Share

Bab. 10 Kakinya Bertato

Sore itu Isa juga bercerita sedikit tentang Lidya, mendiang Istri Abe. Baginya Wanita itu adalah cinta pertama bagi kakaknya, tak ada yang dapat membuat Abe buta akan cinta selain Lidya. Namun sayang, selama pernikahan mereka Istri Abe ini terbilang sangat ringkih, mudah sakit.

Pernah suatu ketika hanya karena kehujanan Lidya bisa sampai mimisan dan yang paling parah karena selimut lupa dicuci, tubuhnya bentol-bentol berhari-hari.

"Tapi ya begitulah, hidup ini adil Rain. Saat Lidya sangat lemah Abe lah yang menutupi semua kekurangan istrinya itu" Cerita Isa pada Rain.

"Aku rasa Abe memang pria yang baik, hanya saja dia masih enggan untuk melupakan mendiang istrinya itu"

"Karenanya kau harus sabar ya"

"Semoga, aku tak tau apa yang akan terjadi besok" Tutup Rain dengan wajah sedih.

Isa yang melihat wajah sedih Rain tau betul bahwa gadis muda itu tak benar-benar berani menghadapi Abe yang tampaknya galak namun sebenarnya sangat pengertian. Saat saling terdiam Isa memiliki ide untuk membawa Rain pulang kerumah Abe di Surabaya.

"Hei, mengapa kau tak pulang saja dengan Gia ke Surabaya hari ini?"

"Ah jangan kak, nanti Abe marah. Lagian aku sudah bilang padanya aku akan bereskan barang-barangku di kosan besok pagi"

"Tak apa, kita liat ekspresinya"

"Nanti kalau dia marah, bagaimana?"

"Kita coba dulu, kau pasti bisa"

Rain berpikir sejenak, sebenarnya dia tak sepenuhnya yakin tapi entahlah perkataan Isa terasa menantangnya untuk mencoba.

"Mmmm,,,, baik lah ayo" Jawab Rain sambil tersenyum.

Isa kemudian memanggil supir untuk mengantar mereka pulang ke Surabaya sore itu juga. Perjalanan sangat lancar sehingga satu setengah jam saja mereka sudah tiba. 

Mereka pun tiba disebuah rumah mewah disebuah perumahan tak jauh dari pintu keluar tol, Rumah yang dua kali lebih besar dari yang ada di Malang. Rain hanya terdiam saat Isa meminta satpam rumah membuka gerbang.

Mobilpun diparkir tak jauh dari pintu masuk,

"Ayo, ini rumah Abe. Selamat datang" Isa mempersilahkan Rain masuk

"Besar sekali rumahnya"

"Ayo mami masuk" Gia mulai menarik tangan Rain

Rain pun masuk, begitu pintu dibuka nampak sebuah foto keluarga yang amat besar dengan vigura mewah terpajang disana. Foto yang memperlihatkan pemilik rumah.

Difoto itu nampak Abe, mendiang istri dan keempat anaknya begitu artistik, Rain hanya tersenyum membayangkan betapa bahagiannya semua anggota keluarga saat foto itu dibuat.

"Siapa kau?" Teriak Lio saat melihat Rain masuk

"Ini Rain" Jawabnya sambil tersenyum

Lio sangat marah ibu tirinya itu datang, dia lalu berlari menuju kamarnya sambil terus berteriak tak terima

"Papi jahat, sejak kapan kau boleh masuk kerumah ini?"

"Lio dengar Mama Isa sayang"

"Kau juga, kenapa kau ijinkan perempuan ini masuk kemari, kau tau rumah ini hanya milik mami ku"

Rain terkaget, dia baru sadar kehadirannya hari itu adalah kesalah besar. Anak-anak belum sepenuhnya bersedia menerimanya, karena itu Abe hanya mengijinkannya tinggal di rumah Malang.

"Kak Isa, biar aku pulang saja" Bisik Rain dengan raut wajah khawatir

"Tidak bisa begitu Rain, Lio harus belajar menerimamu"

"Jangan ka"

Tak lama berselang terdengar sebuah mobil masuk kehalaman rumah, kemudian pintupun terbuka.

"Rainnnn..." Nampaknya Abe yang datang, dia nampak sangat marah

"Begini Abe, aku yang mengajak Rain kemari, ini semua salahku"

"Kalian ini" Abe kemudian menarik tangan Isa dan Rain masuk kesebuah ruang kerja dan menutup rapat pintu ruangan itu.

"Rain, kenapa kau selalu membuatku marah"

"Ini salah ku Abe" Isa membela Rain

"Kau juga, kenapa kau tak juga mengerti kondisi anak-anakku, mereka belum siap menerima siapapun masuk kerumah ini" Teriak Abe memekakkan telinga

"Sudah lah aku pulang saja" Rain melangkah pergi meninggalkan Abe

Isa kemudian menarik tangan Rain

"Tunggu, Rain..." Isa mencoba mencegah

"Haaah, kalian hanya membuatku pusing saja" Teriak Abe sambil menarik tangan Rain

"Jadi aku harus bagaimana?" Rain mulai menangis

Melihat Rain menangis Abe pun mulai menurunkan nada bicaranya.

"Aku akan bicara pada Lio, tapi kalau usahakan jangan satu ruangan dulu dengannya ya" ujar Abe sambil berjalan menuju kamar Lio.

Dia berjalan setengah berlari, kemudian masuk ke dalam kamar putranya itu. Rain yang tak menyangka respon Lio yang begitu keras menentang kedatangannya hanya bisa menunggu.

Tak berapa lama kemudian Abe kembali masuk keruang kerja itu,

"Bagaimana?" Tanya Rain penasaran

"Baiklah, dia mau kau disini, tapi kau diam dikamar saja kecuali aku panggil ya" Abe menjelaskan dengan wajah lelah.

"Iya Abe, maaf. Aku tak tau kalau dia semarah itu"

"Aku belum cerita padamu karena kerjaanku sedang banyak, tapi sudahlah. Isa, kau juga kenapa kau bawa dia tanpa ijin dulu padaku"

"Maaf Abe, aku pikir mereka akan baik-baik saja seperti saat kita bertemu di Batu"

"Ya sudahlah, Rain kau naik kekamar. Ingat jangan keluar kalau tidak aku panggil. Jangan bikin aku makin marah padamu" Abe melotot begitu menakutkan.

Tanpa banyak bicara Rain menurut, dia naik kekamarnya dilantai dua ditemani asisten rumah tangga. Gia, Gio dan Lia hanya terdiam tanpa mampu berkata apa-apa.

"Anak-anak ayo masuk kamar, nanti papi marah lagi" Ujar Isa sambil menuntun anak-anak masuk kekamar mereka.

Rainpun masuk kamar, kamar Abe sangat besar. Sama seperti kamar dirumah Malang, kamar itu juga terdapat sofa yang cukup besar menghadap kehalaman belakan rumah. Disana juga terdapat buffet yang berisi foto-foto mendiang Lidya.

Tak lama setelah Rain masuk Abe pun masuk, dia meminta asisten rumah tangga meninggalkan mereka berdua.

Rain hanya dapat menarik nafas panjang saat melihat suaminya itu menghampirinya.

"Aku mau mandi, kau jangan kemana-mana"

"Iya, aku duduk saja disini"

"Baguslah"

Kemudian Abe masuk kamar mandi dan menyalakan air didalam bathtub. Setelah air terisi dengan air hangat diapun mulai berendam.

Kepalanya terasa sangat berat, rasanya ingin teriak tapi malu pada Rain yang menunggu dikamar.

Setelah cukup lama berendam diapun keluar kamar mandi dengan menggunakan handuk kimono sebatas lutut.

Begitu melihat Abe dengan handuk itu Rain terkaget sambil berteriak

"Abeeee...."

"Apa?" Abe kebingungan

"Kamuuu"

"Apa sih"

"Kamu punya tatto"

Abe kebingungan melihat ekspresi istrinya itu, dia kemudian melihat kearah kakinya yang memang terdapat tatto cukup besar.

"Memangnya kenapa kalau kakiku ada tattonya"

"Di kampung ku yang punya tatto itu preman, anak nakal, ya sejenis itu" Rain menjelaskan dengan wajah polosnya

"Rainnn... sudahlah, jangan bikin aku kesal ya" Abe menaikkan nada suaranya

"Kenapa kau punya tatto, bukankah kau bekerja dikantoran. Harusnya tubuhmu bersih dari tatto"

"Aku kan sudah bilang, aku ini keturunan Jepang. Bagi orang Jepang punya tatto itu sesuatu yang biasa, kenapa kau kaget sekali melihatnya" Abe makin kesal

"Iya aku tau, tapi jangan sampai ibuku lihat ya, dia bisa marah kalau tau menantunya punya tatto"

"Hadeeh kau ini, lagian kita kan cuma menikah untuk beberapa tahun ini saja kan? kenapa kau harus setakut itu kalau ibumu sampai tau aku bertatto"

"Iya juga ya, kita kan cuma nikah pura-pura" Rain melempar senyuk kuda ke Abe

"Ahh kau ini, sudahlah aku mau pakai baju dulu. Aku lelah meladenimu"

Abe pun bergegas mengenakan pakaiannya, Rain yang melihatnya dari balik tirai terdiam kebingungan harus bagaimana dia menghadapi anak-anak Abe kelak.

"Kenapa kau diam? Kau kagum ya melihat tubuhku?"

"Ih kau ini, kotor sekali pikiranmu itu"

"Sudah berani bicara begitu kau sekarang. Jujurlah padaku, aku seksi kan"

"Ah percumah, kalau pun aku suka kau tak mungkin menyentuhku kan"

Mendengar perkataan Rain itu timbul rasa menyesal pada hati Abe, sebenarnya dia juga ingin menikah seperti seharusnya. Abe kemudian melihat foto-foto mendiang istrinya diantara buffet dekat tempatnya berdiri kemudian terdiam.

Mereka kemudian saling pandang,

"Ahhh sudahlah aku mau menemui anak-anakku saja, nanti aku akan meminta asisten rumah tangga untuk mengantarkan makan malam untukmu ya. Kau diam saja disini"

"Iya, terserah kau" Jawab Rain sambil menghela nafas panjang.

Malam itu malam pertama Rain dirumah Surabaya, semua aktifitas dilakukan didalam kamar, sesekali dia menyalakan televisi yang terpasang menghadap tempat tidurnya. Meski bosan dia tak tau harus bagaimana lagi. Dia hanya berharap anak-anak Abe dapat segera menerimanya walau hanya sebagai teman papinya

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status