bau alkohol yang cukup menyengat menyebar seluruh penjuru ruangan. “Oh my God! Abiii!!!”Malam turun perlahan di atas langit Jakarta. Lampu-lampu kota menyala satu per satu, menembus kaca jendela kantor yang mulai gelap. Sebagian besar karyawan sudah pulang, meninggalkan lorong yang kini sepi dan dingin.Lea berdiri di depan meja kerjanya, menatap map dan laptop yang sudah tertutup. Tangannya masih terasa berat bukan karena pekerjaan, tapi karena satu benda kecil di dalam tasnya: kunci apartemen dari Jerry.Ia mengeluarkannya perlahan. Gantungan logam dengan logo “Arandra Suites” berkilau di bawah cahaya redup.Kunci yang ia tolak tapi entah bagaimana, kini ada di tangannya.Mungkin Jerry meletakkannya diam-diam di dalam tas sebelum ia sempat menolak lagi.Lea memejamkan mata. Sebagian dirinya ingin mengembalikan kunci itu besok pagi. Tapi bagian lain bagian yang letih, yang ingin rehat sejenak dari luka dan keputusan besar berbisik pelan : “Mungkin kamu butuh tempat untuk bernafas.”Ia menarik nafas panjang dan mena
Lea berdiri tegak di depan Abi, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Nafasnya bergetar, tapi suaranya ia paksa tetap tenang.“Abi, pulanglah.”Abi terhenti, matanya memohon penuh harap. “Lea, jangan begini. Aku tahu aku salah, aku tahu aku terlambat, tap…”Lea mengangkat tangan, menghentikan ucapannya. “Aku sudah bilang. Keputusanku bulat. Tidak ada lagi yang bisa kamu katakan untuk mengubahnya.”Abi menelan ludah, wajahnya semakin kusut. “Kamu benar-benar sudah tidak ada ruang sedikitpun untukku?”Lea menarik napas panjang, menahan gemuruh dalam dadanya. “Yang tersisa hanya luka, Abi. Dan aku tidak mau terus hidup di dalamnya. Aku harus melanjutkan hidupku dan sekarang aku masih ada meeting penting. Tolong, jangan buat ini lebih sulit.”Hening panjang menyelimuti ruangan. Abi menunduk, bahunya bergetar.Tiba-tiba pintu ruang meeting kecil itu terbuka. Jerry muncul dengan jas biru tuanya, tatapannya bergeser cepat
Lea menatap layar ponselnya yang masih menyala. Nama Abi muncul di notifikasi pesan, diikuti tanda panggilan tak terjawab dari Jerry. Dadanya terasa ditarik ke dua arah yang berlawanan masa lalu yang baru saja ia tinggalkan, dan masa depan yang entah bisa ia percaya atau tidak.Ia menghela napas panjang, meletakkan ponsel itu menghadap ke bawah di meja.“Tidak sekarang.”“Tidak di jam kerja.”Namun pikirannya tetap berputar. Apa yang ingin Abi katakan? Apakah ia sudah menerima surat panggilan? Atau justru Abi mencoba menggagalkan tekadnya? Sementara itu, Jerry pria yang belakangan begitu dekat dengannya mengulurkan tangan di saat Lea berada di titik paling rapuh. Tapi justru itulah yang membuatnya semakin ragu.Ketukan pintu kembali terdengar.“Bu, Pak Jerry sudah datang untuk meeting jam dua,” suara Sella dari luar.Lea menutup matanya sebentar, lalu menegakkan tubuh. “Baik. Persilakan masuk.”Pintu terbuka, Je
Abi masih terduduk di ruang tamu, wajahnya pucat dengan foto-foto yang berserakan di meja. Udara malam itu terasa begitu berat, seolah seluruh dunia menekan pundaknya.Sementara itu, Lea berjalan keluar dari apartemen dengan langkah gemetar tapi pasti. Keputusan yang ia ucapkan barusan bukan lagi sekadar ancaman—itu adalah akhir yang nyata.***Pagi harinya, matahari baru saja naik ketika Lea melangkah keluar dari mobilnya, berdiri di depan gedung Pengadilan Agama. Wajahnya tampak tegas meski kantung mata memperlihatkan bahwa ia tak tidur semalaman.Di dalam tasnya, ia membawa dokumen-dokumen penting: buku nikah, salinan KTP, dan berkas-berkas lain yang semalam ia siapkan dengan tangan bergetar. Setiap lembar kertas itu adalah bukti tekadnya untuk mengakhiri pernikahan yang selama ini hanya menyisakan luka.Sella sempat menelepon sejak pagi, menanyakan keadaan, tapi Lea memilih untuk tidak menjawab. Kata-kata Jerry kembali terngiang:
Restoran The Sky Lounge makin sepi, hanya tersisa beberapa meja dengan cahaya temaram lampu gantung. Jerry menutup map kulit hitam berisi kontrak yang baru saja ditandatangani Lea, lalu menatapnya lama, seolah ingin memastikan sesuatu.“Lea,” suaranya rendah, tenang, tapi sarat tekanan. “Mulai sekarang, jangan terlalu terbuka pada siapa pun. Bahkan pada Sella sekalipun.”Lea terbelalak, sedikit terkejut. “Sella? Asisten pribadiku? Dia sudah bersamaku bertahun-tahun, Jerry. Dia lebih seperti adik bagiku daripada bawahan.”Jerry menyandarkan tubuh ke kursi, kedua tangannya bertaut. “Itu justru masalahnya. Kau terlalu percaya padanya. Dan dalam permainan ini, kepercayaan berlebihan bisa membunuhmu.”Lea mengernyit, dadanya terasa berat. “Apa maksudmu? Kau curiga Sella berkhianat?”Jerry menatapnya dalam, matanya dingin. “Aku tidak bilang begitu. Tapi aku tahu, Daniel punya cara untuk merusak lingkaran terdekat lawannya. Satu bisikan, satu ta
Darah Lea seakan membeku. Ponselnya masih bergetar di meja, nama Abi menyala jelas di layar, bersama pesan yang menghantam jantungnya tanpa ampun."Kita harus bicara. Sekarang. Aku tahu semuanya."Tangannya refleks menekan layar agar getaran itu berhenti. Ia menatap Jerry dengan wajah pucat, hampir kehilangan kata. Jerry, yang sejak tadi mengamati dengan sorot tajam, perlahan mengangkat alis.“Ada masalah?” tanyanya tenang, tapi nada suaranya mengandung ketegangan yang sulit disembunyikan.Lea menelan ludah, lalu menggeleng cepat. “Tidak. Hanya pesan kantor.” Ia mencoba terdengar ringan, namun suara bergetar membuat kebohongan itu terlalu rapuh.Jerry menyandarkan punggung ke kursi, matanya tetap mengawasi tiap gerak-gerik Lea. “Abi?” tebaknya dingin.Lea tak menjawab. Ia menunduk, menyembunyikan ekspresi yang nyaris runtuh. Jemarinya meremas flashdisk yang kini sudah berada di genggaman, seolah itu satu-satunya pegangan di tenga