“Bareng?” tanya Vanesa ketika mereka keluar dari kelas di saat sudah waktunya untuk jam pulang.
Maudy menerima pesan. Dia membuka ponselnya dan melihat ada chat dari nomor baru. “Aku Leon. Di luar kampusmu sudah ada anak buahku yang menjemputmu.” Disusul oleh chat baru yang berisikan foto anak buahnya dan juga mobil yang digunakan. Dia menoleh ke arah Vanesa. “Aku pulang duluan, ya.” Entah bagaimana ceritanya pria itu langsung mengirimkan anak buah begitu saja tanpa persetujuan dari Maudy sendiri. Padahal dia juga belum sempat untuk memberitahu bahwa dia bisa pulang sendiri atau dijemput oleh anak buah papanya. Saat dia keluar, benar saja kalau ada tiga pria yang berdiri di luar mobil sembari mengobrol. Maudy langsung mendekat dan memberikan bukti chat dari Leon barusan. Dia dibukakan pintu mobil dan langsung masuk. “Aku akan di bawa ke mana?” tanya Maudy ketika mobil sudah melaju. “Kita akan pergi ke kantor pak Leon.” Tidak lama setelah anak buahnya Leon memberitahukan. Tempat itu tidak jauh dari kampusnya Maudy dan pintu mobil dibuka. Mereka bertiga masih mendampingi Maudy untuk pergi entah ke mana pria itu akan membawanya. Tiba di salah satu ruangan yang bertuliskan direktur di pintu. Mata Maudy langsung terpana melihatnya. Benar saja, kalau pria itu ada di sana dan sedang ada tamu. “Kalau begitu. Kita akan lanjutkan pembicaraan nanti,” ucap Leon ketika ada beberapa orang berada di ruangannya. Mereka semua keluar begitu Leon memberikan kode dengan tatapannya. Sedangkan Leon membuka jasnya dan menaruhnya di kursi. “Ada apa mengundangku kemari?” tanya Maudy. “Tidak ada. Aku hanya menunjukkan tempat kerjaku. Karena nanti, aku akan lebih sibuk dari yang kamu bayangkan. Mungkin saja kamu akan kesepian kalau meninggalkanmu bekerja.” Dia dianggap seperti wanita pada umumnya yang begitu kesepian ketika ditinggalkan bekerja oleh pasangannya. “Aku bisa melakukan hal lain kalau semisal kamu bekerja. Aku bisa cari kegiatan lain.” Leon menutup berkasnya dan menatapnya ketika Maudy duduk di kursi depan. “Kamu sudah makan?” “Kamu mengalihkan pembicaraan.” “Aku tidak tertarik dengan rencana hidupmu.” Maudy terdiam sejenak ketiak dia menahan rasa kesal di dadanya mendengar jawaban dari calon suaminya yang tidak tertarik dengan rencana hidupnya. Ternyata Leon sedingin itu kepada dirinya. Maudy keliling di ruangan pria itu. Sembari melihat banyak koleksi dari prestasinya Leon. Melihat kalau calon suaminya lulusan universitas ternama di luar negeri, dia sesekali takjub dengan itu. Pantas saja kalau orang tuanya mengatakan Leon bukan pria sembarangan. Penasaran dengan asal usul calon pasangan hidupnya, dia pun melihat semua koleksi itu dengan perlahan. “Kamu tidak perlu memujiku,” ucapnya Leon yang tiba-tiba muncul di sebelahnya. Maudy menoleh ke arah Leon. “Aku tidak tertarik memujimu.” Leon tertawa saat dia menjawab demikian. “Pernikahan kita akan segera dilaksanakan, Maudy.” “Kenapa buru-buru?” “Lebih cepat lebih baik. Aku janji tidak akan ganggu privasimu. Kamu juga harus menjaga privasiku. Kita hidup masing-masing.” Saat dia menoleh ke arah Leon. Pria itu juga menatapnya. “Hubunganmu tidak baik dengan orang tuamu?” Leon menghela napas panjang. “Bukan tidak baik. Aku punya saudara yang beda ibu. Kalau aku menolak perjodohan ini, otomatis semua ini akan menjadi miliknya. Jadi, aku harap kamu mengerti maksud dari pernikahan ini. Aku akan tetap memberikan kebebasan untukmu. Pendidikanmu, keuangan aku juga akan menjamin itu. Kalau kamu mau bekerja, aku akan persilakan. Sejujurnya, aku mungkin berpikiran sama sepertimu. Aku tidak siap menikah.” Tidak ada yang bisa dikatakan oleh Maudy. Karena memang benar bahwa dia juga tidak siap untuk menikah sekarang. “Aku juga tidak siap. Jadi, ketika menikah nanti. Apakah kita akan tidur sekamar?” “Terserah persetujuanmu. Kalau kamu tidak ingin sekamar denganku, aku juga tidak keberatan. Kalau kita bercerai nanti, setidaknya kamu tidak dirugikan dalam hal apa pun.” “Kalau begitu, mari kita buat peraturan!” Leon tertawa sejenak. “Aku tidak menyangka kalau kamu akan membuat peraturan seperti itu.” “Kita akan saling menguntungkan. Kamu tidak siap menikah, begitu pula denganku.” “Apakah di luar sana kamu takut ketahuan oleh pacarmu?” Terdengar cukup mengejutkan ketika Leon membahas tentang pacar. “Aku tidak pacaran.” Saat dia menjelaskan kalau dia tidak pacaran. Pria itu seperti sedang menertawakannya. Padahal memang benar, dia tidak pernah pacaran sebelumnya. Sekadar suka dengan seseorang mungkin pernah dia rasakan. Jatuh cinta sendirian juga pernah dia rasakan. Tapi untuk menjalin hubungan sama sekali tidak. “Aku akan ke ruangan papa sebentar lagi,” ucapnya Leon sembari melihat arlojinya. “Aku sendirian di sini?” “Kamu bisa meminjam laptopku untuk mengetik surat perjanjian.” Tak lama setelah Leon mengatakan itu. Memang benar kalau dia ditinggalkan sendirian di ruangan itu oleh Leon. Sekarang, dia sendirian berada di ruangan Leon dan memakai laptop milik pria barusan. Dia mengetik beberapa poin selama mereka menikah. Pernikahan yang dipenuhi dengan persyaratan itu akan dilaksanakan. Setidaknya, dia tidak akan dirugikan karena mereka berdua sepakat untuk sama-sama memiliki privasi ketika mereka menikah nanti. Status adalah sebuah formalitas yang di mana tidak perlu benar-benar terlihat seperti suami istri sungguhan. Hanya pura-pura di depan orang tua masing-masing. Beberapa menit setelah ditinggalkan, surat itu jadi dan langsung dicetak oleh Maudy. Pintu ruangan terbuka, memperlihatkan pria bertubuh tinggi itu baru saja menutup pintu dan berjalan ke arahnya. “Sudah?” Maudy dengan riang memberikan lembaran itu kepada Leon dan dibaca dengan seksama oleh Leon. Leon menatapnya sambil memegang lembaran itu. “Katakan padaku kalau ada yang keliru.” “Kenapa ada peraturan tidak boleh memiliki pacar?” tanya Leon sembari meletakkan lembaran itu di atas meja. Maudy masih berada di kursi tempat Leon bekerja tadi. “Itu perjanjian yang harus kita sepakati bersama.” “Terserah.” “Kamu tidak keberatan?” “Aku tidak ada waktu untuk tertarik pada wanita saat aku belum mencapai targetku.” Matanya Maudy menatap dengan curiga, dia tidak mau memiliki pasangan yang tidak tertarik dengan wanita. “Apakah kamu suka pria?” Leon mengambil bolpoin dan langsung tanda tangan begitu saja tanpa melihat poin lainnya. “Aku rasa, kamu begitu penasaran dengan kemampuanku di ranjang.” Maudy menyengir dan sedikit takut dengan jawaban calon suaminya. “Aku hanya bertanya.” “Dan aku hanya menjawab. Aku akan meladenimu ketika kamu penasaran suatu saat nanti. Aku harap, kamu jangan memancingku untuk satu hal itu.” Maudy langsung bangkit dari tempat duduknya setelah tanda tangan. Mereka bertukar lembaran saat sudah ditandatangani oleh Leon. “Aku akan pulang,” ucap Maudy dengan panik. Leon menertawakannya ketika dia sedang panik karena berusaha menghindari pria itu. “Aku pikir kamu akan berani seperti ucapanmu barusan.”“Kapan kita akan bercerai?” Leon mendapatkan pertanyaan itu dari istrinya dan seketika nafsu makannya langsung hilang. Dia melihat Maudy penuh dengan percaya diri melemparkan pertanyaan itu. Dia menghela napas dan kemudian menjawab. “Kalau kamu ingin pacaran sama pemilik kafe itu. Silakan lakukan saja, Maudy. Sekalipun kita punya perjanjian kalau kita nggak boleh masukin orang baru ke dalam hidup kita.” “Kamu juga punya wanita lain.” Leon ingin mengatakan kalau wanita yang dimaksud oleh Leon adalah Maudy sendiri. Namun selama ini respons yang diberikan oleh Maudy saja tidak menunjukkan ada ketertarikan pada dirinya. Kalau dia mengungkapkan perasaannya dan ditolak oleh Maudy. Itu akan berakhir fatal dan mereka berdua akan asing kembali seperti dulu. Leon tidak mau hubungannya menyedihkan seperti itu lagi dan akhirnya mereka berdua tidak saling sapa seperti dulu. Dia sudah berusaha untuk membangun rumah tangga yang sebaik-baiknya dan mempertahankan semuanya. “Maudy, bisakah kita be
Maudy baru selesai mandi karena dia akan olahraga pagi ini. Memungut pakaian yang berserakan di lantai. Pakaian yang dibuang oleh Leon kemarin. Saat dia sudah mengganti pakaian dan hendak keluar untuk lari pagi. Dia tidak perlu keluar ke mana-mana untuk berolahraga, dia hanya perlu keliling di halaman belakang rumahnya untuk sekadar lari. Dia duduk di tepi ranjang dan melihat suaminya masih terlelap. Semalam setelah percintaan panas mereka. Leon langsung tidur dan Maudy juga begitu. Setelah dia selesai berhubungan. Pasti kualitas tidurnya meningkat drastis. Leon bangun dan kemudian menggeliatkan tubuhnya. “Kamu mau ke mana?” “Aku mau lari pagi di belakang.” “Oh.” Maudy mencium suaminya dan pipinya diusap oleh suaminya. Bagaimana pun dia berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi suaminya. Leon akan tetap bereaksi sama seperti dulu. Tidak ada yang istimewa. Bahkan Maudy ingin sesekali dapat pujian atau sekadar dipanggil sayang oleh suaminya. Itu tidak dia dapatkan sampai s
Regan ngadu ke papa kamu tentang dia suka sama Maudy. Tapi Mama nggak cerita kalau yang Regan maksud adalah istri kamu.Tawa Leon pecah saat dia membaca pesan dari mamanya ketika wanita itu mengatakan bahwa Regan mengadu ke Erland tentang perempuan yang disukai olehnya dan ingin direbut oleh Leon. Bagus kalau sampai itu terdengar ke telinga Erland. Jadi, Leon tidak perlu menjelaskan bagaimana niat busuknya itu untuk menghancurkan adiknya sendiri. Hiburan Leon saat dirinya lelah bekerja ternyata jauh lebih unik dibandingkan dengan dia harus pergi untuk menonton tayangan yang pura-pura menghiburnya. Cukup membaca pesan dari Titian saja sudah membuatnya merasa jauh lebih baik. Leon sudah membalas pesan itu dan mengajak mamanya untuk bertemu. Dia meminta sang mama untuk ke rumahnya. “Bagus kalau kamu sampai sejauh ini, Regan. Aku bahkan sudah membaca kejahatanmu ingin menghancurkanku sejak awal. Aku tidak akan membiarkanmu mencuci otak papa lagi.” Digenggamnya ponselnya dengan er
“Aku akan mulai masuk ke perusahaan, Pa.” Erland terkejut mendengar permintaan dari anak keduanya yang meminta izin untuk masuk ke perusahaan. Sedangkan di sana ada Leon yang tidak bisa dia singkirkan. Bahkan Erland sendiri tidak bisa sedikit saja menggeser Leon. Perbandingan Leon dengan Regan sangat jauh sekali dari segi kecerdasan. Dia diajak bertemu oleh anaknya di luar. Mendengar permintaan itulah yang membuat Erland langsung setuju diajak bertemu oleh anaknya. “Papa sudah dengar dari mama kamu, Regan. Kalau Leon akan mengambil alih kafe kamu kalau kamu berbuat kesalahan. Ingat baik-baik, Leon tidak akan bercanda sama omongannya. Beberapa waktu lalu juga, Papa pernah mendengar kalau kamu memukulnya. Anak buah papa melaporkan kamu menghajar dia di depan umum.” Regan seperti sedang berusaha untuk mencari pembenaran dan anaknya memang terlihat seperti orang yang berbeda sekali. “Regan, Papa tahu kalau Leon membencimu. Sampai detik ini, belum pernah dia membuat kamu menderita. Dia
Regan sedang mengatur mobilnya untuk parkir. Lalu dia menoleh ke arah mobil yang ada di sebelahnya. Mobil listrik yang terbaru. Ketika dia baru saja turun dari mobilnya. Dia melihat plat nomor itu dan kemudian meninggalkan area parkir. Dilihatnya ramai sekali di sini. Baru saja dia menaruh tasnya di loker. Leon dihampiri oleh stafnya. “Maudy di atas.” “Benarkah?” “Ya .... tapi.” “Tapi apa?” “Leon di sini juga. Dia sedang pesan kopi.” Mendengar nama itu, Regan ingat waktu dia ribut dengan kakaknya setelah dirinya ditolak oleh Maudy. Namun kakaknya mengingatkan agar Regan lebih bekerja keras lagi. Kalau melihat mobil tadi di luar. Memang dia bisa yakin kalau itu adalah milik kakaknya. Regan mengikat tali apron dan stafnya langsung pergi. Leon sendiri memang orang yang paling mudah mendapatkan uang. Mengingat pria itu memiliki beberapa bisnis dan juga perusahaan besar karena Leon sendiri. Beberapa kali dia melewati kakaknya saat dia mengantarkan pesanan untuk oran
“Kamu nggak bakalan cari kepuasan pada wanita lain, kan?”Beberapa waktu lalu Maudy melontarkan pertanyaan itu pada Leon. Sebenarnya dia tidak ingin ada pertanyaan semacam itu dari mulut istrinya. Dia telah berusaha sebisa mungkin memberikan segala perhatiannya pada Maudy. Dia memberikan kasih sayang yang lebih. Dia juga sudah memberikan segalanya untuk sang istri. Beberapa kali dia meminta izin untuk tidak mengenakan pengaman karena berharap Maudy mengandung anaknya dan tidak ada alasan lagi wanita itu membahas tentang perceraian. Bagi Leon, kalau seandainya berpisah dengan Maudy adalah keharusan. Dia akan berpikir bahwa dirinya akan bertahan apa pun caranya. Dia akan berusaha untuk tidak membuat istrinya jauh darinya. Maudy juga pernah bertanya pada dirinya tentang wanita yang disukai oleh Leon. Sedangkan dia tidak bisa mengatakannya secara langsung. Maudy mungkin masih bimbang soal perasaan untuk kali ini. Mereka bisa saling merasakan satu sama lain saat mereka berhubungan