Share

Rindu Ayah

Waktu berlalu begitu cepat, matahari kini sudah bersinar di ufuk. Sinarnya begitu menghangatkan dan menyehatkan. Waktu pagi, semua disibukkan dengan berbagai aktivitas. Mulai memasak sarapan, mencuci, membereskan rumah, bersiap berangkat kerja ataupun bersiap sekolah dan kuliah.

Pagi ini untuk pertama kalinya, Jihan tidak melakukan aktivasi apa pun. Ia sudah terlihat rapi, tapi ia hanya berdiam diri di kamar dengan pandangan mata kosong. Setelah sekian lama berdiam diri, Jihan beranjak lalu keluar kamarnya.

Sekilas ia melirik ke arah pintu kamar kedua anaknya, seperdetik kemudian ia langsung memutuskan pandangannya. Jihan lansung berlalu tanpa niat membangunkan kedua anaknya.

Saat Jihan hendak keluar, ia melihat Danu sedang tertidur di atas sofa. Tengah meringkuk sebab tinggi tubuhnya tidak muat di sofa yang berukuran kecil. Dengan wajah sinis dan penuh amarah Jihan pun melewati Danu tanpa membangunkan.

Jihan membuka pintu lalu membantingnya dengan keras membuat Danu terperanjat dan hampir terjatuh.

“Astaga,” pekik Danu lalu langsung terduduk di sofa yang ia jadikan tempat tidur itu.

Danu langsung menatap ke arah pintu yang Jihan banting. Ada tatapan tak terbaca dari raut wajah Danu. Ia hanya bisa mendesah kecil seraya menjambak keras rambutnya.

Selang berapa menit, Raisa dan Rafli terbangun. Mereka mencari keberadaan Jihan. Sadar akan kedua anaknya terus saja memanggil nama bundanya membuat Danu menoleh ke arah kedua anaknya.

“Anak-anak Ayah udah bangun, ya.” Danu berjongkok lalu merentangkan tangannya membawa kedua anaknya ke dalam dekapannya.

"Ayah," seru keduanya matanya berbinar melihat sang Ayah.

"Ayah kapan datang?" tanya Raisa si anak sulung.

"Tadi malam. Niatnya mau kasih kejutan. Eh, malah udah pada tidur." Danu berpura-pura sedih.

"Maaf Ayah. Ayah datangnya kemalaman, sih. Oh iya, Ayah mana oleh-olehnya? Ayah kan udah janji." Raisa menagih janji Danu yang akan membelikan mainan baru.

Danu terdiam. Bisa-bisanya ia melupakan janji yang telah ia ucapkan pada Raisa dan Rafli.

"Maafin Ayah, ya. Ayah lupa. Janji weekend nanti Ayah beliin. Enggak apa-apakan?"

"Yah, Ayah gitu. Padahal Raisa nungguin itu." Raisa kecewa.

Danu merasa tak enak hati. Kenapa bisa ia melupakan kebiasaan dirinya saat setiap dinas keluar kota. Mungkin terlalu sibuk dengan wanita yang kedua membuat orang-orang yang sejak lama mengisi hidupnya ia lupakan. Entahlah.

“Ayah, Bunda ke mana?” tanya Raisa saat ia sudah tak mempermasalahkan oleh-oleh yang Danu lupakan.

Danu tersenyum seraya mengelus rambut kedua anaknya.

“Bunda kerja, kalian sama Ayah saja, ya.”

“Rafli mau sama Bunda, Ayah,” rengek Rafli tiba-tiba. Setelah sedari tadi diam membisu.

“Dengarkan Ayah. Apa kalian enggak rindu sama Ayah? Ayah sedih, nih ternyata anak-anak Ayah enggak ada yang rindu,” sedih Danu dan itu hanya pura-pura saja.

“Raisa rindu, kok, Ayah. Rindu sangat.” Raisa memeluk tubuh Danu.

Danu lalu menatap pada Rafli, “Kalau jagoan Ayah gimana? Apa enggak rindu sama Ayah?” tanya Danu dengan memasang wajah memelas.

Si kecil Rafli menatap Danu, ia memegang wajah Danu yang sengaja dibuat terlihat menyedihkan itu.

“Ayah jangan bersedih, Rafli rindu, kok, sama Ayah.”

Danu merasa terharu, ini kali pertama dirinya merasa menjadi ayah yang sesungguhnya. Kemarin-kemarin ia terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan, hingga melupakan tumbuh kembang anak-anaknya.

“Sini peluk Ayah.” Danu membawa tubuh kecil Rafli ke dalam dekapannya. Lalu ia mencium pucuk kepala Rafli kemudian berganti mencium pucuk kepala Raisa.

“Oke, berhubung Bunda udah pergi kerja sekarang, kalian sama Ayah dulu, gimana? Setuju?” ucap Danu seraya melihat bergantian menatap Raisa dan Rafli.

“Mau, mau,” ucap serempak Raisa dan Rafli.

“Good, kalau gitu tos dulu dong.” Danu mengangkat tangan untuk melakukan highfive.

Raisa dan Rafli langsung melakukan gerakan highfive dengan tawa renyah di mulutnya.

Danu memboyong anak-anaknya ke dalam kamar lalu menyuruh mereka mandi. Di dalam kamar mandi mereka saling bercanda membuat baju Danu ikut basah terkena cipratan air.

Di tengah kesibukan Danu memandikan kedua anaknya. Mona datang, ia berulang kali mengucap salam tapi tak ada jawaban.

Mona pun memberanikan diri untuk masuk. Biasanya jam 06.00, Mona selalu melihat Jihan dan kedua anaknya sedang sarapan. Tapi, kali ini ia tidak mendapati siapa pun. Mona merasa heran, sebab tidak biasanya Nyonya-nya seperti ini. Yang Mona tahu jika Jihan seorang wanita karier sekaligus ibu rumah tangga yang rajin dan patut ditiru.

Baru saja beberapa langkah kaki Mona melangkah, terdengar panggilan seseorang yang memanggil Mona.

“Mona, kamu sudah datang?” tanya Danu.

Seketika itu juga Mona langsung membalikkan tubuhnya dan membalas perkataan tuannya. Sadar akan keadaan Danu yang hanya menggunakan handuk mandi langsung menundukkan kepala.

“Iya, Tuan. Maaf saya sudah lancang masuk," sesal Mona.

“Tidak apa-apa. Mona ada yang ingin saya sampai kan sama kamu. Aku harap kamu enggak keberatan.”

“Tentu saya tidak akan merasa keberatan, Tuan. Saya bekerja pada Tuan dan Nyonya jadi, perintah kalian sangat penting untuk saya jalankan.”

“Saya titip anak-anak. Bundanya pergi kerja pagi-pagi sekali. Raisa biasanya di antar Bundanya, sekarang aku minta kamu yang antar, ya. Jangan lupa Rafli juga bawa, saya ada kerjaan penting dan tidak bisa saya tinggalkan.”

“Dengan senang hati, Tuan. Tuan tidak usah khawatir.”

“Terima kasih, Mona. Oh, ya tolong bantu anak-anak berpakaian,” titah Danu dan mendapat anggukkan dari Mona.

Mona pun undur diri untuk menemui Raisa dan Rafli serta akan membantu mereka berpakaian.

Sementara, Danu berjalan menuju kamar dirinya dengan Jihan. Saat masuk Danu dibuat kaget, pasalnya keadaan kamar yang begitu hancur, dan sudah tidak pantas lagi untuk disebut kamar.

“Jihan ... semarah itukah kamu?” gumam Danu begitu lirih.

Jika bertanya masalah marah sudah tentu Jihan marah

Jika suaminya sendiri menikah lagi tanpa terucap sepatah dua patah pun kata izin keluar dari mulutnya. Hati wanita mana yang tidak akan sakit hati. Dalam agama memang seorang pria dibolehkan untuk memiliki pasangan lebih dari satu. Tapi, tentu atas restu istri pertama. Bukan disembunyikan dan malah membuat kesalahpahaman.

***

Pagi-pagi sekali Jihan sudah ada di kantor. Wajahnya cantiknya terlihat sekali jika semalam ia tidak tidur. Dari balik wajahnya juga terlihat aura kesedihan.

“Kenapa semua harus terjadi padaku? Aku pikir dengan aku melakukan dengan perfect tidak akan berakhir seperti ini,” gumam Jihan pada dirinya sendiri.

Jihan menenggelamkan wajahnya di antara lengannya yang ia lipat di atas meja kerjanya. Ia sekarang sudah tidak peduli lagi tentang penilaian orang lain tentang dirinya. Jihan membebaskan dirinya yang selalu ingin terlihat sempurna. Ia gagal, jadi Jihan berpikir untuk apa yang melakukannya lagi.

Selang beberapa menit, datanglah Amel bawahan Jihan yang sangat setia padanya. Bahkan Dewi sendiri mengagumi sosok Jihan. Lalu bagaimana dengan sekarang? Apa masih sama?

Dewi yang merasa heran dengan Jihan, sebab tidak biasanya atasannya itu terlihat murung dengan penampilan yang berantakan.

“Pagi Mbak Jihan,” panggil Dewi seraya duduk di meja kerjanya.

Sedangkan yang dipanggil tetap bergeming. Sama sekali tidak merespons sapaan dari Dewi. Hal itu membuat Amel semakin heran.

“Mbak Jihan kenapa?” tanya kembali Dewi dan kali ini Dewi berada tepat di depan meja kerja Jihan.

Masih sama seperti yang tadi, tidak ada respons. Akhirnya Dewi kembali duduk di meja kerjanya dengan berbagai pertanyaan dalam pikirannya.

‘Ada apa dengan Mbak Jihan, gak biasanya?’ batin Dewi dengan mata tak terlepas dari tubuh Jihan yang diam tak bergerak.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Maleo
Banyak typo… dewi amel… amel dewi… ribeet bacanya
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
laki2 selalu punya alasan utk selingkuh. waktu yg ada aja msh kurang utk istri sah dan anak2 apalagi setelah nambah istri.
goodnovel comment avatar
Edka22
iya typo baru ngeh... terima kasih sudah diingatkan ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status