Nyonya Kinasih menggebrak meja kerjanya. Suaranya berdentum keras sehingga membuat Pakde Suroso sedikit tersentak kaget. Lelaki lebih setengah abad itu mundur selangkah, takut wanita di depannya akan melakukan hal yang sama lagi.“Saya rasa mereka hanya beradu akting saja, Nyonya,” Pakde Suroso angkat bicara. “Saya yakin tidak ada perasaan sama sekali diantara mereka berdua.”Nyonya Kinasih menggeleng seraya menjawab, “Kau tahu, ketika berangkat ke Bali sikap mereka biasa saja. Aku akan percaya mereka hanya berakting kalau ketika pulang mereka juga akan bersikap biasa. Tapi ini tidak begitu, di pesawat bahkan di bandara mereka sangat mesra. Berpelukan dan bergandengan seperti tidak bisa dipisahkan!”Pakde Suroso diam.“Apakah Bali membuat mereka berdua jatuh cinta? Apakah Raya bisa menyembuhkan David?” tanya Nyonya Kinasih seperti pada dirinya sendiri.“Ah, saya rasa tidak, Nyonya ….”“Atau ….” Potong Nyonya Kinasih cepat. “Kau memang sengaja memberikan Raya padaku agar mereka berdua
“Mulai besok aku ada rapat ke luar kota, Ya,” kata David pagi itu di meja makan.Raya mengangguk. Menuangkan jus jeruk ke gelas kaca dengan perlahan. Sarapan sudah siap di meja makan, Raya memasak nasi goreng daging sapi. Mbok Siti libur dua hari ini, anaknya yang sulung melahirkan kemarin, beliau sibuk menjaga anaknya tersebut.“Mungkin sekitar lima hari aku tidak di rumah,” kata David seraya menyendokkan nasi ke mulutnya. “Kau tidak apa-apa sendirian? Kau berani?”Raya kembali mengangguk. “Jangan khawatir. Aku bukan anak kecil yang penakut.”David tersenyum, membelai rambut istrinya itu dengan lembut.“Berarti nanti sore saja kita tengok cucu Mbok Siti,” kata Raya. “Pumpung kamu masih di rumah, jadi bisa menemaniku.”“Okay.”“Mamamu kemarin kenapa menyuruhmu datang ke kantornya?” tanya Raya. Hal ini ingin ditanyakannya sedari kemarin, tapi tadi malam ia kecapekan dan ketiduran ketika menunggu David lembur.“Oh, itu,” balas David. “Biasa. Menyuruhku untuk menggantikan beliau di kant
“Gimana? Sudah enakan badannya?” tanya David dari telepon. Raya menggeliat, kembali bergelung dalam selimut. Sudah dua hari David pergi ke luar kota, tapi sejak saat itu dirasakannya badannya tidak enak.“Asam lambungku naik sepertinya,” jawab Raya setelah menguap. “Tadi malam aku sudah minum obat asam lambung.”“Terus sudah enakan?” tanya David khawatir.Raya menggeleng seraya menjawab, “Belum.”“Janji ya nanti kamu bakal pergi ke dokter,” pinta David. “Jangan sampai sakit, apalagi aku masih tiga hari di sini. Setelah selesai janji aku langsung pulang.”“Iya, Vid,” jawab Raya. “Tadi aku sudah telepon Sintia, dia mau kok pergi ke dokter denganku. Nanti sore aku ke dokter langgananku.”“Kok nanti sore?” sergah David.“Sintia ada bimbingan skripsi sampai siang,” jawab Raya sambil duduk. “Gak apa-apa, kok. Aku bukan sakit parah, cuma sedikit gak enak badan.”Terdengar David menghela nafas panjang. “Ya, sudah. Tapi kalau sampai siang ini sakitnya semakin parah kamu pergi ke rumah sakit de
Sintia menguap, berdiri di samping ibunya yang tengah memotong sayuran di dapur. Tangannya meraih gelas dan menuangkan aor putih ke dalamnya. Ibunya melihatnya dengan pandangan kesal.“Anak perawan jam segini baru bangun,” kata Bude Rani. “Gak malu sama ayam tetangga?”Sintia meletakkan gelas kosong seraya menguap. “Namanya juga ngantuk, Bu.”“Semalam darimana?” tanya BUde Rani lantas melanjutkan memotong wortel. “Jam berapa pulang?”“Nganter Raya ke dokter.”Bude Rani memandang Sintia sekilas. “Raya sakit apa?”“Bukan sakit, Bu.”“Lha, terus?”“Ibu mau jadi nenek!” Sintia menjawab antusias dengan senyum tersungging lebar di bibirnya.Bude Rani menghentikan aktifitasnya, memandang anak semata wayangnya itu dengan melotot. “Jadi nenek? Maksudmu?”Sintia menghela nafas. “Ya, kalau Ibu mau jadi nenek, artinya Raya hamil, Bu!” jawabnya kesal.“Ha …. Hamil?” tanya Bude Rani kaget.Sintia mengangguk pelan. “Betul sekali!”“Kok bisa?” Bude Rani berteriak tidak percaya. “Sama siapa?”Sintia m
Sepagi ini Raya telah bersiap-siap. Ia mengenakan dress selutut warna cream dengan cardigan warna senada. Rambutnya yang panjang sebahu dikuncir kuda. Ia tidak banyak berdandan karena memang tidak bisa. Wajahnya hanya dipoles dengan bedak tipis dan bibirnya hanya menggunakan lipgloss warna pink.Tadi malam Pakde Suroso meneleponnya. Tanpa ada angin ataupun hujan, beliau mengabarkan sesuatu yang cukup membuat Raya senang.“Nyonya Kinasih mengajakmu bertemu besok, Ya,” kata Pakde Suroso.“Besok, Pakde?” tanya Raya ragu-ragu karena tak percaya Nyonya Kinasih mengajak bertemu.“Kenapa?” Pakde Suroso balik bertanya. “Kamu ada acara besok?”“Oh, tidak!” cepat-cepat Raya menjawab. “Besok saya bisa.”“Baguslah,” nada lega tersirat dari suara Pakde Suroso. “Nyonya Kinasih mau makan siang sama kamu.”Mata Raya berbinar. Makan siang bersama? Semoga ini bisa menjadi pertanda baik akan hubungannya dengan mertuanya itu.“Dimana, Pakde?” tanya Raya tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya.“Di v
Perlahan Raya membuka mata. Ia mengerjap-ngerjap sebentar, lalu mengamati sekeliling. Ia tengah berada di sebuah kamar yang baru kali ini lihat. Luas dan lebar. Perlahan ia duduk, mengumpulkan semua ingatan di dalam benaknya. Kepalanya sedikit pusing dan berat.Belum hilang ragunya, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Masuklah sosok Pakde Suroso dengan membawa sebuah cangkir.“Sudah bangun kamu, Ya?” tanyanya seraya meletakkan cangkir itu di nakas.Raya mengangguk bingung. “Kenapa saya sampai di kamar ini, Pakde?”“Kamu tidak ingat yang terjadi?”Raya menggeleng pelan. Ingatan terakhirnya adalah di dalam mobil setelah Pakde turun di minimarket.“Tadi kamu itu pingsan di mobil,” jawab Pakde Suroso seraya mengangsurkan cangkir yang ternyata berisi teh hangat pada Raya.“Pingsan?” tanya Raya seraya menerima cangkir dari tangan Pakde Suroso.“Entah kamu pingsan atau ketiduran, tapi dibangunin susah,” jawab Pakde Suroso. “Ayo sambil diminum tehnya, biar hangat.”Raya menyeruput teh itu sedikit.
Suara derum kendaraan dari garasi mengagetkan Raya di kamarnya. Ia baru saja berganti pakaian sehabis mandi. Diintipnya dari gorden siapa gerangan yang datang ke rumahnya pagi-pagi begitu.“David,” katanya tak percaya sekaligus senang. Seharusnya baru besok suaminya itu pulang. Tapi kenapa tiba-tiba sepagi ini ia sudah sampai di rumah?Raya setengah berlari ke ruang bawah untuk menyambut David. Tapi belum sempat pintu ruang tamu dibukanya, David sudah mendorong pintu itu dari luar dengan kasar, hampir mengenai badan Raya.“David!” kata Raya tersenyum senang. “Kenapa sudah pulang?”David diam, berjalan melalui Raya. Raya tertegun, ia menginginkan depakan David seperti biasanya ketika pulang kantor. Tapi jangankan dekapan, senyuman saja tidak hadir di bibir David saat ini.“Ada apa?” tanya Raya pelan. “Adakah masalah di kantor?” Raya berjalan perlahan ke samping David yang berdiri bagai patung di dekat TV.“Pergi kau dari sini!” David berteriak, tanpa memandang Raya.Raya mengeryitkan k
“Apa yang Bapak lakukan pada Raya!” teriak Sintia setengah menangis. Bapaknya yang sedang makan di ruang makan bersama ibunya terkejut bukan alang kepalang.“Eh, kamu itu gak sopan!” hardik ibunya. “Datang-datang teriak gak jelas! Bapakmu itu capek, tadi habis ngantar majikannya ke airport. Pulang-pulang malah anaknya ngomel begitu!”“Bapak fitnah Raya, kan?!” Sintia menggebrak meja.“Eh, kamu itu ngomong apa?” tanya Pakde Suroso berlagak tak tahu. “Asal menuduh kamu, ya!”“Minta maaf sama Bapakmu! Raya terus yang kamu bela. Sebenarnya ada apa dengan Raya?” ibunya menimpali.“Bapak sama Ibu itu sebenarnya tahu yang sebenarnya. Hanya berlagak bodoh, kan?” Sintia berkata sengit.Pakde Suroso menatap anak semata wayangnya itu. Rencananya rupanya telah berhasil, tapi dia tidak mempertimbangkan tentang putrinya ini. Pasti keadaan Raya pergi dari rumah akan tercium Sintia.“Bapak gak tahu apa-apa,” jawab Pakde Suroso datar. “Beneran!”“Bapak bohong!” elak Sintia. “Raya tadi telepon aku, dia