Share

BAB 6 Kesempatan Baru

Author: Dewa Memories
last update Last Updated: 2025-08-19 09:55:53

“Tok! Tok! Tok!”

Ketukan pintu apartemen terdengar nyaring.

Lea dan Abi saling bertatapan; raut wajah keduanya seolah saling mempertanyakan siapa yang datang pagi-pagi seperti ini. Lea masih terdiam, pikirannya terguncang oleh pertanyaan Abi, namun jelas seseorang di luar sedang menunggu untuk dibukakan pintu.

“Aku yang akan membuka pintu,” ucap Lea, berusaha menguasai diri.

Abi memutar bola matanya dan menghela nafas panjang, seolah suara ketukan itu hanya memperburuk amarahnya.

Begitu pintu terbuka, Lea langsung berseru, “Sella!” Nada suaranya terdengar lega sekaligus terkejut ketika melihat asisten pribadinya berdiri di depan pintu.

“Kamu bisa tahu alamat saya dari mana?” tanya Lea sambil menggulir ponselnya, memastikan ia tak pernah memberikan alamat apartemennya pada wanita muda di hadapannya.

“Maaf, Bu. Saya kesini mau menyampaikan berita penting yang berkaitan dengan Morning Group. Saya juga membawakan make up dan sarapan untuk Bu Lea dan Pak Abi,” jelas Sella, sedikit menunduk sopan.

Dari dalam, suara Abi terdengar, “Siapa, Lea?” teriaknya. Tak lama kemudian ia menghampiri mereka.

“Sella, asisten pribadiku. Aku membutuhkan dia untuk mengurus semua keperluanku,” jelas Lea singkat.

“Oke. Tapi pembicaraan kita masih belum selesai,” tegas Abi dengan nada mengingatkan.

“Sella, tolong bawa sarapannya ke dapur,” pinta Lea sambil menunjuk ke arah belakang.

Namun sebelum Sella melangkah, Abi menarik tangan Lea.

“Lepaskan, Abi! Aku bisa sendiri,” ujar Lea dengan tatapan tajam.

“Sekarang jawab aku, darimana kamu mendapatkan semua barang-barang itu?” suara Abi meninggi.

“Kamu tahu kan semua akses keuanganku diblokir?” balas Lea, matanya berkaca-kaca.

“Karena itu aku tanya, Lea. Bagaimana bisa kamu membeli belanjaan sebanyak itu?” desak Abi.

“Kamu masih tanya, Abi? Bahkan kemarin saat aku hampir malu karena tidak bisa membayar belanjaanku, kamu ke mana saja?” serang Lea, suaranya bergetar menahan emosi.

“Lea! Aku bertanya, bukan meminta pertanyaan lain,” bentak Abi.

“Di saat kamu tidak menjawab teleponku, Jerry membayar semua tagihan belanjaku di butik itu. Aku berhutang padanya, dan aku harus bersiap-siap sekarang,” jawab Lea, lalu melangkah pergi meninggalkan Abi.

“Lea! Aku belum selesai bicara!” seru Abi, nadanya sarat frustasi.

“Sarapan sudah saya siapkan di meja makan. Saya mau membantu Bu Lea dulu,” ucap Sella kepada Abi dengan hati-hati.

“Oh ya, makasih, Sella,” jawab Abi datar.

Abi menuju meja makan, menghabiskan sarapannya, lalu bersiap-siap dan pergi.

“Sella, saya buru-buru. Kamu ikut dengan saya, ya,” ujar Lea cepat sambil meraih mantel.

“Oke, Bu. Setelah ini kita mau ke mana?” tanya Sella dengan nada penasaran.

“Kita ke sini, ya. Tolong tracking lokasi ini di mana?” Lea mengulurkan kartu nama Jerry, tatapannya serius.

Sella menatap kartu itu sejenak, lalu berkata, “Ini Jakarta Pusat, Bu. Kurang lebih satu jam dari sini. Kalau macet, kemungkinan dua jam baru sampai.”

“Kamu ikut mobil saya saja, Sella. Mobil kamu aman di sini,” ucap Lea tegas sambil melirik jam tangannya.

“Oke, Bu.” Sella mengangguk patuh.

Lea mengambil tas dan kunci mobil, lalu bergegas mengunci pintu. Bersama Sella, ia turun ke basement parkir.

“Brruummm!!” Mobil melaju dengan kencang meninggalkan gedung apartemen.

Di tengah perjalanan, Lea bertanya dengan nada waspada, “Jadi, berita apa yang kamu dapatkan, Sella?”

Sella menelan ludah sebelum menjawab, “Iya, Bu. Ada perubahan besar di struktur Morning Group. Saya datang untuk memberikan surat resmi pemberhentian Bu Lea sebagai direktur.”

“Sssiiitttt!” Lea menginjak rem mendadak saat mobil terjebak kemacetan.

“Sial! Semudah itu Ayah mengganti posisiku?” serunya dengan nada getir. “Kamu sudah tahu siapa direktur yang baru, Sel?”

“Sudah, Bu. Saat ini posisi tersebut akan ditempati Daniel Andrianto,” jawab Sella hati-hati.

Lea menoleh cepat, matanya membelalak. “Apa? Dia adik sepupu dari Ayah! Tapi bukankah selama ini dia di Singapura?”

“Beliau pulang ke Indonesia atas permintaan Pak Johan, Bu,” jelas Sella pelan.

Lea memukul stir mobil dengan frustasi. “Ahh!! Sial! Tetap saja dia bukan bagian dari keluarga Johari. Sia-sia aku yang sudah membangun semuanya.”

Lea menarik napas panjang, menahan amarah, lalu kembali melaju di tengah padatnya lalu lintas Jakarta. Sekitar satu jam kemudian, ia tiba di gedung modern berfasilitas kaca tinggi bertuliskan Avenue Creative Agency. Sella turun lebih dulu, membukakan pintu untuknya.

“Bu, ini agensi yang cukup terkenal di Jakarta. Banyak brand besar kerja sama dengan mereka,” ujar Sella sambil menatap kagum ke arah gedung.

Lea melangkah keluar, menatap fasad kaca yang memantulkan bayangan dirinya. “Kalau Jerry memilih tempat ini, berarti dia tidak main-main,” gumamnya pelan, lalu berjalan menuju pintu masuk.

Lea melangkah masuk. Aroma wangi kopi dan suara denting keyboard menyambutnya. Di dinding lobi, terpampang deretan foto model terkenal yang pernah bekerja sama dengan agensi ini.

Seorang resepsionis menyambut ramah. “Selamat siang, Bu Lea. Pak Jerry sudah menunggu di ruang meeting lantai dua.”

Lea menghentikan langkahnya, menatap resepsionis itu dengan sedikit heran. “Kamu tahu namaku dari mana?” tanyanya, nada suaranya tenang tapi penuh rasa ingin tahu.

Resepsionis tersenyum sopan. “Pak Jerry sudah memberi tahu kami pagi ini. Beliau bilang Anda akan datang, jadi kami diminta untuk langsung mengarahkan ke ruang meeting.”

“Begitu, ya…” gumam Lea singkat sambil tersenyum tipis, lalu melangkah menuju lift. Sella mengikuti di belakang, diam-diam mencatat bahwa Jerry tampaknya sudah mempersiapkan kedatangan mereka dengan sangat matang.

Lea mengangguk tipis dan langsung melangkah menuju lift, Sella mengikuti di belakang.

Begitu pintu ruang meeting terbuka, Jerry berdiri menyambut dengan senyum yang entah tulus atau penuh perhitungan. Ia mengenakan jas abu-abu rapi, dasi biru tua, dan aroma parfum maskulin yang samar tapi tajam.

“Lea,” sapa Jerry sambil mengulurkan tangan. “Akhirnya kamu datang juga.”

Lea menjabat tangannya sebentar. “Kamu bilang ini penting. Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?”

Jerry duduk, menatap Lea dengan penuh minat. “Aku ingin menawarkan dua hal: menjadi wajah utama kampanye terbaru brand fashion kami, dan memimpin strategi pemasaran untuk seluruh proyek ini.”

Lea mengangkat alis, suaranya mengandung nada heran sekaligus curiga. “Model sekaligus marketing brand? Itu bukan tawaran kecil, Jerry. Apa keuntunganmu?”

Jerry tersenyum tipis, lalu bersandar ke kursinya. “Keuntunganku? Sederhana. Dengan reputasi dan pengaruhmu, kampanye ini akan meledak di pasaran. Dan untukmu, saat ini kamu sedang membutuhkan uang, bukan?”

Lea menatap Jerry beberapa detik tanpa bicara, kemudian tersenyum tipis. “Baik. Aku akan mempertimbangkannya, tapi dengan satu syarat.”

“Aku ingin kendali penuh atas konsep dan eksekusi kampanye ini. Tidak ada satupun keputusan kreatif yang diambil tanpa persetujuanku,” ujar Lea tegas, menyandarkan tubuhnya ke kursi namun tatapannya tak lepas dari Jerry.

Jerry tertawa kecil, lalu mengangguk mantap. “Deal. Kalau itu yang kamu mau, maka kamu akan mendapatkannya.” Tatapannya menyiratkan keyakinan, seolah sudah menghitung setiap langkah yang akan menguntungkannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Kontrak Sang Pewaris   Bab 55 Pengakuan di Tepi Ombak

    Suara tamu undangan mereda pelan, seolah seluruh ruangan ikut menahan nafas begitu nada pertama mengalun dari panggung. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya lembut ke wajah Abi, membuatnya tampak seperti pusat gravitasi baru dari pesta malam itu.Lea terpaku.Tidak, lebih tepatnya tercabik.Suara itu. Lagu itu.Suara yang dulu membangunkan pagi mereka. Suara yang menyanyikan lagu ulang tahunnya diam-diam di dapur. Suara yang mengisi ruang kosong apartemen mereka saat hujan turun. Dan lagu itu, lagu khusus diciptakan saat pertama kali mereka bersama.Dan sekarang, suara yang sama gemerincing indah, lagu yang indah, di pesta mewah untuk orang lain.Jerry melihat perubahan ekspresi Lea dalam hitungan detik. Dari percaya diri, tenang, lalu runtuh tanpa suara.Lea memegang punggung kursi begitu kuat sampai buku jarinya memutih. “Kenapa dia…?” Suaranya hampir tak terdengar.Jerry mendekat satu langkah, memastikan

  • Pernikahan Kontrak Sang Pewaris   Bab 54 Welcome Bali

    Bandara sore itu dipenuhi suara langkah cepat, roda koper yang beradu dengan lantai, dan panggilan penerbangan yang bersahutan. Namun di tengah keramaian, suasana Lea dan Jerry justru lebih tenang dibanding beberapa jam sebelumnya. Pertemuan intens dengan keluarga Johari sudah mereka lewati. Kini fokus utama mereka hanya satu : menghadiri pernikahan putri dari salah satu klien terbesar agensi Jerry.Di area check-in, antrian mengular panjang. Di samping mereka berdiri trolley berisi dua koper milik Lea dan satu koper hitam milik Jerry.Lea memperbaiki posisi tas jinjingnya, menarik napas panjang. “Aku masih memikirkan rundown acara besok. Kamu yakin kita sudah cukup siap?”Jerry, yang berdiri sedikit di belakang Lea, menoleh ke layar ponselnya sebelum menjawab. “Sudah. Aku sudah koordinasi dengan tim event. Kita hanya perlu hadir di welcome dinner malam ini, sisanya mereka yang urus.”Lea mengangguk, meski sorot matanya tetap c

  • Pernikahan Kontrak Sang Pewaris   Bab 53 Pertemuan di Delmare Restaurant

    Perjalanan menuju Delmaré Restaurant terasa lebih panjang dari seharusnya. Klakson bersahutan, rambu merah tak kunjung berubah hijau, dan setiap menit terasa seperti ancaman.Lea menggigit bibir bawahnya cemas.“Jer… kita terlambat lima belas menit. Ayahku benci ketidakdisiplinan.”Jerry melirik jam tangannya santai. “Itu bukan salahmu. Jakarta yang salah desain.”Lea menjitak lengannya pelan. “Serius, Jerry! Ini penting.”Jerry memperlambat nafas lalu menatap Lea dengan cara yang membuat dunia di luar kaca mobil seolah berhenti.“Aku ada disini. Kamu tidak sendirian. Apapun yang terjadi di dalam nanti, kamu keluar dengan kepalamu tetap tegak. Deal?”Lea menelan ludah. Ia mengangguk, meski hatinya berdebar seperti genderang perang.***Sesampainya di Delmaré, mereka langsung diarahkan menuju ruang VIP.Pintu kaca buram itu terasa lebih berat dari pintu restoran biasa. Mungkin karena beban emosi

  • Pernikahan Kontrak Sang Pewaris   Bab 52 Persiapan Sebelum Flight

    Lea membeku di tengah parkiran basement mall, seperti karakter yang baru menyadari dirinya tersesat ke dalam episode drama orang kaya padahal kostumnya salah genre.Ia menunduk pelan.Sandal bulu fuzzy warna krem.Celana tidur longgar.“Tidak… ini bukan sekadar salah outfit. Ini penghinaan terhadap mode di tempat umum.”Mendengar seruan frustasi Lea, Jerry menurunkan pandangannya. Ia memindai dari atas ke bawah.Satu detik.Dua detik.…Sepuluh detik.Sudut bibirnya mulai naik. Tanda bahaya level merah.“Lea… itu sandal atau anak hamster yang kamu injak?”Lea menutup wajah dengan kedua tangan. “Jer, ini bukan waktu bercanda! Kenapa kamu nggak bilang kalau aku keluar pakai sandal bulu dan CELANA TIDUR?!”Jerry mengangkat bahu santai, seolah hal itu sangat normal. “Kupikir kamu nyaman dengan penampilan itu. Dan… jujur, aku sudah lihat lebih buruk di Starbucks subuh-subuh.”

  • Pernikahan Kontrak Sang Pewaris   Bab 51 Pagi Kacau yang Manis

    Jerry sempat terdiam satu detik, lalu pecah.Ia menunduk ke setir sambil tertawa terbahak bahak, bahunya sampai naik turun.“A-aku… Hahaha… Lea, serius? Baru juga jalan lima menit!” katanya di sela-sela tawa.Lea memalingkan wajah ke jendela, menutupi pipinya yang memerah dengan kedua tangan.“Jangan ketawa gitu, Jer,” gumamnya nyaris tak terdengar, suaranya tenggelam oleh rasa malu dan tawa Jerry.Jerry mencoba menghentikan tawanya, tapi gagal lagi ketika menatap ekspresi Lea yang cemberut malu-malu.“Sorry… Tapi kali ini kelewat lucu, Lea. Kamu tuh bisa bikin pagi aku jauh lebih menyenangkan, tau nggak?”Lea menatapnya dengan tatapan setengah kesal, setengah ingin tenggelam ke dalam kursi mobil.“Kamu keterlaluan Jer, ini sangat memalukan.”Jerry tersenyum hangat, lembut matanya mencuri pandang ke pipi Lea yang merona.“Oke, sekitar seratus meter lagi ada penjual bubur yang enak. Kita makan d

  • Pernikahan Kontrak Sang Pewaris   Bab 50 Pipi Lea Memerah

    Keheningan setelah pertanyaan William masih terasa menggantung di benak Lea, bahkan setelah ia pulang dari rumah sang kakak.Namun satu hal sudah jelas : dia sudah memilih.William menutup buku catatan kecil di pangkuannya, lalu berdiri perlahan. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul 23.30.“Sudah cukup untuk malam ini,” ucapnya lembut. “Kamu sudah membuat keputusan yang besar, dan aku bangga kamu tidak melakukannya dalam kondisi panik.”Lea mengangguk. Raut wajahnya tidak lagi goyah masih lelah, namun jauh lebih tegap dibanding ketika ia pertama kali masuk ke ruangan tadi.William menatap keduanya bergantian. “Istirahatlah. Besok akan jadi hari panjang. Aku akan mengatur waktu membicarakan ini dengan ayah dan bunda, setelah ada kabar akan langsung kuhubungi.”Lea tersenyum tulus dan penuh harap. “Terima kasih untuk semuanya. Aku sangat berharap ini berhasil.”Itu membuat William hampir tersenyum emosional, tapi ia han

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status