Sore itu Isa juga bercerita sedikit tentang Lidya, mendiang Istri Abe. Baginya Wanita itu adalah cinta pertama bagi kakaknya, tak ada yang dapat membuat Abe buta akan cinta selain Lidya. Namun sayang, selama pernikahan mereka Istri Abe ini terbilang sangat ringkih, mudah sakit.
Pernah suatu ketika hanya karena kehujanan Lidya bisa sampai mimisan dan yang paling parah karena selimut lupa dicuci, tubuhnya bentol-bentol berhari-hari.
"Tapi ya begitulah, hidup ini adil Rain. Saat Lidya sangat lemah Abe lah yang menutupi semua kekurangan istrinya itu" Cerita Isa pada Rain.
"Aku rasa Abe memang pria yang baik, hanya saja dia masih enggan untuk melupakan mendiang istrinya itu"
"Karenanya kau harus sabar ya"
"Semoga, aku tak tau apa yang akan terjadi besok" Tutup Rain dengan wajah sedih.
Isa yang melihat wajah sedih Rain tau betul bahwa gadis muda itu tak benar-benar berani menghadapi Abe yang tampaknya galak namun sebenarnya sangat pengertian. Saat saling terdiam Isa memiliki ide untuk membawa Rain pulang kerumah Abe di Surabaya.
"Hei, mengapa kau tak pulang saja dengan Gia ke Surabaya hari ini?"
"Ah jangan kak, nanti Abe marah. Lagian aku sudah bilang padanya aku akan bereskan barang-barangku di kosan besok pagi"
"Tak apa, kita liat ekspresinya"
"Nanti kalau dia marah, bagaimana?"
"Kita coba dulu, kau pasti bisa"
Rain berpikir sejenak, sebenarnya dia tak sepenuhnya yakin tapi entahlah perkataan Isa terasa menantangnya untuk mencoba.
"Mmmm,,,, baik lah ayo" Jawab Rain sambil tersenyum.
Isa kemudian memanggil supir untuk mengantar mereka pulang ke Surabaya sore itu juga. Perjalanan sangat lancar sehingga satu setengah jam saja mereka sudah tiba.
Mereka pun tiba disebuah rumah mewah disebuah perumahan tak jauh dari pintu keluar tol, Rumah yang dua kali lebih besar dari yang ada di Malang. Rain hanya terdiam saat Isa meminta satpam rumah membuka gerbang.
Mobilpun diparkir tak jauh dari pintu masuk,
"Ayo, ini rumah Abe. Selamat datang" Isa mempersilahkan Rain masuk
"Besar sekali rumahnya"
"Ayo mami masuk" Gia mulai menarik tangan Rain
Rain pun masuk, begitu pintu dibuka nampak sebuah foto keluarga yang amat besar dengan vigura mewah terpajang disana. Foto yang memperlihatkan pemilik rumah.
Difoto itu nampak Abe, mendiang istri dan keempat anaknya begitu artistik, Rain hanya tersenyum membayangkan betapa bahagiannya semua anggota keluarga saat foto itu dibuat.
"Siapa kau?" Teriak Lio saat melihat Rain masuk
"Ini Rain" Jawabnya sambil tersenyum
Lio sangat marah ibu tirinya itu datang, dia lalu berlari menuju kamarnya sambil terus berteriak tak terima
"Papi jahat, sejak kapan kau boleh masuk kerumah ini?"
"Lio dengar Mama Isa sayang"
"Kau juga, kenapa kau ijinkan perempuan ini masuk kemari, kau tau rumah ini hanya milik mami ku"
Rain terkaget, dia baru sadar kehadirannya hari itu adalah kesalah besar. Anak-anak belum sepenuhnya bersedia menerimanya, karena itu Abe hanya mengijinkannya tinggal di rumah Malang.
"Kak Isa, biar aku pulang saja" Bisik Rain dengan raut wajah khawatir
"Tidak bisa begitu Rain, Lio harus belajar menerimamu"
"Jangan ka"
Tak lama berselang terdengar sebuah mobil masuk kehalaman rumah, kemudian pintupun terbuka.
"Rainnnn..." Nampaknya Abe yang datang, dia nampak sangat marah
"Begini Abe, aku yang mengajak Rain kemari, ini semua salahku"
"Kalian ini" Abe kemudian menarik tangan Isa dan Rain masuk kesebuah ruang kerja dan menutup rapat pintu ruangan itu.
"Rain, kenapa kau selalu membuatku marah"
"Ini salah ku Abe" Isa membela Rain
"Kau juga, kenapa kau tak juga mengerti kondisi anak-anakku, mereka belum siap menerima siapapun masuk kerumah ini" Teriak Abe memekakkan telinga
"Sudah lah aku pulang saja" Rain melangkah pergi meninggalkan Abe
Isa kemudian menarik tangan Rain
"Tunggu, Rain..." Isa mencoba mencegah
"Haaah, kalian hanya membuatku pusing saja" Teriak Abe sambil menarik tangan Rain
"Jadi aku harus bagaimana?" Rain mulai menangis
Melihat Rain menangis Abe pun mulai menurunkan nada bicaranya.
"Aku akan bicara pada Lio, tapi kalau usahakan jangan satu ruangan dulu dengannya ya" ujar Abe sambil berjalan menuju kamar Lio.
Dia berjalan setengah berlari, kemudian masuk ke dalam kamar putranya itu. Rain yang tak menyangka respon Lio yang begitu keras menentang kedatangannya hanya bisa menunggu.
Tak berapa lama kemudian Abe kembali masuk keruang kerja itu,
"Bagaimana?" Tanya Rain penasaran
"Baiklah, dia mau kau disini, tapi kau diam dikamar saja kecuali aku panggil ya" Abe menjelaskan dengan wajah lelah.
"Iya Abe, maaf. Aku tak tau kalau dia semarah itu"
"Aku belum cerita padamu karena kerjaanku sedang banyak, tapi sudahlah. Isa, kau juga kenapa kau bawa dia tanpa ijin dulu padaku"
"Maaf Abe, aku pikir mereka akan baik-baik saja seperti saat kita bertemu di Batu"
"Ya sudahlah, Rain kau naik kekamar. Ingat jangan keluar kalau tidak aku panggil. Jangan bikin aku makin marah padamu" Abe melotot begitu menakutkan.
Tanpa banyak bicara Rain menurut, dia naik kekamarnya dilantai dua ditemani asisten rumah tangga. Gia, Gio dan Lia hanya terdiam tanpa mampu berkata apa-apa.
"Anak-anak ayo masuk kamar, nanti papi marah lagi" Ujar Isa sambil menuntun anak-anak masuk kekamar mereka.
Rainpun masuk kamar, kamar Abe sangat besar. Sama seperti kamar dirumah Malang, kamar itu juga terdapat sofa yang cukup besar menghadap kehalaman belakan rumah. Disana juga terdapat buffet yang berisi foto-foto mendiang Lidya.
Tak lama setelah Rain masuk Abe pun masuk, dia meminta asisten rumah tangga meninggalkan mereka berdua.
Rain hanya dapat menarik nafas panjang saat melihat suaminya itu menghampirinya.
"Aku mau mandi, kau jangan kemana-mana"
"Iya, aku duduk saja disini"
"Baguslah"
Kemudian Abe masuk kamar mandi dan menyalakan air didalam bathtub. Setelah air terisi dengan air hangat diapun mulai berendam.
Kepalanya terasa sangat berat, rasanya ingin teriak tapi malu pada Rain yang menunggu dikamar.
Setelah cukup lama berendam diapun keluar kamar mandi dengan menggunakan handuk kimono sebatas lutut.
Begitu melihat Abe dengan handuk itu Rain terkaget sambil berteriak
"Abeeee...."
"Apa?" Abe kebingungan
"Kamuuu"
"Apa sih"
"Kamu punya tatto"
Abe kebingungan melihat ekspresi istrinya itu, dia kemudian melihat kearah kakinya yang memang terdapat tatto cukup besar.
"Memangnya kenapa kalau kakiku ada tattonya"
"Di kampung ku yang punya tatto itu preman, anak nakal, ya sejenis itu" Rain menjelaskan dengan wajah polosnya
"Rainnn... sudahlah, jangan bikin aku kesal ya" Abe menaikkan nada suaranya
"Kenapa kau punya tatto, bukankah kau bekerja dikantoran. Harusnya tubuhmu bersih dari tatto"
"Aku kan sudah bilang, aku ini keturunan Jepang. Bagi orang Jepang punya tatto itu sesuatu yang biasa, kenapa kau kaget sekali melihatnya" Abe makin kesal
"Iya aku tau, tapi jangan sampai ibuku lihat ya, dia bisa marah kalau tau menantunya punya tatto"
"Hadeeh kau ini, lagian kita kan cuma menikah untuk beberapa tahun ini saja kan? kenapa kau harus setakut itu kalau ibumu sampai tau aku bertatto"
"Iya juga ya, kita kan cuma nikah pura-pura" Rain melempar senyuk kuda ke Abe
"Ahh kau ini, sudahlah aku mau pakai baju dulu. Aku lelah meladenimu"
Abe pun bergegas mengenakan pakaiannya, Rain yang melihatnya dari balik tirai terdiam kebingungan harus bagaimana dia menghadapi anak-anak Abe kelak.
"Kenapa kau diam? Kau kagum ya melihat tubuhku?"
"Ih kau ini, kotor sekali pikiranmu itu"
"Sudah berani bicara begitu kau sekarang. Jujurlah padaku, aku seksi kan"
"Ah percumah, kalau pun aku suka kau tak mungkin menyentuhku kan"
Mendengar perkataan Rain itu timbul rasa menyesal pada hati Abe, sebenarnya dia juga ingin menikah seperti seharusnya. Abe kemudian melihat foto-foto mendiang istrinya diantara buffet dekat tempatnya berdiri kemudian terdiam.
Mereka kemudian saling pandang,
"Ahhh sudahlah aku mau menemui anak-anakku saja, nanti aku akan meminta asisten rumah tangga untuk mengantarkan makan malam untukmu ya. Kau diam saja disini"
"Iya, terserah kau" Jawab Rain sambil menghela nafas panjang.
Malam itu malam pertama Rain dirumah Surabaya, semua aktifitas dilakukan didalam kamar, sesekali dia menyalakan televisi yang terpasang menghadap tempat tidurnya. Meski bosan dia tak tau harus bagaimana lagi. Dia hanya berharap anak-anak Abe dapat segera menerimanya walau hanya sebagai teman papinya
Setelah kejadian penuduhan terhadap Una, kini Rain semakin tau siapa Ibu Kara. Dia jadi lebih hati-hati pada asisten rumah tangganya itu. Tak banyak bicara dia kini pada Ibu Kara. Setiap wanita paruh baya itu mengajaknya berbicara dia kini memilih untuk banyak diam."Kenapa kau jadi seperti itu Rain?" Tanya ibunya"Kenapa bu?""Kau jadi tampak berbeda sekang.""Tidak ada yang terjadi, aku hanya berhati-hati pada asisten rumah tanggaku saja"====Hari ini Rain memberanikan diri untuk pergi kekampus, sudah banyak sekali ketertinggalannya distudinya ini. Setelah bersiap diapun kemudian berpamitan dengan Abe."Aku pegi kuliah dulu ya." Pamit Rain"Baiklah, hati-hati." Jawab Abe dingin.Rain membuka pintu dan pergi sambil melambaikan tangannya tanpa balasan dari suaminya.Saat sampai dikampur Rain sedikit heran, mengapa kampus tampak sepi berbeda dari hari-hari biasanya."Rain..." Seru seseorang dari belakang
Pagi ini udara di Malang sangat sejuk, embut turun dengan begitu indah membuat suasana menjadi sangat lembut. Rain bersiap untuk pergi kuliah karena minggu lalu tak datang satu haripun karena mengurusi suaminya dirumah sakit.Tak mau menghabiskan waktu, diapun segera turun untuk sarapan pagi. Ibu Kara nampak sudah menyiapkan sepotong roti dengan selai anggur kesukaannya beserta segelas susu yang selalu harus diminum anggota keluarga Abe setiap hari.Setelah Rain menyelesaikan sarapannya Unapun menghampiri."Hari ini kau akan berangkat kuliah juga?" Tanya Una"Iya aku sudah ketinggalan jauh sekali" Ujar Rain sambil menghela nafas panjang.Una kemudian membuka tas yang dibawanya, dia kemudian terkaget ketika melihat didalam tasnya itu ada sebuah benda yang tak dikenalnya."Hei itukan..." Teriak Rain kaget melihat sapu tangan Abe ada didalam tas sahabatnya itu."Rain aku tidak tau bagaimana benda ini ada disini" Ujar Una terkaget
Hari ini Keluarga Abe memilih pulang ke Malang untuk masa penyembuhan Abe, Mereka merasa jika tinggal di Surabaya, Abe ngak akan bisa istirahat secara total karena dia akan selalu menginggat akan pekerjaannya yang tak pernah berkurang.Mobil pun disiapkan untuk keberangkatan mereka semua ke Malang, tak lupa mereka membawa sedikit perbekalan untuk cemilan selama diperjalanan.Setelah semua siap merekapun berangkat. Perjalanan hari ini tanpa hambatan, cukup 2 jam saja mereka sudah tiba dirumah Malang."Selamat datang" Sambut Ibu Rain saat mereka membuka pintu"Ibu apa kabar?" Rain menyapa dengan penuh kerinduan"Alhamdulillah baik. Ibu dan Ibu Kara sudah memasak untuk kalian semua, ayo segera disantap. Kalian pasti kelaparan.""Terima kasih, yuk kita makan" dan merekapun bergegas menuju ruang makan.Obrolan ringanpun bersautan terdengar selama makan siang itu, ayam goreng buatan ibu laris disantap anak-anak sedang Abe lebih memilih maka
Sorepun menjelang, Gia yang terlelap akhirnya terbangun. Begitu bangun dia segera meminta duduk disamping papinya."Gia peluk papi ya, biar papi cepat sembuh" Gia kemudian memeluk Abe dengan manja"Gia kangen papi ya?" Abe nemerima pelukan putri kecilnya itu dengan sangat mesra"Iya papi jangan sakit, Gia sediiiiiiih kalau papi ngak peluk Gia""Papi ngak lama kok sakitnya, setelah sembuh papi janji ngak akan sakit lagi biar bisa peluk Gia terus ya""Iya papi, tapi papi ya kakak Gio sekarang ngak mau bobo bareng Gia lagi""Kenapa begitu?" Tanya Abe"Katanya Gia kalau nangis kenceng, bikin pusing"Melihat tingkah Gia, Rainpun tak kuasa menahan gemes."Gia, boleh mami cubit pipinya?" Pinta Rain sambil mencubit Gia"Mami gemes ya sama aku, ya kan aku anak papi yang paling gemesin"Saat Rain sedang berbincang dengan Gia tiba-tiba Isa masuk keruangan itu dengan wajah tak senang."Gia sedang apa disini? Ayo
Sakitnya Abe hingga dirawat dirumah sakit, membuat Rain tak dapat mengikuti praktikum yang sudah dia jadwalkan minggu lalu. Hal ini membuat pihak kampus menghubunginya via sambungan telepon.Kriiinggg... Ponsel Rain berbunyi kencang"Halo.." Rain menjawab singkat"Selamat pagi, benar ini Rain Purnamawati?" Tanya penelepon dengan sopan"Benar itu saya, maaf ini dengan siapa ya?""Ini dari kampus kak, kakak minggu ini ada jadwal praktikum tapi tidak kakak hadiri""Oh iya, maaf saya lupa. Suami saya sakit. Jadi bagaimana ya?""Masih bisa dijadwalkan ulang kak, tapi baru semester depan""Mmmm... ya sudah tak apa biar semester depan saya ulang, saya tidak bisa meninggalkan suami saya saat ini.""Tak apa kak, saya hanya menyampaikan saja""Terima kasih infonya ya"Rain kemudian menutup sambungan telepon tadi dengan wajah sedih."Kamu kenapa?" Tanya Abe yang masih terbaring lemah ditempat tidur"Tadi
"Raiiin..." Bisik Abe sambil meraih tangang istrinyaRain terbangun dan segera menghilangkan kantuknya"Ada apa?""Pasangkan pispot... aku mau buang air kecil""Pasang? Pispot itu yang mana?" Rain kebingungan"Biasanya ada dibawah tempat tidur"Rain membungkuk dan melihat sebuah benda berbahan stainless, setelah meraihnya Rain nampak kebingungan"Bagaimana memasangnya?""Aku mau pipis, buruan sedikit kenapa sih?" Abe mulai kesalRain yang kebingungan kemudian mencoba memasangkan pispot untuk Abe."Aku harus memegang....""Cepat kau mau aku mengotori kasur ku""Iya sabar"Rain hanya menutup matanya sambil menunggu suaminya itu selesai buang air kecil. Dia tak menyangka merawat orang sakit benar-benar butuh keberanian yang besar. Setelah Abe selesai, Rain kemudian nampak bingung melepas pispot tersebut."Apa yang kau lihat..." Abe nampak tak nyaman"Ah tidak.. baik... sebenta
Tiba didalam kamarnya perut Abe terasa sangat sakit, seperti ditendang dengan sangat kencang. Abe yang tak kuasa dengan rasa sakit itu kemudian berteriak dengan sangat keras."Aaaaah...." Abe tersungkur sambil memegangi perutnyaRain yang mendengar teriakan suaminya itu dari balik kamar segera menghampiri dengan sangat cemas."Abe.. ada apa?" Rain mencoba menbaringkan suaminya yang masih sangat kesakitan"Papi.... papi kenapa?" Lia menghampiri papinya sambil berusaha menghubungi dokter lewat ponselnya"Halo dokter, papiku sakit tolong kemari... cepatttt" Pekik Lia sambil terus memeluk papinya"Ada apa ini?" Mama menghampiri sambil terkaget"Sakit ma, perutku sakit sekali" Jawab Abe sambil terus memegangin perutnya."Beri Abe ruang, ayo bawakan air hangat untuk meredam sakitnya" Perintah mama pada Lia dan Rain."Baik ma, aku saja yang ambilkan" Ujar Rain sambil bergegas menuju dapur.Tak berapa lama kemudian Rain m
Tak terasa malampun tiba dan Rain kembali kekamarnya, sebelum sampai ditangga rumah ponselnya berdering. Buru-buru Rain menjawab panggilan telepon itu."Halo..." Rain menjawab dengan nada lirih"Hai Rain, besok ada kurir yang akan antarkan teko untuk menggantikan teko nenek yang kau pecahkan" Terdengar Abe berbicara sedikit terburu-buru""Baiklah, oh iya aku mau minta ijin. Temanku Una mau tinggal disini dengan ku, Apa boleh?""Terserah kau saja, aku sedang sibuk" Jawab Abe singkat."Oooh, baiklah salam ke......" Belum selesai Rain mengucapkan salam Abe sudah lebih dulu menutup teleponnya.Mendengar ijin Abe, Rain tersenyum lebar. Dia kemudian berjalan dengan setengah berlari menuju kamar tidurnya."Ibu, tadi Abe sudah mengijinkan Una tinggal disini" Rain sangat riang"Kau ini, apa kau tak pertimbangkan apa yang ibu bilang tadi""Ibu jangan begitu, Una sangat membutuhkan bantuan ku. Mengertilah""Baik, tapi jika s
Setelah kejadian pecahnya teko antik milik Nenek, Rain merasa sangat bersalah. Dia berusaha menenangkan diri namun dia benar-benar tak sanggup menutupi ketakutannya itu."Sudah Rain, nanti juga Abe pasti mau mengerti" Ujar Una berusaha untuk menenangkan Rain"Kau tak tau siapa Abe, dia pasti sangat marah akan apa yang ku perbuat ini""Tapi kan memang sudah pecah mau bagaimana lagi?"Tak lama kemudian ponsel Rain kembali berdering"Abe..." Rain terkaget, dia berusaha menenangkan diri kemudian mengangkat ponselnya"Iya Abe" Jawab Rain sambil mengangkat telepon"Sudah, jangan pakai apapun dirumah itu apa lagi jika barang itu punya keluargaku." Abe terdengar sangat marah"Iya, tadi aku tidak sengaja...""Nanti aku ganti pokoknya sampai aku datang pakai saja barang-barang yang sudah diluar tak perlu kau mencari-cari barang yang ada dilemari""Iya Abe... Maaf"Abe langsung mematikan sambungan teleponnya, Rain tau