Ayrin begitu terguncang ketika mendengar jika Reygan akan akan menuntut Haris dan akan mengadukan peristiwa penganiayaannya kepada pihak yang berwajib.
Aura tegang dan tak terucapkan mengisi ruangan saat Ayrin menatap pria itu, yang terbaring lemah di ranjang. Wajahnya penuh dengan luka dan memar, tetapi matanya tetap bersinar dengan keputusasaan.
“Tuntutlah aku kalau kamu mau. Tapi jangan berani-beraninya kamu menyentuh Papa,” bentak Ayrin dengan suara yang bergetar, dipenuhi dengan api kemarahan yang menyala-nyala di dalam dirinya.
Reygan menatapnya dengan tatapan lemah namun penuh dengan perasaan. "Bukan itu yang sebenarnya saya inginkan, Rin," jawabnya dengan lirih. Matanya mencari ke dalam mata Ayrin, mencari penyesalan atau mungkin kelembutan, tetapi yang dia temukan hanyalah kebencian yang d
Ayrin dan Reygan saling berhadapan, mata mereka memancarkan beragam emosi yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. “Bagaimana bisa kamu berbicara seperti itu, Rin? Anak itu darah dagingmu sendiri. Anak kita,” pekik Reygan, suaranya gemetar oleh emosi yang meluap dari dalam hatinya. Dia tidak pernah membayangkan akan terpisah dari anaknya, terutama saat dirinya sendiri masih hidup. Ayrin menatap suaminya dengan tatapan tajam, tidak terpengaruh oleh kepedihan di wajah suaminya. “Dari awal aku hanya bilang akan mempertahankan dan melahirkan anak ini,” jeritnya dengan histeris, suaranya terdengar pecah oleh emosi yang meluap-luap. "Bukan untuk mengasuhnya dan menerimanya." "Kalau kamu tidak mau mengurusnya, saya yang akan mengasuhnya. Tapi saya tidak bisa membiarkan anak kita diberikan pada orang lain!" sergah
Adrian Shaka Adinata lahir pada masa kehamilan Ayrin yang baru menginjak delapan bulan. Dia muncul ke dunia ini dengan rapuhnya, membawa harapan dan ketakutan dalam setiap detak jantungnya.“Bertahanlah, Sayang. Papa dan Mama ada di sini,” gumam Reygan saat melihat bayinya untuk pertama kali.Reygan menatapnya dengan campuran perasaan haru dan sedih. Bayi itu begitu kecil dan lemah, namun dalam tatapannya dia melihat kehidupan yang berharga. Hatinya berdebar keras, berharap agar sang anak bisa bertahan.Di sisi lain, kesedihan Reygan semakin dalam ketika melihat bagaimana Ayrin masih belum bisa menerima kehadiran putra mereka. Walaupun mereka telah berjuang melalui proses operasi caesar yang sulit, istrinya itu tampak seperti menutup diri dari kenyataan. Reygan mencoba mendekati Ayrin dengan bisikan lembut. “Rin, anak kita telah lahir...”Namun, Ayrin tetap tak tergugah. Dia memalingkan wajahnya, air mata mengalir di pipinya yang pucat. Dia tahu kondisi anaknya, bisa mendengar tangis
Ayrin baru saja kembali dari tempat prakteknya, tubuhnya dipenuhi dengan kelelahan yang melanda setelah seharian beraktivitas. Saat memasuki ruang tengah, langkahnya terhenti mendadak oleh suara tangisan Adrian yang memenuhi udara. Dia mengerutkan kening, mencoba untuk mengabaikan suara tersebut, tetapi semakin lama, tangisan itu semakin menusuk telinganya. “Aduh! Kenapa berisik sekali, sih?” keluh Ayrin ketika melangkah mendekati Ratna, pengasuh bayinya, yang tampak cemas menimang Adrian. Ratna menoleh dengan wajah penuh kekhawatiran. “Maaf, Bu. Rian terus menangis. Sepertinya dia sakit, Bu,” ujarnya dengan gemetar. “Nah, berilah dia obat. Tunggu apa lagi?!” sahut Ayrin dengan datar. Dia terus memandang ke arah lain karena tidak mau menatap wajah bayinya. “Sudah, Bu. Tapi demamnya belum turun juga. Dia tidak nafsu makan dan terus menangis.” Ratna melaporkan dengan nada yang bergetar. “Bawalah ke dokter kalau begitu!” seru Ayrin dengan kesal. Sudah tahu anak itu sakit. Kenapa m
Hampir satu minggu Adrian dirawat di rumah sakit, tetapi Ayrin sama sekali tidak pernah menemuinya. Entah sudah berapa kali dia mendengar gunjingan dari para perawat yang terdengar menyakitkan di telinganya.“Padahal Dokter Ayrin kelihatannya sangat ramah sama pasien-pasiennya. Eh, saya nggak nyangka kalau dia ternyata nggak peduli sama anaknya sendiri,” ujar salah satu perawat dengan nada yang penuh dengan penilaian.Ayrin menarik napas dalam-dalam, mencoba menutup telinganya dari kata-kata yang menusuk hatinya. Tapi perasaan sakitnya merayap masuk, seperti ular berbisa yang tak terlihat.“Jangankan sama anaknya. Lihat suaminya datang pun dia nggak menoleh,” sahut perawat lain yang tampak terheran-heran.“Iya. Pokoknya nggak nyangka banget deh ternyata dokter Ayrin bisa sekejam itu sama anak dan suaminya. Kalau saya sih, punya anak dan suami ganteng begitu pasti saya akan nempel terus,” timpal perawat lainnya yang berkacamata."Apa kalian tidak punya pekerjaan lain?" suara tajam Ayri
Seperti biasa, Ayrin baru saja tiba di rumah setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Langkahnya tergesa-gesa menuju kamar pribadinya. Namun, ketika dia melangkah di ambang pintu, suara lembut menyapanya.“Mama,” panggil suara kecil itu, menghentikan langkah Ayrin.Dia menoleh, mata dinginnya menatap ke arah suara itu. Di hadapannya, Adrian berdiri dengan wajah penuh harap.Tanpa sepatah kata pun, Ayrin melanjutkan langkahnya, mengabaikan kehadiran anak kecil di hadapannya. Dia melangkah melewati Adrian, seakan tak peduli dengan panggilan yang terdengar dari bibir mungil itu.“Mama…!” Tidak berputus asa, Adrian mengejar langkah ibunya, mengulurkan tangannya dengan gemetar, mencoba menangkap perhatiannya. Namun, Ayrin terus melangkah tanpa menoleh ke belakang.Pemandangan itu tidak luput dari pengamatan Ratna yang berdiri di sudut ruangan dengan tatapan penuh keprihatinan. Dia tahu betapa Adrian selalu menantikan kehadiran ibunya, namun kali ini tampaknya harapan itu kandas di ten
Reygan yang sedang duduk di ruang tengah sambil menenggak secangkir kopi, mendengar suara isakan. Lalu, tak lama kemudian, dia mendengar langkah kaki yang gemetar di dekat tangga.Dia beranjak dari tempatnya, dan dia menemukan Ayrin yang tampak kacau. Wajahnya tampak pucat dan gemetar, terbayang dalam sorot lampu remang-remang yang menyala di ruang tengah.“Ada apa, Rin? Kamu sakit?” tanyanya dengan cemas, tangannya mencoba meraih tangan Ayrin yang terkulai lemah.“Lebih baik kita bercerai, Mas!”Reygan tersentak mendengar pernyataan yang tiba-tiba keluar dari bibir istrinya itu. Ditatapnya Ayrin dengan tatapan yang dingin, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun. "Kamu sudah tahu jawabannya, Rin. Jadi berhentilah membuang-buang waktu dan istirahatlah."Ayrin menggertakkan giginya. "Kamu pikir semua ini masih ada gunanya?" Keluhnya dengan nada putus asa, mencoba menahan langkah Reygan yang ingin pergi."Kenapa kamu masih mempertanyakan hal itu, Rin? Belum cukupkah selama bertahun-
Rian memandang wajah ibunya dengan heran bercampur senang. Tidak biasanya Mama menjemputnya ke sekolah. Bahkan selama ini Mama tidak pernah peduli dia sekolah atau tidak.“Mama!” seru Adrian sambil berlari memeluk Ayrin dengan erat, seolah tidak peduli lagi dengan segala kebingungannya.Seperti biasa, Ayrin tetap bersikap dingin. Tetapi dia tidak menyingkirkan tubuh anaknya seperti kemarin. Dibiarkan saja Rian memeluknya selama beberapa saat."Ayo pergi!" kata Ayrin dengan nada yang tetap tenang, meski raut wajahnya tak berubah. Rian mengikuti ibunya, masih memegang erat tangannya, sementara senyumnya tak pernah lepas dari wajahnya.Mereka berjalan menuju mobil, dan Rian dengan cepat memilih tempat di samping ibunya. Ketika mereka sudah di dalam m
Kembali ke Jakarta setelah dua hari bersama Rian di Bali, Ayrin merasa seperti membawa beban yang tak terlupakan di dalam hatinya. Duduk di dalam taksi menuju bandara, dia merenung dengan mata kosong, membenamkan dirinya dalam gelombang pikiran yang tak kunjung berhenti.Awalnya, ia merasa meninggalkan Rian tidak akan menjadi persoalan besar. Sudah lima tahun lamanya ia mengabaikan anaknya itu, menganggapnya hanya sebagai beban yang harus ditanggung. Namun, saat tiba saatnya untuk meninggalkannya, Ayrin merasakan sesuatu yang berbeda. Dadanya terasa sesak, seakan ada getaran kecil yang menghantam hatinya, ketika dia melihat raut kesedihan di wajah Rian."Kenapa Mama pergi? Kenapa nggak bawa Rian?" Rian bertanya dengan raut wajah penuh kebingungan, matanya mencari jawaban di wajah ibunya."Jangan manja! Di sini juga kan ada kakek yang akan menemani kamu," sahut Ayrin dengan nada yang tajam, mencoba menutupi perasaannya dengan dingin.Rian tidak menjawab, tetapi matanya menyiratkan kek