Pagi itu, setelah pertemuan resmi di ruang rapat selesai, Jerry masih menahan Lea beberapa menit lebih lama. Dengan nada santai namun penuh kalkulasi, ia menatapnya sambil berkata, “Siang nanti ada sesi fitting. Showroom dan tim desainer sudah disiapkan, dan kamu akan ditemani Nadia supaya kamu bisa fokus tanpa memikirkan detail teknis.”
Lea hanya mengangguk, tangannya menyentuh gelas kopi yang sudah hampir dingin. Ia tahu ini baru langkah awal dari kesepakatan mereka, namun nada suara Jerry seakan menyimpan sesuatu lebih dari sekadar urusan pekerjaan. “Anggap saja ini pemanasan,” lanjut Jerry, menyunggingkan senyum tipis. “Aku ingin timku melihat langsung bagaimana kamu bekerja. Sekaligus, aku ingin mereka mengerti bahwa mulai sekarang semua keputusan kreatif ada di tanganmu.” Tatapan Lea sedikit mengeras. “Dan kamu yakin mereka akan menerimanya begitu saja?” Jerry tertawa pelan. “Mereka akan belajar menerima. Atau setidaknya, pura-pura menerimanya.” Lea menyilangkan tangan di depan meja, suaranya datar namun tegas. “Ok, tapi ada satu hal lagi. Sella adalah asisten pribadiku, jadi aku ingin dia tetap disini untuk memastikan kebutuhanku terpenuhi.” Jerry menegakkan punggung, lalu mengangguk ringan dengan senyum tipis yang nyaris tidak terbaca. “Tidak masalah, dia bisa tetap disini jika itu memang diperlukan.” Lea menghela nafas lega, lalu menegakkan tubuhnya. “Bagus. Aku hanya tidak ingin ada satupun detail yang terlewat.” Jerry menatapnya sambil mengetuk ujung jarinya di permukaan meja, senyum tipis tetap terpasang di wajahnya. “Tentu. Tapi ingat, Lea… setiap mata di ruangan itu akan tertuju padamu. Mereka ingin melihat apakah kamu benar-benar pantas memimpin kampanye ini, atau hanya sekadar nama besar.” Lea membalas tatapannya tanpa gentar, lalu tersenyum dingin. “Kalau begitu, biarkan saja mereka menilai. Aku tidak pernah takut berdiri di atas panggung.” Nadia mendekat dengan langkah teratur, suaranya tenang namun penuh wibawa. “Bu Lea, desainer dan seluruh kebutuhan fitting sudah siap. Mari, saya arahkan Anda ke ruang fitting.” Lea berjalan mantap ke arah showroom, langkahnya berderap anggun di atas lantai marmer yang berkilau. Sella mengikuti setia di belakangnya, sesekali melirik kanan-kiri, menangkap tatapan ingin tahu dari para staf yang berbisik pelan sambil menahan senyum sinis. “Bu, mereka semua memperhatikan,” bisik Sella pelan. Lea tak menoleh. Senyumnya tipis, suaranya rendah namun mantap. “Biarkan saja. Itu memang tugas mereka, memperhatikan.” Aroma parfum mahal bercampur cahaya lampu sorot membuat ruangan itu seakan sebuah panggung, tempat setiap gerakan dan ekspresi Lea menjadi sorotan. Begitu pintu kaca showroom terbuka, gemerlap gaun rancangan desainer ternama terpampang, namun juga bayangan kompetisi tajam yang siap menguji kehadirannya. Seorang desainer pria dengan setelan serba hitam segera menghampiri, senyumnya ramah namun matanya meneliti Lea dari ujung kepala hingga kaki. “Selamat datang, Nona Danilea. Semua sudah menunggu di ruang fitting,” ucapnya, nada suaranya sopan tapi kaku. Dari sudut ruangan, beberapa model yang tengah mencoba gaun menoleh bersamaan, sebagian melirik dengan kagum, sebagian lain menyimpan sinis di balik senyum tipis mereka. Sella merapatkan langkah, berbisik lirih, “Hati-hati, mereka jelas tidak semua senang dengan kehadiranmu.” Dari sudut ruangan, beberapa model yang tengah mencoba gaun menoleh bersamaan, sebagian melirik dengan kagum, sebagian lain menyimpan sinis di balik senyum tipis mereka. Sella merapatkan langkah, berbisik lirih, “Hati-hati, mereka jelas tidak semua senang dengan kehadiranmu.” Lea hanya mengangkat dagu, matanya menyapu ruangan seakan menimbang satu per satu tatapan yang mengarah padanya. “Kalau semua orang senang, justru artinya aku tidak penting,” balasnya tenang. Seorang model berambut pirang pura-pura tersenyum, lalu berbisik ke rekannya, cukup keras untuk terdengar. “Dia pikir bisa bersaing dengan kita? Dunia ini bukan milik orang luar.” Rekannya menutup mulut sambil tertawa kecil. “Biarkan saja. Semakin tinggi mereka melangkah, semakin sakit kalau jatuh.” Sella sempat menoleh dengan wajah kesal, namun Lea menepuk lembut lengannya, memberi isyarat untuk diam. “Kagum atau benci, mereka tetap menatap. Dan itu sudah cukup,” ucap Lea dingin, sebelum kembali melangkah maju ke arah tim desainer yang menunggu. Seorang desainer pria mendekat, membawa gaun dengan detail payet yang berkilau. “Ini rancangan yang aku rasa paling cocok menggambarkan karakter kamu yang kuat, tapi tetap anggun,” katanya sambil memperlihatkan potongan gaun itu. Lea menatap gaun tersebut beberapa detik, lalu menoleh sekilas ke arah para model yang masih melirik dari kejauhan. Senyum tipisnya muncul lagi. “Anggun dan kuat, ya? Mari kita lihat apakah gaun ini benar-benar bisa menandingi sorotan tatapan mereka.” Sella menelan ludah, merasakan ketegangan yang makin pekat di ruangan. Desainer itu tersenyum sedikit kaku, lalu menyerahkan gaun pada Nadia untuk dibawa ke ruang pas. “Silakan, Bu Lea. Kami sudah menyiapkan fitting room khusus di belakang.” Lea melangkah mengikuti, gaun itu berayun pelan di tangan Nadia. Di sepanjang jalannya, beberapa model sengaja menoleh, seolah menilai setiap gerakannya. Ada yang menatap dengan kekaguman terbuka, ada pula yang menutupi cibiran di balik senyum sopan. Sella berbisik lagi, suaranya hampir tak terdengar. “Mereka jelas menunggu Ibu salah langkah…” Lea hanya menjawab lirih tanpa menoleh. “Maka aku tidak boleh memberinya kepuasan.” Begitu memasuki fitting room, lampu putih terang menyinari ruangan dengan cermin besar di tiga sisi. Gaun berpayet itu digantungkan, kilauannya memantul, memecah cahaya seperti serpihan bintang. Nadia berdiri di samping Lea, suaranya tenang namun penuh tekanan profesional. “Gaun ini memang dibuat untuk memamerkan garis tubuh yang tegas. Jika pas di Anda, akan tampak seperti sosok ratu di atas panggung.” Lea menyentuh perlahan kain gaun itu, jemarinya menelusuri detail payet yang rumit. “Ratu, ya…” ia bergumam pelan. Kemudian menoleh pada Nadia, matanya tajam. “Tapi ingat, seorang ratu tidak hanya berdiri untuk dipuja, dia juga harus siap diserang.” Sella terdiam, sementara Nadia hanya tersenyum tipis, seperti menerima tantangan terselubung dalam ucapan Lea. Lea akhirnya berdiri di depan cermin, gaun berpayet itu melingkupi tubuhnya dengan sempurna. Cahaya lampu menari di setiap sudut, memantulkan kilau yang membuat sosoknya tampak seperti ratu yang baru turun dari singgasananya. Sella menahan napas, matanya berbinar tak percaya. Bahkan Nadia pun, yang tadi penuh profesionalitas, tak bisa menyembunyikan senyum kagum. Lea mengangkat dagunya, menatap pantulan dirinya sendiri. Ada kekuatan baru yang terpancar dari balik gaun itu tajam, berwibawa, sekaligus memesona. Tiba-tiba, suara langkah tegas terdengar dari arah pintu showroom. Semua kepala menoleh hampir bersamaan. Pintu terbuka. Jerry masuk dengan jas hitam rapi, matanya langsung tertuju pada Lea. Seketika ruangan yang tadinya ramai menjadi hening. Ia berdiri terpaku beberapa detik, sorot matanya jelas memperlihatkan keterpesonaan yang sulit ia sembunyikan. Bibirnya terangkat, tapi suaranya nyaris tercekat saat akhirnya berhasil berucap, “Lea…” Lea berbalik perlahan, tatapannya bertemu dengan mata Jerry tajam, dingin, namun ada percikan yang sulit dijelaskan.Restoran The Sky Lounge makin sepi, hanya tersisa beberapa meja dengan cahaya temaram lampu gantung. Jerry menutup map kulit hitam berisi kontrak yang baru saja ditandatangani Lea, lalu menatapnya lama, seolah ingin memastikan sesuatu.“Lea,” suaranya rendah, tenang, tapi sarat tekanan. “Mulai sekarang, jangan terlalu terbuka pada siapa pun. Bahkan pada Sella sekalipun.”Lea terbelalak, sedikit terkejut. “Sella? Asisten pribadiku? Dia sudah bersamaku bertahun-tahun, Jerry. Dia lebih seperti adik bagiku daripada bawahan.”Jerry menyandarkan tubuh ke kursi, kedua tangannya bertaut. “Itu justru masalahnya. Kau terlalu percaya padanya. Dan dalam permainan ini, kepercayaan berlebihan bisa membunuhmu.”Lea mengernyit, dadanya terasa berat. “Apa maksudmu? Kau curiga Sella berkhianat?”Jerry menatapnya dalam, matanya dingin. “Aku tidak bilang begitu. Tapi aku tahu, Daniel punya cara untuk merusak lingkaran terdekat lawannya. Satu bisikan, satu ta
Darah Lea seakan membeku. Ponselnya masih bergetar di meja, nama Abi menyala jelas di layar, bersama pesan yang menghantam jantungnya tanpa ampun."Kita harus bicara. Sekarang. Aku tahu semuanya."Tangannya refleks menekan layar agar getaran itu berhenti. Ia menatap Jerry dengan wajah pucat, hampir kehilangan kata. Jerry, yang sejak tadi mengamati dengan sorot tajam, perlahan mengangkat alis.“Ada masalah?” tanyanya tenang, tapi nada suaranya mengandung ketegangan yang sulit disembunyikan.Lea menelan ludah, lalu menggeleng cepat. “Tidak. Hanya pesan kantor.” Ia mencoba terdengar ringan, namun suara bergetar membuat kebohongan itu terlalu rapuh.Jerry menyandarkan punggung ke kursi, matanya tetap mengawasi tiap gerak-gerik Lea. “Abi?” tebaknya dingin.Lea tak menjawab. Ia menunduk, menyembunyikan ekspresi yang nyaris runtuh. Jemarinya meremas flashdisk yang kini sudah berada di genggaman, seolah itu satu-satunya pegangan di tenga
Lea menarik napas dalam, memaksa suaranya terdengar setenang mungkin. “Aku baik-baik saja, Bi. Hanya lelah. Tidak apa-apa.”Hening sejenak. Namun sebelum ia bisa menahan, suara kunci diputar dari luar. Pintu perlahan terbuka, dan sosok Abi muncul dengan wajah penuh perhatian.Lea menahan nafasnya. Ia tidak sempat menyembunyikan matanya yang memerah, meski sudah berusaha mengusapnya cepat-cepat. Abi menatapnya lekat, langkahnya pelan mendekat.“Kamu menangis?” tanyanya lembut, suara penuh kekhawatiran.Lea buru-buru menggeleng, meski gerakan itu terlalu kaku untuk meyakinkan. “Tidak hanya lelah. Aku sudah bilang kan, aku baik-baik saja.”Abi duduk di tepi ranjang, jarak mereka begitu dekat hingga aroma parfum khas Abi menusuk hidung Lea. Lelaki itu mengulurkan tangan, hendak menyentuh pipinya.“Kalau ada yang mengganggumu, kamu bisa cerita ke aku. Jangan dipendam sendiri, Sayang.”Hati Lea bergetar hebat. Kata-kata itu bi
Hening kembali merayap di parkiran yang hanya diterangi lampu jalan. Angin malam berhembus lembut, namun di dada Lea segalanya tetap sesak dan berat. Jemarinya masih menekan map yang kusut, seolah jika ia melepaskannya maka semua kebenaran kelam itu akan lepas dan menelannya bulat-bulat.Ia menatap Jerry lama, matanya basah namun sudah tidak lagi sekadar rapuh ada ketegasan yang mulai tumbuh di balik sorot itu.“Jer,” suara Lea terdengar parau, tapi perlahan menguat, “aku tidak bisa menjawab sekarang. Apapun yang kamu tawarkan, pernikahan kontrak, aliansi, semua ini terlalu besar untuk kuputuskan malam ini juga.”Jerry mencondongkan tubuh sedikit, seolah siap meyakinkan lagi, namun Lea langsung mengangkat tangannya, menghentikannya.“Dengarkan aku dulu,” ujarnya tegas. “Aku butuh waktu. Sampai besok siang. Saat makan siang, aku akan memberikan jawaban apakah aku akan menerima pernikahan kontrak ini, atau aku memilih jalan lain.”Jerry ter
Jerry kembali membuka tas kerjanya, kali ini gerakannya lebih terukur, seolah ia tahu betul setiap detik yang lewat akan menentukan langkah Lea berikutnya. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah map lain, lebih tebal dengan sudut-sudut yang penuh catatan.“Ini,” ucap Jerry singkat sambil meletakkannya di hadapan Lea di atas kap mobil. “Bukti yang kupastikan sendiri kebenarannya.”Lea menatap map itu dengan ragu, jantungnya berdegup kencang. Tangannya sempat terulur, lalu ditarik lagi, seakan takut apa pun yang tertulis di dalamnya akan mematahkan sisa keyakinan yang ia pegang.Jerry akhirnya membuka map itu sendiri. Ia mengeluarkan beberapa lembar fotokopi email, transkrip percakapan, dan catatan transaksi keuangan. Setiap lembaran ia letakkan satu per satu, memberi ruang bagi Lea untuk mencerna.“Ini korespondensi email antara Daniel Andrianto dan salah satu konsultan hukum internal Morning Group,” jelas Jerry, menunjuk pada tulisan-tulisan yang tela
Lea menelan ludahnya dengan susah payah. Sorot matanya tak lepas dari Jerry, mencoba membaca kesungguhan di balik tatapan pria itu. Tapi yang ia dapat hanya ketegangan, seolah sesuatu yang berat benar-benar akan terungkap.“Kalau kamu benar-benar ingin tahu,” ucap Jerry akhirnya, suaranya rendah tapi tegas, “ikut aku sekarang.”Lea ragu sejenak, pandangannya melayang ke arah lampu kota di kejauhan. Dadanya berdebar tak beraturan, setengah takut, setengah penasaran. Tapi tatapan Jerry yang begitu serius membuatnya tak punya pilihan. Ia mengangguk pelan.Mereka berjalan menuruni jalan setapak menuju area parkir. Sepatu hak Lea beradu dengan aspal, menimbulkan gema pelan di antara sunyi malam. Tangannya ia genggam erat, mencoba menahan gemetar yang mulai merambat ke tubuhnya.Jerry berhenti di depan mobilnya, sebuah lamborghini hitam yang terparkir agak jauh dari deretan kendaraan lain. Ia merogoh saku celana, lalu membuka kunci dengan sekali klik. P