Share

Sah vs Siri

Ancaman Ganendra, membuat Jingga lebih banyak diam. Sesekali dia melirik Ganendra yang serius mengemudi, hingga kendaraan yang mereka tumpangi tiba di sebuah klinik ibu dan anak.

"Untuk apa kita ke sini?" Jingga terpaksa membuka suara, karena instingnya merasakan sesuatu yang berbahaya.

"Konsultasi ke dokter kandungan," jawab Ganendra datar.

"Konsultasi tentang apa?" cecar Jingga.

Ganendra tampak risi dengan pertanyaan Jingga yang bertubi-tubi. Dia mengempaskan napas panjang, lalu menatap tajam ke arah gadis cantik itu.

"Sesuai dengan perjanjian, kamu dilarang hamil selamanya," ujar Ganendra.

"Lantas?" Jantung Jingga berdebar. Dia meremas ujung dressnya kuat-kuat.

"Aku ingin berdiskusi pada dokter kandungan untuk program sterilisasi rahim," jawab Ganendra enteng.

"Apa?" Jingga melotot tak percaya. "Keterlaluan kamu, Pak!" serunya hilang kendali. "Aku tidak mau!"

"Kalau kamu tidak mau, maka bersiaplah untuk ...."

"Terserah mau anda apakan rumah itu! Ambil saja semuanya! Jika bisa, ambil juga ginjalku untuk menutupi utang-utang omku! Yang jelas, aku menolak sterilisasi rahim!" tolak Jingga tegas.

"Aku tidak kuat lagi. Kehilangan harga diri dan hidup saja sudah sangat menyakitkan, dan sekarang anda hendak merebut masa depanku? Bunuh saja aku!" pekik Jingga histeris.

"Persetan dengan kalian semua!" Muka Jingga merah padam dikuasai amarah. Pikirannya hanya satu, yaitu pergi dari Ganendra sejauh-jauhnya.

Jingga gesit membuka pintu mobil dan melompat turun. Dia berniat untuk berlari sekencang mungkin.

Akan tetapi, gerak Ganendra juga tak kalah cepat. Dia segera turun dari mobil, lalu mengejar Jingga. "Hei, tunggu!" cegahnya. Ganendra berhasil mencengkeram satu lengan Jingga dan menyeretnya kembali ke dekat mobil.

"Lepaskan!" Jingga berusaha untuk memberontak. Tak dipedulikannya pandangan heran orang-orang di sekitar yang berlalu lalang. Beberapa di antara mereka bahkan berhenti untuk melihat yang terjadi.

"Hentikan, Jingga!" sentak Ganendra. Pria itu sepertinya juga kehilangan kesabaran. Dia mendekap erat Jingga secara tiba-tiba, sebelum istri barunya itu sempat mengelak.

Ganendra memeluk Jingga sambil bersikap seolah tak terjadi apapun. "Biasa, pengantin baru. Kami baru saja menikah. Butuh adaptasi," jelasnya pada orang-orang yang masih memperhatikan pertengkaran tersebut.

Ganendra memamerkan senyuman ramah agar terlihat baik-baik saja. Dia baru berhenti ketika orang-orang tak lagi menghiraukan.

Dia beralih pada Jingga yang masih tampak marah. "Puas kamu sekarang? Kamu sudah mempermalukanku!" omel Ganendra.

"Lepaskan aku! Ceraikan sekalian!" geram Jingga.

Ganendra mengangkat satu alisnya. "Cerai?" cibirnya mengejek. "Tidak semudah itu, Sayang. Apa kamu tidak membaca isi dari surat perjanjian tadi? Istri tidak berhak menuntut cerai. DI-LA-RANG!" tegas Ganendra sambil mengeja kata terakhir penuh penekanan.

Jingga menggeleng pelan. Lagi-lagi dia marah pada diri sendiri yang dengan mudahnya membuat keputusan.

"Kamu tidak mau proses sterilisasi? Oke, tidak masalah, kita pulang sekarang!" ujar Ganendra enteng sembari memaksa Jingga masuk ke mobil.

Pria itu lalu bersiap di balik kemudi dan menyalakan mesinnya. "Kita bisa mencari cara lain supaya kamu tidak bisa punya anak," cetus Ganendra.

"Kenapa harus aku? Kenapa tidak anda saja yang berhenti menyentuhku. Dengan begitu, aku tidak akan bisa hamil!" sahut Jingga sewot.

"Apa?" Ganendra terkekeh. "Enak saja. Ibarat barang, aku sudah membelimu! Masa iya, tidak dipakai? Rugi sekali! Lagipula kamu ...."

Ganendra sengaja tak melanjutkan kata-kata. Dia buru-buru mengulum bibir. Ganendra jelas tak akan dapat menyembunyikan rasa malu seandainya dia keceplosan mengatakan bahwa dirinya sangat menikmati tubuh Jingga.

"Ah, sudahlah!" Ganendra mengibaskan tangan. Dia merasa rugi jika harus terus berdebat dengan Jingga. Hal itu akan membuang-buang waktunya yang berharga. Padahal ada banyak hal yang harus dia kerjakan.

Pasangan pengantin baru itu tiba di kediaman Ganendra tepat setengah jam kemudian. Tampak Sandra dengan wajah semringah, berdiri menyambut kedatangan pria tampan itu.

Namun, senyuman Sandra seketika memudar saat melihat Ganendra tak sendirian. Kekasih gelapnya itu membawa seorang gadis yang sempat ditemui Sandra beberapa hari lalu.

"Selamat sore, Pak Ganendra. Anda sudah pulang? " sapa Sandra basa-basi sambil mencuri pandang ke arah Jingga.

"Tumben belum pulang?" sahut Ganendra.

"Saya sengaja menunggu anda datang. Pak Atmawirya mengirimkan beberapa dokumen yang harus anda pelajari," jawab Sandra.

"Taruh saja di mejaku. Aku masih ada sedikit urusan," titah Ganendra. Dia menoleh ke arah Jingga lalu merengkuh pinggangnya. "Ayo, Sayang," ujarnya lembut.

Sandra semakin terkejut mendengar panggilan Ganendra terhadap Jingga. "Sayang?" ulangnya tanpa sadar.

"Ah, aku lupa mengenalkan padamu. Ini istriku. Kami baru saja menikah tadi." Ganendra tersenyum puas saat melihat wajah cantik Sandra yang memucat.

"Istri?" Sandra mencoba untuk tersenyum, meskipun hatinya remuk redam.

"Iya, kami sudah sah, baik secara agama maupun negara," jelas Ganendra enteng.

"Apa istri baru anda ini mengetahui bahwa anda sudah mempunyai seorang istri? Bagaimana tanggapan Nyonya Hilda nanti?" tanya Sandra dengan bibir bergetar menahan tangis.

"Sejak kapan kamu berani mencampuri urusan pribadiku, Sandra? Tugasmu hanyalah sebagai sekretaris pribadi ayahku," tegas Ganendra.

Sementara Jingga semakin merasa tak nyaman dengan percakapan itu. Dia lebih banyak menunduk dan menghindari tatapan Sandra yang menusuk.

"Ah, iya. Saya lupa. Saya cuma seorang sekretaris." Sandra tersenyum getir. "Baiklah, kalau begitu. Selamat datang di rumah ini, Nyonya," ucapnya seraya mengulurkan tangan pada Jingga.

"Terima kasih." Ragu-ragu Jingga menerima uluran itu. Dia menjabat tangan Sandra dengan malu-malu.

"Ya, sudah. Kita masuk dulu." Ganendra mengurai jabat tangan kedua wanita itu, lalu menarik Jingga masuk ke rumah, meninggalkan Sandra yang hanya bisa terpaku di teras.

"Sepertinya dia tidak suka dengan berita pernikahan kita," celetuk Jingga pelan.

"Biar saja," sahut Ganendra acuh tak acuh. Dia tak melepaskan genggamannya sampai tiba di kamar yang berada di lantai dua.

"Mulai sekarang kamu tidur di sini, bersamaku," tegas Ganendra.

"Ehm ... tapi ...." Jingga mengigit bibir. Dia kerap melakukan itu saat gugup. "Bagaimana kalau nanti istri anda ...."

"Hilda tidak mempunyai hak apapun di rumah ini. Dia hanya istri siri. Sedangkan kamu ...." Ganendra menyentuh pucuk hidung Jingga menggunakan telunjuknya.

"Suka atau tidak, kita sudah menjadi suami istri yang sah." Ganendra menyeringai, membuat bulu kuduk Jingga meremang.

"Meskipun pernikahan kita hanya pura-pura, tapi aku penasaran dengan tujuan anda menikahiku. Bukankah anda sudah mempunyai seorang istri?" tanya Jingga hati-hati.

"Jangan banyak tanya. Jadilah gadis baik, seperti saat di apartemenku waktu itu." Ganendra mengedipkan sebelah mata dengan sorot nakal.

Tak sabar dirinya ingin mengulang adegan percintaan yang begitu indah dan panas bersama Jingga.

Akan tetapi, tepat pada saat Ganendra hendak melepaskan pakaian Jingga, pintu kamar yang memang belum terkunci, tiba-tiba terbuka.

Hilda berdiri di ambang pintu dengan mata nyalang. "Apa-apaan ini, Ga!" sentaknya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status