Share

Sah vs Siri

Author: Ayaya Malila
last update Last Updated: 2024-01-23 22:17:30

Ancaman Ganendra, membuat Jingga lebih banyak diam. Sesekali dia melirik Ganendra yang serius mengemudi, hingga kendaraan yang mereka tumpangi tiba di sebuah klinik ibu dan anak.

"Untuk apa kita ke sini?" Jingga terpaksa membuka suara, karena instingnya merasakan sesuatu yang berbahaya.

"Konsultasi ke dokter kandungan," jawab Ganendra datar.

"Konsultasi tentang apa?" cecar Jingga.

Ganendra tampak risi dengan pertanyaan Jingga yang bertubi-tubi. Dia mengempaskan napas panjang, lalu menatap tajam ke arah gadis cantik itu.

"Sesuai dengan perjanjian, kamu dilarang hamil selamanya," ujar Ganendra.

"Lantas?" Jantung Jingga berdebar. Dia meremas ujung dressnya kuat-kuat.

"Aku ingin berdiskusi pada dokter kandungan untuk program sterilisasi rahim," jawab Ganendra enteng.

"Apa?" Jingga melotot tak percaya. "Keterlaluan kamu, Pak!" serunya hilang kendali. "Aku tidak mau!"

"Kalau kamu tidak mau, maka bersiaplah untuk ...."

"Terserah mau anda apakan rumah itu! Ambil saja semuanya! Jika bisa, ambil juga ginjalku untuk menutupi utang-utang omku! Yang jelas, aku menolak sterilisasi rahim!" tolak Jingga tegas.

"Aku tidak kuat lagi. Kehilangan harga diri dan hidup saja sudah sangat menyakitkan, dan sekarang anda hendak merebut masa depanku? Bunuh saja aku!" pekik Jingga histeris.

"Persetan dengan kalian semua!" Muka Jingga merah padam dikuasai amarah. Pikirannya hanya satu, yaitu pergi dari Ganendra sejauh-jauhnya.

Jingga gesit membuka pintu mobil dan melompat turun. Dia berniat untuk berlari sekencang mungkin.

Akan tetapi, gerak Ganendra juga tak kalah cepat. Dia segera turun dari mobil, lalu mengejar Jingga. "Hei, tunggu!" cegahnya. Ganendra berhasil mencengkeram satu lengan Jingga dan menyeretnya kembali ke dekat mobil.

"Lepaskan!" Jingga berusaha untuk memberontak. Tak dipedulikannya pandangan heran orang-orang di sekitar yang berlalu lalang. Beberapa di antara mereka bahkan berhenti untuk melihat yang terjadi.

"Hentikan, Jingga!" sentak Ganendra. Pria itu sepertinya juga kehilangan kesabaran. Dia mendekap erat Jingga secara tiba-tiba, sebelum istri barunya itu sempat mengelak.

Ganendra memeluk Jingga sambil bersikap seolah tak terjadi apapun. "Biasa, pengantin baru. Kami baru saja menikah. Butuh adaptasi," jelasnya pada orang-orang yang masih memperhatikan pertengkaran tersebut.

Ganendra memamerkan senyuman ramah agar terlihat baik-baik saja. Dia baru berhenti ketika orang-orang tak lagi menghiraukan.

Dia beralih pada Jingga yang masih tampak marah. "Puas kamu sekarang? Kamu sudah mempermalukanku!" omel Ganendra.

"Lepaskan aku! Ceraikan sekalian!" geram Jingga.

Ganendra mengangkat satu alisnya. "Cerai?" cibirnya mengejek. "Tidak semudah itu, Sayang. Apa kamu tidak membaca isi dari surat perjanjian tadi? Istri tidak berhak menuntut cerai. DI-LA-RANG!" tegas Ganendra sambil mengeja kata terakhir penuh penekanan.

Jingga menggeleng pelan. Lagi-lagi dia marah pada diri sendiri yang dengan mudahnya membuat keputusan.

"Kamu tidak mau proses sterilisasi? Oke, tidak masalah, kita pulang sekarang!" ujar Ganendra enteng sembari memaksa Jingga masuk ke mobil.

Pria itu lalu bersiap di balik kemudi dan menyalakan mesinnya. "Kita bisa mencari cara lain supaya kamu tidak bisa punya anak," cetus Ganendra.

"Kenapa harus aku? Kenapa tidak anda saja yang berhenti menyentuhku. Dengan begitu, aku tidak akan bisa hamil!" sahut Jingga sewot.

"Apa?" Ganendra terkekeh. "Enak saja. Ibarat barang, aku sudah membelimu! Masa iya, tidak dipakai? Rugi sekali! Lagipula kamu ...."

Ganendra sengaja tak melanjutkan kata-kata. Dia buru-buru mengulum bibir. Ganendra jelas tak akan dapat menyembunyikan rasa malu seandainya dia keceplosan mengatakan bahwa dirinya sangat menikmati tubuh Jingga.

"Ah, sudahlah!" Ganendra mengibaskan tangan. Dia merasa rugi jika harus terus berdebat dengan Jingga. Hal itu akan membuang-buang waktunya yang berharga. Padahal ada banyak hal yang harus dia kerjakan.

Pasangan pengantin baru itu tiba di kediaman Ganendra tepat setengah jam kemudian. Tampak Sandra dengan wajah semringah, berdiri menyambut kedatangan pria tampan itu.

Namun, senyuman Sandra seketika memudar saat melihat Ganendra tak sendirian. Kekasih gelapnya itu membawa seorang gadis yang sempat ditemui Sandra beberapa hari lalu.

"Selamat sore, Pak Ganendra. Anda sudah pulang? " sapa Sandra basa-basi sambil mencuri pandang ke arah Jingga.

"Tumben belum pulang?" sahut Ganendra.

"Saya sengaja menunggu anda datang. Pak Atmawirya mengirimkan beberapa dokumen yang harus anda pelajari," jawab Sandra.

"Taruh saja di mejaku. Aku masih ada sedikit urusan," titah Ganendra. Dia menoleh ke arah Jingga lalu merengkuh pinggangnya. "Ayo, Sayang," ujarnya lembut.

Sandra semakin terkejut mendengar panggilan Ganendra terhadap Jingga. "Sayang?" ulangnya tanpa sadar.

"Ah, aku lupa mengenalkan padamu. Ini istriku. Kami baru saja menikah tadi." Ganendra tersenyum puas saat melihat wajah cantik Sandra yang memucat.

"Istri?" Sandra mencoba untuk tersenyum, meskipun hatinya remuk redam.

"Iya, kami sudah sah, baik secara agama maupun negara," jelas Ganendra enteng.

"Apa istri baru anda ini mengetahui bahwa anda sudah mempunyai seorang istri? Bagaimana tanggapan Nyonya Hilda nanti?" tanya Sandra dengan bibir bergetar menahan tangis.

"Sejak kapan kamu berani mencampuri urusan pribadiku, Sandra? Tugasmu hanyalah sebagai sekretaris pribadi ayahku," tegas Ganendra.

Sementara Jingga semakin merasa tak nyaman dengan percakapan itu. Dia lebih banyak menunduk dan menghindari tatapan Sandra yang menusuk.

"Ah, iya. Saya lupa. Saya cuma seorang sekretaris." Sandra tersenyum getir. "Baiklah, kalau begitu. Selamat datang di rumah ini, Nyonya," ucapnya seraya mengulurkan tangan pada Jingga.

"Terima kasih." Ragu-ragu Jingga menerima uluran itu. Dia menjabat tangan Sandra dengan malu-malu.

"Ya, sudah. Kita masuk dulu." Ganendra mengurai jabat tangan kedua wanita itu, lalu menarik Jingga masuk ke rumah, meninggalkan Sandra yang hanya bisa terpaku di teras.

"Sepertinya dia tidak suka dengan berita pernikahan kita," celetuk Jingga pelan.

"Biar saja," sahut Ganendra acuh tak acuh. Dia tak melepaskan genggamannya sampai tiba di kamar yang berada di lantai dua.

"Mulai sekarang kamu tidur di sini, bersamaku," tegas Ganendra.

"Ehm ... tapi ...." Jingga mengigit bibir. Dia kerap melakukan itu saat gugup. "Bagaimana kalau nanti istri anda ...."

"Hilda tidak mempunyai hak apapun di rumah ini. Dia hanya istri siri. Sedangkan kamu ...." Ganendra menyentuh pucuk hidung Jingga menggunakan telunjuknya.

"Suka atau tidak, kita sudah menjadi suami istri yang sah." Ganendra menyeringai, membuat bulu kuduk Jingga meremang.

"Meskipun pernikahan kita hanya pura-pura, tapi aku penasaran dengan tujuan anda menikahiku. Bukankah anda sudah mempunyai seorang istri?" tanya Jingga hati-hati.

"Jangan banyak tanya. Jadilah gadis baik, seperti saat di apartemenku waktu itu." Ganendra mengedipkan sebelah mata dengan sorot nakal.

Tak sabar dirinya ingin mengulang adegan percintaan yang begitu indah dan panas bersama Jingga.

Akan tetapi, tepat pada saat Ganendra hendak melepaskan pakaian Jingga, pintu kamar yang memang belum terkunci, tiba-tiba terbuka.

Hilda berdiri di ambang pintu dengan mata nyalang. "Apa-apaan ini, Ga!" sentaknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Sebatas Status   Awal Kisah Indah

    "Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny

  • Pernikahan Sebatas Status   Cincin Kawin

    "Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l

  • Pernikahan Sebatas Status   Penantian Akhir

    Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude

  • Pernikahan Sebatas Status   Damai

    Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t

  • Pernikahan Sebatas Status   Oranje Licht

    "Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya

  • Pernikahan Sebatas Status   Penyesalan

    "Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status