Malam terasa sangat cepat sehingga berlalu begitu saja. Jovanka belum siap ketika dibawa dengan ranjang beroda menuju ruangan lain yang sudah di siapkan, dia akan segera menerima transfer embrio milik sang klien. Kepala yayasan dan pasangan suami istri itu turut hadir di sana mengantarkan Jovanka hingga ke pintu.
"Rileks, jangan terlalu tegang, oke? Kau bisa melakukannya, percayakan saja pada dokter," pesan kepala yayasan memberi semangat yang dibalas anggukan oleh Jovanka.
Rich sampai detik ini masih bingung dengan perasaannya. Apakah ini sudah benar? Apakah tidak ada masalah ke depannya nanti, karena calon bayi mereka harus dikandung orang lain? Dia sangat berharap istrinyalah yang mengandung sendiri sehingga mereka benar-benar yakin pada anak itu. Tapi sifat keras kepala Cataline tak bisa dia luluhkan, mau tak mau dia harus mengikuti cara ini demi mendapatkan keturunan.
"Semoga berjalan lancar, kami berharap padamu," kata Rich akhirnya.
Di pertemuan pertama Rich sangat kasar dan membentak, begitu pun ketika mereka bertemu di restoran sudah menunjukkan wajah tak senang. Jovanka tidak menyangka pria itu bisa berbicara lembut padanya sekarang.
"Sudah, Dokter, silakan membawanya." Cataline segera menyuruh mereka membawa Jovanka memasuki ruangan itu, tanpa mengatakan apa pun padanya.
Sempat Rich melirik istrinya bingung. Bukankah tadi malam Cataline sangat peduli pada gadis itu? Kenapa sekarang dia tampak tak acuh dan biasa saja?
Sudahlah, mungkin istrinya gugup karena tadi malam tidak beristirahat dengan benar.
Di dalam ruangan itu, Jovanka memendarkan pandangan ke segala arah. Setiap sudutnya dipenuhi lemari-lemari besar yang diisi berbagai bentuk alat medis. Jovanka tidak terlalu mengetahui apa fungsi benda-benda itu selain beberapa dari mereka.
"Anda sudah siap, Nona Jovanka?"
Dokter itu tersenyum ramah tapi tak berhasil membuang ketegangan pada Jovanka.
"Silakan buka paha Anda, kita akan memulainya."
Dibantu perawat wanita dia membuka kedua pahanya sehingga kepala dokter benar-benar berada di ujung ke dua kaki. Jovanka merasakan dirinya sangat malu, apalagi ketika sang dokter menyentuh bagian tersembunyinya untuk memasukkan sebuah alat.
"Au...." Dia meringis kesakitan saat benda itu membuka paksa bagiannya. Jovanka sampai menitikkan air mata.
"Tahan, ini tidak akan sakit."
Bagi Jovanka tetap saja itu sakit meski ini pengalam kedua sebuah benda dimasukkan ke dalam dirinya. Tapi rasa sakit itu tidak seberapa dibandingkan rasa malu yang harus dia tahan. Jovanka tak bisa menguasai dirinya sehingga dia menangis, saat sang dokter menyentuh semua bagian dirinya di bawah sana.
Benarkah ini Jovanka? Gadis lugu yang selama ini dikenal pendiam, tak pernah bermasalah, dan selalu menjaga dirinya saat didekati pria, hari ini menyerahkan diri untuk menjadi surrogate mother. Tangisnya tak bisa ditahan sampai mengeluarkan suara, salah satu perawat wanita itu memeluk Jovanka dan memberinya dukungan seakan paham apa yang dirasakan oleh gadis itu.
Setelah proses panjang itu selesai, Jovanka dipindahkan kembali ke ruangan inap untuk beristirahat. Dokter memberikan hormon progesteron dalam bentuk pil untuk Jovanka konsumsi selama satu minggu. Hormon itu berfungsi untuk menunjang pertumbuhan embrio di dalam rahimnya.
"Kita tinggal menunggu hasilnya dalam sepuluh hari ke depan. Berdoalah ini berhasil agar kau tak perlu mengulangi prosesnya lagi," ucap kepala yayasan memberi penghiburan.
Jovanka diam bagaikan patung, tak terucap sebuah kata pun dari bibirnya bahkan matanya menatap kosong tak bersemangat. Hanya ketika dia berkedip saja yang menunjukkan bahwa gadis itu masih hidup. Betul-betul seperti orang yang kehilangan semangat.
Apa yang membuatnya demikian, bukankah kemarin dia tampak biasa saja? Rich menjadi bertanya-tanya. Pria itu pun tak tega hanya melihat lantas meminta ketua yayasan ikut dengannya keluar.
"Apakah dia baik-baik saja?" tanya Rich setelah pintu ditutup, menatap serius ketua yayasan yang sudah tua.
Kepala yayasan mengangguk dan menjawab, "Tak ada masalah padanya, Tuan, dokter sudah berkata. Ini adalah pengalaman pertamanya, sangat wajar baginya akan seperti orang bingung."
"Tapi aku merasa dia seperti terpaksa dan menyesal."
Ketua yayasan itu tersenyum getir mendengar ucapan Rich.
"Aku berurusan seperti ini sejak masih sangat muda, jadi sedikit banyaknya aku paham kenapa mereka demikian. Tuan Cullen, bagi seorang gadis yang baik, menjadi ibu pengganti bukanlah sebuah pilihan. Mereka mendambakan hidup yang normal, mengandung hanya untuk bayinya bersama pasangan yang resmi. Tapi sesuatu yang mendesak membuat mereka terpaksa melakukannya."
"Hal mendesak? Memangnya hal apa yang mendesak gadis itu?" Meski terlihat tak begitu peduli, tapi Rich sudah membaca biodata gadis itu sebelum mereka memilihnya.
"Aku hanya menerima dan membantu mereka, bukan ranahku untuk mencari tahu apa pun tentang seluruh kehidupan pribadinya, Tuan, jadi maaf," terang wanita itu.
Jovanka Abigail, begitu nama gadis itu tertulis. Dia masih berusia 22 tahun dan berstatus mahasiswa semester tiga di sebuah universitas bergengsi yang isinya 99% anak-anak orang kaya. Jika pun ada program pendaftaran gratis, tetap saja biaya kuliah di sana sangat besar dan mahal. Akan berpikir ribuan kali seseorang dengan kehidupan menengah ke bawa untuk mendaftarkan diri. Rich banyak tahu sebab dirinya juga lulusan dari universitas itu dan sekarang menjadi penyumbang paling tinggi.
Jika Jovanka mampu membayar biaya kuliah sampai tiga semester di sana, bukankah seharusnya dia berasal dari keluarga yang lumayan? Lantas terpaksa dan terdesak apa dia? Akan lebih masuk akal jika gadis itu melakukan ini demi kehidupan mewah seperti gadis-gadis pada umumnya, yang melakukan apa pun untuk uang.
Entah sudah berapa lama Rich menatap Jovanka di atas ranjang itu, tapi Jovanka masih setia dengan diamnya bahkan tak bergerak sedikit pun. Kenapa dia? Apakah sangat berat baginya melakukan semua ini? Jika memang dia menyesal, kenapa tak mengatakannya sebelum tindakan dimulai? Tak sadar Rich menjadi iba kalah melihat gadis itu mengangkat tangannya menyeka pipi.
"Dia menangis?"
Seminggu pasca tindakan pemindahan embrio, Jovanka kerap merasakan nyeri dada dan perut kembung. Dokter berkata itu normal selama tidak mengganggu aktivitasnya, dia pun bisa melakukan aktivitas seperti biasa, meski dikatakan jangan terlalu kelelahan.Siang itu Jovanka bekerja seperti biasa di toko kue, menyusun kue-kue yang masih hangat ke ranknya. Sesekali dia melirik saat pelanggan baru memasuki toko dan bertanya apa yang mereka cari. Tiba-tiba dia merasakan kram di perutnya, gadis itu segera berlutut mencegah tubuhnya bisa saja tumbang.'Di sini ada calon bayi orang lain.' Kalimat itu dia ulang-ulang di dalam hati, menjaga agar dirinya tetap baik-baik saja. Bagaimana pun, Jovanka harus berhasil hamil agar tak sia-sia pengorbanannya. Tapi meski sudah berlutut beberapa saat, Jova tidak merasakan ada keringanan, justru itu semakin hebat dia rasakan. Apakah mungkin embrio itu terganggu oleh aktivitasnya? Jovanka kalut dan berdiri perlahan, hal itu membuat Nyonya Green berlari padanya.
"Aku sudah mengajukan pada rektor agar kau diberi waktu dan itu hanya satu minggu, tapi kau bahkan tak bisa melunasinya." "Tapi, Mr Mark, jika aku melewatkan ujian ini, aku harus mengulangnya kembali. Tolonglah... aku akan melunasinya minggu depan." Dia memohon dengan sungguh-sungguh.Hanya menunggu satu minggu lagi. Jika dirinya dinyatakan hamil, Jovanka akan mendapat bagian dari kepala yayasan sebanyak yang dijanjikan di dalam kontrak. Itu uang yang sangat banyak meski klien hanya membayarnya dengan uang muka saja. Dan andai pun dia dinyatakan tidak hamil, Jovanka masih akan mendapatkan uang dari tindakan yang dilakukan padanya. Meski itu tidak terlalu banyak, Jovanka masih bisa melunasi biaya semester dan untuk uang sakunya."Mr Mark, Anda mendengarku? tolonglah kali ini," pinta Jovanka sekali lagi, melihat lawan bicaranya yang hanya diam."Itu di luar wewenangku, maaf, Nona Jovanka. Jika kau ingin mengikuti ujian ini, maka kau harus segera melunasinya sebelum ujian dimulai." Tak
Rich membawa Jovanka menuju mobil dan menyuruh supir mengantarkannya ke hotel. Sementara Rich dia ingin tahu apa yang dialami gadis itu sampai memohon pada dua wanita tadi."Jangan berani pergi dari hotel tanpa seijinku, kau paham?" perintahnya sebelum mobil itu melaju. Jovanka hanya diam menutup wajahnya dengan kedua tangan, tampaknya dia sangat malu dilihat oleh Rich.Setelah kepergian Jovanka, pria itu menemui biro administrasi kampus untuk mencari tahu tentang Jovanka dan betapa terkejut dia saat mendengar gadis itu tidak diijinkan ikut ujian karena belum membayar tunggakan uang semesternya."Bukankah kalian menerima sumbangan yang sangat besar? Seharusnya itu bisa membantu mahasiswa yang sedang kesulitan, kenapa membuatnya semakin tertekan?" kata Rich geram.Dia adalah penyumbang yang paling tinggi di kampus ini. Laporan yang dia dapatkan mengatakan sumbangan itu digunakan untuk beberapa mahasiswa yang kurang mampu, mendapatkan bantuan keringanan potongan uang semester dan pemban
Pagi itu Jovanka bangun sangat bersemangat dari ranjangnya. Bukan karena ranjang itu sangat empuk dan tak sama dengan kasur tipis yang dia miliki di rumah. Tetapi dia bersemangat karena pagi ini akan mengikuti ujian di kampus.Keberuntungan ternyata tidak meninggalkannya begitu saja, meski Jovanka mengalami kesulitan beberapa hari terakhir. Ponsel yang dia pikir menghilang ternyata ada pada Rich dan pria itu menyerahkannya kemarin, sebelum pergi dari hotel. Tak lama setelah Jovanka mengisi daya, ponselnya berdering dan dia mendapat kabar dirinya diperbolehkan ujian, bahkan dikatakan mendapat beasiswa. Jovanka sangat senang sampai menelepon Sarah di pagi-pagi sekali."Hei, Nona, apa yang terjadi sampai kau bersemangat begini?" Sarah bertanya, ikut tersenyum melihat wajah sahabatnya yang sangat cerah di layar ponsel."Sarah, aku tak tahu bagaimana mengatakannya." Jovanka mengambil jeda beberapa saat sebelum mulai bercerita tentang keberuntungan yang tiba-tiba dia dapatkan. "Ini di luar
Jovanka masih tertegun di dekat pintu kamar hotel, menatap pria yang berdiri di dekat sofa. Pria itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam kotaknya, tampaknya itu baru saja dia beli. "Kenapa kau masih di situ? Tutup pintunya, atau seseorang akan membuat masalah."Dia terperanjat setelah mendengar ucapan si pria, lalu menutup pintu segera."Ini. Kau bisa memakainya untuk berkuliah.""Maksudnya... Anda membelikanku laptop itu?"Serius? Dia memberi Jovanka sebuah laptop baru untuk dipakai berkuliah? Jovanka tidak mengerti dengan pikiran pria bernama Rich itu. "Maaf, tapi aku memilikinya di rumah. Kenapa Anda repot-repot membelikannya?""Aku melakukannya untuk keselamatan embrio yang ada di perutmu, jangan banyak bertanya," sahut Rich sebelum gadis itu bertanya kembali."Selesaikan ujianmu segera dan jangan stress. Kau ingat kata dokter? Kesehatanmu juga penting untuk keberhasilan transfer embrio itu." Dia kemudian pergi tanpa melihat ke belakang.Oke. Jovanka tahu dirinya sedang membaw
Sepuluh hari sudah berlalu sejak Jovanka menerima embrio transfer milik pasangan suami istri itu. Setelah mengantarkan jawaban ujiannya ke kampus, dia bergegas menuju Rumah Sakit di mana tindakan itu dilakukan padanya. Hari ini adalah jadwal melakukan pemeriksaan untuk melihat apakah hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.Ketua yayasan sudah menghubunginya sejak tadi. Ketika tiba di depan ruang pemeriksaan, dia melihat Rich dan istrinya juga ada di sana. Dia menjadi kikuk kala mendengar perkataan Cataline yang langsung menyemprotnya.“Apa kau tidak bisa lebih konsisten, Nona Jovanka?”“Maaf, Nyonya, aku harus mengurus ujian kuliahku, tolong maafkan aku.” Jovanka setengah membungkuk dan menunjukkan wajah menyesal.“Dan kau pikir kami tidak memiliki kesibukan? Jangan berpikir hanya kami yang membutuhkanmu, kau juga membutuhkan uang dari kami!”“Kate, sudah, sudah.” Rich merasa sungkan oleh ucapan istrinya dan langsung menengahi. “Nona Jovanka, masuklah. Dokter sudah menunggu sejak tad
"Sayang, menurutmu apa jenis anak kita saat lahir nanti? Perempuan atau laki-laki?" "Rich, ini masih sangat lama. Jangan terlalu buru-buru memikirkan itu apa." "Tidak, Kate, kita harus memikirkannya sejak sekarang. Kau tidak memiliki harapan akan memiliki seorang bayi laki-laki atau perempuan?" Rich memutar tubuhnya menghadap Cataline untuk bisa melihat wajah istrinya. Raut bahagia yang dia tunjukkan membuat Cataline merasa tak senang."Entahlah, aku belum memikirkannya," sahut Cataline tak acuh. Sebenarnya, dia senang saja karena berhasil memberi anak untuk Rich. Tapi reaksi suaminya yang sangat bersemangat entah kenapa membuat dia menjadi tak senang. "Astaga, aku bingung ingin berdoa apa sekarang. Apakah aku harus meminta anak laki-laki, agar dia bisa menjaga adiknya kelak?" Sangat bersemangat Rich terus membahas anak yang akan mereka miliki nanti, dia tidak bisa tenang di atas ranjang dan terus membuat gerakan. "Ah aku pasti sudah keterlaluan. Kita sudah berhasil membuat ba
Perkataan Sebastian terus berputar di kepala pria itu, sehingga dia semakin geram. Langkah panjangnya tidak sabaran ingin segera tiba di pintu kamar Jovanka, yang masih berdiri di sana dengan seseorang. "Jovanka Abigail!"Ketika Rich memanggilnya, Jovanka dan pria itu langsung melihat padanya. "Hei... Rich Damian Cullen!" seru pria itu melebarkan kedua tangannya. "Wah! Apakah ini sebuah keberuntungan? Sungguh tak terduga bisa bertemu denganmu tanpa membuat janji."Pria itu adalah Liam Nelson, orang yang pernah mengganggu Cataline di awal pernikahannya dulu. Dan sejujurnya, Rich sangat tidak menyukainya, meski mereka memiliki beberapa kerjasama. Selain pernah mengganggu Cataline, Liam juga sudah terkenal sangat suka bermain-main dengan bergonta-ganti wanita. Mengetahui Jovanka bisa mengenal pria itu, dia menjadi semakin tidak senang. "Jovanka, masuklah."Mendengar nada memerintah Rich pada Jovanka, Liam terkekeh pelan dan berkata pada Jovanka, "Terima kasih, Manis. Mari kita berte