Mag-log in**** Setelah kata-kata terakhir itu melayang di udara, tidak ada lagi suara yang tersisa. Tidak ada bantahan, tidak ada permintaan maaf. Hanya keheningan yang menggantung, berat, menekan dada. Aku kembali duduk perlahan. Tanganku terasa dingin. Sarapan di hadapanku sudah tidak menggugah selera. Nasi itu tampak asing, seolah bukan aku yang memasaknya. Semua terasa jauh, bahkan diriku sendiri. Bela berdiri membelakangi kami beberapa detik sebelum akhirnya melangkah pergi ke arah kamar. Langkahnya tegas, namun aku tahu di balik punggung yang tegak itu ada hati yang retak. Pintu kamar tertutup. Pelan, tapi cukup keras untuk menandai batas. Aku tidak menangis. Tidak langsung. Aku hanya menatap meja makan yang kini terasa seperti medan perang yang baru saja ditinggalkan. Bara masih berdiri, namun tidak mendekat, tidak juga bicara. Aku bangkit, mengambil piringku, lalu menuju dapur. Tidak ada pamit, tidak ada penjelasan. Aku terlalu lelah untuk menuntut apa pun. Air mengalir
**** Sendok di tanganku berhenti bergerak saat aku merasakan tatapan Bela semakin tajam. Bukan sekadar menatap, tatapan itu seperti pisau yang sengaja diarahkan tepat ke dadaku. Aku menarik napas perlahan, berusaha tetap tenang. Aku tidak ingin pagi ini berubah menjadi medan perang, meski aku tahu, diamku sering kali justru dianggap kelemahan. Bela mendengus pelan. “Tenang sekali kamu pagi ini,” ucapnya akhirnya, suaranya terdengar dingin namun sarat sindiran. Aku mengangkat wajahku, menatapnya dengan tenang. “Aku hanya tidak ingin ribut,” jawabku singkat, melirik sekilas ke arah kamar Arka. Bela tersenyum miring. “Atau memang kamu sudah terbiasa tidur dengan suami orang, jadi semua terasa biasa saja?” Jantungku berdegup keras. Aku meletakkan sendok perlahan agar tidak menimbulkan suara. “Bela,” kataku menahan diri, “aku juga istri Bara. Jangan bicara seolah aku orang ketiga.” Ucapan itu membuat Bara menegakkan punggungnya. “Sudah,” katanya pelan, mencoba menghentikan.
**** Setelah cukup lama aku menghabiskan waktu di kamar mandi, membiarkan air hangat mengalir di tubuhku seolah mampu meluruhkan lelah dan kegelisahan yang tak kunamai, aku akhirnya keluar dari kamar. Rambutku masih setengah basah, handuk melingkar di bahu. Pandanganku langsung tertuju pada ranjang. Kosong. Bara tidak ada di sana. Hanya Arka yang masih tertidur pulas, tubuh kecilnya meringkuk dengan wajah damai, seolah dunia tidak pernah menyakitinya. Aku menatapnya sejenak, menarik napas panjang. Tak berpikir macam-macam, aku menganggap Bara mungkin sudah bangun lebih dulu. Aku melangkah keluar kamar dan menuju dapur. Rumah itu terasa sunyi, terlalu sunyi untuk pagi yang seharusnya hangat. Tidak ada suara langkah, tidak ada aroma kopi, tidak ada suara Bara yang biasanya menyapaku dengan nada santai. Aku mulai menyiapkan sarapan. Tanganku bergerak otomatis, meski pikiranku melayang ke mana-mana. Ada perasaan aneh yang mengganjal, tetapi aku memilih mengabaikannya. Wajan dip
**** Aku menatap wajah Aisyah dalam diam. Ada jarak yang lama terbentang di antara kami, bukan jarak fisik, melainkan jurang perasaan yang tercipta oleh kesalahanku sendiri. Malam itu, entah mengapa dadaku terasa penuh. Ada rindu yang tertahan, ada penyesalan yang selama ini kupendam rapat-rapat. Aku mendekat, perlahan, seakan takut satu gerakan kecil bisa membuatnya menjauh lagi. Bibirku menyentuh bibirnya awal yang ragu, lalu semakin dalam, semakin jujur. Ciuman itu bukan sekadar hasrat, melainkan luapan emosi yang terlalu lama terkunci. Aku bisa merasakan keterkejutannya, namun ia tidak menolak. “Aku menginginkanmu malam ini,” ucapku lirih, suara itu keluar sebelum sempat kupikirkan matang-matang. Kalimat itu bukan hanya tentang keinginan jasmani. Itu pengakuan. Tentang betapa aku masih menginginkannya sebagai istriku, sebagai perempuan yang dulu kupilih untuk menemani hidupku. Sudah lama aku tidak menyentuh Aisyah. Terakhir kali, bahkan aku membencinya mengingat kejadian
**** Jam dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Detiknya berdetak pelan, seolah ikut menemani kegelisahanku. Arka telah tertidur sejak satu jam lalu, tubuh kecilnya meringkuk nyaman di tempat tidur. Setelah memastikan ia benar-benar lelap, aku kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa, menunggu Bara pulang. Rumah terasa terlalu sunyi malam ini. Lampu-lampu menyala redup, dan suara kipas angin menjadi satu-satunya teman. Berkali-kali aku melirik ke arah pintu, berharap suara mobilnya segera terdengar. Tak lama kemudian, suara kendaraan memasuki halaman memecah keheningan. Jantungku berdegup lebih cepat. Pintu terbuka, dan Bara masuk bersama Bela. “Mas,” sapaku lirih. Bara menoleh ke arahku, tatapan kami bertemu sesaat. Namun ia tak mengatakan apa pun. Ia melangkah masuk bersama Bela, berjalan menuju kamar mereka. Aku berdiri, tanpa sadar mengikuti langkah mereka dengan pandangan mata. Ada perasaan perih yang menjalar di dada saat melihat mereka berjalan berdam
**** Sore mulai merambat pelan. Cahaya matahari menembus jendela ruang tengah, jatuh tepat di wajah Arka yang kini mulai lelah bermain. Suaranya tak lagi seceria tadi. Ia merebahkan tubuh kecilnya di pangkuanku, masih menggenggam mainan kesayangannya. Aku mengelus rambutnya dengan lembut, mencoba menenangkan. Di sela-sela itu, ponselku kembali bergetar. Aku mengira pesan dari pelanggan, namun detik berikutnya jantungku berdegup tak wajar. Nama Bara tertera di layar. Namun belum sempat kubuka, notifikasi lain menyusul. Bukan pesan. Sebuah foto. Tanganku gemetar saat membukanya. Di foto itu, Bara terlihat berdiri di sebuah lobi gedung. Wajahnya serius. Di sampingnya… seorang perempuan berdiri sangat dekat. Terlalu dekat untuk disebut rekan kerja. Perempuan itu tersenyum tipis, tangannya hampir menyentuh lengan Bara. Aku mengenalnya. Bela. Istri kedua Bara. Dadaku terasa sesak. Napasku tercekat. Mataku kembali ke arah Arka yang sudah terlelap di pangkuanku, wajahnya b







