"Erland, aku da...--"
Suara Maureen menggantung di udara, sementara matanya,menatap horor pada laki-laki yang akan dijodohkan dengannya.
"Emh, yeah... seperti itu!" geram Erland, tangannya mendorong kepala si wanita supaya miliknya masuk lebih dalam.
"Mmmmh...," gumam si wanita berambut merah, mulutnya terlalu penuh untuk menjawab.
Maureen terpaku di ambang pintu, wajahnya memucat. "Ya Tuhan! Beginikah laki-laki yang akan menikah denganku?" jeritnya dalam hati. Otaknya memerintah untuk berbalik badan dan kabur, tapi kakinya menolak bergerak.
Suara - suara 'aneh' berbalut erangan nikmat tercipta dari mulut mungil seorang wanita muda yang sedang menunduk diantara kaki Erland. Rambut panjang warna merah milik wanita itu menutupi sebagian wajahnya yang menunduk.
Beberapa detik berikutnya, Erland berdiri dan berpindah posisi. Wanita berambut merah itu sekarang berada dibawah kungkungannya.
Tak menyadari kehadiran Maureen, Erland makin menggila.
"Cepat sedikit! Aku hampir sampai!" racau Erland sembari memompa wanitanya lebih intense.
"Egh! Erland... hhh... Erl..." desah wanita dibawahnya makin keras.
Dan, di tengah erangan pasangan yang menggebu...
"OH, SHIT! MY EYES!!!" pekik Maureen sekuat tenaga, meluapkan segenap perasaan.
Erland dan wanita berambut merah itu menoleh bersamaan. Di depan pintu, Maureen berdiri dengan raut wajah yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Shock.
Horor.
Jijik.
Mual.
Maureen sudah sering mendengar reputasi Erland. Lelaki muda itu terkenal sering bergonta ganti pacar.
Tapi, mendengar dan melihat sendiri adalah dua hal yang berbeda. Menyaksikan dengan mata kepala sendiri kelakuan Erland rasanya seperti patah hati sebelum jatuh cinta.
"MAUREEN?!" seru Erland yang terlebih dahulu sadar di antara ketiga orang itu.
Dia langsung melepaskan diri dari wanita yang berada dibawahnya. "Apa yang kamu lakukan disini, hah? Dasar pengganggu!" umpatnya tanpa merasa bersalah.
Si rambut merah beringsut, memunguti pakaian dan buru-buru memakainya.
"Kamu itu wanita. Apa kamu tidak malu melihat tubuh seorang laki-laki? Sialan!" Erland meraih boxernya dan memakainya tanpa malu di depan Maureen.
Maureen membuang wajah. "Kamu yang menyuruhku datang untuk bicara, tapi ternyata kamu terlalu sibuk," ketusnya tak mau kalah.
"Tapi kamu bisa mengetuk pintu sebelum masuk!" sergah Erland masih tak terima.
"Pintunya terbuka. Lagipula, aku tidak menyangka akan ada pasangan yang berbuat tidak senonoh di siang bolong begini. Di ruang keluarga pula!" sahut Maureen tak kalah garang.
"Oh, berani melawan kamu ya? Mentang-mentang Papa ada di pihakmu, sekarang kamu melunjak? Kamu mendekati Papaku supaya bisa menikah denganku. Iya kan?" tuduh Erland dengan kebencian yang meluap-luap. Dia masih punya impian terpendam, dan tentu saja tidak ada pernikahan dalam cita-citanya itu.
"Tutup mulutmu! Aku juga tidak pernah ingin menikah denganmu. Itu semua kemauan Papamu!"
"BOHONG!" hardik Erland, suaranya menggelegar.
Maureen dan Erland berdiri berhadapan, begitu dekat dengan tatapan yang sama-sama tajam.
"Dengar baik-baik! Sekalipun hanya tersisa satu laki-laki di dunia, dan laki-laki itu kamu," Maureen menarik napas panjang, lalu melanjutkan kalimatnya dengan penuh penekanan, "aku lebih memilih jomblo seumur hidup!"
Maureen tidak mau repot-repot menjelaskan panjang lebar pada Erland, toh Tuan Muda Berandal itu tidak akan mendengarnya.
"Lalu, kenapa kamu tidak menolaknya? Sialan kamu, Maureen!" geram Erland.
Maureen tertawa sumbang. Dalam hati dia menangis. Andai saja dulu dia tidak menerima bantuan dari Tuan Diandra, tentu dia tidak akan berhadapan dengan lelaki tidak bermoral ini. Tapi, menolak bantuan itu sama saja dengan membunuh Neneknya pelan-pelan.
"Ehm, permisi. Sebaiknya aku pergi saja," pamit wanita teman kencan Erland.
Dia sudah memakai pakaian, lengkap dengan sepatu dan tas, tapi Maureen dan Erland menghalangi pintu keluar.
Serempak, Maureen dan Erland menoleh kepada wanita itu.
"O'ya. Sebaiknya aku juga pergi. Kita bicara lain kali saja, saat kamu sudah memakai baju," ucap Maureen dingin, menggeser tubuhnya sedikit memberi kesempatan pada wanita teman kencan Erland untuk keluar ruangan lebih dahulu.
Terlalu malu, si rambut merah menerobos Maureen dan Erland, keluar dari ruangan tanpa berkata-kata lagi.
Erland melihat ke pintu dimana wanita tadi menghilang dengan gusar, lalu kembali menatap Maureen. Napasnya memburu, rahangnya mengeras.
"Puas kamu, hah?" sergah Erland, maju selangkah mendekat kearah Maureen, "Gara-gara kamu, dia pergi. Kamu paling pintar merusak kesenanganku!"
"Perlu kamu tahu! Satu-satunya keinginanku adalah tidak pernah ingin berurusan denganmu," ucap Maureen, sebisa mungkin melawan intimidasi dari Erland.
"Buktinya kamu datang kesini. Itu tandanya kamu akan berurusan denganku."
Maureen mundur satu langkah, tapi Erland lebih cepat. Tangan kekarnya menyambar lengan gadis itu, dan detik itu juga Maureen terdesak hingga punggungnya menempel di dinding.
"Apa yang kamu lakukan, Erland? Lepas!" pekik Maureen. Ketegarannya menguap berganti dengan kepanikan.
"Hey, Maureen! Kamu sudah mengganggu kesenanganku. Sekarang, gantikan dia. Senangkan aku!"
Nama Clarisse menarik perhatian Jillian. “Hm…, rupanya kamu juga menyusup untuk menemui Erland? Lalu Clarisse mengusirmu?" Suara Jillian meluncur tanpa disaring, penuh racun. Senyumnya tipis di wajahnya menggambarkan watak yang culas. Matanya menyipit sinis menatap Maureen seperti melihat kotoran. "Apa maksudmu?" tanya Maureen dingin. Kesabaran yang sedari tadi dia tarik sepanjang-panjangnya, kini mencapai ujung. Dan, harga dirinya tersenggol. Selama ini dia hidup mandiri, tidak merepokan siapa pun. Apa dosanya sehingga orang-orang itu selalu menghinanya? Tangannya otomatis menggenggam erat undangan yang ada di genggamannya. "Erland sudah melupakanmu. Buktinya, dia dekat dengan Clarisse sekarang. Tidak udah mengejar Erland lagi," Jillian berhenti sejenak, lalu memutar bola mata dan berkata, "Lagipula, tempat ini hanya untuk orang yang punya undangan." “Aku punya undangannya," tegas Maureen. Dia mengangkat undangannya, "Sekarang minggir! Aku mau masuk!” Seketika mata Jillian
Maalam Grand Final"Aku di ruang ganti. Kabari aku kalau sudah sampai."Pesan dari Lillian masuk, bertepatan dengan Maureen tiba di tempat pagelaran. Sejak siang Lillian sudah sibuk di tempat acara untuk memastikan semua persiapan lancar.Dia datang sendiri ke acara ini karena teman-temannya juga sudah pulang ke rumah masing-masing, sementara dia terbang bersama Lillian dan tim ke kota karantina. "Aku sudah sampai," balas Maureen, kemudian melangkah dengan anggun sambil menahan debar jantung yang bertambah cepat.Gaun rancangan rumah mode Lillian membalut tubuhnya dengan anggun, membuat wajahnya terlihat semakin manis dengan riasan lembut. Lampu-lampu panggung berpendar dari kejauhan, memberi kesan megah dan meriah. Namun Maureen tidak sempat menikmatinya. Dia langsung menuju pintu backstage sesuai petunjuk Lillian.Semakin dekat dengan pintu backstage, hatinya berdebar semakin keras. Dia tahu dibalik pintu itu ada Erland. Mereka akan bertemu setelah sekian lama kehilangan kontak.
Malam sudah merambat pekat ketika Maureen bersama ketiga sahabatnya tiba di rumah. Lampu ruang keluarga menyala redup, menyambut mereka yang baru saja pulang dari mall dengan hati tak karuan.Begitu menginjakkan kaki di ruang tengah, Maureen langsung melempar tas ke sofa dengan penuh emosi, lalu menghempaskan tubuhnya dengan kasar.“Hhh…” desahnya panjang, napasnya berat seolah menanggung beban berton-ton di dada.Ruby, Emily, dan Marcella ikut duduk, lalu bertukar pandang dengan canggung. Ekspresi ketiganya keruh. Tidak ada satupun dari mereka yang bisa tersenyum.Dalam hati, ketiganya ingin sekali mengumpat nama Erland. Tetapi seburuk-buruknya Erland, lelaki itu tetap suami Maureen.Sebut saja Erland suami yang tidak tahu diri, tetap saja ada rasa sungkan yang menahan mereka. Tapi kalau tidak mengumpat, dada mereka terasa sesak. Serba salah.Lost contact seminggu lebih karena ponsel rusak, alasannya itu tidak masuk di logika mereka. Tapi, mereka memilih diam.Ruby mendengus pelan sa
Suasana klinik kecantikan sore itu masih cukup ramai. Maureen bersama Ruby, Marcella, dan Emily baru saja selesai menjalani perawatan seluruh tubuh. Seharian di klinik, mereka tampak lebih relax, kulit wajah terlihat segar, dan tawa ringan pun terdengar ketika mereka menuju meja pembayaran. "Terima kasih sudah berkunjung. Kami menanti kunjungan berikutnya," ucap gadis yang bertugas menjaga resepsionist. Mereka mengangguk dan tersenyum ramah ketika langkah Maureen terhenti sejenak karena telinganya menangkap sebuah nama yang begitu familiar. “Aku sudah membeli tiket malam final hanya demi melihat Erland,” ucap petugas di bagian pembayaran, suaranya penuh semangat dan bangga. Mata Maureen langsung membesar, sementara Ruby spontan melirik Marcella dan Emily. Seketika radar mereka menjadi lebih sensitif, mencoba menangkap apa pun yang berhubungan dengan Erland. “Dia memang tampan sekali. Suaranya enak,” sahut seorang rekan petugas sambil terkekeh. "Ah, aku tidak sabar bertemu dengan E
Erland sedang pusing dengan kepalanya yang dipenuhi masalah, sementara di sisi lain, Maureen justru menemukan hiburan di tengah kepedihan.Kehilangan nenek tercinta jelas meninggalkan luka, ditambah lagi suami yang menghilang entah ke mana. Untungnya, ada Ruby, Emily, dan Marcella—tiga sahabat yang setia mengisi kekosongan hatinya.“Maureen, aku beli banyak makanan. Pokoknya malam ini kita party!” Ruby berseru riang. Dia tadi pergi dan sekarang datamg dengan membawa satu kantong besar berisi makanan.Teman-temannya berkerumun sambil mengendus aroma lezat yang menguar dari kantong tersebut. Aroma ayam goreng berpadu french fries, pizza, dan burger langsung memenuhi ruangan.“Aku benci makanan ini. Hari ini aku adalah hari dietku," keluh Emily, raut wajahnya memelas."Kamu bisa diet kapan-kapan," celetuk Marcella, mengedipkan sebelah mata dengan kocak.Maureen mengeluarkan kotak pizza dan mengoyangkannya di depan wajah Emily. "Kamu akan menyesal kalau diet," godanya, sambil tertawa pela
Pikiran Erland kusut seperti benang ruwet. Setiap tarikan napas dan gerak langkah di ruang latihan hari itu terasa berat. Bukan karena fisik, tetapi karena bisik-bisik yang sempat dia dengar.Di setiap lingkungan pasti ada orang yang tidak suka atau iri.“Pantas jumlah suara dia naik terus, ternyata kenalannya orang berpengaruh,” bisik seorang peserta sambil menatap Erland yang duduk tidak jauh dari mereka.“Siapa yang tidak kenal Lillian Odelia?” tambah yang lain, nada setengah kagum, setengah mencibir.“Omong-omong, wajah mereka sedikit mirip. Apa mereka ada hubungan?” seorang peserta perempuan menegur temannya, menahan tawa, matanya terus mengintip Erland."Biasanya karena dekat, lama kelamaan wajah kita jadi mirip," celetuk yang lain. Dia memberi mengucapkan kata dekat dengan mimik penuh arti.“Hush! Sembarangan saja. Erland itu berpacaran dengan Clarisse,” sahut yang lain cepat. Nadanya seperti orang berbisik, tapi bisa didengar dengan jelas oleh orang-orang disekitar mereka, ter