Badan Alea kembali menegang. Ia belum pernah mengetahui pekerjaan ayahnya kecuali ia sering melihat sang ayah sering bepergian dengan dalih urusan yang penting dan mengajar di sebuah universitas yang berada di kota sebelah.
“Ayahku tidak mungkin… Dia seorang dosen filsafat,” ujarnya hampir tanpa suara.
Damian membalas dengan nada yang tajam. “Kau tahu berapa banyak nyawa yang hilang? Tujuh belas orang,” jelas Damian tanpa sungkan.
Alea merasa perutnya mual mendengar kata ‘pembunuhan’ dan membayangkan bagaimana mencekamnya suasana pada hari itu. Tapi ia bukan tipe gadis yang mudah percaya pada pria berjas mahal dan sejuta misteri di hadapannya itu. “Dan kenapa kau harus menikahiku?” tanyanya kemudian.
Damian kembali mendekat. Tatapannya seakan menusuk begitu tajam, tapi suaranya terdengar begitu tenang. “Karena kau bisa membuat dia keluar dari persembunyiannya,” jelasnya lagi dengan tajam.
Alea terkesiap tak tahan. “Kau menjadikanku umpan?” lirihnya takut.
Damian tak bergeming mendengar suara Alea, ia masih memasang wajah santai cenderung datar. “Kalau kau manusia, tunjukkan kau lebih kuat dari sejarah gelap keluargamu,” ujarnya dengan senyum getir.
Tubuh Alea gemetar, rasa takut semakin menyerang batinnya, ia tak tahu apakah air yang menetes dari matanya adalah amarah ... atau luka yang baru saja tumbuh?
“Ak—aku mau ke kamar,” pamit Alea sedikit tergagap.
Ia berlari dengan hati yang berkecamuk, menggapai pintu kamarnya setelah meraihnya susah payah dan menutupnya dengan cepat, menatap cermin besar di depan tempat tidurnya ... bagaimana hidupnya kini semakin tak terarah dengan luka yang begitu sakit ia rasakan. Ia memandang pantulan dirinya di cermin dengan penampilan yang kusut bak gadis yang terpaksa dijual keluarganya demi membayar kesalahan.
Ia mengusap air mata di pipinya dengan pelan, menikmati setiap detik yang terasa menyakitkan. “Ayah ... apa benar?” ujarnya masih tak percaya. Ia menggelengkan kepalanya berulang kali, “Ayah tidak mungkin sejahat itu,” bisiknya lagi.
Tangannya bergetar hebat, kakinya lemas tak berdaya. Ia luruh begitu saja. Tangannya mencengkeam kepala dengan erat, menarik rambutnya untuk meluapkan rasa sakit. Berkali-kali ia menggelengkan kepala, mengusir semua bisikan-bisikan yang menghantui pikirannya.
Dan kali ini, ia tak lagi melihat dirinya seperti mahasiswi biasa. Ia melihat seseorang yang berdiri di tengah labirin konspirasi, dengan luka warisan dan darah di atas kertas yang menuntutnya untuk bertanggung jawab.
***
Sudah dua hari sejak kejadian memilukan itu dilakukan. Sejak saat itu pula, Alea tak bicara pada siapapun. Ia lebih memilih untuk mengurung diri di kamarnya, menolak semua makanan, bahkan Rosa pun tak bisa membujuknya untuk bicara.
Tapi sore ini, semuanya seakan berubah seratus delapan puluh derajat. Damian berdiri di ambang pintu kamarnya — tanpa penjaga, tanpa ancaman, dan tanpa tatapan mematikan.
"Aku tahu kau belum makan," katanya dengan pelan.
Alea menoleh sekilas, menyimpan rasa takut dalam matanya yang semakin sayu. Ia masih duduk di dekat jendela, menatap matahari yang mulai terbenam sendu seperti hatinya akhir-akhir ini. "Kenapa kau peduli?"
"Aku peduli... pada misi ini," jawabnya, “dan juga dirimu,” lanjut Damian dalam hati. Damian melangkah masuk dan menaruh nampan berisi makanan di meja kecil, suaranya berubah menjadi lirih. “Dan kadang ... aku benci jika harus lebih peduli dari yang seharusnya.”
“Jangan lakukan itu,” bisik Alea lirih.
“Lakukan apa?”
“Bicara seolah kau terluka ... padahal kau telah berhasil menikamku,” ujar Alea dengan tatapan kosong.
Damian tertawa kecil menanggapinya. Suara begitu rendah dan hampir terdengar pahit di telinga. “Aku tidak menikammu, Alea. Tapi aku juga tidak menyangkal ... bahwa keberadaanmu mengacaukan semua rencanaku.”
Alea bergidik ngeri, ia membayangankan bagaimana hidupnya dalam cengkeraman Damian yang begitu menakutkan. Benaknya memandang jauh … nyawanya kini—berada di tangan pria itu yang kapan saja bisa diambil dengan mudah.
Damian duduk di kursi di seberang Alea berdiri. Pandangannya tidak lagi dingin dan penuh strategi — melainkan lelah. Manusiawi. “Kau pikir aku siapa? Mafia tak punya hati? Monster menakutkan?”
Alea terdiam dalam kebingungannya. Dinding emosinya mulai retak sedikit demi sedikit, akan tetapi debaran di dadanya tak kunjung mereda dan detik berikutnya, badannya luruh ke lantai selaras dengan air matanya yang kembali mengalir.
Damian beranjak berdiri, berjalan mendekat, lalu berlutut di hadapan Alea. Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. “Berhenti membuatku menginginkanmu, Alea.”
Jantung Alea berdegup lebih kencang setelah mendengar ungkapan itu. Entah karena marah... atau karena jiwanya ikut terguncang mendengar pengakuan menakutkan itu. “Damian?” bisik Alea pelan.
Damian mencondongkan wajahnya mengikis jarak di antara mereka, “Kau tak tau semua luka yang kurasakan, Alea,” bisik Damian.
Alea tak menjawabnya, gadis itu hanya bisa menundukkan kepala dan memeluk lututnya erat, sementara mataya terpejam.
“Alea …,”
Alea menggelengkan kepalanya lemah, “Jangan lanjutkan apapun,” bisik Alea menutup kedua telinganya, matanya masih terpejam. “Aku tidak akan ikut ke Nerezza … aku tdak ingin kehilangan nyawaku,” lanjut Alea lirih.
Alea menarik tangan Damian dengan sedikit keras, setelah menyantap hidangan di meja makan, ia tak lagi bisa bersabar untuk melanjutkan karyanya yang sudah ia persiapkan seminggu yang lalu."Alea, hati-hati," ujar Damian memperingati. Ia sedikit menahan badannya agar tak terhuyung ke depan dan menghimpit badan Alea."Aku sudah tidak sabar," jawab Alea. "Kau bisa tidak berjalan sedikit lebih cepat?" tanyanya lagi dengan menoleh ke belakang.Damian hanya menghela napasnya panjang, lalu pria itu menarik tubuhnya dan membuat Alea sedikit tertahan. dan dengan gerakan yang cepat, tangannya yang semula berada di genggaman Alea, kini sudah berada di bahu Alea dan menahan laju gadis itu dengan cepat."Lebih baik begini," ujarnya memperlambat langkahnya.Alea mengerucutkan bibirnya, tetapi ia tak berani membantah lagi, dan ketika pintu ruangan sudah mulai tampak di pelupuk matanya, Alea menyunggingkan senyum manis, bayangannya sudah mencerna bagaimana serunya menyusun bunga itu satu per satu.Da
“Ayahmu sendiri yang memilih jalan ini, Alea,” kata Damian dengan tegas. “Dan jika dia menganggap keselamatanmu penting baginya, ia sudah muncul sejak pertama kali kau dibawa ke tempat ini. Tetapi sekarang? Ia hanya bisa melindungimu dari jauh.”Carden yang tengah terfokus pafa komputer di hadapannya, kini melirik Damian sekilas, “Tuan. Parimeter sebelah selatam dan timur sudah aman dari gangguan. Tapi, saya menyarankan untuk melakukan patroli lebih lanjut di malam ini, terutama di akses menuju runag bawah tanah,” ujarnya dengan tegas.“Lakukan itu,” sahut Damian.“Baik, Tuan,” jawab Carden meninggalkan ruangan itu beserta para pengawal lainnya.Sementara Alea yang masih menundukkan kepalanya, kini tak berani menatap Damian sedikitpun. Gadis itu terlalu takut untuk sekedar bertanya pada Damian tentang apa yang ingin mereka lakukan selanjutnya.“Ayo kita ke kamar,” ujarnya pada Alea.Alea mendongak, lalu menganggukan kepalanya. “Baiklah,” ujarnya mengikuti langkah Damian dengan lemah.
“Dalam perjalanan kembali ke mansion, dan akan segera melakukan evaluasi sistem. Sementara Rosa sudah berada di tempat aman.”Ia segera mengetikan balasan dengan begitu cepat dan mengirimkannya kepada Damian. Begitu lift terhenti, dan pintu terbuka, terdapat dua orang pengawal yang berjaga di depan pintu dan segera bersiap mengawal Carden. Ia menganggukkan kepalanya pada mereka, lalu mereka bergegas menuju mobil lapis baja dan membuka pintu belakang untuk Carden. Kendaraan tersebut melaju dengan kencang meninggalkan rumah sakit St. Zamoora dan kembali menembus jalanan kota di malam hari untuk mencapai mansion.Tak membutuhkan waktu yang lama, mobil itu sampai di depan pintu gerbang mansion yang kini di jaga oleh pengawal berseragam lengkap. Carden membuka kaca jendela dan menganggukkan kepalanya kepada mereka sebelum kembali menembus jalanan mansion menuju pintu utama.“Berhenti di sini,” ujarnya pada pengawal dibalik kemudi.Ia segera membuka pintu dan meloncat dengan cepat, lalu sed
Ambulans berhenti tepat di area parkir khusus milik keluarga Zamoora. Gedung ini tak terlihat seperti rumah sakit pada umumnya, melainkan lebih menyerupai villa dengan tulisan di atas gerbangnya St. Zamoora Private Medical tanpa keterangan lain yang menjelaskan lebih lanjut. Pintu belakang ambulans segera dibuka oleh seorang perawat yang bergegas menghampiri ambulans lengkap dengan mengenakan APD khusus dan kartu identitas yang terletak i sebelah kiri APD mereka, sementara wajahnya tertutup oleh masker medis.Carden turun terlebih dahulu, lalu membantu mengeluarkan Rosa bersama dengan Dokter Clara dan beberapa perawat lain yang sigap membantu.“Pasien dengan kode ‘Vespeer’ sudah berada di tempat,” ujar Dokter Clara memberi kode dengan menatap mereka sekilas yang dihadiahi anggukan sebagai jawaban.Petugas tersebut segera mengecek tablet di tangannya dan mencocokkan sekilas, lalu menggesekan kartu yang dibawanya ke pintu elektronik yang mengarah pada lantai steril khusus untuk perawata
“Jangan pikirkan apapun tentang ayahmu, lagi,” bisik Damian mengusap kepala Alea dengan lembut. “Aku tahu jika kau amat terluka mendengar kejadian ini. Tapi, kau tidak berdiri sendirian menghadapi ini semua.”Alea menggigit bibir bawahnya, “Damian ...,” bisiknya lirih dengan mengeratkan pelukannya. “Aku takut.”Damian melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Alea menggunakan kedua tangannya, “Takut kepada siapa hm?”Alea menatap Damian, lalu menggelengkan kepalanya. “Semuanya ... ayahku, orang-orang itu ... masa depanku ...,” ujarnya menghela napas panjang. “Aku bahkan tidak tahu harus mempercayai siapa lagi selain kau dan Rosa.”Damian membalas tatapan itu dalam, “Kau tak perlu mempercayai siapapun lagi. Kau cukup percaya dengan dirimu dan apa yang ingin kau lakukan. Jika kau masih belum sepenuhnya percaya ... kau bisa mempercayaiku.”Alea menelan ludahnya susah payah, “Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?”“Tidak akan ada yang terlambat untuk menyelamatkan dirimu sendiri,” pun
Bayangan demi bayangan masa kecil Alea kembali terbesit di dalam benaknya. Ia kembali mengingat bagaimana sang ayah selalu menjaganya di setiap kesempatan sebelum akhirnya ia menghilang begitu saja dengan alasan menjadi seorang dosen di kota lain“Aku takut, Damian,” guman Alea nyaris tak terdengar. “Takut jika semuanya berakhir tanpa penjelasan apapun. Aku juga takut kehilanganmu di tengah perang yang bahkan tak kupahami apa alasan dibaliknya.”Damian mengangkat tangannya dan mengusap pipi Alea dengan lembut, menyeka satu tetes air mata yang meluncur dari mata indah milik Alea. “Aku bukanlah laki-laki yang mudah percaya dengan orang lain, Alea. Tapi, entah kenapa ketika aku melihatmu tetap berada di sisiku, aku seakan bisa menggenggam dunia dan bisa bertahan di atasnya.”Alea tersenyum mendengarnya, meskipun pandangan di matanya sedikit berkabut, “Kau selalu tahu harus mengatakan apa padaku.”Damian menarik kursi di belakangnya dan mendudukan dirinya, lalu kedua tangannya menggenggam