"Hey, Maureen! Kamu sudah mengganggu kesenanganku. Gantikan dia, senangkan aku!" ucap Erland penuh penekanan.
Nyali Maureen ciut saat melihat sepasang mata dingin Erland sedang menatapnya tak berkedip. Ketika mata Erland turun ke bibir, Maureen menyentakkan tangan sekuat tenaga hingga cekalan Erland lepas. Tapi, usahanya itu seakan sia-sia. Di belakangnya ada dinding yang membatasi gerakannya. Dia terperangkap di antara tubuh Erland dan dinding. Gadis itu menelan ludah dengan berat. Menyeringai, Erland mendekatkan wajahnya kepada Maureen. "Aku harus segera pergi dari sini," batin Maureen. Otaknya berputar cepat supaya bisa lolos dari situasi ini. "Kita bicara setelah ini. Setelah kamu memuaskan aku," bisik Erland, kedua tangannya yang kokoh mengurung tubuh Maureen. Tanpa risih, Erland semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Maureen. Tanpa sadar Maureen memejamkan mata, seakan pasrah pada keadaan."Ya sudahlah. Yang akan terjadi biarlah terjadi," pikir Maureen nelangsa.
"Ada apa? Kamu sudah tidak sabar lagi merasakan ciumanku?" tanya Erland dengan nada meremehkan. "APA?!" pekik Maureen, membuka kembali matanya. Tapi, tetap saja Maureen tidak berani bergerak. Sekali saja bergerak, maka bibir mereka akan saling menempel. "Kamu berdiri terlalu dekat," jawab Maureen mencoba mengulur waktu. Dia menempelkan kepalanya serapat mungkin ke tembok supaya ada sedikit jarak antara Erland dan dirinya. "Kamu setuju menikah denganku, kenapa risih kalau harus berdekatan seperti ini?" tanya Erland, melanjutkan intimidasinya. Tidak tahan lagi, Maureen mengangkat salah satu kakinya dan mengarahkan lutut kanannya tepat di bagian tengah di antara kedua kaki Erland. Namun dengan lincah, Erland berkelit. Serangan Maureen meleset! "Sial! Kamu berani menyerangku!" umpat Erland, setengah tak percaya kalau gadis yang terlihat culun ini tahu ilmu bela diri dasar. "Aku hanya menyelamatkan diri! Dasar berandal!" pekik Maureen, menggunakan kesempatan ini untuk berlari keluar ruangan. Dia mengabaikan teriakan Erland yang memanggil namanya. Tiba di halte bus, barulah Maureen mengurangi kecepatan kakinya. Jantungnya berdebar-debar dan kakinya terasa kebas karena berlari tanpa jeda. Dia menghempaskan tubuhnya di bangku panjang, lalu menarik napas panjang. Suara Tuan Diandra terngiang di kepala. Maureen teringat moment dimana dia meminta pinjaman kepada atasannya. Siapa sangka, Tuan Diandra malah turun tangan langsung. "Aku akan membayar seluruh biaya pengobatan Nenekmu, lalu mencarikan tempat tinggal terbaik. Kamu tidak perlu khawatir lagi tentang biaya hidup Nenek dan kelangsungan kuliahmu. Semuanya aku yang tanggung." Semua bantuan itu seharusnya membuat Maureen bersyukur, tapi dadanya terasa sesak saat mengingat syarat yang diberikan oleh Tuan Diandra. "Menikah dengan Erland. Apa ini satu-satunya cara untuk membalas budi?" monolog Maureen dalam hati. Sebuah bus berhenti. Seperti robot yang sudah diprogram, Maureen bangkit dari duduknya lalu naik keatas bus. Di dalam bus, Maureen duduk di kursi dekat jendela. Gadis itu menatap kosong ke jendela. Wajah Erland yang sinis muncul, lalu berganti dengan Tuan Diandra yang baik hati. Terakhir ada bayangan Nenek yang menyayanginya. Omong-omong soal Nenek, Maureen jadi rindu kepada wanita yang sudah merawatnya sejak kecil. "Sebaiknya aku berkunjung ke panti sebelum kembali ke asrama," putus Maureen, berdiri dan memencet bel supaya bus berhenti di halte berikutnya. Turun dari bus, Maureen berjalan kaki melalui jalan-jalan kecil menuju ke sebuah panti jompo yang terletak di kompleks perumahan berlatar belakang pohon-pohon hijau yang asri. Maureen masuk ke dalam bangunan putih mewah dengan sebuah papan bertuliskan 'Golden Bloom Elderly Resort'. Di ruang bersama, Maureen berdiri dengan perasaan haru, menatap pada sosok tua yang sangat dekat di hatinya. Nenek tercintanya sedang duduk merajut sambil mengobrol. Sesekali dia tertawa mendengar candaan dari teman-teman lansianya. Di dekat mereka ada seekor kucing kecil bermain-main dengan gulungan benang wol. Melihat wajah bahagia Neneknya, beban di hati Maureen sedikit terangkat. Beberapa waktu yang lalu, Nenek terbaring tak berdaya di rumah sakit. Anak kandung dan cucunya mengabaikannya. Maureen menghampiri. "Waaah, kalian asyik sekali. Rajutannya rapi dan indah," puji Maureen sekaligus menyapa mereka semua. "Maureen!" seru mereka hampir berbarengan, wajah-wajah kaum usiawan itu tampak sumringah. Serta merta Nenek Argantha merentangkan tangannya lebar-lebar. Maureen menghambur ke pelukan Nenek yang hangat. "Terima kasih banyak, Reen. Nenek tidak tahu apa jadinya hidupku tanpa kamu. Nenek sudah sembuh dan senang sekali tinggal disini," ucap Nenek bahagia. "Ah, Nenek selalu mengatakan hal yang sama setiap kali aku berkunjung. Aku kan jadi bosan mendengarnya." Maureen melerai pelukannya dan berpura-pura merajuk, tapi bibirnya membentuk senyum kecil. Nenek Argantha terkekeh. "Tadi pagi kami membuat pudding almond dan fla. Apa kamu mau mencobanya?" tanyanya, yang disambut ceria oleh yang lain. "Ayo, Maureen. Kamu harus mencobanya." Oma Nancy mengambil kucing kecil dan menggendongnya. "Ya, Maureen. Kalau bukan kamu, siapa lagi yang akan menghabiskan pudding itu?" Oma Melinda menimpali. Beliau ikut berdiri setelah meraup benang wol dan memasukkannya ke dalam keranjang. "Baiklah, kalau kalian memaksa. Dipaksa makan enak, aku tidak berani menolak," sahut Maureen sambil mengerling jenaka, yang langsung disambut kekehan para wanita usiawan disana. Lalu Maureen mendorong kursi roda Nenek Argantha. "Bagaimana kondisi Nenek?" tanyanya penuh perhatian. Neneknya masih dalam masa pemulihan. "Nenek sehat dan bahagia, Nak. Jangan khawatir." Mereka tiba di ruang makan yang bersih dan terang. Aroma manis pudding almond menyeruak, memancing air liur. Maureen mendorong kursi roda Nenek Argantha ke dekat jendela, lalu menyapa beberapa lansia yang sedang minum teh sambil bercengkerama. Selanjutnya, dia mengambil semangkuk pudding untuk dirinya dan satu untuk sang nenek. “Hmm… harum sekali.” Maureen menyendok sedikit dan mencicipinya. “Wah, enak! Fla-nya lembut dan manisnya pas banget!” “Kami memasaknya pakai resep cinta,” kata Oma Nancy sambil tertawa kecil dari meja seberang. “Aku mengaduknya dengan senyum," celetuk Oma Melinda. "Hey, aku yang menuang kebahagiaan di setiap cetakan." Oma Argantha menimpali tak mau kalah. Penghuni yang lain tertawa-tawa mendengar humor khas wanita lanjut usia. Maureen ikut tertawa, suasana yang begitu hangat ini membuat hatinya nyaman. Dunia luar terlupakan sejenak. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling—interiornya tidak seperti panti jompo sederhana yang dulu pernah dia lihat di media sosial. Tempat ini lebih menyerupai rumah tinggal yang luas, hangat, dan dipenuhi tanaman hijau di setiap sudut. Ada ruang baca, ruang terapi, ruang musik, taman kecil di belakang, dan staf yang ramah serta sigap. Tuan Diandra memang tidak main-main. Beliau benar-benar menempatkan Nenek Argantha di tempat terbaik. “Apa Nenek benar-benar bahagia tinggal di sini?” tanya Maureen, ingin memastikan. Nenek Argantha menoleh, tersenyum dan mengangguk mantap. “Tentu saja! Teman-teman disini seperti keluarga besar. Aku tidak merasa terpaksa tinggal di sini. Aku juga bisa berbagi dengan sesama lansia. Dan, lebih dihargai.” Lalu, dengan penuh kelembutan, beliau menyentuh tangan Maureen. “Lagipula, banyak kegiatan yang membuat kami tetap aktif. Pagi ini saja aku belajar teknik merajut pola bunga mawar. Setiap pagi, aku bisa berjemur di taman bersama teman-teman." “Wah, terdengar menyenangkan," Maureen tersenyum, tapi bibirnya sedikit bergetar, "Aku ingin kita bersama lagi. Aku bekerja dan Nenek di rumah menanam lavender dan tomat ceri." Nenek tersenyum makin hangat, tapi kini matanya ikut basah. Dengan penuh kasih, beliau mengusap kepala Maureen. “Fokus sama kuliahmu. Cari pekerjaan yang bagus. Berbahagialah, Reen. Bahagiamu adalah bahagianya Nenek." Setelah berbincang cukup lama, Nenek tampak mengantuk. Maureen membawa Neneknya kembali ke kamar. Setelah memastikan sang Nenek nyaman di ranjangnya dan menyelimuti tubuh rentanya, Maureen mengecup keningnya pelan. "Sampai jumpa, Nek. Maureen sayang Nenek." Maureen keluar kamar, bertepatan dengan ponselnya berbunyi. Di layar tertera nama Tuan Diandra. Menghela napas, Maureen menerima panggilan itu. Firasatnya mengatakan Tuan Diandra ingin membicarakan hal yang paling tidak ingin dia bicarakan saat ini. "Hallo, Maureen? Aku menunggumu. Kita akan bicara soal perjanjian pranikah. Sekarang." Suara Tuan Diandra terdengar lembut tapi tegas. "Ya, Tuan," jawab Maureen pasrah. Dan kalimat selanjutnya, sungguh membuat Maureen panik. "Aku mau semua beres. Pengacara, dan juga Erland juga akan hadir." Jantung Maureen berdegup kencang, setelah apa yang terjadi tadi. Bagaimana reaksi Erland saat bertemu kembali nanti? "Aku harus bersikap bagaimana?"Nama Clarisse menarik perhatian Jillian. “Hm…, rupanya kamu juga menyusup untuk menemui Erland? Lalu Clarisse mengusirmu?" Suara Jillian meluncur tanpa disaring, penuh racun. Senyumnya tipis di wajahnya menggambarkan watak yang culas. Matanya menyipit sinis menatap Maureen seperti melihat kotoran. "Apa maksudmu?" tanya Maureen dingin. Kesabaran yang sedari tadi dia tarik sepanjang-panjangnya, kini mencapai ujung. Dan, harga dirinya tersenggol. Selama ini dia hidup mandiri, tidak merepokan siapa pun. Apa dosanya sehingga orang-orang itu selalu menghinanya? Tangannya otomatis menggenggam erat undangan yang ada di genggamannya. "Erland sudah melupakanmu. Buktinya, dia dekat dengan Clarisse sekarang. Tidak udah mengejar Erland lagi," Jillian berhenti sejenak, lalu memutar bola mata dan berkata, "Lagipula, tempat ini hanya untuk orang yang punya undangan." “Aku punya undangannya," tegas Maureen. Dia mengangkat undangannya, "Sekarang minggir! Aku mau masuk!” Seketika mata Jillian
Maalam Grand Final"Aku di ruang ganti. Kabari aku kalau sudah sampai."Pesan dari Lillian masuk, bertepatan dengan Maureen tiba di tempat pagelaran. Sejak siang Lillian sudah sibuk di tempat acara untuk memastikan semua persiapan lancar.Dia datang sendiri ke acara ini karena teman-temannya juga sudah pulang ke rumah masing-masing, sementara dia terbang bersama Lillian dan tim ke kota karantina. "Aku sudah sampai," balas Maureen, kemudian melangkah dengan anggun sambil menahan debar jantung yang bertambah cepat.Gaun rancangan rumah mode Lillian membalut tubuhnya dengan anggun, membuat wajahnya terlihat semakin manis dengan riasan lembut. Lampu-lampu panggung berpendar dari kejauhan, memberi kesan megah dan meriah. Namun Maureen tidak sempat menikmatinya. Dia langsung menuju pintu backstage sesuai petunjuk Lillian.Semakin dekat dengan pintu backstage, hatinya berdebar semakin keras. Dia tahu dibalik pintu itu ada Erland. Mereka akan bertemu setelah sekian lama kehilangan kontak.
Malam sudah merambat pekat ketika Maureen bersama ketiga sahabatnya tiba di rumah. Lampu ruang keluarga menyala redup, menyambut mereka yang baru saja pulang dari mall dengan hati tak karuan.Begitu menginjakkan kaki di ruang tengah, Maureen langsung melempar tas ke sofa dengan penuh emosi, lalu menghempaskan tubuhnya dengan kasar.“Hhh…” desahnya panjang, napasnya berat seolah menanggung beban berton-ton di dada.Ruby, Emily, dan Marcella ikut duduk, lalu bertukar pandang dengan canggung. Ekspresi ketiganya keruh. Tidak ada satupun dari mereka yang bisa tersenyum.Dalam hati, ketiganya ingin sekali mengumpat nama Erland. Tetapi seburuk-buruknya Erland, lelaki itu tetap suami Maureen.Sebut saja Erland suami yang tidak tahu diri, tetap saja ada rasa sungkan yang menahan mereka. Tapi kalau tidak mengumpat, dada mereka terasa sesak. Serba salah.Lost contact seminggu lebih karena ponsel rusak, alasannya itu tidak masuk di logika mereka. Tapi, mereka memilih diam.Ruby mendengus pelan sa
Suasana klinik kecantikan sore itu masih cukup ramai. Maureen bersama Ruby, Marcella, dan Emily baru saja selesai menjalani perawatan seluruh tubuh. Seharian di klinik, mereka tampak lebih relax, kulit wajah terlihat segar, dan tawa ringan pun terdengar ketika mereka menuju meja pembayaran. "Terima kasih sudah berkunjung. Kami menanti kunjungan berikutnya," ucap gadis yang bertugas menjaga resepsionist. Mereka mengangguk dan tersenyum ramah ketika langkah Maureen terhenti sejenak karena telinganya menangkap sebuah nama yang begitu familiar. “Aku sudah membeli tiket malam final hanya demi melihat Erland,” ucap petugas di bagian pembayaran, suaranya penuh semangat dan bangga. Mata Maureen langsung membesar, sementara Ruby spontan melirik Marcella dan Emily. Seketika radar mereka menjadi lebih sensitif, mencoba menangkap apa pun yang berhubungan dengan Erland. “Dia memang tampan sekali. Suaranya enak,” sahut seorang rekan petugas sambil terkekeh. "Ah, aku tidak sabar bertemu dengan E
Erland sedang pusing dengan kepalanya yang dipenuhi masalah, sementara di sisi lain, Maureen justru menemukan hiburan di tengah kepedihan.Kehilangan nenek tercinta jelas meninggalkan luka, ditambah lagi suami yang menghilang entah ke mana. Untungnya, ada Ruby, Emily, dan Marcella—tiga sahabat yang setia mengisi kekosongan hatinya.“Maureen, aku beli banyak makanan. Pokoknya malam ini kita party!” Ruby berseru riang. Dia tadi pergi dan sekarang datamg dengan membawa satu kantong besar berisi makanan.Teman-temannya berkerumun sambil mengendus aroma lezat yang menguar dari kantong tersebut. Aroma ayam goreng berpadu french fries, pizza, dan burger langsung memenuhi ruangan.“Aku benci makanan ini. Hari ini aku adalah hari dietku," keluh Emily, raut wajahnya memelas."Kamu bisa diet kapan-kapan," celetuk Marcella, mengedipkan sebelah mata dengan kocak.Maureen mengeluarkan kotak pizza dan mengoyangkannya di depan wajah Emily. "Kamu akan menyesal kalau diet," godanya, sambil tertawa pela
Pikiran Erland kusut seperti benang ruwet. Setiap tarikan napas dan gerak langkah di ruang latihan hari itu terasa berat. Bukan karena fisik, tetapi karena bisik-bisik yang sempat dia dengar.Di setiap lingkungan pasti ada orang yang tidak suka atau iri.“Pantas jumlah suara dia naik terus, ternyata kenalannya orang berpengaruh,” bisik seorang peserta sambil menatap Erland yang duduk tidak jauh dari mereka.“Siapa yang tidak kenal Lillian Odelia?” tambah yang lain, nada setengah kagum, setengah mencibir.“Omong-omong, wajah mereka sedikit mirip. Apa mereka ada hubungan?” seorang peserta perempuan menegur temannya, menahan tawa, matanya terus mengintip Erland."Biasanya karena dekat, lama kelamaan wajah kita jadi mirip," celetuk yang lain. Dia memberi mengucapkan kata dekat dengan mimik penuh arti.“Hush! Sembarangan saja. Erland itu berpacaran dengan Clarisse,” sahut yang lain cepat. Nadanya seperti orang berbisik, tapi bisa didengar dengan jelas oleh orang-orang disekitar mereka, ter