Share

4.permintaan Bela

Author: Lusiana
last update Last Updated: 2025-10-09 23:54:23

“Kamu lagi bikin apa, Mas?”

“Aku lagi bikin kopi,” jawab Bara pelan.

Bela masih memeluk Bara dari belakang. Bara membiarkannya. Setelah kopi itu jadi, barulah Bara melepaskan pelukan Bela.

Bela sedikit terkejut Bara tidak biasanya cuek seperti ini.

“Kamu kenapa, Mas? Kamu marah sama aku?” tanya Bela, suaranya dibuat manja.

Bara yang hendak menuju meja makan mendadak berhenti. Ia berbalik menatap Bela tajam.

Tatapan itu membuat Bela sedikit mundur. Bara terlihat menyeramkan setelah kejadian semalam. Bela buru-buru merapat, merayu, takut Bara berpaling. Karena saat ini, dia masih punya satu saingan istri sah Bara yang sangat ia benci.

“Mas… tatapanmu bikin aku takut. Maaf kalau aku nggak bisa melayanimu. Aku lagi nggak bisa cium bau bumbu dapur. Mual terus.”

Bela mengkambinghitamkan kehamilannya.

Bara mengembuskan napas. Mengingat Aisyah saat mengandung Arka dulu Aisyah tidak pernah mengeluh meski trimester pertamanya berat. Mual, muntah, pusing, tapi tetap menyiapkan kebutuhan Bara.

Meski dulu… Aisyah tidak pernah dianggap.

Semua ingatan itu membuat Bara semakin kacau.

“Maaf, Sayang. Aku nggak bermaksud bikin kamu takut. Kamu lagi nggak enak badan?”

Bara luluh. Wajahnya melunak.

Bela tersenyum tipis senyum kemenangan. Rencananya berhasil.

“Enggak, Mas. Aku baik-baik saja. Cuma tadi kaget lihat tatapanmu.”

“Iya… maafin Mas, ya. Kamu mau sarapan di luar?”

Bela cepat mengangguk. Dia ingat janji Bara tadi malam: membelikannya tas branded.

“Iya, Mas. Aku juga mau nagih janji Mas.”

Bara tersenyum. “Iya, Sayang. Silakan mandi dulu.”

Bela mengecup pipinya, lalu masuk kamar dengan langkah ringan.

Sisi Aisyah

Aisyah baru selesai membereskan rumah. Ia mengecek suhu tubuh Arka. Termometer ia letakkan di ketiak putranya.

Arka yang sudah bangun tetap diam, hanya memandang ibunya. Di situ, Aisyah merasa kasihan dan khawatir.

Beep.

Termometer berbunyi.

Angka 38,3°C.

Aisyah langsung panik. Ia menggendong Arka, mengambil kunci motor, jaket, dan tas. Untungnya ia masih punya motor pemberian almarhum ayahnya motor yang ia rawat sepenuh hati.

Sesampainya di klinik anak, ia mendaftar dan menunggu. Sambil menunggu, ia membuka ponselnya.

Apa aku harus kasih tahu Mas Bara?

Aisyah menggigit bibir.

Dulu, saat Arka sakit, ia memberitahu Bara… tapi Bara marah. Katanya: “Arka itu urusan kamu. Jangan ganggu aku.”

Aisyah menghela napas panjang.

Perawat memanggil.

“Nomor antrian 8, atas nama Arka Mahendra.”

Aisyah memasukkan lagi ponselnya. Ia masuk ke ruang pemeriksaan.

“Assalamualaikum, Dok.”

“Waalaikumsalam. Ada keluhan apa?”

Aisyah menjelaskan semuanya. Setelah diperiksa dan diberi resep, ia segera pulang. Cuaca mendung hampir hujan.

Sisi Bara

Bara dan Bela telah sampai di restoran favorit Bela. Sudut ruangan menghadap sawah. Namun Bara malah diam, pikirannya melayang pada Aisyah dan Arka.

“Mas, kamu mikirin apa sih? Dari tadi diam terus. Katanya mau sarapan?”

Bela merajuk.

Bara kaget dan buru-buru makan. Padahal jam sudah 12 siang sarapan sekaligus makan siang. Tadi ia telat makan karena drama Bela sebelum berangkat.

“Aku nggak apa-apa, Sayang. Lagi kepikiran kerjaan.”

Padahal kenyataannya bukan pekerjaan yang mengganggunya.

Ada rasa aneh menekan dadanya rasa yang sudah lama ia abaikan: khawatir terhadap istri dan anaknya.

“Kamu sudah selesai? Kalau sudah kita pulang. Aku capek,” kata Bara.

Bela langsung melempar sendok. Marah. Bara tidak seperti biasanya. Biasanya romantis, manis, menuruti semua keinginannya. Tapi sejak kemarin… dia berubah.

“Mas, kamu janji mau ajak aku ke mall. Mau beli tas!”

“Iya, iya. Selesaikan dulu makanmu.”

Bara memainkan ponselnya. Ia membuka aplikasi berlogo hijau. Dan ia melihatnya

Story Aisyah.

Di klinik anak.

Arka demam.

Aisyah menulis bahwa ia libur jualan beberapa hari karena Arka sakit.

Dada Bara mendadak sesak.

Jadi itu… kenapa hatiku nggak tenang dari tadi.

Ia ingin menelpon Aisyah. Menanyakan keadaan Arka. Tapi egonya lebih tinggi dari nalurinya sebagai ayah.

Ia memasukkan ponsel ke saku.

Bela tidak curiga sedikit pun.

“Mas, aku sudah selesai. Yuk pergi.”

Bara mengangguk.

Namun langkahnya terhenti saat ponselnya kembali bergetar.

Satu pesan masuk.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Penuh Luka   10

    Aisyah memasangkan jaket untuk Arka. Angin sore berembus pelan, membawa hawa dingin dari awan gelap yang menggantung rendah. Arka memeluk pinggang ibunya begitu motor bergerak keluar dari halaman rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Aisyah berusaha fokus pada jalanan. Namun pikirannya dipenuhi suara Bara—bentakan, tuduhan, dan perintah pulang yang seolah tak pernah berhenti menghantuinya. Setengah jam kemudian, Aisyah dan Arka tiba di rumah. Rumah itu terasa dingin dan kosong—seperti biasa. Belum sempat melepas helm, ponsel Aisyah bergetar. Bara menelepon lagi. Aisyah menarik napas panjang sebelum mengangkat. “Waalaikumsalam, Mas. Aku baru sampai rumah.” Dari seberang, suara Bara terdengar ketus. “Lama banget. Kamu dari rumah teman atau dari mana sebenarnya?” Aisyah menunduk. “Iya, Mas… dari rumah teman.” “Hm.” Bara mendengus. “Kemarin kamu bilang Arka sakit. Jadi sudah sembuh? Atau kamu cuma cari perhatian?” Aisyah terhenyak. Hatinya perih, tapi ia tetap menjawab

  • Pernikahan Penuh Luka   9 kepulangan Arka

    “Dokter, boleh saya meminta nomor telepon dokter?” Dokter Aldi yang sedang bercanda dengan Arka segera menoleh dan melihat ke arah Aisyah. “Boleh.” Dokter Aldi mencatatkan nomor teleponnya ke ponsel Aisyah. “Terima kasih, Dok,” ucap Aisyah. Dokter Aldi tersenyum dan mengangguk. Bara yang lelah dengan pikirannya tertidur hingga sore hari. Perut yang keroncongan membangunkannya. Ia bangun dan membuka kulkas. Isinya hanya bahan seadanya dan roti tawar. Bara membuka lemari dapur dan menemukan beberapa bungkus mi instan. Sempat terlintas sesuatu di benaknya, tetapi segera ia tepis pikiran itu. Disambarnya sebungkus mi instan dan ia memasaknya, menambahkan telur dan sedikit sayur sebagai pelengkap. Setelah matang, Bara segera menyantapnya. Selesai makan, Bara mengambil ponsel di saku celananya. Ia melihat pesan yang dikirimnya kepada Aisyah. Pesan itu sudah terbaca. Bara mengumpat dan memaki Aisyah. “Dasar perempuan nggak tahu diuntung. Bisa-bisanya dia baca pesanku tapi

  • Pernikahan Penuh Luka   8.Arka sembuh

    "ibu dimana yah?" "ibu biasa bikin kue di dapur." pak Sofyan memberi tau Bara.Bara segera berlalu dari hadapan sang ayah yang tengah asik membaca koran. "Bu?" "eh Bara,kenapa sayang?" Bu Indah menghampiri sang anak yang duduk di meja makan dekat sang ibu yang sedang membuat kue kastengel. "Aisyah pergi dari rumah."Bara memberi tahu Bu Indah. "kamu tahu sendiri istrimu itu memang seperti itu pergi tak jelas tanpa memberi kabar.memangnya rumah itu punya dia apa.keluar masuk seenaknya." "Bu pelankan suaramu nanti di dengar ayah." "biar,biar ayahmu dengar jika menantu kesayanganya itu tak baik." Bara serba salah bercerita sama ibunya juga tak menyelesaikan masalah. Bara tampak bingung.tanpa berpamitan kepada sang ibu dia melangkah pergi. "lho Bar kamu mau kemana?anak itu ya.jangan sampai Bara jatuh hati pada gadis sial*n itu." Bu Indah semakin membenci Aisyah. Bara tampak kebingungan,Aisyah tak bisa lagi di hubungi bara juga tak tau no kerabat atau teman Aisyah

  • Pernikahan Penuh Luka   7 Rumah Sakit 2

    Aisyah yang tampak ragu hanya diam sejenak.Aldi yang sedikit mengerti dengan pikiran Aisyah segera mengalihkan pembicaraan.“Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau memberi nomor teleponmu. Tapi kalau kamu butuh bantuan apa pun, kamu bisa datang ke sini dan cari aku. Sebisanya, aku akan bantu.”Aisyah mengangguk dan tersenyum.“Arka sudah mendingan. Kamu tidak perlu khawatir, nanti siang dia akan dicek lab.”“Apakah Arka ada kemungkinan penyakit lain, Dok?”Aisyah yang sedari tadi diam akhirnya memberanikan diri bertanya.Dokter Aldi tersenyum.“Tidak. Seperti yang tadi saya bilang, dia baik-baik saja. Tapi lebih jelasnya nanti setelah dicek lab.”Sebenarnya dokter Aldi ingin sekali bertanya sesuatu, tetapi ia urungkan karena bukan waktu yang tepat baginya.“Ya sudah, saya pamit pulang dulu karena hari ini saya ada acara. Jangan sungkan meminta bantuan pada saya. Kalau kamu bingung, kamu bisa tanya perawat jaga.”“Baik, Dok. Terima kasih atas bantuannya.”“Arka, Om dokter pulang. Kamu cep

  • Pernikahan Penuh Luka   6.Rumah Sakit

    Bela yang mendengar ponsel Bara berbunyi segera mengambilnya dan melihat siapa yang berani menelepon di dini hari itu. Bela terbelalak saat mengetahui Aisyah yang menelepon Bara. Aisyah juga mengirim beberapa pesan, memberi tahu bahwa Arka sakit dan ia membutuhkan biaya. Tanpa pikir panjang, Bela menghapus semua pesan serta riwayat panggilan dari Aisyah. Bagaimanapun juga, Bela tidak akan membiarkan Aisyah merasa menang. “Jangan harap kamu bisa menguasai Mas Bara, Aisyah. Karena sekarang dia sudah menjadi milikku. Walaupun aku masih istri kedua, tapi aku pastikan, akulah yang akan menjadi satu-satunya istri Mas Bara.” Ia meletakkan kembali ponsel Bara ke tempat semula, lalu kembali memeluk Bara dan memejamkan mata. Pagi pun datang. Kali ini Bela bangun lebih awal dari biasanya. Ia menyiapkan sarapan untuk Bara. Ia berniat mengambil hati Bara agar beberapa hari ini Bara tidak pulang ke rumah. Jika Bara pulang, ia pasti tahu bahwa Arka sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. “Say

  • Pernikahan Penuh Luka   5.permintaan Bela 2.

    Langkah Bara terhenti. Ia segera melihat pesan masuk itu, berharap sesuatu yang penting. Namun rasa kecewa muncul ketika melihat pengirimnya ternyata hanya dari Bu Indah, ibunya. Bu Indah hanya menanyakan keadaan Bara dan Bela. Sesampainya di mall, Bela langsung menuju outlet yang ia tuju. Setelah mendapatkan barang yang ia inginkan, Bela meminta Bara membelikannya perhiasan juga. Belanjaan Bela menghabiskan biaya hingga ratusan juta harga yang fantastis. Namun Bara tak mempermasalahkan. Baginya, selama Bela senang, semuanya baik-baik saja. Padahal kepada Aisyah dan Arka, ia tak pernah sekalipun seroyal ini. Setelah puas berbelanja, mereka pun pulang. Di perjalanan, Bela membuka percakapan. “Mas!” “Hmmm?” Bara menjawab sambil memegang kemudi dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menggenggam tangan Bela dan mengecupnya singkat. “Mas kan cuma tiga hari di sini… kalau aku kangen, boleh kan aku ke rumah Mas juga?” Pertanyaan itu membuat Bara terkejut. Ia bahkan menghen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status