LOGIN"Akhirnya."gumamku lirih. Pintu kamar itu tertutup perlahan di belakangku. Suara langkah Bara menjauh di lorong, meninggalkan aku sendirian dengan keheningan dan kemenangan yang sejak tadi berdenyut di dadaku. Aku menegakkan tubuh, menyeka sisa air mata di pipi. Tangis palsu itu melelahkan, tapi hasilnya sepadan. Di depan cermin, aku menatap bayanganku sendiri. Wajahku masih terlihat pucat, mata sedikit merah, seolah aku benar-benar perempuan malang yang ikut terluka. Aku tersenyum. Tidak. Aku tidak terluka sama sekali. Yang hancur hari ini bukan aku. Aisyah. Bayangan wajahnya saat terduduk lemas di lantai ruang keluarga kembali terlintas di kepalaku. Tatapan kosong, bahu gemetar, suara tangis yang pecah. Indah. Terlalu indah untuk disebut kebetulan. Semua itu adalah hasil dari perhitungan matang setiap air mata, setiap tuduhan, setiap potongan bukti yang kususun rapi seperti puzzle. Mereka tidak pernah tahu, semua itu bermula jauh sebelum hari ini. Aku mendekati m
**** “Hah… akhirnya.” Kalimat itu meluncur pelan dari bibirku, seperti bisikan kemenangan yang terlalu lama ku tahan. Hari ini akhirnya datang juga hari ketika Aisyah akan tersingkirkan sepenuhnya, dan Bara akan menjadi milikku tanpa gangguan, tanpa bayang-bayang perempuan sok suci yang selama ini dielu-elukan semua orang. Sejak pagi, kalimat itu berputar-putar di kepalaku, berulang tanpa henti. Aku menatap bayanganku sendiri di layar ponsel yang gelap. Sorot mataku terlihat puas, senyum tipis terukir rapi. Semua rencana yang kususun perlahan, penuh kesabaran dan kepura-puraan, akhirnya berjalan sempurna. Tidak ada kesalahan. Tidak ada celah. Aisyah jatuh tepat di perangkap yang ku buat sendiri jerat yang kukencangkan sedikit demi sedikit hingga ia kehabisan napas. Tanganku bergerak cepat mengetik pesan untuk Bu Indah, ibu mertua Bara. Perempuan yang selama ini terlihat netral, tapi sebenarnya hanya menunggu waktu yang tepat untuk memihak. Pesan terkirim. Tak lama kemudian
**** Tempat itu masih sama. Sebuah kafe kecil di sudut kota, tersembunyi dari lalu lalang orang-orang yang mengenalku. Lampunya temaram, musiknya pelan, seolah diciptakan khusus untuk percakapan yang tak boleh terdengar siapa pun. Aku duduk di kursi paling ujung, membelakangi jendela, topi dan masker menutupi sebagian wajahku. Tanganku menggenggam cangkir kopi yang bahkan belum kusentuh sejak datang. Pikiranku terlalu penuh. Langkah kaki terdengar mendekat. Aku tak perlu menoleh untuk tahu siapa dia. Aroma parfum itu aku hafal betul. “Kamu terlambat,” ucapku dingin. “Aku harus memastikan tak ada yang mengikuti,” jawabnya santai sebelum duduk di hadapanku. Aku menatap wajahnya tajam. Seseorang yang selama ini menjadi bayangan. Penonton sekaligus penggerak. Dialah yang menanam benih ragu di hati Bara, yang perlahan mengusik ketenangan rumah tangga itu. “Aku butuh sesuatu yang lebih besar,” kataku akhirnya. “Cara lama terlalu lambat.” Alisnya terangkat. “Kamu hamil, Bel
Setelah melihat Aisyah berdiri di teras dan Bara berada di dalam rumah, dadaku terasa sesak. Pemandangan itu menampar egoku. Ada sesuatu yang kembali menyala di dalam diriku rasa takut kehilangan, rasa iri yang tak pernah benar-benar mati. Tanpa berpikir panjang, aku segera meraih ponselku dan melangkah masuk ke kamar. Tanganku sedikit gemetar saat mengetik nomor seseorang. Seseorang yang selama ini diam-diam membantuku. Seseorang yang selalu menjadi celah dalam rumah tangga Bara dan Aisyah. Dering pertama langsung disambut. “Halo,” suara itu terdengar tenang, seolah tahu aku akan menelepon. “Besok kita bisa bertemu?” tanyaku tanpa basa-basi. “Di tempat biasa,” jawabnya singkat. Aku langsung mematikan sambungan telepon begitu mendengar suara pintu kamarku terbuka. Aku tidak ingin Bara tahu apa pun. Tidak sekarang. Aku menoleh, dan benar saja—Bara berdiri di ambang pintu. Wajahnya tampak lesu. Sorot matanya kosong, seolah membawa beban yang terlalu berat untuk dipikul sendi
**** Setelah kata-kata terakhir itu melayang di udara, tidak ada lagi suara yang tersisa. Tidak ada bantahan, tidak ada permintaan maaf. Hanya keheningan yang menggantung, berat, menekan dada. Aku kembali duduk perlahan. Tanganku terasa dingin. Sarapan di hadapanku sudah tidak menggugah selera. Nasi itu tampak asing, seolah bukan aku yang memasaknya. Semua terasa jauh, bahkan diriku sendiri. Bela berdiri membelakangi kami beberapa detik sebelum akhirnya melangkah pergi ke arah kamar. Langkahnya tegas, namun aku tahu di balik punggung yang tegak itu ada hati yang retak. Pintu kamar tertutup. Pelan, tapi cukup keras untuk menandai batas. Aku tidak menangis. Tidak langsung. Aku hanya menatap meja makan yang kini terasa seperti medan perang yang baru saja ditinggalkan. Bara masih berdiri, namun tidak mendekat, tidak juga bicara. Aku bangkit, mengambil piringku, lalu menuju dapur. Tidak ada pamit, tidak ada penjelasan. Aku terlalu lelah untuk menuntut apa pun. Air mengalir
**** Sendok di tanganku berhenti bergerak saat aku merasakan tatapan Bela semakin tajam. Bukan sekadar menatap, tatapan itu seperti pisau yang sengaja diarahkan tepat ke dadaku. Aku menarik napas perlahan, berusaha tetap tenang. Aku tidak ingin pagi ini berubah menjadi medan perang, meski aku tahu, diamku sering kali justru dianggap kelemahan. Bela mendengus pelan. “Tenang sekali kamu pagi ini,” ucapnya akhirnya, suaranya terdengar dingin namun sarat sindiran. Aku mengangkat wajahku, menatapnya dengan tenang. “Aku hanya tidak ingin ribut,” jawabku singkat, melirik sekilas ke arah kamar Arka. Bela tersenyum miring. “Atau memang kamu sudah terbiasa tidur dengan suami orang, jadi semua terasa biasa saja?” Jantungku berdegup keras. Aku meletakkan sendok perlahan agar tidak menimbulkan suara. “Bela,” kataku menahan diri, “aku juga istri Bara. Jangan bicara seolah aku orang ketiga.” Ucapan itu membuat Bara menegakkan punggungnya. “Sudah,” katanya pelan, mencoba menghentikan.







