Badan Alea kembali menegang. Ia belum pernah mengetahui pekerjaan ayahnya kecuali ia sering melihat sang ayah sering bepergian dengan dalih urusan yang penting dan mengajar di sebuah universitas yang berada di kota sebelah.
“Ayahku tidak mungkin… Dia seorang dosen filsafat,” ujarnya hampir tanpa suara.
“Dosen filsafat yang pernah hidup selama tiga tahun tanpa identitas resmi di Ravessia, pada tahun 2004,” Damian membalas dengan nada yang tajam. “Kau tahu berapa banyak nyawa yang hilang di tahun itu karena kebocoran nama agen? Tujuh belas orang,” jelas Damian tanpa sungkan. “Ya ... tujuh belas orang yang berhasil dibunuh oleh ayahmu,” ulang Damian dengan menganggukan kepalanya.
Alea merasa perutnya mual mendengar kata ‘pembunuhan’ dan membayangkan bagaimana mencekamnya suasana pada hari itu. Tapi ia bukan tipe gadis yang mudah percaya pada pria berjas mahal dan sejuta misteri di hadapannya itu. “Dan kenapa kau harus menikahiku? Kalau memang kau membenci ayahku? Bukankah lebih baik kau membunuhku agar dendammu kepada ayahku terbayar lunas?” tanyanya kemudian.
Damian kembali mendekat. Tatapannya seakan menusuk begitu tajam, tapi suaranya terdengar begitu tenang. “Karena kau satu-satunya orang yang bisa memaksa ayahmu untuk keluar dari persembunyiannya selama ini ... dan ayahmu telah menjualmu kepadaku, menyerahkan hidup dan masa depanmu kepadaku ... sesuai dengan keinginanku, tentunya,” jelasnya lagi dengan tajam.
Alea terkesiap tak tahan. “Kau menjadikanku umpan?!” bentaknya. “Sialan, Damian. Aku bukan orang yang bisa diperalat! Aku manusia! Bahkan aku nggak tahu apa-apa tentang hubungan kalian di masa lalu!” tuding Alea tak terima.
Damian tak bergeming mendengar bentakan Alea, ia masih memasang wajah santai cenderung datar. “Kalau kau manusia, maka tunjukkan bahwa kau lebih kuat dari sejarah gelap keluargamu ... dan kau harus mampu membuat ayahmu bertanggungjawab dengan apa yang sudah ia lakukan, alasan kemanusiaan, bukan?” tanyanya dengan senyum getir.
Alea mendorong badan Damian kuat dan bergegas berlari meninggalkan ruang pribadinya dengan nafas yang memburu. Ia tak tahu apakah air yang menetes dari matanya adalah amarah... atau luka yang baru saja tumbuh?
Ia berhasil menggapai pintu kamarnya dan menutupnya dengan keras, menatap cermin besar di depan tempat tidurnya ... bagaimana hidupnya kini semakin tak terarah dengan luka yang begitu sakit ia rasakan. Ia memandang pantulan dirinya di cermin dengan penampilan yang kusut bak gadis yang terpaksa dijual keluarganya demi membayar kesalahan.
Ia mengusap air mata di pipinya dengan pelan, menikmati setiap detik yang terasa menyakitkan. “Ayah ... apa benar?” ujarnya masih tak percaya.
Ia menggelengkan kepalanya berulang kali, “Nggak mungkin ... ayah nggak mungkin sejahat itu,” bisiknya lagi.
Dan kali ini, ia tak lagi melihat dirinya seperti mahasiswi biasa. Ia melihat seseorang yang berdiri di tengah labirin konspirasi, dengan luka warisan dan darah di atas kertas yang menuntutnya untuk bertanggung jawab. Damian boleh saja menjadikannya pion. Tapi ia akan memastikan dirinya menjadi ratu... dengan caranya sendiri, bahkan tanpa bantuan dari siapapun termasuk Damian.
Sudah dua hari sejak hari konfrontasi itu dilakukan. Sejak saat itu pula, Alea tak bicara pada Damian. Ia lebih memilih untuk mengurung diri di kamarnya, menolak makanan, bahkan Rosa pun tak bisa membujuknya untuk bicara.
Tapi sore ini, semuanya seakan berubah seratus delapan puluh derajat. Damian berdiri di ambang pintu kamarnya — tanpa penjaga, tanpa ancaman, dan tanpa tatapan mematikan.
"Aku tahu kamu belum makan apa pun sejak dua hari lalu," katanya dengan pelan.
Alea tidak menoleh sedikitpun. Ia masih duduk di dekat jendela, menatap matahari yang mulai terbenam sendu seperti hatinya akhir-akhir ini. "Kau peduli?"
"Aku peduli... pada misi ini," jawabnya, “dan juga dirimu,” lanjut Damian dalam hati.
Damian melangkah masuk dan menaruh nampan berisi makanan di meja kecil, suaranya berubah menjadi lirih. “Dan kadang ... aku benci bahwa aku harus lebih peduli dari yang seharusnya aku lakukan padamu.”
Alea akhirnya menoleh sejenak. Tatapan mereka bertemu satu sama lain. Dan dalam sepersekian detik, semuanya jadi sunyi.
“Jangan lakukan itu,” bisik Alea.
“Lakukan apa?”
“Bicara seolah kau terluka ... padahal jelas-jelas aku yang dijebak dalam pernikahan bodoh ini,” ujar Alea diakhiri umpatan tajam.
Damian tertawa kecil menanggapinya. Suara begitu rendah dan hampir terdengar pahit di telinga. “Aku tidak menikahimu untuk menjebakmu seperti apa yang kau pikirkan, Alea. Tapi aku juga tidak menyangkal... bahwa keberadaanmu mengacaukan semua rencanaku.”
Ia duduk di kursi di seberang Alea berdiri. Pandangannya tidak lagi dingin dan penuh strategi — melainkan lelah. Manusiawi. “Kau pikir aku siapa, Alea? Mafia yang tak punya hati? Semua orang menganggapku bagai seorang monster yang menakutkan. Dan selama ini, aku pun memercayainya ... sampai kau datang ke dalam hidupku dan mengacaukan semuanya.”
Alea terdiam dalam kebingungannya. Dinding emosinya mulai retak sedikit demi sedikit, akan tetapi debaran di dadanya tak kunjung mereda dan detik berikutnya, badannya luruh ke lantai selaras dengan air matanya yang kembali mengalir.
“Kamu tahu kenapa aku membiarkanmu berbicara kasar, memberontak, bahkan mencoba kabur dari mansionku ini?” Damian bertanya dengan nada memojokkan.
“Karena kamu ingin menyiksaku, bukan?” tanya Alea to the point.
Damian menghela nafasnya sejenak, “Karena kamu satu-satunya orang yang tidak takut padaku. Dan aku ... membenci sekaligus menginginkannya.”
Ia beranjak berdiri, berjalan mendekat, lalu berlutut di hadapan Alea. Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. “Berhentilah membuatku menginginkanmu, Alea. Karena jika aku benar-benar jatuh hati padamu ... tidak akan ada jalan keluar untuk kita berdua.”
Jantung Alea berdegup lebih kencang setelah mendengar ungkapan itu. Entah karena marah... atau karena jiwanya ikut terguncang mendengar pengakuan tak langsung itu. “Damian?” bisik Alea pelan.
Damian merapikan anak rambut Alea yang kini basah karena air mata yang terus menetes, “Kamu tak seharusnya tau lebih banyak tentang semua luka yang kurasakan, Alea. Kamu tak akan mampu merasakan itu ... terlalu sakit untuk bisa kamu cerna,” ucap Damian memberi nasehat. “Kamu tahu kenapa aku sebegitu kerasnya menyembunyikan ini semua darimu?” tanyanya kemudian.
Alea tak menjawabnya, gadis itu hanya bisa menundukkan kepala dan memeluk lututnya erat.
“Alea …,”
“Diam! Jangan bilang apa-apa,” bisik Alea memotong. “Aku tidak akan ikut ke Nerezza. Titik.” Alea melepaskan tangan Damian dan, melipat kedua tangan, lalu berdiri di ambang pintu kamar sambil menatap Damian dengan tatapan keras kepala.
Damian mendongak, rahangnya kembali mengeras. “Kita sudah menunda perjalanan ini selama beberapa waktu karena tingkah bodoh kamu—yang dengan sengaja mencari penyakitmu sendiri.”“Bodoh?” Mata Alea semakin membelalak. “Aku cuma ingin tahu kenapa ada file tentang keluargaku di ruang pribadimu, kenapa semua data pribadiku bisa dikumpulkan dengan mudah sebelum aku dipaksa menikah. Itu bukan hal yang bodoh, itu namanya mencari kebenaran!” bentaknya dengan keras.Damian kembali mendekatinya. Suaranya tetap rendah tapi mengancam. “Kamu sudah masuk ke sistemku tanpa izin, lalu memicu sistem alarm di mansion bawah tanah ini berbunyi, dan membuat salah satu anak buahku tertembak karena sedikit panik mendengar alarm tersebut. Itu bukan mencari kebenaran, itu cari mati namanya, Alea!” ujarnya menekan kata ‘mati’.Alea menggigit bibirnya tak kuasa, matanya memerah, tapi dia tak mau menangis berulang kali di hadapan pria itu. “Kamu bisa saja bilang semua ini tentang misi … tentang perlindungan … ta
Badan Alea kembali menegang. Ia belum pernah mengetahui pekerjaan ayahnya kecuali ia sering melihat sang ayah sering bepergian dengan dalih urusan yang penting dan mengajar di sebuah universitas yang berada di kota sebelah.“Ayahku tidak mungkin… Dia seorang dosen filsafat,” ujarnya hampir tanpa suara.“Dosen filsafat yang pernah hidup selama tiga tahun tanpa identitas resmi di Ravessia, pada tahun 2004,” Damian membalas dengan nada yang tajam. “Kau tahu berapa banyak nyawa yang hilang di tahun itu karena kebocoran nama agen? Tujuh belas orang,” jelas Damian tanpa sungkan. “Ya ... tujuh belas orang yang berhasil dibunuh oleh ayahmu,” ulang Damian dengan menganggukan kepalanya.Alea merasa perutnya mual mendengar kata ‘pembunuhan’ dan membayangkan bagaimana mencekamnya suasana pada hari itu. Tapi ia bukan tipe gadis yang mudah percaya pada pria berjas mahal dan sejuta misteri di hadapannya itu. “Dan kenapa kau harus menikahiku? Kalau memang kau membenci ayahku? Bukankah lebih baik kau
Damian, dengan langkah mantap berjalan masuk tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. “Ini rumahku. Kamar ini juga milikku. Kamu yang menumpang kalau kamu lupa,” sahutnya dengan suara datar namun tegas, menatap Alea dengan tatapan yang tidak terbaca.Dalam suaranya terkandung otoritas dan sedikit ketidakpedulian, membuat Alea merasa kecil dan tidak berdaya di hadapan pemilik rumah tersebut. Alea berdiri dengan begitu berani. “Kalau begitu usir aku sekarang!”Damian menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, “Jika aku membiarkanmu pergi, mereka akan menculikmu malam ini juga. Musuh ayahmu tidak buta dengan keberadaanmu di tempat ini. Dan aku … belum mengizinkanmu untuk mati.”“Lalu, kamu menyiksaku di sini! apa bedanya kau dengan musuh ayahku? kalian sama-sama pembunuh!” bentak Alea dengan menudingkan jarinya.“Kapan aku menyiksa ISTERIKU sendiri? Aku menyiapkan tempat tinggal untukmu, aku juga memberimu perlindungan, bahkan aku tak sedikitpun melukai tubuhmu, darimana aku menyiksamu?” tanyany
"Ayahmu yang sudah mengurus semuanya," jawab Damian tenang. “Dan sekarang dia ... menghilang begitu saja.”Alea limbung. Dunia terasa berputar begitu cepat tanpa bisa ia kendalikan dengan benar. Alea terpaku, matanya terbelalak membaca nama dan tanda tangan yang tertera di dokumen di tangannya. "Ini tidak mungkin," bisiknya pelan, seakan tak mampu mengeluarkan suara. Dada Alea naik turun, rasa kecewa dan marah bercampur menjadi satu. "Ayahku? Bagaimana bisa Ayah melakukan ini padaku?" ucapnya dengan nada yang hampir pecah.Damian tak menjawabnya. Ia menoleh ke penjaga yang berdiri tak jauh darinya. "Bawa dia ke kamar. Kunci dengan pengaman khusus dan jangan beri akses komunikasi apapun. Lusa kita terbang ke Nerezza.""Nerezza?" tanya Alea tak sadar. “Kota yang dikelilingi oleh pegunungan tinggi dengan vila mewah yang terkenal menjadi markas rahasia?” lanjutnya dengan rasa ingin tahu."Untuk bulan madu," bisiknya datar seolah menjawab pertanyaan Alea. “Atau ... eksekusi terakhir. Terg
Alea Moreau tidak pernah menyangka bahwa sore ini akan menjadi hari terakhirnya ia bisa merasakan kebebasan menikmati hidupnya sebagai seorang mahasiswa biasa. Kampus di hari ini terasa begitu sepi, berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang ramai dengan aktivitas mahasiswa yang tak ada hentinya. Suara sepatu hak rendahnya bergema lembut di koridor jurusan kedokteran. Ia baru saja selesai ujian praktek, dan satu-satunya hal yang memenuhi pikirannya hanyalah: tidur semalaman. Bukan tentang pernikahan paksa. Apalagi tentang mafia."Miss Alea Moreau?"Langkah Alea terhenti dengan seketika. Seorang pria bersetelan hitam panjang berdiri di depan pintu ruang dosen, membawa amplop putih dengan segel emas yang tampak asing dan—anehnya—terkesan mengancam."Iya, saya." Ia melangkah dengan ragu. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya kemudian.Pria itu mengangguk paham. "Saya diutus untuk mengantarkan surat ini. Tolong dibuka dan dibaca sekarang juga," ujarnya menyodorkan surat itu kepada Alea.Ale