Patricia berjalan mondar-mandir di ruang pribadinya yang begitu mewah, tapi kini terasa sesak oleh amarahnya sendiri yang kian memuncak. Ponsel yang tadi ia banting sudah tergeletak di atas meja kaca dengan beberapa retakan membentuk pola seperti sarang laba-laba. Nafasnya terengah, jemarinya gemetar saat ia mencoba menyalakan kembali layar, berharap ada notifikasi masuk dari sistem pusat. Tapi nihil, ponsel itu bahkan tidak mau menyala."Kurang ajar! Apa maksud dari semua ini?" gumamnya pelan, "Kenapa aku tidak bisa mengakses apa pun?! Penerbangan dibatalkan, kartu-kartu terblokir!"Ia menyalakan laptop yang tersimpan di atas mejanya, mengetik dengan cepat seraya menggigit bibir bawahnya, frustrasi. Tapi dalam layar hanya menampilkan satu kalimat dingin,“Access Denied. Authorization Revoked.”"Apa—tidak mungkin! Aku—aku memiliki otorisasi penuh! Aku memiliki kuasa atas jaringan ini!" teriaknya, menendang kursi putar hingga jatuh terjungkal.Ia mencengkeram kepalanya keras. "Damian .
Jarum jam bergulir begitu lambat, Alea mengusap pelan bagian bawah matanya yang terasa berat karena ia terlalu bosan berada di tempat ini. Ia bangkit dari duduknya di tepi ranjang, lalu berjalan menuju rak kecil di sudut ruangan. Di sana, tumpukan buku dan map masih tersusun dengan rapi. Salah satu buku yang kemarin Damian ajarkan padanya tergeletak di atas—buku latihan membaca dengan simbol-simbol asing yang perlahan mulai terasa akrab di mata Alea.Ia menarik kursi ke dekat meja dan membuka halaman yang terakhir mereka baca bersama."Mulai dari sini," gumamnya pelan dengan menujuk menggunakan jarinya sendiri.Awalnya tertatih. Simbol-simbol itu masih terdengar membingungkan, tapi Damian pernah berkata, kuncinya adalah ritme—bukan hanya hafalan semata. Alea mulai melafalkan dengan pelan, kadang tertahan, kadang mengulang, tapi ia tak pernah berhenti.“Sha... ve... lin... da... mea... ru...” Matanya mengerjap sekilas, “Kenapa berbeda?” tanyanya pada diri sendiri. Kemudian ia membalik
Microwave berhenti berdengung menandakan makanan sudah siap untuk dihidangkan. Damian membuka pintunya dengan hati-hati, lalu mengeluarkannya dengan tangan yang sudah memakai sarung tangan khusus, dan mengaduknya perlahan sebelum memberikannya pada Alea. Uap tipis mengepul, membawa aroma gurih yang cukup menyenangkan untuk mengurangi rasa lapar di pagi hari.“Hangat,” guman Alea seraya menerimanya.Damian duduk di sebelahnya dan mengaduk hidangannya sejenak, lalu ia menyendokkan dengan perlahan. Dalam beberapa menit, mereka makan dengan keheningan yang menyelimuti tanpa ada yang berbicara terkecuali bunyi sendok menyentuh wadah plastik yang menemani sarapan pagi mereka.Damian menoleh pada Alea, “Boleh aku bertanya sesuatu?” ujar Damian di sela-sela makanannya.Alea mengangguk pelan, tetapi tangannya masih fokus pada suapannya.“Jika kau melihat seseorang seperti aku … kau akan mempercayainya?” tanyanya pelan.Alea menghentikan suapannya, dan mendongak menatap Damian dengan kening yan
Carden mengangguk paham, “Baik, Tuan. Dimengerti.”Damian menatap monitor dengan tajam, seakan melihat wajah ayah dan anaknya di dalam sana, "Aku ingin mereka merasa terancam, panik, dan ketakutan.” Ia mengambil napas sejenak, lalu kembali menatap layar monitor peta interaktif yang menampilkan pergerakan terakhir Patricia di Nerezza dua hari yang lalu. "Kita tidak perlu terburu-buru, aku ingin membuat mereka hancur secara perlahan. Kita habisi pengaruh mereka satu per satu dengan cara yang paling menyakitkan ... buat mereka tersiksa dengan apa yang sudah mereka lakukan padaku."Carden menelan ludahnya susah payah. Ia tahu betul bagaimana tuannya tersebut, ketika Damian mulai bermain di ranah psikologis, itu artinya kehancuran lawan hanya tinggal menunggu waktu saja."Dan satu lagi," ucap Damian pelan. "Kontak Faye dengan segera. Suruh wanita itu kembali dan berikan apapun yang ia inginkan. Aku butuh seseorang yang bisa masuk ke lingkaran Patricia tanpa terdeteksi sedikitpun."Carden s
Damian menatap dengan pandangan kosong pada layar di hadapannya yang masih menyala. Sinar kebiruan dari monitor memantul di wajahnya yang kini dipenuhi dengan berbagai bayangan muram yang seakan mengancam. Tangannya terangkat dan bergerak pelan ke arah folder dengan label merah, “Protocol Umbra.” Sebuah rencana yang telah ia susun bertahun-tahun lalu—skenario akhir, ketika semua saluran legal maupun diplomatik tak lagi berarti untuknya. Selama ini, ia tak pernah bepikir jika ia benar-benar harus membuka folder itu. Namun malam ini, segalanya terasa berbeda.Dalam hatinya, konflik menggerogoti keselamatannya secara perlahan. Patricia. Wanita yang dulu pernah ia percaya. Pernah duduk bersamanya di meja yang sama, berbagi strategi, bahkan tawa yang sangat jarang keluar dari bibirnya. Tapi sekarang, nama itu muncul sebagai ancaman utama dalam sistem keamanannya sendiri.“Apa kau pernah benar-benar berubah, Patricia?” pikirnya getir.Ia memutar kembali potongan-potongan masa lalu dalam ing
Damian menghantam meja di depannya menggunakan telapak tangannya, membuat perangkat di sekitarnya sedikit bergetar. Sorot matanya kini penuh dengan kilatan api—bukan hanya marah, tapi karena merasa dikhianati oleh sistem yang seharusnya membantunya."Aku tak membutuhkan laporan resmi dari mereka. Aku butuh KEBENARAN!" desisnya dengan menggertakkan gigi.Carden terdiam sejenak seolah membiarkan tuannya tersebut mengeluarkan emosinya, "Tuan Damian,” panggilnya setelah beberapa saat. “Saya tahu jika Anda tak akan tinggal diam setelah mendengar berita ini. Di sisi lain, saya sudah mengatur pencarian barang bukti melalui jalur bawah tanah dengan alat pendeteksi khusus. Saya akan memastikan dalam beberapa jam ke depan, saya akan mendapatkan pelaku yang membuat mobil itu mengalami kebakaran.""Gali sampai ke akar terdalam sekalipun. Bayar siapa pun yang perlu dibayar untuk bisa mengungkap kasus ini dengan benar, dan jika perlu, terobos sistem mereka tanpa terkecuali dan beberkan pada publik