Home / Rumah Tangga / Pernikahan Penuh Luka / 5.permintaan Bela 2.

Share

5.permintaan Bela 2.

Author: Lusiana
last update Last Updated: 2025-10-09 23:54:28

Langkah Bara terhenti. Ia segera melihat pesan masuk itu, berharap sesuatu yang penting. Namun rasa kecewa muncul ketika melihat pengirimnya ternyata hanya dari Bu Indah, ibunya.

Bu Indah hanya menanyakan keadaan Bara dan Bela.

Sesampainya di mall, Bela langsung menuju outlet yang ia tuju.

Setelah mendapatkan barang yang ia inginkan, Bela meminta Bara membelikannya perhiasan juga.

Belanjaan Bela menghabiskan biaya hingga ratusan juta harga yang fantastis.

Namun Bara tak mempermasalahkan. Baginya, selama Bela senang, semuanya baik-baik saja.

Padahal kepada Aisyah dan Arka, ia tak pernah sekalipun seroyal ini.

Setelah puas berbelanja, mereka pun pulang.

Di perjalanan, Bela membuka percakapan.

“Mas!”

“Hmmm?” Bara menjawab sambil memegang kemudi dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menggenggam tangan Bela dan mengecupnya singkat.

“Mas kan cuma tiga hari di sini… kalau aku kangen, boleh kan aku ke rumah Mas juga?”

Pertanyaan itu membuat Bara terkejut. Ia bahkan menghentikan mobil secara mendadak.

“Mas! Kamu mau bikin aku sama calon bayimu mati, ya? Berhenti mendadak seperti itu!”

Bela memegang dadanya, marah dan kaget.

“Maaf, Sayang… aku nggak sengaja. Kamu nggak apa-apa kan?”

“Iya, aku nggak apa-apa,” jawab Bela kesal sambil membenarkan duduknya. Tatapannya menilai Bara dengan heran.

“Kamu kenapa kaget sih, Mas? Memangnya ada yang salah sama pertanyaanku?”

Bara menghela napas panjang. Lalu akhirnya ia bicara.

“Sayang, dengarkan aku. Aku belum bisa mengizinkan kamu datang ke rumah itu. Biarkan aku selesaikan dulu masalahku dengan Aisyah. Nanti, kalau sudah selesai, aku akan bawa kamu ke rumah orang tuaku dan memperkenalkan kamu ke Ayah.”

Bela mendengus. “Mas, sudah berapa kali aku bilang… jangan sebut nama dia kalau lagi sama aku.”

“Iya, Sayang, maaf. Mas janji nggak akan sebut namanya lagi. Tapi kamu harus nurut dulu sama aku.”

“Ya, tapi sampai kapan, Mas? Perut aku akan makin besar. Aku nggak mau terus-terusan hanya jadi istri kedua.”

“Iya, Mas tahu. Kamu sabar, ya.”

Bela semakin tidak senang dengan jawaban itu dan memilih diam. Namun beberapa detik kemudian, ponselnya berbunyi notif transfer uang masuk.

Jumlahnya cukup besar.

Bela tersenyum puas. “Makasih, Sayang.”

Ia mencium pipi Bara.

Melihat itu, Bara ikut tersenyum dan kembali menjalankan mobil menuju apartemen.

Sisi Aisyah

Aisyah yang sibuk dengan pekerjaan rumah dikejutkan oleh suara bel.

Tak biasanya sore-sore ada yang bertamu. Apalagi ia sudah memberi tahu pelanggan bahwa ia libur beberapa hari untuk merawat Arka yang sedang sakit.

Ketika membuka pintu, ternyata Bu Indah ibu mertuanya yang datang.

“Kenapa lama sekali bukanya? Kamu mau saya nunggu sampai kering di luar?” omelnya tanpa jeda.

“Maaf, Bu. Tadi saya dari dapur.”

Bu Indah duduk dengan gaya angkuhnya.

“Duduk. Aku mau bicara.”

Aisyah duduk dengan sopan.

“Kamu ini nggak bisa berdandan sedikit apa supaya suamimu betah di rumah? Pantas saja suamimu cari wanita lain di luar. Yang cantik, yang pantes diliat. Lihat tuh penampilan kamu kucel, kusam. Aku saja ogah lihat.”

Aisyah menunduk. Ia memang tidak pandai berdandan.

Sejak punya Arka, ia lebih memilih menabung ketimbang membeli hal-hal yang tidak mendesak.

Bu Indah melanjutkan dengan nada tajam,

“Dengar ya, Aisyah. Jangan kira aku ke sini buat kasihan sama kamu. Aku cuma mau bilang satu hal. Pernikahan Bara sama Bela itu cuma kita bertiga yang tahu. Kamu, aku, dan Bara. Jangan sampai kamu kasih tahu ayahnya Bara. Paham?”

Hati Aisyah mencelos. Ia mengangguk, menahan air mata yang menggenang.

Bukan karena dihina… tapi karena ia baru tahu ibunya Bara juga mendukung pernikahan itu.

Tanpa pamit, Bu Indah pergi begitu saja.

Aisyah akhirnya menangis.

Hidupnya terasa terlalu berat ditinggal kedua orang tua, mencintai suami yang tak pernah membalas cintanya, dan kini Arka sedang sakit parah.

Penderitaannya terasa lengkap.

Pukul 3 Dini Hari

Aisyah terbangun karena tubuh Arka mendadak kejang.

Panasnya masih tinggi.

Panik, bingung, dan ketakutan Aisyah langsung menggendong Arka. Ia tak punya siapa pun untuk dimintai pertolongan. Dengan tubuh gemetar, ia mengeluarkan motor dan menembus dinginnya angin malam.

Ia menangis sepanjang perjalanan.

Sesampainya di rumah sakit, Aisyah masuk ke UGD sambil berteriak kecil meminta pertolongan. Arka diletakkan di brankar dan tim medis segera memberi penanganan.

Kejang sudah berhenti, tetapi panasnya masih tinggi.

Aisyah terduduk di kursi tunggu, menangis tanpa suara.

Tiba-tiba, sebuah tangan mengusap pundaknya dengan lembut.

Aisyah mengangkat wajah. Seorang pria berdiri di depannya wajah asing, tetapi terasa familiar.

Ia cepat-cepat menghapus air matanya dan berdiri.

“Maaf… apakah Anda mengenal saya?”

Pria itu tersenyum kecil sambil mengulurkan tangan. “Kenalkan, saya Aldi.”

Aisyah melihat name tag di jasnya.

“Dokter?”

Aldi mengangguk.

“Tolong, Dok… tolong anak saya. Dia kejang-kejang, badannya panas sekali,” ucap Aisyah sambil memegang tangan dokter itu.

“Kamu tenang ya. Dia bakal baik-baik saja.”

Aisyah mengangguk dan berterima kasih.

Aldi masuk ke UGD. Aisyah duduk lagi, mencoba menenangkan diri.

Ia menghubungi Bara.

Seperti dugaan tidak diangkat. Jam masih pukul 3 dini hari.

Aisyah akhirnya mengirim pesan, memberi tahu bahwa Arka dirawat di rumah sakit. Ia juga meminta sedikit uang, berjaga-jaga kalau tabungannya tidak cukup.

Setelah mengirim pesan itu, Aisyah kembali duduk…

dan menatap pintu UGD dengan hati yang terus berdoa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Penuh Luka   10

    Aisyah memasangkan jaket untuk Arka. Angin sore berembus pelan, membawa hawa dingin dari awan gelap yang menggantung rendah. Arka memeluk pinggang ibunya begitu motor bergerak keluar dari halaman rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Aisyah berusaha fokus pada jalanan. Namun pikirannya dipenuhi suara Bara—bentakan, tuduhan, dan perintah pulang yang seolah tak pernah berhenti menghantuinya. Setengah jam kemudian, Aisyah dan Arka tiba di rumah. Rumah itu terasa dingin dan kosong—seperti biasa. Belum sempat melepas helm, ponsel Aisyah bergetar. Bara menelepon lagi. Aisyah menarik napas panjang sebelum mengangkat. “Waalaikumsalam, Mas. Aku baru sampai rumah.” Dari seberang, suara Bara terdengar ketus. “Lama banget. Kamu dari rumah teman atau dari mana sebenarnya?” Aisyah menunduk. “Iya, Mas… dari rumah teman.” “Hm.” Bara mendengus. “Kemarin kamu bilang Arka sakit. Jadi sudah sembuh? Atau kamu cuma cari perhatian?” Aisyah terhenyak. Hatinya perih, tapi ia tetap menjawab

  • Pernikahan Penuh Luka   9 kepulangan Arka

    “Dokter, boleh saya meminta nomor telepon dokter?” Dokter Aldi yang sedang bercanda dengan Arka segera menoleh dan melihat ke arah Aisyah. “Boleh.” Dokter Aldi mencatatkan nomor teleponnya ke ponsel Aisyah. “Terima kasih, Dok,” ucap Aisyah. Dokter Aldi tersenyum dan mengangguk. Bara yang lelah dengan pikirannya tertidur hingga sore hari. Perut yang keroncongan membangunkannya. Ia bangun dan membuka kulkas. Isinya hanya bahan seadanya dan roti tawar. Bara membuka lemari dapur dan menemukan beberapa bungkus mi instan. Sempat terlintas sesuatu di benaknya, tetapi segera ia tepis pikiran itu. Disambarnya sebungkus mi instan dan ia memasaknya, menambahkan telur dan sedikit sayur sebagai pelengkap. Setelah matang, Bara segera menyantapnya. Selesai makan, Bara mengambil ponsel di saku celananya. Ia melihat pesan yang dikirimnya kepada Aisyah. Pesan itu sudah terbaca. Bara mengumpat dan memaki Aisyah. “Dasar perempuan nggak tahu diuntung. Bisa-bisanya dia baca pesanku tapi

  • Pernikahan Penuh Luka   8.Arka sembuh

    "ibu dimana yah?" "ibu biasa bikin kue di dapur." pak Sofyan memberi tau Bara.Bara segera berlalu dari hadapan sang ayah yang tengah asik membaca koran. "Bu?" "eh Bara,kenapa sayang?" Bu Indah menghampiri sang anak yang duduk di meja makan dekat sang ibu yang sedang membuat kue kastengel. "Aisyah pergi dari rumah."Bara memberi tahu Bu Indah. "kamu tahu sendiri istrimu itu memang seperti itu pergi tak jelas tanpa memberi kabar.memangnya rumah itu punya dia apa.keluar masuk seenaknya." "Bu pelankan suaramu nanti di dengar ayah." "biar,biar ayahmu dengar jika menantu kesayanganya itu tak baik." Bara serba salah bercerita sama ibunya juga tak menyelesaikan masalah. Bara tampak bingung.tanpa berpamitan kepada sang ibu dia melangkah pergi. "lho Bar kamu mau kemana?anak itu ya.jangan sampai Bara jatuh hati pada gadis sial*n itu." Bu Indah semakin membenci Aisyah. Bara tampak kebingungan,Aisyah tak bisa lagi di hubungi bara juga tak tau no kerabat atau teman Aisyah

  • Pernikahan Penuh Luka   7 Rumah Sakit 2

    Aisyah yang tampak ragu hanya diam sejenak.Aldi yang sedikit mengerti dengan pikiran Aisyah segera mengalihkan pembicaraan.“Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau memberi nomor teleponmu. Tapi kalau kamu butuh bantuan apa pun, kamu bisa datang ke sini dan cari aku. Sebisanya, aku akan bantu.”Aisyah mengangguk dan tersenyum.“Arka sudah mendingan. Kamu tidak perlu khawatir, nanti siang dia akan dicek lab.”“Apakah Arka ada kemungkinan penyakit lain, Dok?”Aisyah yang sedari tadi diam akhirnya memberanikan diri bertanya.Dokter Aldi tersenyum.“Tidak. Seperti yang tadi saya bilang, dia baik-baik saja. Tapi lebih jelasnya nanti setelah dicek lab.”Sebenarnya dokter Aldi ingin sekali bertanya sesuatu, tetapi ia urungkan karena bukan waktu yang tepat baginya.“Ya sudah, saya pamit pulang dulu karena hari ini saya ada acara. Jangan sungkan meminta bantuan pada saya. Kalau kamu bingung, kamu bisa tanya perawat jaga.”“Baik, Dok. Terima kasih atas bantuannya.”“Arka, Om dokter pulang. Kamu cep

  • Pernikahan Penuh Luka   6.Rumah Sakit

    Bela yang mendengar ponsel Bara berbunyi segera mengambilnya dan melihat siapa yang berani menelepon di dini hari itu. Bela terbelalak saat mengetahui Aisyah yang menelepon Bara. Aisyah juga mengirim beberapa pesan, memberi tahu bahwa Arka sakit dan ia membutuhkan biaya. Tanpa pikir panjang, Bela menghapus semua pesan serta riwayat panggilan dari Aisyah. Bagaimanapun juga, Bela tidak akan membiarkan Aisyah merasa menang. “Jangan harap kamu bisa menguasai Mas Bara, Aisyah. Karena sekarang dia sudah menjadi milikku. Walaupun aku masih istri kedua, tapi aku pastikan, akulah yang akan menjadi satu-satunya istri Mas Bara.” Ia meletakkan kembali ponsel Bara ke tempat semula, lalu kembali memeluk Bara dan memejamkan mata. Pagi pun datang. Kali ini Bela bangun lebih awal dari biasanya. Ia menyiapkan sarapan untuk Bara. Ia berniat mengambil hati Bara agar beberapa hari ini Bara tidak pulang ke rumah. Jika Bara pulang, ia pasti tahu bahwa Arka sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. “Say

  • Pernikahan Penuh Luka   5.permintaan Bela 2.

    Langkah Bara terhenti. Ia segera melihat pesan masuk itu, berharap sesuatu yang penting. Namun rasa kecewa muncul ketika melihat pengirimnya ternyata hanya dari Bu Indah, ibunya. Bu Indah hanya menanyakan keadaan Bara dan Bela. Sesampainya di mall, Bela langsung menuju outlet yang ia tuju. Setelah mendapatkan barang yang ia inginkan, Bela meminta Bara membelikannya perhiasan juga. Belanjaan Bela menghabiskan biaya hingga ratusan juta harga yang fantastis. Namun Bara tak mempermasalahkan. Baginya, selama Bela senang, semuanya baik-baik saja. Padahal kepada Aisyah dan Arka, ia tak pernah sekalipun seroyal ini. Setelah puas berbelanja, mereka pun pulang. Di perjalanan, Bela membuka percakapan. “Mas!” “Hmmm?” Bara menjawab sambil memegang kemudi dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menggenggam tangan Bela dan mengecupnya singkat. “Mas kan cuma tiga hari di sini… kalau aku kangen, boleh kan aku ke rumah Mas juga?” Pertanyaan itu membuat Bara terkejut. Ia bahkan menghen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status