Beranda / Romansa / Pernikahan Kontrak Sang Pewaris / BAB 5 Malam Ku Dengan Abi

Share

BAB 5 Malam Ku Dengan Abi

Penulis: Dewa Memories
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-30 00:49:26

Abi tertidur pulas di sofa berukuran dua kali setengah meter, cukup empuk untuk meredakan kantuk dan mabuknya. Lea mendekat, mencoba memastikan apakah teriakannya tadi sempat terdengar. Namun alih-alih melampiaskan amarah, ia justru berdiri di samping Abi dan menatap wajah suaminya dengan dalam.

“Why, kenapa kamu berubah, Abi? Atau aku yang selama ini tak benar-benar mengenalmu?”

Ia mendekat, lalu mengusap wajah Abi dengan tangan lembutnya. Senyum tipis terukir di bibirnya saat menatap wajah tenang suaminya. Tangannya membelai perlahan, berulang kali, namun Abi tetap belum juga terbangun.

"Aku bingung, harus kasihan pada diriku karena menikah denganmu, atau bersyukur karena memiliki suami tampan dan terkenal sepertimu." Lea tersenyum.

Tiba-tiba, mata Abi terbuka setengah. Raut wajahnya tampak linglung, seolah masih setengah sadar, dengan dahi yang sedikit berkerut. Perlahan, tangannya terangkat, mengusap kepala Lea, lalu menariknya ke dalam pelukan.

Seketika, mata Lea terbelalak, terkejut sekaligus canggung. Ia tak pernah sedekat itu dengan Abi.

"Aa... Abi, a-apa yang kamu lakukan?" bisik Lea lirih.

Matanya kembali terpejam, tapi pelukannya masih saja belum terlepas.

“Jangan pergi, Lea. Aku sungguh merindukanmu,” bisik Abi Lirih.

“A-abi.. kamu masih bangun?” tanya Lea terkejut.

Jantungnya berdetak semakin kencang. Pikirannya masih berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi malam ini. Baru tadi malam Abi hampir menyakitinya, namun malam ini, sikapnya berubah begitu drastis, penuh kelembutan dan keromantisan yang tak terduga.

Abi kembali membuka matanya lebar-lebar. Saat itu juga, tatapannya bertemu langsung dengan mata Lea.

“Lea, apa kamu takut padaku?” bisik Abi lirih.

Lea segera melepaskan pelukan Abi dengan gerakan tegas.

“Abi, tolong lepaskan aku.”

“A-aku… akan membelikan susu untukmu,” ucap Lea terbata.

Lea bangkit dan menjauh darinya. Ia bergegas menuju pintu keluar dengan alasan akan membeli susu.

“Tunggu!” seru Abi. “Ini uangnya. Kamu menelponku berulang kali karena tidak punya uang, kan?”

Abi merogoh saku, lalu mengeluarkan selembar uang seratus ribu rupiah.

“Oh… iya,” jawab Lea, sambil berbalik untuk mengambil uang dari tangannya. Setelah itu, ia berjalan keluar, mencari supermarket terdekat.

Di dalam hatinya, pertanyaan itu terus bergema. “Kenapa Abi bisa berubah secepat ini?”

***

“Jadi, totalnya berapa, Kak?” tanya Lea sambil menatap layar kecil di meja kasir.

“Totalnya lima puluh lima ribu rupiah ya, Kak,” jawab kasir ramah itu sambil meraih uang yang Lea sodorkan. Suara beep mesin kasir terdengar, diiringi denting koin dari laci uang yang terbuka.

Lea menunggu sambil melirik ke sekitar. Di rak sebelah kanan, deretan camilan warna-warni tersusun rapi. Pendingin di belakang kasir berdengung pelan, menyebarkan hawa dingin yang kontras dengan udara luar.

“Ini kembaliannya, Kak,” ujar kasir sambil menyodorkan beberapa lembar uang dan koin.

“Terima kasih,” jawab Lea sambil tersenyum tipis.

Ia mengambil kantong plastik yang berisi dua kotak susu fresh milk 1 liter, lalu memeriksa sebentar memastikan kemasannya utuh. Setelah itu, ia melangkah keluar dari antrean, melewati lorong yang dipenuhi aroma roti panggang dari sudut bakery supermarket.

Keluar dari supermarket, Lea merasakan ada sesuatu yang aneh. Perasaan tidak nyaman tiba-tiba muncul, seperti ada tatapan yang terus mengawasinya dari belakang.

Perlahan, ia menoleh. Dari kejauhan, sosok berpakaian serba hitam dengan hoodie menutupi kepala terlihat berjalan ke arahnya.

“Astagaa… siapa dia?” gumam Lea pelan, suara nyaris tak terdengar.

Degup jantungnya mulai tak beraturan. Tanpa pikir panjang, Lea mempercepat langkahnya, kantong plastik di tangannya berayun kencang. Bayangan sosok itu tetap menempel di belakangnya.

Langkahnya semakin cepat hingga akhirnya ia tiba di depan lobi apartemen. Seorang sekuriti yang berjaga di pintu masuk langsung menyapanya.

“Lho, Neng… kenapa lari-lari gitu?” tanya Pak Sekuriti, mengernyit curiga.

“Pak… itu… ada yang ngikutin saya,” jawab Lea terengah.

“Waduh… daerah sini memang lagi rawan begal, Neng. Apalagi kalau malam. Mending jangan keluar sendirian. Takutnya ya… kejadian kayak tadi,” ujarnya sambil melirik ke arah jalan, mencoba mencari sosok yang dimaksud.

Lea menoleh cepat, namun orang itu sudah tidak terlihat. Entah menghilang atau bersembunyi.

“Kalo gitu, saya masuk dulu ya, Pak,” kata Lea buru-buru.

“Iya, hati-hati, Neng,” balasnya.

Begitu sampai di depan pintu apartemen, Lea segera membukanya. Matanya langsung tertuju ke sofa—tempat Abi biasanya berbaring. Tapi kali ini kosong.

“Abi… Abi…” panggilnya sambil menatap sekeliling. Tidak ada sahutan.

Ia berjalan ke dapur, menuang susu yang baru dibelinya ke dalam gelas.

“Apa dia pergi lagi?” gumamnya lesu.

Tiba-tiba, sebuah pelukan hangat namun mengejutkan melingkari pinggangnya dari belakang.

“Abi…” Lea terlonjak sedikit, suaranya tercampur lega dan terkejut. “Aku sudah membeli susu untukmu,” ucapnya mencoba mengalihkan perhatian Abi.

“Tolong… jangan dilepas. Maafkan aku, Lea,” suara Abi terdengar berat, penuh penyesalan. Pelukannya semakin erat.

Jantung Lea berdegup kencang, tubuhnya seakan membeku saat hembusan napas Abi menyentuh telinganya.

“Lea…” panggilnya lirih.

“Iya?” jawab Lea dengan ragu.

Abi melepaskan pelukan itu, lalu membalikkan tubuh Lea hingga mereka saling berhadapan.

“I love you,” ucapnya mantap.

Tanpa memberi jeda, bibir Abi langsung menyentuh bibir Lea, hangat, dalam, dan membuat waktu serasa berhenti.

“Lea…” panggil Abi dengan suara rendah, nyaris berbisik di telinga Lea.

“Iya?” jawab Lea pelan, menoleh menatapnya.

“Apa aku boleh… lebih dari ini?” tanyanya ragu, namun sorot matanya penuh keinginan.

Lea tak mengucapkan sepatah kata pun, hanya menatapnya lama lalu mengedipkan mata lentiknya sebagai jawaban. Dalam sekejap, keduanya saling memejamkan mata, membiarkan diri bertukar kehangatan yang semakin memabukkan. Malam itu pun berubah menjadi malam yang romantis dan penuh rasa.

***

Pagi itu, sinar matahari yang menembus celah tirai menyentuh wajah Lea. Ia membuka mata perlahan, mendapati dirinya masih berada di tempat yang sama terbaring di sisi Abi. Sisa kehangatan malam tadi masih membekas di dirinya, namun hatinya tetap bergejolak.

Abi bergerak pelan, lalu menatapnya dengan senyum tipis. “Pagi…” suaranya serak, masih setengah mengantuk.

Lea menelan ludah, mencoba membalas senyumnya. “Pagi…”

"Malam tadi, Abi memang belum sepenuhnya sadar, dan aku…" pikir Lea dalam hati, benar-benar tersesat di antara cinta yang belum padam dan kecewa yang masih menusuk. "Namun, kenyataannya aku tetap memilih tenggelam di pelukannya."

Abi menyentuh rambut Lea, mengusapnya lembut. “Terima kasih sudah mau tetap di sini bersamaku.”

Lea terdiam, menatap mata Abi yang sulit dibaca. “Abi…” suaranya pelan, “aku tidak tahu harus bagaimana.”

Abi hanya menghela napas dan memeluknya sekali lagi, seolah tak ingin membahas apa pun selain momen itu.

“Lea!” panggil Abi dengan nada setengah kaget, matanya langsung tertuju ke arah pintu.

“Ada apa?” tanya Lea sambil menoleh, wajahnya memancarkan kebingungan.

“Kamu membeli barang sebanyak itu dari mana?” Suara Abi meninggi, tak menyembunyikan keterkejutannya saat melihat sepuluh paper bag besar berjejer rapi di sebelah pintu masuk.

Lea terdiam. Pandangannya bergeser ke tumpukan belanjaan itu. Bibirnya sempat terbuka, seolah ingin menjelaskan, namun tak ada kata yang keluar. Abi masih menatapnya tajam, menunggu jawaban.

Di antara keheningan itu, jam dinding berdetak nyaring, lalu terdengar suara mengetuk pintu di luar apartemen.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pernikahan Kontrak Sang Pewaris   Bab 38 Di Antara Sunyi dan Sebuah Kunci

    Malam turun perlahan di atas langit Jakarta. Lampu-lampu kota menyala satu per satu, menembus kaca jendela kantor yang mulai gelap. Sebagian besar karyawan sudah pulang, meninggalkan lorong yang kini sepi dan dingin.Lea berdiri di depan meja kerjanya, menatap map dan laptop yang sudah tertutup. Tangannya masih terasa berat bukan karena pekerjaan, tapi karena satu benda kecil di dalam tasnya: kunci apartemen dari Jerry.Ia mengeluarkannya perlahan. Gantungan logam dengan logo “Arandra Suites” berkilau di bawah cahaya redup.Kunci yang ia tolak tapi entah bagaimana, kini ada di tangannya.Mungkin Jerry meletakkannya diam-diam di dalam tas sebelum ia sempat menolak lagi.Lea memejamkan mata. Sebagian dirinya ingin mengembalikan kunci itu besok pagi. Tapi bagian lain bagian yang letih, yang ingin rehat sejenak dari luka dan keputusan besar berbisik pelan : “Mungkin kamu butuh tempat untuk bernafas.”Ia menarik nafas panjang dan mena

  • Pernikahan Kontrak Sang Pewaris   Bab 37 Sebuah Kunci Sebuah Pilihan

    Lea berdiri tegak di depan Abi, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Nafasnya bergetar, tapi suaranya ia paksa tetap tenang.“Abi, pulanglah.”Abi terhenti, matanya memohon penuh harap. “Lea, jangan begini. Aku tahu aku salah, aku tahu aku terlambat, tap…”Lea mengangkat tangan, menghentikan ucapannya. “Aku sudah bilang. Keputusanku bulat. Tidak ada lagi yang bisa kamu katakan untuk mengubahnya.”Abi menelan ludah, wajahnya semakin kusut. “Kamu benar-benar sudah tidak ada ruang sedikitpun untukku?”Lea menarik napas panjang, menahan gemuruh dalam dadanya. “Yang tersisa hanya luka, Abi. Dan aku tidak mau terus hidup di dalamnya. Aku harus melanjutkan hidupku dan sekarang aku masih ada meeting penting. Tolong, jangan buat ini lebih sulit.”Hening panjang menyelimuti ruangan. Abi menunduk, bahunya bergetar.Tiba-tiba pintu ruang meeting kecil itu terbuka. Jerry muncul dengan jas biru tuanya, tatapannya bergeser cepat

  • Pernikahan Kontrak Sang Pewaris   Bab 36 Batas Kesabaran

    Lea menatap layar ponselnya yang masih menyala. Nama Abi muncul di notifikasi pesan, diikuti tanda panggilan tak terjawab dari Jerry. Dadanya terasa ditarik ke dua arah yang berlawanan masa lalu yang baru saja ia tinggalkan, dan masa depan yang entah bisa ia percaya atau tidak.Ia menghela napas panjang, meletakkan ponsel itu menghadap ke bawah di meja.“Tidak sekarang.”“Tidak di jam kerja.”Namun pikirannya tetap berputar. Apa yang ingin Abi katakan? Apakah ia sudah menerima surat panggilan? Atau justru Abi mencoba menggagalkan tekadnya? Sementara itu, Jerry pria yang belakangan begitu dekat dengannya mengulurkan tangan di saat Lea berada di titik paling rapuh. Tapi justru itulah yang membuatnya semakin ragu.Ketukan pintu kembali terdengar.“Bu, Pak Jerry sudah datang untuk meeting jam dua,” suara Sella dari luar.Lea menutup matanya sebentar, lalu menegakkan tubuh. “Baik. Persilakan masuk.”Pintu terbuka, Je

  • Pernikahan Kontrak Sang Pewaris   Bab 35 Langkah Pertama Menuju Akhir

    Abi masih terduduk di ruang tamu, wajahnya pucat dengan foto-foto yang berserakan di meja. Udara malam itu terasa begitu berat, seolah seluruh dunia menekan pundaknya.Sementara itu, Lea berjalan keluar dari apartemen dengan langkah gemetar tapi pasti. Keputusan yang ia ucapkan barusan bukan lagi sekadar ancaman—itu adalah akhir yang nyata.***Pagi harinya, matahari baru saja naik ketika Lea melangkah keluar dari mobilnya, berdiri di depan gedung Pengadilan Agama. Wajahnya tampak tegas meski kantung mata memperlihatkan bahwa ia tak tidur semalaman.Di dalam tasnya, ia membawa dokumen-dokumen penting: buku nikah, salinan KTP, dan berkas-berkas lain yang semalam ia siapkan dengan tangan bergetar. Setiap lembar kertas itu adalah bukti tekadnya untuk mengakhiri pernikahan yang selama ini hanya menyisakan luka.Sella sempat menelepon sejak pagi, menanyakan keadaan, tapi Lea memilih untuk tidak menjawab. Kata-kata Jerry kembali terngiang:

  • Pernikahan Kontrak Sang Pewaris   Bab 34 Usai

    Restoran The Sky Lounge makin sepi, hanya tersisa beberapa meja dengan cahaya temaram lampu gantung. Jerry menutup map kulit hitam berisi kontrak yang baru saja ditandatangani Lea, lalu menatapnya lama, seolah ingin memastikan sesuatu.“Lea,” suaranya rendah, tenang, tapi sarat tekanan. “Mulai sekarang, jangan terlalu terbuka pada siapa pun. Bahkan pada Sella sekalipun.”Lea terbelalak, sedikit terkejut. “Sella? Asisten pribadiku? Dia sudah bersamaku bertahun-tahun, Jerry. Dia lebih seperti adik bagiku daripada bawahan.”Jerry menyandarkan tubuh ke kursi, kedua tangannya bertaut. “Itu justru masalahnya. Kau terlalu percaya padanya. Dan dalam permainan ini, kepercayaan berlebihan bisa membunuhmu.”Lea mengernyit, dadanya terasa berat. “Apa maksudmu? Kau curiga Sella berkhianat?”Jerry menatapnya dalam, matanya dingin. “Aku tidak bilang begitu. Tapi aku tahu, Daniel punya cara untuk merusak lingkaran terdekat lawannya. Satu bisikan, satu ta

  • Pernikahan Kontrak Sang Pewaris   Bab 33 Permainan Tanpa Jalan Pulang

    Darah Lea seakan membeku. Ponselnya masih bergetar di meja, nama Abi menyala jelas di layar, bersama pesan yang menghantam jantungnya tanpa ampun."Kita harus bicara. Sekarang. Aku tahu semuanya."Tangannya refleks menekan layar agar getaran itu berhenti. Ia menatap Jerry dengan wajah pucat, hampir kehilangan kata. Jerry, yang sejak tadi mengamati dengan sorot tajam, perlahan mengangkat alis.“Ada masalah?” tanyanya tenang, tapi nada suaranya mengandung ketegangan yang sulit disembunyikan.Lea menelan ludah, lalu menggeleng cepat. “Tidak. Hanya pesan kantor.” Ia mencoba terdengar ringan, namun suara bergetar membuat kebohongan itu terlalu rapuh.Jerry menyandarkan punggung ke kursi, matanya tetap mengawasi tiap gerak-gerik Lea. “Abi?” tebaknya dingin.Lea tak menjawab. Ia menunduk, menyembunyikan ekspresi yang nyaris runtuh. Jemarinya meremas flashdisk yang kini sudah berada di genggaman, seolah itu satu-satunya pegangan di tenga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status