“Tok! Tok! Tok!”
Ketukan pintu apartemen terdengar nyaring. Lea dan Abi saling bertatapan; raut wajah keduanya seolah saling mempertanyakan siapa yang datang pagi-pagi seperti ini. Lea masih terdiam, pikirannya terguncang oleh pertanyaan Abi, namun jelas seseorang di luar sedang menunggu untuk dibukakan pintu. “Aku yang akan membuka pintu,” ucap Lea, berusaha menguasai diri. Abi memutar bola matanya dan menghela nafas panjang, seolah suara ketukan itu hanya memperburuk amarahnya. Begitu pintu terbuka, Lea langsung berseru, “Sella!” Nada suaranya terdengar lega sekaligus terkejut ketika melihat asisten pribadinya berdiri di depan pintu. “Kamu bisa tahu alamat saya dari mana?” tanya Lea sambil menggulir ponselnya, memastikan ia tak pernah memberikan alamat apartemennya pada wanita muda di hadapannya. “Maaf, Bu. Saya kesini mau menyampaikan berita penting yang berkaitan dengan Morning Group. Saya juga membawakan make up dan sarapan untuk Bu Lea dan Pak Abi,” jelas Sella, sedikit menunduk sopan. Dari dalam, suara Abi terdengar, “Siapa, Lea?” teriaknya. Tak lama kemudian ia menghampiri mereka. “Sella, asisten pribadiku. Aku membutuhkan dia untuk mengurus semua keperluanku,” jelas Lea singkat. “Oke. Tapi pembicaraan kita masih belum selesai,” tegas Abi dengan nada mengingatkan. “Sella, tolong bawa sarapannya ke dapur,” pinta Lea sambil menunjuk ke arah belakang. Namun sebelum Sella melangkah, Abi menarik tangan Lea. “Lepaskan, Abi! Aku bisa sendiri,” ujar Lea dengan tatapan tajam. “Sekarang jawab aku, darimana kamu mendapatkan semua barang-barang itu?” suara Abi meninggi. “Kamu tahu kan semua akses keuanganku diblokir?” balas Lea, matanya berkaca-kaca. “Karena itu aku tanya, Lea. Bagaimana bisa kamu membeli belanjaan sebanyak itu?” desak Abi. “Kamu masih tanya, Abi? Bahkan kemarin saat aku hampir malu karena tidak bisa membayar belanjaanku, kamu ke mana saja?” serang Lea, suaranya bergetar menahan emosi. “Lea! Aku bertanya, bukan meminta pertanyaan lain,” bentak Abi. “Di saat kamu tidak menjawab teleponku, Jerry membayar semua tagihan belanjaku di butik itu. Aku berhutang padanya, dan aku harus bersiap-siap sekarang,” jawab Lea, lalu melangkah pergi meninggalkan Abi. “Lea! Aku belum selesai bicara!” seru Abi, nadanya sarat frustasi. “Sarapan sudah saya siapkan di meja makan. Saya mau membantu Bu Lea dulu,” ucap Sella kepada Abi dengan hati-hati. “Oh ya, makasih, Sella,” jawab Abi datar. Abi menuju meja makan, menghabiskan sarapannya, lalu bersiap-siap dan pergi. “Sella, saya buru-buru. Kamu ikut dengan saya, ya,” ujar Lea cepat sambil meraih mantel. “Oke, Bu. Setelah ini kita mau ke mana?” tanya Sella dengan nada penasaran. “Kita ke sini, ya. Tolong tracking lokasi ini di mana?” Lea mengulurkan kartu nama Jerry, tatapannya serius. Sella menatap kartu itu sejenak, lalu berkata, “Ini Jakarta Pusat, Bu. Kurang lebih satu jam dari sini. Kalau macet, kemungkinan dua jam baru sampai.” “Kamu ikut mobil saya saja, Sella. Mobil kamu aman di sini,” ucap Lea tegas sambil melirik jam tangannya. “Oke, Bu.” Sella mengangguk patuh. Lea mengambil tas dan kunci mobil, lalu bergegas mengunci pintu. Bersama Sella, ia turun ke basement parkir. “Brruummm!!” Mobil melaju dengan kencang meninggalkan gedung apartemen. Di tengah perjalanan, Lea bertanya dengan nada waspada, “Jadi, berita apa yang kamu dapatkan, Sella?” Sella menelan ludah sebelum menjawab, “Iya, Bu. Ada perubahan besar di struktur Morning Group. Saya datang untuk memberikan surat resmi pemberhentian Bu Lea sebagai direktur.” “Sssiiitttt!” Lea menginjak rem mendadak saat mobil terjebak kemacetan. “Sial! Semudah itu Ayah mengganti posisiku?” serunya dengan nada getir. “Kamu sudah tahu siapa direktur yang baru, Sel?” “Sudah, Bu. Saat ini posisi tersebut akan ditempati Daniel Andrianto,” jawab Sella hati-hati. Lea menoleh cepat, matanya membelalak. “Apa? Dia adik sepupu dari Ayah! Tapi bukankah selama ini dia di Singapura?” “Beliau pulang ke Indonesia atas permintaan Pak Johan, Bu,” jelas Sella pelan. Lea memukul stir mobil dengan frustasi. “Ahh!! Sial! Tetap saja dia bukan bagian dari keluarga Johari. Sia-sia aku yang sudah membangun semuanya.” Lea menarik napas panjang, menahan amarah, lalu kembali melaju di tengah padatnya lalu lintas Jakarta. Sekitar satu jam kemudian, ia tiba di gedung modern berfasilitas kaca tinggi bertuliskan Avenue Creative Agency. Sella turun lebih dulu, membukakan pintu untuknya. “Bu, ini agensi yang cukup terkenal di Jakarta. Banyak brand besar kerja sama dengan mereka,” ujar Sella sambil menatap kagum ke arah gedung. Lea melangkah keluar, menatap fasad kaca yang memantulkan bayangan dirinya. “Kalau Jerry memilih tempat ini, berarti dia tidak main-main,” gumamnya pelan, lalu berjalan menuju pintu masuk. Lea melangkah masuk. Aroma wangi kopi dan suara denting keyboard menyambutnya. Di dinding lobi, terpampang deretan foto model terkenal yang pernah bekerja sama dengan agensi ini. Seorang resepsionis menyambut ramah. “Selamat siang, Bu Lea. Pak Jerry sudah menunggu di ruang meeting lantai dua.” Lea menghentikan langkahnya, menatap resepsionis itu dengan sedikit heran. “Kamu tahu namaku dari mana?” tanyanya, nada suaranya tenang tapi penuh rasa ingin tahu. Resepsionis tersenyum sopan. “Pak Jerry sudah memberi tahu kami pagi ini. Beliau bilang Anda akan datang, jadi kami diminta untuk langsung mengarahkan ke ruang meeting.” “Begitu, ya…” gumam Lea singkat sambil tersenyum tipis, lalu melangkah menuju lift. Sella mengikuti di belakang, diam-diam mencatat bahwa Jerry tampaknya sudah mempersiapkan kedatangan mereka dengan sangat matang. Lea mengangguk tipis dan langsung melangkah menuju lift, Sella mengikuti di belakang. Begitu pintu ruang meeting terbuka, Jerry berdiri menyambut dengan senyum yang entah tulus atau penuh perhitungan. Ia mengenakan jas abu-abu rapi, dasi biru tua, dan aroma parfum maskulin yang samar tapi tajam. “Lea,” sapa Jerry sambil mengulurkan tangan. “Akhirnya kamu datang juga.” Lea menjabat tangannya sebentar. “Kamu bilang ini penting. Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?” Jerry duduk, menatap Lea dengan penuh minat. “Aku ingin menawarkan dua hal: menjadi wajah utama kampanye terbaru brand fashion kami, dan memimpin strategi pemasaran untuk seluruh proyek ini.” Lea mengangkat alis, suaranya mengandung nada heran sekaligus curiga. “Model sekaligus marketing brand? Itu bukan tawaran kecil, Jerry. Apa keuntunganmu?” Jerry tersenyum tipis, lalu bersandar ke kursinya. “Keuntunganku? Sederhana. Dengan reputasi dan pengaruhmu, kampanye ini akan meledak di pasaran. Dan untukmu, saat ini kamu sedang membutuhkan uang, bukan?” Lea menatap Jerry beberapa detik tanpa bicara, kemudian tersenyum tipis. “Baik. Aku akan mempertimbangkannya, tapi dengan satu syarat.” “Aku ingin kendali penuh atas konsep dan eksekusi kampanye ini. Tidak ada satupun keputusan kreatif yang diambil tanpa persetujuanku,” ujar Lea tegas, menyandarkan tubuhnya ke kursi namun tatapannya tak lepas dari Jerry. Jerry tertawa kecil, lalu mengangguk mantap. “Deal. Kalau itu yang kamu mau, maka kamu akan mendapatkannya.” Tatapannya menyiratkan keyakinan, seolah sudah menghitung setiap langkah yang akan menguntungkannya.Restoran The Sky Lounge makin sepi, hanya tersisa beberapa meja dengan cahaya temaram lampu gantung. Jerry menutup map kulit hitam berisi kontrak yang baru saja ditandatangani Lea, lalu menatapnya lama, seolah ingin memastikan sesuatu.“Lea,” suaranya rendah, tenang, tapi sarat tekanan. “Mulai sekarang, jangan terlalu terbuka pada siapa pun. Bahkan pada Sella sekalipun.”Lea terbelalak, sedikit terkejut. “Sella? Asisten pribadiku? Dia sudah bersamaku bertahun-tahun, Jerry. Dia lebih seperti adik bagiku daripada bawahan.”Jerry menyandarkan tubuh ke kursi, kedua tangannya bertaut. “Itu justru masalahnya. Kau terlalu percaya padanya. Dan dalam permainan ini, kepercayaan berlebihan bisa membunuhmu.”Lea mengernyit, dadanya terasa berat. “Apa maksudmu? Kau curiga Sella berkhianat?”Jerry menatapnya dalam, matanya dingin. “Aku tidak bilang begitu. Tapi aku tahu, Daniel punya cara untuk merusak lingkaran terdekat lawannya. Satu bisikan, satu ta
Darah Lea seakan membeku. Ponselnya masih bergetar di meja, nama Abi menyala jelas di layar, bersama pesan yang menghantam jantungnya tanpa ampun."Kita harus bicara. Sekarang. Aku tahu semuanya."Tangannya refleks menekan layar agar getaran itu berhenti. Ia menatap Jerry dengan wajah pucat, hampir kehilangan kata. Jerry, yang sejak tadi mengamati dengan sorot tajam, perlahan mengangkat alis.“Ada masalah?” tanyanya tenang, tapi nada suaranya mengandung ketegangan yang sulit disembunyikan.Lea menelan ludah, lalu menggeleng cepat. “Tidak. Hanya pesan kantor.” Ia mencoba terdengar ringan, namun suara bergetar membuat kebohongan itu terlalu rapuh.Jerry menyandarkan punggung ke kursi, matanya tetap mengawasi tiap gerak-gerik Lea. “Abi?” tebaknya dingin.Lea tak menjawab. Ia menunduk, menyembunyikan ekspresi yang nyaris runtuh. Jemarinya meremas flashdisk yang kini sudah berada di genggaman, seolah itu satu-satunya pegangan di tenga
Lea menarik napas dalam, memaksa suaranya terdengar setenang mungkin. “Aku baik-baik saja, Bi. Hanya lelah. Tidak apa-apa.”Hening sejenak. Namun sebelum ia bisa menahan, suara kunci diputar dari luar. Pintu perlahan terbuka, dan sosok Abi muncul dengan wajah penuh perhatian.Lea menahan nafasnya. Ia tidak sempat menyembunyikan matanya yang memerah, meski sudah berusaha mengusapnya cepat-cepat. Abi menatapnya lekat, langkahnya pelan mendekat.“Kamu menangis?” tanyanya lembut, suara penuh kekhawatiran.Lea buru-buru menggeleng, meski gerakan itu terlalu kaku untuk meyakinkan. “Tidak hanya lelah. Aku sudah bilang kan, aku baik-baik saja.”Abi duduk di tepi ranjang, jarak mereka begitu dekat hingga aroma parfum khas Abi menusuk hidung Lea. Lelaki itu mengulurkan tangan, hendak menyentuh pipinya.“Kalau ada yang mengganggumu, kamu bisa cerita ke aku. Jangan dipendam sendiri, Sayang.”Hati Lea bergetar hebat. Kata-kata itu bi
Hening kembali merayap di parkiran yang hanya diterangi lampu jalan. Angin malam berhembus lembut, namun di dada Lea segalanya tetap sesak dan berat. Jemarinya masih menekan map yang kusut, seolah jika ia melepaskannya maka semua kebenaran kelam itu akan lepas dan menelannya bulat-bulat.Ia menatap Jerry lama, matanya basah namun sudah tidak lagi sekadar rapuh ada ketegasan yang mulai tumbuh di balik sorot itu.“Jer,” suara Lea terdengar parau, tapi perlahan menguat, “aku tidak bisa menjawab sekarang. Apapun yang kamu tawarkan, pernikahan kontrak, aliansi, semua ini terlalu besar untuk kuputuskan malam ini juga.”Jerry mencondongkan tubuh sedikit, seolah siap meyakinkan lagi, namun Lea langsung mengangkat tangannya, menghentikannya.“Dengarkan aku dulu,” ujarnya tegas. “Aku butuh waktu. Sampai besok siang. Saat makan siang, aku akan memberikan jawaban apakah aku akan menerima pernikahan kontrak ini, atau aku memilih jalan lain.”Jerry ter
Jerry kembali membuka tas kerjanya, kali ini gerakannya lebih terukur, seolah ia tahu betul setiap detik yang lewat akan menentukan langkah Lea berikutnya. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah map lain, lebih tebal dengan sudut-sudut yang penuh catatan.“Ini,” ucap Jerry singkat sambil meletakkannya di hadapan Lea di atas kap mobil. “Bukti yang kupastikan sendiri kebenarannya.”Lea menatap map itu dengan ragu, jantungnya berdegup kencang. Tangannya sempat terulur, lalu ditarik lagi, seakan takut apa pun yang tertulis di dalamnya akan mematahkan sisa keyakinan yang ia pegang.Jerry akhirnya membuka map itu sendiri. Ia mengeluarkan beberapa lembar fotokopi email, transkrip percakapan, dan catatan transaksi keuangan. Setiap lembaran ia letakkan satu per satu, memberi ruang bagi Lea untuk mencerna.“Ini korespondensi email antara Daniel Andrianto dan salah satu konsultan hukum internal Morning Group,” jelas Jerry, menunjuk pada tulisan-tulisan yang tela
Lea menelan ludahnya dengan susah payah. Sorot matanya tak lepas dari Jerry, mencoba membaca kesungguhan di balik tatapan pria itu. Tapi yang ia dapat hanya ketegangan, seolah sesuatu yang berat benar-benar akan terungkap.“Kalau kamu benar-benar ingin tahu,” ucap Jerry akhirnya, suaranya rendah tapi tegas, “ikut aku sekarang.”Lea ragu sejenak, pandangannya melayang ke arah lampu kota di kejauhan. Dadanya berdebar tak beraturan, setengah takut, setengah penasaran. Tapi tatapan Jerry yang begitu serius membuatnya tak punya pilihan. Ia mengangguk pelan.Mereka berjalan menuruni jalan setapak menuju area parkir. Sepatu hak Lea beradu dengan aspal, menimbulkan gema pelan di antara sunyi malam. Tangannya ia genggam erat, mencoba menahan gemetar yang mulai merambat ke tubuhnya.Jerry berhenti di depan mobilnya, sebuah lamborghini hitam yang terparkir agak jauh dari deretan kendaraan lain. Ia merogoh saku celana, lalu membuka kunci dengan sekali klik. P