Tatapan Jerry dan Lea masih saling mengunci saat suara Nadia terdengar dari belakang.
“Bu Lea, waktunya ke ruang pemotretan. Semua sudah siap,” panggilnya. Lea melepaskan tatapannya, tersenyum tipis ke Nadia, sementara Jerry hanya mengamati dengan senyum samar. Momen itu terasa sejenak, sebelum permainan yang lebih besar dimulai. Lea melangkah mantap mengikuti Nadia, gaun berpayetnya berkilau di bawah lampu lorong. Beberapa staf yang berada di sisi lorong menoleh, menahan napas, sebagian menatap dengan kagum, sebagian lain berbisik pelan sambil menahan senyum. Sella di belakangnya, menatap sekeliling dengan waspada. “Bu Lea, silakan ke sini. Tim sudah siap,” kata Nadia sambil membuka pintu ruang pemotretan. Lea menatap sejenak ke arah ruangan yang terang, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih, Nadia. Arahkan aku ke posisi pertama,” jawabnya tenang, matanya sudah fokus pada tugasRestoran The Sky Lounge makin sepi, hanya tersisa beberapa meja dengan cahaya temaram lampu gantung. Jerry menutup map kulit hitam berisi kontrak yang baru saja ditandatangani Lea, lalu menatapnya lama, seolah ingin memastikan sesuatu.“Lea,” suaranya rendah, tenang, tapi sarat tekanan. “Mulai sekarang, jangan terlalu terbuka pada siapa pun. Bahkan pada Sella sekalipun.”Lea terbelalak, sedikit terkejut. “Sella? Asisten pribadiku? Dia sudah bersamaku bertahun-tahun, Jerry. Dia lebih seperti adik bagiku daripada bawahan.”Jerry menyandarkan tubuh ke kursi, kedua tangannya bertaut. “Itu justru masalahnya. Kau terlalu percaya padanya. Dan dalam permainan ini, kepercayaan berlebihan bisa membunuhmu.”Lea mengernyit, dadanya terasa berat. “Apa maksudmu? Kau curiga Sella berkhianat?”Jerry menatapnya dalam, matanya dingin. “Aku tidak bilang begitu. Tapi aku tahu, Daniel punya cara untuk merusak lingkaran terdekat lawannya. Satu bisikan, satu ta
Darah Lea seakan membeku. Ponselnya masih bergetar di meja, nama Abi menyala jelas di layar, bersama pesan yang menghantam jantungnya tanpa ampun."Kita harus bicara. Sekarang. Aku tahu semuanya."Tangannya refleks menekan layar agar getaran itu berhenti. Ia menatap Jerry dengan wajah pucat, hampir kehilangan kata. Jerry, yang sejak tadi mengamati dengan sorot tajam, perlahan mengangkat alis.“Ada masalah?” tanyanya tenang, tapi nada suaranya mengandung ketegangan yang sulit disembunyikan.Lea menelan ludah, lalu menggeleng cepat. “Tidak. Hanya pesan kantor.” Ia mencoba terdengar ringan, namun suara bergetar membuat kebohongan itu terlalu rapuh.Jerry menyandarkan punggung ke kursi, matanya tetap mengawasi tiap gerak-gerik Lea. “Abi?” tebaknya dingin.Lea tak menjawab. Ia menunduk, menyembunyikan ekspresi yang nyaris runtuh. Jemarinya meremas flashdisk yang kini sudah berada di genggaman, seolah itu satu-satunya pegangan di tenga
Lea menarik napas dalam, memaksa suaranya terdengar setenang mungkin. “Aku baik-baik saja, Bi. Hanya lelah. Tidak apa-apa.”Hening sejenak. Namun sebelum ia bisa menahan, suara kunci diputar dari luar. Pintu perlahan terbuka, dan sosok Abi muncul dengan wajah penuh perhatian.Lea menahan nafasnya. Ia tidak sempat menyembunyikan matanya yang memerah, meski sudah berusaha mengusapnya cepat-cepat. Abi menatapnya lekat, langkahnya pelan mendekat.“Kamu menangis?” tanyanya lembut, suara penuh kekhawatiran.Lea buru-buru menggeleng, meski gerakan itu terlalu kaku untuk meyakinkan. “Tidak hanya lelah. Aku sudah bilang kan, aku baik-baik saja.”Abi duduk di tepi ranjang, jarak mereka begitu dekat hingga aroma parfum khas Abi menusuk hidung Lea. Lelaki itu mengulurkan tangan, hendak menyentuh pipinya.“Kalau ada yang mengganggumu, kamu bisa cerita ke aku. Jangan dipendam sendiri, Sayang.”Hati Lea bergetar hebat. Kata-kata itu bi
Hening kembali merayap di parkiran yang hanya diterangi lampu jalan. Angin malam berhembus lembut, namun di dada Lea segalanya tetap sesak dan berat. Jemarinya masih menekan map yang kusut, seolah jika ia melepaskannya maka semua kebenaran kelam itu akan lepas dan menelannya bulat-bulat.Ia menatap Jerry lama, matanya basah namun sudah tidak lagi sekadar rapuh ada ketegasan yang mulai tumbuh di balik sorot itu.“Jer,” suara Lea terdengar parau, tapi perlahan menguat, “aku tidak bisa menjawab sekarang. Apapun yang kamu tawarkan, pernikahan kontrak, aliansi, semua ini terlalu besar untuk kuputuskan malam ini juga.”Jerry mencondongkan tubuh sedikit, seolah siap meyakinkan lagi, namun Lea langsung mengangkat tangannya, menghentikannya.“Dengarkan aku dulu,” ujarnya tegas. “Aku butuh waktu. Sampai besok siang. Saat makan siang, aku akan memberikan jawaban apakah aku akan menerima pernikahan kontrak ini, atau aku memilih jalan lain.”Jerry ter
Jerry kembali membuka tas kerjanya, kali ini gerakannya lebih terukur, seolah ia tahu betul setiap detik yang lewat akan menentukan langkah Lea berikutnya. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah map lain, lebih tebal dengan sudut-sudut yang penuh catatan.“Ini,” ucap Jerry singkat sambil meletakkannya di hadapan Lea di atas kap mobil. “Bukti yang kupastikan sendiri kebenarannya.”Lea menatap map itu dengan ragu, jantungnya berdegup kencang. Tangannya sempat terulur, lalu ditarik lagi, seakan takut apa pun yang tertulis di dalamnya akan mematahkan sisa keyakinan yang ia pegang.Jerry akhirnya membuka map itu sendiri. Ia mengeluarkan beberapa lembar fotokopi email, transkrip percakapan, dan catatan transaksi keuangan. Setiap lembaran ia letakkan satu per satu, memberi ruang bagi Lea untuk mencerna.“Ini korespondensi email antara Daniel Andrianto dan salah satu konsultan hukum internal Morning Group,” jelas Jerry, menunjuk pada tulisan-tulisan yang tela
Lea menelan ludahnya dengan susah payah. Sorot matanya tak lepas dari Jerry, mencoba membaca kesungguhan di balik tatapan pria itu. Tapi yang ia dapat hanya ketegangan, seolah sesuatu yang berat benar-benar akan terungkap.“Kalau kamu benar-benar ingin tahu,” ucap Jerry akhirnya, suaranya rendah tapi tegas, “ikut aku sekarang.”Lea ragu sejenak, pandangannya melayang ke arah lampu kota di kejauhan. Dadanya berdebar tak beraturan, setengah takut, setengah penasaran. Tapi tatapan Jerry yang begitu serius membuatnya tak punya pilihan. Ia mengangguk pelan.Mereka berjalan menuruni jalan setapak menuju area parkir. Sepatu hak Lea beradu dengan aspal, menimbulkan gema pelan di antara sunyi malam. Tangannya ia genggam erat, mencoba menahan gemetar yang mulai merambat ke tubuhnya.Jerry berhenti di depan mobilnya, sebuah lamborghini hitam yang terparkir agak jauh dari deretan kendaraan lain. Ia merogoh saku celana, lalu membuka kunci dengan sekali klik. P