Share

Bab. 11 Gia Sakit

Setelah makan malam Gia nampak tak enak badan, dia kemudian meminta pengasuhnya mengantarkannya kekamar tidur.

"Ibu Yuyun aku pusing" Ujar Gia saat berjalan menuju kamar

"Ibu pijat ya nak" Kata Yuyun sambil membaringkan Gia ketempat tidur dan mulai memijat punggung gadis kecil itu

"uoooooookkk" Gia muntah banyak sekali

"Gia...." Teriak Yuyun yang membuat Abe menghampiri

"Gia kenapa?" Abe menghampiri putrinya

"Pusing papi...pusing"

"Papi panggil Dokter ya"

Gia mulai menangis, Lia pun menghampiri adiknya dengan wajah sangat cemas.

"Halo dokter, putriku sakit. Tolong segera kemari" Telepon Abe pada dokter pribadinya

Tak lama kemudian dokter datang dan memeriksa Gia.

"Putriku kenapa dokter?" Abe penasaran

"Ini masalah psikologi pak, sebaiknya jangan bertengkar didepan putri bapak"

"Ah iya, tadi sore ada pertengkaran memang"

"Anak seusian Gia memang sangat sensitif, bapak harus benar-benar menjaga perasaannya"

"Lalu bagaimana ini dokter"

"Bapak tanyakan saja padanya, dia mau apa, kemudian turuti. Dengan begitu suasana hatinya akan berubah lebih baik dan dia akan sembuh dengan sendirinya. Tak perlu obat kok"

"Baik dokter kalau begitu biar saya tanya apa yang dia inginkan"

Mendengar hasil diaknosa dokter itu Abe merasa sangat bersalah, dia kemudian bertanya apa yang Gia mau dan berjanji pada dirinya akan memenuhi apapun yang Gia mau.

"Sayang" Abe memeluk lembut putrinya yang sedang terduduk lemas

"Papi... Gia pusing"

"Iya sayang, maafkan papi ya. Gia mau kan maafkan papi"

"Gia sayang papi, Gia maafkan papi kok"

"Gia mau apa, coba papi mau dengar"

Gia kemudian menatap mata papinya yang nampak sangat khawatir

"Gia mau dipeluk-peluk mami Rain, terus di pijat-pijat kaya kemarin"

"Mmmmm..." Abe nampak bingung dengan jawaban putrinya itu

"Papi, kalau Gia bobo sama mami Rain, bobo Gia nyenyak sekali terus cepet bobonya"

Abe makin pusing, dia kemudian menarik nafas panjang

"Boleh bobo sama mami Rain, tapi dikamar papi ya"

"Gia sayaaang banget sama papi, papi tuh baik banget sama Gia" Jawab Gia dengan wajah yang berubah sumringah.

"Iya, tapi Gia janji cepat sembuh terus jangan bikin papi khawatir lagi ya"

"Ok papi sayangku yang ganteng"

Abe kemudian menggendong putrinya menuju kamarnya. Sebelum naik kelantai dua tak lupa Abe berterima kasih pada dokter pribadinya dan mempersilahkannya pulang.

Rain yang melihat Gia digendong Abe masuk nampak senang sekaligus bingung.

"Gia hari ini boleh bobo sama mami, iya kan pi" Ujar Gia sambil memandang wajah papinya yang masih tak karuan

"Iya sayang, kita tidur ya. Hari ini papi pusing sekali, sebenarnya yang harus muntah itu papi lo bukan Gia" Goda Abe pada Rain

"Gia tadi muntah?"

"Iya mami, kata om dokter itu sakit siko apa pi"

Abe hanya tersenyum kecut

"Itu faktor psikologi sayang, Gia itu masih belum boleh liat pertengkaran"

"Iya, mangkanya papi sayang-sayang kakak-kakak saja, jangan teriak-teriak. Gia takut" Gia kemudian memeluk Rain dengan manja

"Apa iya begitu?" Tanya Rain memastikan

"Iya, dokter tadi bilang begitu" Ujar Abe

"Oh sayang, ya udah Gia jangan takut. Papi janji kok ngak akan marah-marah ke mami lagi. Ya kan papi?" Rain menggoda Abe

"Ahhhh... papi capek. Papi bobo aah"

Rain tersenyum melihat tingkah suaminya itu, setelah lampu kamar dimatikan merekapun tertidur pulas.

====

Keesokan harinya Gia terbangun dengan penuh senyum, dia bahagia sekali bisa tidur diantara mami dan papinya. Sesuatu yang telah lama dirindukannya.

"Mami...bangun sudah pagi" Gia membangunkan Rain sambil tak melepas pelukannya.

"Iya sayang, mami sudah bangun kok"

"Ayo main sama Gia"

Begitu mendengar perkataan Gia, Abe langsung terduduk

"Sementara mami diam dikamar dulu ya Gia, papi ngak mau kakak Lio marah lagi kayak kemarin"

"Kenapa kakak harus marah melihat mami?"

"Nanti papi ceritakan ya, sementara kita main dikamar saja dulu"

"Mami kan sayang-sayang Gia, berarti sayang-sayang kakak-kakak juga kan?"

Abe dan Rain saling berpandangan, mereka tau gadis kecil itu tak benar-benar mengerti kondisi yang terjadi dirumah itu. Abe kemudian menarik nafas dan mulai bercerita pada Gia berharap gadis itu mau mengerti

"Kakak Lio sayang sekali sama mami Lidya, kakak takut mami Rain itu akan menghapus semua kenangannya ke mami Lidya. Itulah kenapa dia marah kemarin sayang"

"Papi, kenapa kakak berfikir begitu?"

"Nah itu yang papi belum tau, bagaimana kalau kita tanyakan ke kakak"

"Jangan Abe, nanti dia marah lagi" Cegah Rain

Abe kemudian melempar senyum sambil mengangguk kearah Rain

"Ayo Gia kita tanya, tapi mami disini aja ya" Ajak Abe

Rain menarik nafas tak percaya, dia masih takut kejadian kemarin terulang. Abe beranjak menuju kamar Lio sambil menggendong Gia.

Lio nampak masih tertidur dengan selimut menutupi tubuhnya hingga bahu

"Lio papi boleh bicara"

"Iya kakak papi mau bicara"

"Mau bicara apa lagi?" Tanya Lio dengan nada masih kesal

"Gia sayang kakak Lio, jadi kakak jangan marah ke Gia ya"

Lio kemudian membalikkan tubuhnya dan mulai menyimak perkataan papinya

"Sayang, kau masih marah ke Rain kah?"

"Menurut papi bagaimana?"

"Lio, Rain hanya datang untuk menemani papi, dia tak mungkin pernah bisa menggantikan mamimu, percayalah. Kita akan tetap menjaga kenangan mami dihati kita"

Lio kemudian menatap mata Abe, dia masih marah sekali karena merasa Rain datang terlalu cepat dalam rumah itu.

"Apa papi tak bisa menjaga sumpah papi ke mami Lidya?"

"Lio, ada hal yang belum kau mengerti. Kadang papi juga butuh teman untuk ......"

"Untuk apa?"

"Kau belum mengerti tapi setiap manusia butuh teman untuk berbagi sayang"

"Itu alasan papi saja kan?"

"Begini saja, biar mama Isa yang jelaskan padamu ya"

Dengan bingung Abe kemudian menelepon adiknya Isa dan tak lama kemudian Isa datang dengan wajah bingung.

"Aku harus bicara apa ke anakmu?" Tanya Isa

"Jelaskan saja, kalau aku butuh teman, atau bilang saja Rain tak akan menggantikan Lidya. aaah aku bingung Isa"

"Begini saja, kita bilang agar dia harus pelan-pelan menerima Rain, bagaimana?"

"Terserah kau saja lah" Ujar Abe sambil menghela nafas.

Isapun mulai menjelaskan posisi Rain dirumah itu, awalnya Lio yang tak menerima keberadaan Rain lama-lama mau mengerti juga.

"Jadi seperti Lio yang butuh teman untuk bercerita kepada teman wanitamu, papimu pun begitu. Selain itu Lio kan tau, Gia sangat-sangat haus akan kasih sayang seorang ibu dan papi berharap Rain bisa mengisi kehausan itu."

"Iya mama, aku minta maaf. Tapi mungkin aku tetap butuh waktu untuk bisa menerimanya dirumah ini"

"Pasti sayang"

"Aku ngak mau panggil dia mami"

"Terserah Lio kalau itu, tapi ingat kau harus tetap berusaha, kita juga akan terus menyayangi mamimu sama seperti dulu."

"Kalian janji"

"Tentu saja sayang"

Abe yang melihat putranya itu melunak nampak lega.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status