Share

Ancaman Ganendra

Jingga tertawa sinis. "Permainan apalagi yang anda rencanakan, Pak?" tanyanya curiga.

"Yang jelas, rencanaku sangat menguntungkan bagi dirimu," jawab Ganendra percaya diri.

"Oh, ya?" Jingga mengangkat wajah, seakan menantang Ganendra.

"Kubebaskan semua utang-utang pamanmu. Rumah ini tidak akan kusita. Surat perjanjiannya menyusul nanti, setelah kamu menyetujui semua," jelas Ganendra dengan raut datar sambil terus menatap mata bulat Jingga.

Wajah gadis itu tampak polos. Tak ada lipstik, bedak ataupun maskara yang biasa dia lihat di wajah Sandra dan Hilda. Namun demikian, kecantikan Jingga tetap terpancar. Ganendra susah payah untuk tidak tergoda. Sayang, bayangan adegan panasnya bersama Jingga tiba-tiba berputar jelas di dalam kepala.

Tanpa sadar, ujung ibu jari Ganendra menyentuh bibir Jingga yang ranum dan kemerahan. Dia mengusap bibir itu lembut dan penuh perasaan, sambil memorinya memutar kebersamaan dengan Jingga selama tujuh hari ke belakang.

"Bagaimana, Jingga? Aku menunggu jawabanmu secepatnya," tanya Ganendra. Nada bicaranya pun berubah menjadi lebih hangat dengan sorot mata menggoda.

Jingga tak lagi mampu menahan godaan dahsyat dari pria setampan Ganendra. Gadis itu langsung mengangguk, tanpa berpikir panjang tentang perjanjian tersebut.

"Bagus." Ganendra tersenyum lebar. "Kamu siapkan semua berkas-berkas persyaratan yang dibutuhkan untuk pernikahan kita. Seminggu lagi aku kembali ke sini," ujarnya.

Ganendra keluar dari pagar rumah Jingga bersamaan dengan Lukman yang masuk sambil menuntun motor. "Pak?" sapa Lukman dengan sorot heran.

"Keponakanmu sudah setuju untuk menikah denganku. Tolong urus semuanya," titah Ganendra seraya mengeluarkan dompet dan menyerahkan puluhan lembar pecahan uang seratus ribu. "Ini untuk mempercepat proses pendaftaran pernikahan kami di KUA," ucap Ganendra sebelum berlalu masuk ke mobil yang terparkir di depan rumah.

"Apa, Pak?" Lukman terbelalak. Apalagi saat matanya mengamati tumpukan uang di genggaman tangan. Hampir saja Lukman menjatuhkan motornya.

"Suruh keponakanmu saja yang menjelaskan! Aku tak ada waktu!" seru Ganendra dari dalam mobil yang mulai melaju meninggalkan rumah Jingga.

Sontak, Lukman menoleh ke arah Jingga yang terpaku. "Maksud Pak Ganendra tadi apa, Ngga?" tanyanya.

Jingga mengembuskan napas pelan. Sebenarnya dia malas untuk menjelaskan. Akan tetapi, Jingga paham bahwa sang paman tak akan berhenti mendesak jika dirinya tidak segera bercerita. "Intinya, Pak Ganendra menawarkan pernikahan kontrak untukku. Sebagai imbalannya, dia akan menghapus seluruh utang-utang Om Lukman," tutur Jingga.

"Benarkah?" Saking senangnya, Lukman sampai hampir melonjak kegirangan. "Tapi ... kamu tidak menolak, kan?" tanya Lukman was-was.

Detik itulah, Jingga menyadari kebodohannya. Tadi dia menyetujui begitu saja perjanjian itu tanpa bertanya lebih jauh tentang segala persyaratannya. "Jangan khawatir. Mulai detik ini, Om tidak perlu lagi memikirkan masalah utang, karena aku sudah melunasinya."

Jingga tersenyum getir. Jelas sudah, bahwa sang paman sama sekali tak memikirkan dirinya. Lukman hanya mementingkan bagaimana cara agar terbebas dari lilitan utang. Pria itu sama sekali tak peduli dengan nasib Jingga.

"Seminggu lagi dia datang ke sini," ujar Jingga.

"Kalau begitu, om akan menguruskan surat-suratmu secepatnya ya, Ngga," sahut Lukman antusias.

Namun, Jingga tak menjawab. Dia masuk ke rumah tanpa memedulikan sang paman yang terlihat sangat bahagia.

Tepat tujuh hari berlalu sejak kedatangan Ganendra. Pria itu ternyata benar-benar menepati janjinya. Dia datang bersama dua orang pengacara. Masing-masing dari orang itu membawa sebuah koper. Salah satu dari pria itu maju dan membuka kopernya di meja ruang tamu.

"Ini adalah berkas-berkas yang diperlukan untuk pernikahan Pak Ganendra dengan anda, Bu," papar si pengacara sopan seraya menyodorkan tumpukan map pada Jingga.

"Semuanya sudah siap, Pak. Saya juga sudah mendaftarkan di KUA," sela Lukman penuh semangat.

"Itu bagus, tapi sebelum pergi ke sana, aku ingin kalian membaca surat-surat perjanjian yang sudah kususun ini." Ganendra menjentikkan jari, sebagai pertanda bagi pengacaranya yang lain untuk membuka koper dan memberikan beberapa lembar kertas untuk Jingga.

"Bacalah dulu sebentar," suruh Ganendra tanpa melepaskan tatapannya dari Jingga.

Deret demi deret tulisan dapat Jingga pahami dengan tepat. Namun, dia berhenti pada dua poin terakhir yang membuatnya sangat terkejut. "Saya tidak berhak menuntut harta sedikitpun dari anda. Saya juga dilarang hamil dan menghasilkan seorang keturunan?" ucap Jingga pelan.

"Ya! Mudah, bukan?" celetuk Ganendra.

"Ini berlaku sampai kapan?" jemari Jingga gemetar saat menggenggam kertas-kertas itu.

"Sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Mungkin juga untuk selamanya," jawab Ganendra yakin.

"Apa?" Tubuh Jingga mendadak lemas, seakan tak bertulang. Demi dua ratus juta dan rumah peninggalan sang ayah, dia harus rela terikat dengan Ganendra untuk selamanya.

"Saya setuju, Pak!" seru Lukman antusias, membuat Jingga melotot tajam padanya.

"Om tega, ya." Mata Jingga berkaca-kaca.

"Nak, jangan salah paham. Bayangkan kamu menjadi istri dari pria sekaya Pak Ganendra. Segala kebutuhanmu akan terpenuhi," bisik Lukman tepat di telinga Jingga.

"Dari dulu Om memang tidak pernah peduli padaku," protes Jingga.

"Bukan begitu, Ngga. Selama ini Om juga berjuang demi kamu." Lukman tak putus asa membujuk keponakannya itu.

"Jadi, bagaimana? Kalian setuju atau tidak? Kalau iya, cepat tanda tangani, supaya kita bisa segera pergi ke KUA," desak Ganendra tak sabar.

Air mata Jingga menetes, membasahi pipi mulus yang kini bersemu merah. Dia menahan tangis sekaligus amarah dan kecewa. Namun, lagi-lagi dia tak kuasa mengubah apapun.

Akhirnya, dengan kesadaran penuh, Jingga meraih pulpen di tangan salah satu pengacara Ganendra, kemudian menandatangani semua berkas-berkas yang diberikan oleh Ganendra. Setelah itu, dia dibawa pergi oleh Ganendra menuju KUA terdekat.

Disaksikan Lukman beserta dua orang pengacara, hari itu juga Ganendra dan Jingga telah sah menjadi pasangan suami istri, baik secara agama maupun negara.

"Setelah ini bagaimana?" tanya Jingga lirih.

"Kamu pulang ke rumahku. Biar Lukman yang menjaga rumah warisan ayahmu," sahut Ganendra santai.

"Kalau begitu, izinkan aku berkemas dulu. Aku belum menyiapkan baju-baju yang akan kubawa," pinta Jingga.

"Tidak perlu. Aku akan membelikanmu yang baru. Tidak tahan rasanya melihat selera berpakaianmu yang jelek dan kampungan," hina Ganendra dengan entengnya.

Sebuah kalimat pedas pertama yang dilontarkan Ganendra saat dia resmi berstatus sebagai suami. Jingga memilih untuk tak menghiraukan. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak menanggapi seburuk apapun perlakuan Ganendra.

"Kamu tenang saja, Ngga. Om akan menjaga rumah peninggalan ayahmu dengan sebaik-baiknya," hibur Lukman tatkala melihat keponakannya yang tampak ragu-ragu.

Tangis Jingga pecah saat itu. Bagaikan mimpi, kehidupannya berputar demikian cepat. Tiba-tiba saja dia sudah menjadi istri seorang pria bernama Ganendra. Entah kehidupan seperti apa yang akan dia jalani nanti. Jingga sudah mengorbankan seluruh hidupnya demi uang dan sebuah tempat tinggal.

Ganendra seolah tak peduli sama sekali dengan kesedihan Jingga. Dia malah menarik tangan Jingga dan membawanya ke dalam mobil. "Ingat perjanjian kita! Kamu harus menunjukkan sikap ceria dan bahagia di depan semua orang nantinya. Jangan sampai kamu mengacaukan sandiwara ini, atau kamu akan merasakan akibatnya!" ancam Ganendra.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status