"Erland?"Suara seorang wanita terdengar tepat ketika Erland berbalik badan.Erland mendongak, dan tatapannya bertemu dengan sepasang mata lembut— sepasang mata yang dulu menatapnya penuh kasih saat membacakan dongeng.Sayangnya, mereka harus berpisah untuk alasan yang sampai sekarang tidak dipahami olehnya.Lillian Odelia.Wanita itu berdiri dengan mantel panjang warna gading dan syal tipis di lehernya. Wajahnya masih secantik dulu, tapi lebih matang, ada setitik sendu yang tidak bisa disembunyikan.Erland terdiam. Rahangnya mengeras, tapi dia tidak melangkah pergi seperti yang biasa dilakukan olehnya sebelum ini."Mau terbang kemana?" tanya Lillian, berbasa basi. Dia sudah tahu kalau Maureen akan terbang hari ini. Sesuai dugaannya, Erland mengantarkan Maureen."Mengantar Maureen," jawab Erland acuh tak acuh. Setelah itu mereka saling berpandangan dengan canggung."Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan, aku mau pulang." Erland terlebih dahulu bersuara, langsung beranjak hendak menin
Protes keras, Erland meninggalkan Maureen dan masuk ke kamarnya. Klik! Maureen ternganga saat mendengar suara pintu terkunci. "Ya ampun! Aneh sekali si Erland. Dia kenapa sih?" gumamnya, menyusul Erland."Erland! Woi, Erland!" serunya mengetuk pintu kamar, tapi tidak mendapat jawaban. Beberapa saat mencoba dan tidak ada hasil, maka Maureen pun menyerah.Dia mengangkat bahu, lalu kembali ke meja makan dan menikmati makan malamnya sambil memikirkan kelakuan Erland yang seperti anak kecil ngambek karena hendak ditinggal pergi oleh Ibunya. Dan, sebuah ide terlintas di benak Maureen. "Dia bilang jangan mencarinya malam ini. Jadi, maksudnya aku boleh pamit pagi-pagi sebelum pergi kan?" gumamnya sambil tersenyum penuh kemenangan. Pagi-pagi sekali, Maureen sudah rapi. Masih ada waktu sekitar satu jam lebih sebelum pesawatnya berangkat. Pelan-pelan, Maureen masuk ke dalam kamar Erland menggunakan kunci cadangan. Kamar hanya diterangi oleh lampu tidur. Erland terlihat masih tidur dengan p
"Apakah kalau aku bersikap manis, maka kamu mau bersamaku terus malam ini?" Maureen mengerjap, tidak tahu harus merespon apa pertanyaan Erland barusan. "Temani aku tidur sampai pagi," pinta Erland dengan mata terus melekat pada gadis yang berstatus istrinya. "Kamu yakin?" tanya Maureen. Erland mengangguk. "Aku mau kamu malam ini." "O'ya?" "Ya. Ternyata aku menginginkan kamu," bisik Erland di telinga Maureen. Maureen memejamkan mata, menahan supaya tidak jatuh dalam pesona Erland. "Apa kamu benar-benar bahagia bersamaku?" uji Maureen sekali lagi. Kali ini dia membuka mata dan menatap Erland dalam-dalam. Pertanyaan ini membuat Erland mulai berpikir. Kecantikan Maureen, sikap yang apa adanya, lalu tingkahnya yang menggemaskan. Ya. Maureen membuatnya nyaman. "Aku bahagia bersamamu. Aku benar-benar menginginkan kamu," jawab Erland dengan suara berbisik. "Tapi, Erland," Maureen menangkupkan kedua telapak tangannya ke pipi Erland sambil menatap dengan lembut, "Kamu adalah tipe la
"Kenapa? Bagaimana kalau kita pulang?" bisik Erland, tangannya semakin liar menjelajah. "Kita lanjutkan pestanya di rumah. Berdua saja...""Huh!" Maureen melotot kesal karena Erland sama sekali tidak peka kalau perutnya lapar."Acaranya membosankan sekali. Iya kan?" tanya Erland sok polos, tanpa canggung mengecup pundak Maureen.Maureen terjengit. Matanya melirik ke kanan dan kiri, berharap tidak ada yang memperhatikan mereka."Untunglah, orang-orang itu sedang fokus ke pembawa acara," batinnya lega."EHM!" Deheman Reinner kembali mengagetkan Maureen. Dia mendongak."Sebaiknya kamu turuti ajakan suamimu untuk pulang, Reen. Sorry, ini demi kebaikan bersama. Aku khawatir akan terjadi hal yang diinginkan oleh Erland disini," celetuk Reinner dengan raur datar."Rein...," desisnya, kehilangan kata-kata. Malunya sampai ubun-ubun. 'Aksi' Erland ternyata diketahui oleh Reinner.Berbeda dengan Maureen, Erland tidak terlihat canggung sama sekali. Seakan mendapat dukungan, dia menggamit tangan Ma
"Maaf. Begitu sampai, aku langsung sibuk. Rencananya besok aku akan menemuimu." Reinner membalas pelukan Maureen, tapi dengan segera melerai pelukan mereka. "Datang bersama suami tercinta, hm?" tanya Reinner, menahan diri untuk memuji Maureen yang mempesona malam ini. "Tuh! Orangnya disana. Aku diabaikan." Maureen mencebikkan bibir kearah Erland dan gerombolannya. Cara bicaranya seperti gadis kecil yang sedang mengadu tentang temannya yang nakal. "Businessman butuh relasi. Erland sedang membangun relasi sebanyak mungkin," hibur Reinner dengan sabar, sebisa mungkin mengurangi sentuhan fisik diantara mereka. "Relasi sih relasi. Tapi, menurutku, dia itu tidak bertanggung jawab. Dia yang mengajak, tapi dia pula yang membiarkan aku kelaparan," keluh Maureen. Hidungnya mengendus aroma gurih fish and chip bercampur jamur panggang membuat Maureen meneteskan air liur. Reinner tertawa pelan melihat ekspresi Maureen yang menggemaskan. "Jadi, sebenarnya kamu kesal karena diabaikan atau karena
"Ada apa denganmu? Kamu terpesona padaku? Aku cantik kan?" Maureen memberondong Erland dengan pertanyaan. Semuanya diucapkan gadis itu dengan sangat percaya diri. Erland berdehem beberapa kali. Dia menatap Maureen tak berkedip, dari ujung kepala hingga ujung kaki tanpa menyembunyikan kekagumannya. "Can-cantik... cantik sekali," pujinya dengan canggung. "O'ya?" pekik Maureen girang. Hatinya seakan terbang ke luar angkasa. Kalau tidak malu, mungkin dia sudah salto atau loncat-loncat saking senangnya. Erland sangat pelit pujian. Kalau sampai dia memuji, berarti itu yang sebenarnya. "Ayo masuk!" ajak Erland, ingin menyudahi kecanggungan yang tiba-tiba menyeruak dari dalam diri. "Ayo," angguk Maureen sambil berbalik badan, dan mata Erland langsung membelalak lebar. "Sial! Harusnya aku tidak memilih baju ini untukmu!" gerutu laki-laki itu, menyalahkan diri sendiri. Meski rambut Maureen dibiarkan tergerai, ternyata masih kurang panjang untuk menutupi pungggungnya yang terbuka. Erlan