Share

Ancaman Ganendra

Author: Ayaya Malila
last update Last Updated: 2024-01-22 19:57:01

Jingga tertawa sinis. "Permainan apalagi yang anda rencanakan, Pak?" tanyanya curiga.

"Yang jelas, rencanaku sangat menguntungkan bagi dirimu," jawab Ganendra percaya diri.

"Oh, ya?" Jingga mengangkat wajah, seakan menantang Ganendra.

"Kubebaskan semua utang-utang pamanmu. Rumah ini tidak akan kusita. Surat perjanjiannya menyusul nanti, setelah kamu menyetujui semua," jelas Ganendra dengan raut datar sambil terus menatap mata bulat Jingga.

Wajah gadis itu tampak polos. Tak ada lipstik, bedak ataupun maskara yang biasa dia lihat di wajah Sandra dan Hilda. Namun demikian, kecantikan Jingga tetap terpancar. Ganendra susah payah untuk tidak tergoda. Sayang, bayangan adegan panasnya bersama Jingga tiba-tiba berputar jelas di dalam kepala.

Tanpa sadar, ujung ibu jari Ganendra menyentuh bibir Jingga yang ranum dan kemerahan. Dia mengusap bibir itu lembut dan penuh perasaan, sambil memorinya memutar kebersamaan dengan Jingga selama tujuh hari ke belakang.

"Bagaimana, Jingga? Aku menunggu jawabanmu secepatnya," tanya Ganendra. Nada bicaranya pun berubah menjadi lebih hangat dengan sorot mata menggoda.

Jingga tak lagi mampu menahan godaan dahsyat dari pria setampan Ganendra. Gadis itu langsung mengangguk, tanpa berpikir panjang tentang perjanjian tersebut.

"Bagus." Ganendra tersenyum lebar. "Kamu siapkan semua berkas-berkas persyaratan yang dibutuhkan untuk pernikahan kita. Seminggu lagi aku kembali ke sini," ujarnya.

Ganendra keluar dari pagar rumah Jingga bersamaan dengan Lukman yang masuk sambil menuntun motor. "Pak?" sapa Lukman dengan sorot heran.

"Keponakanmu sudah setuju untuk menikah denganku. Tolong urus semuanya," titah Ganendra seraya mengeluarkan dompet dan menyerahkan puluhan lembar pecahan uang seratus ribu. "Ini untuk mempercepat proses pendaftaran pernikahan kami di KUA," ucap Ganendra sebelum berlalu masuk ke mobil yang terparkir di depan rumah.

"Apa, Pak?" Lukman terbelalak. Apalagi saat matanya mengamati tumpukan uang di genggaman tangan. Hampir saja Lukman menjatuhkan motornya.

"Suruh keponakanmu saja yang menjelaskan! Aku tak ada waktu!" seru Ganendra dari dalam mobil yang mulai melaju meninggalkan rumah Jingga.

Sontak, Lukman menoleh ke arah Jingga yang terpaku. "Maksud Pak Ganendra tadi apa, Ngga?" tanyanya.

Jingga mengembuskan napas pelan. Sebenarnya dia malas untuk menjelaskan. Akan tetapi, Jingga paham bahwa sang paman tak akan berhenti mendesak jika dirinya tidak segera bercerita. "Intinya, Pak Ganendra menawarkan pernikahan kontrak untukku. Sebagai imbalannya, dia akan menghapus seluruh utang-utang Om Lukman," tutur Jingga.

"Benarkah?" Saking senangnya, Lukman sampai hampir melonjak kegirangan. "Tapi ... kamu tidak menolak, kan?" tanya Lukman was-was.

Detik itulah, Jingga menyadari kebodohannya. Tadi dia menyetujui begitu saja perjanjian itu tanpa bertanya lebih jauh tentang segala persyaratannya. "Jangan khawatir. Mulai detik ini, Om tidak perlu lagi memikirkan masalah utang, karena aku sudah melunasinya."

Jingga tersenyum getir. Jelas sudah, bahwa sang paman sama sekali tak memikirkan dirinya. Lukman hanya mementingkan bagaimana cara agar terbebas dari lilitan utang. Pria itu sama sekali tak peduli dengan nasib Jingga.

"Seminggu lagi dia datang ke sini," ujar Jingga.

"Kalau begitu, om akan menguruskan surat-suratmu secepatnya ya, Ngga," sahut Lukman antusias.

Namun, Jingga tak menjawab. Dia masuk ke rumah tanpa memedulikan sang paman yang terlihat sangat bahagia.

Tepat tujuh hari berlalu sejak kedatangan Ganendra. Pria itu ternyata benar-benar menepati janjinya. Dia datang bersama dua orang pengacara. Masing-masing dari orang itu membawa sebuah koper. Salah satu dari pria itu maju dan membuka kopernya di meja ruang tamu.

"Ini adalah berkas-berkas yang diperlukan untuk pernikahan Pak Ganendra dengan anda, Bu," papar si pengacara sopan seraya menyodorkan tumpukan map pada Jingga.

"Semuanya sudah siap, Pak. Saya juga sudah mendaftarkan di KUA," sela Lukman penuh semangat.

"Itu bagus, tapi sebelum pergi ke sana, aku ingin kalian membaca surat-surat perjanjian yang sudah kususun ini." Ganendra menjentikkan jari, sebagai pertanda bagi pengacaranya yang lain untuk membuka koper dan memberikan beberapa lembar kertas untuk Jingga.

"Bacalah dulu sebentar," suruh Ganendra tanpa melepaskan tatapannya dari Jingga.

Deret demi deret tulisan dapat Jingga pahami dengan tepat. Namun, dia berhenti pada dua poin terakhir yang membuatnya sangat terkejut. "Saya tidak berhak menuntut harta sedikitpun dari anda. Saya juga dilarang hamil dan menghasilkan seorang keturunan?" ucap Jingga pelan.

"Ya! Mudah, bukan?" celetuk Ganendra.

"Ini berlaku sampai kapan?" jemari Jingga gemetar saat menggenggam kertas-kertas itu.

"Sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Mungkin juga untuk selamanya," jawab Ganendra yakin.

"Apa?" Tubuh Jingga mendadak lemas, seakan tak bertulang. Demi dua ratus juta dan rumah peninggalan sang ayah, dia harus rela terikat dengan Ganendra untuk selamanya.

"Saya setuju, Pak!" seru Lukman antusias, membuat Jingga melotot tajam padanya.

"Om tega, ya." Mata Jingga berkaca-kaca.

"Nak, jangan salah paham. Bayangkan kamu menjadi istri dari pria sekaya Pak Ganendra. Segala kebutuhanmu akan terpenuhi," bisik Lukman tepat di telinga Jingga.

"Dari dulu Om memang tidak pernah peduli padaku," protes Jingga.

"Bukan begitu, Ngga. Selama ini Om juga berjuang demi kamu." Lukman tak putus asa membujuk keponakannya itu.

"Jadi, bagaimana? Kalian setuju atau tidak? Kalau iya, cepat tanda tangani, supaya kita bisa segera pergi ke KUA," desak Ganendra tak sabar.

Air mata Jingga menetes, membasahi pipi mulus yang kini bersemu merah. Dia menahan tangis sekaligus amarah dan kecewa. Namun, lagi-lagi dia tak kuasa mengubah apapun.

Akhirnya, dengan kesadaran penuh, Jingga meraih pulpen di tangan salah satu pengacara Ganendra, kemudian menandatangani semua berkas-berkas yang diberikan oleh Ganendra. Setelah itu, dia dibawa pergi oleh Ganendra menuju KUA terdekat.

Disaksikan Lukman beserta dua orang pengacara, hari itu juga Ganendra dan Jingga telah sah menjadi pasangan suami istri, baik secara agama maupun negara.

"Setelah ini bagaimana?" tanya Jingga lirih.

"Kamu pulang ke rumahku. Biar Lukman yang menjaga rumah warisan ayahmu," sahut Ganendra santai.

"Kalau begitu, izinkan aku berkemas dulu. Aku belum menyiapkan baju-baju yang akan kubawa," pinta Jingga.

"Tidak perlu. Aku akan membelikanmu yang baru. Tidak tahan rasanya melihat selera berpakaianmu yang jelek dan kampungan," hina Ganendra dengan entengnya.

Sebuah kalimat pedas pertama yang dilontarkan Ganendra saat dia resmi berstatus sebagai suami. Jingga memilih untuk tak menghiraukan. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak menanggapi seburuk apapun perlakuan Ganendra.

"Kamu tenang saja, Ngga. Om akan menjaga rumah peninggalan ayahmu dengan sebaik-baiknya," hibur Lukman tatkala melihat keponakannya yang tampak ragu-ragu.

Tangis Jingga pecah saat itu. Bagaikan mimpi, kehidupannya berputar demikian cepat. Tiba-tiba saja dia sudah menjadi istri seorang pria bernama Ganendra. Entah kehidupan seperti apa yang akan dia jalani nanti. Jingga sudah mengorbankan seluruh hidupnya demi uang dan sebuah tempat tinggal.

Ganendra seolah tak peduli sama sekali dengan kesedihan Jingga. Dia malah menarik tangan Jingga dan membawanya ke dalam mobil. "Ingat perjanjian kita! Kamu harus menunjukkan sikap ceria dan bahagia di depan semua orang nantinya. Jangan sampai kamu mengacaukan sandiwara ini, atau kamu akan merasakan akibatnya!" ancam Ganendra.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Sebatas Status   Awal Kisah Indah

    "Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny

  • Pernikahan Sebatas Status   Cincin Kawin

    "Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l

  • Pernikahan Sebatas Status   Penantian Akhir

    Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude

  • Pernikahan Sebatas Status   Damai

    Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t

  • Pernikahan Sebatas Status   Oranje Licht

    "Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya

  • Pernikahan Sebatas Status   Penyesalan

    "Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status